Haiii... minna...
Saya kembali...
Tak kusangka ada yang minta sequel fic saya yang absurd itu..
Hehehehe... dan saya akan membuat sequelnya.
Nah lhoo... susah banget bikin sequelnya.
Saya masih belajar untuk mengembangkan cerita agar ngena feelnya.
Ughh... susah amat deh.
Nah.. minna-sama. Maaf ya.. harusnya menggunakan kata 'kakak' tapi saya pengen menonjolkan keimutan Taufan. Jadi menggunakan 'onii-chan'.
Nah disini masih menggunakan 'nii' karena fic 'brother's smile' menggunakan 'Onii-chan' jadi maaf minna.
Oke.. oke... langsung aja.
Ahh... iya maafkan saya kalau saya nggak bisa membalas semua review.
Waaww.. 20 review.. waaww... (muter-muter nggak jelas)
Aku senang ada yang menikmati fic saya. Terimakasih banyak minna-sama
Oke langsung saja.
SELAMAT MEMBACA
Warning: gaje, abal, OOC, no power, no alien, typo(gak tanggung-tanggung typonya bisa sampai satu kata) dan beragam genus dan family(?)kesalahan lainnya.
Penyesalan memang selalu datang belakangan. Itulah kiasan yang tepat untuk kehidupan yang dijalani Halilintar dan Gempa sekarang. Sejak kematian Taufan 3 tahun yang lalu, Halilintar sering mengunci diri di kamar dan tidak pernah mengikuti semua kegiatan ekstra kulikuler. Ia memang tersenyum seperti yang permintaan terakhir Taufan. Tapi setiap kali ia tersenyum ia merasa hatinya berat dan hampa.
Lain Halilintar lain juga Gempa. Gempa memang tetap ramah kepada semua orang namun ia sangat kecewa dan tak bisa memaafkan kakaknya. Ia selalu menghindar jika bertemu Halilintar. Bahkan mereka jarang sekali bertemu, Gempa mengikuti banyak kegiatan ekstrakulikuler. Ia bahkan menjadi anggota OSIS di SMP pulau rintis. Mereka tak pernah lagi makan satu meja. Bahkan Gempa selalu membawa makanannya ke kamarnya dan memakannya disana jika ia melihat Halilintar datang dan akan makan di meja. Setiap pulang sekolah ia rutin mengunjungi makam Taufan. Seperti hari ini ia mengunjungi makam Taufan sepulang sekolah.
Gempa mengelus batu nisan adik tercintanya itu. Ia menyesal tak bisa menemaninya ke taman dan memilih kegiatan di sekolahnya. Ia juga kecewa karena kakaknya tak mau menemani Taufan, hingga membuatnya pergi ke taman sendirian dan berakhir dengan kecelakaan yang merenggut nyawa adik kecilnya. Air matanya menetes ketika mengingat kenangannya dengan Taufan. Berat sekali rasanya, setelah kehilangan Kedua orang tuanya. Ia juga harus kehilangan adik kecilnya. Masih terpatri dengan sempurna di ingatan Gempa ketika ia mendengar kabar kematian adiknya.
Flashback...
Hari ini hari libur, namun Gempa masih pergi kesekolah untuk mengikuti kegiatan pramuka. Ia entah mengapa merasa berat untuk berangkat ke sekolah. Perasaannya tak enak. Ia ingin kembali kerumah namun kegiatannya juga penting. Ia tak bisa pergi begitu saja karena ia adalah ketua regu. Ia harus mempersiapkan semuanya untuk jelajah alam dan berkemah, yang akan dilaksanakan 1 minggu kedepan. Ia harus menyiapkan semuanya.
"Gempa, semua sudah siap?" tanya kakak pembina yang sedang mengawasi kegiatan murid-murid SD pulau rintis.
"Belum kak ada yang kurang. Kita kekurangan beberapa kayu dan 1 tenda" kata Gempa kebingungan.
"Ohh.. coba kau cari kegudang, mungkin disana ada" ucap kakak pembina itu memberi saran.
"Baik. Terimakasih kakak pembina"
"Sama-sama""
Gempa segera pergi ke gudang dan mengambil keperluannya. Setelah mencari-cari ia hanya menemukan sediki kayu dan 1 tenda. Gempa kembali menuju lapangan untuk mengumpulkan keperluannya. Ia berjalan lambat, di kejauhan ia melihat kakak pembinanya sedang berbicara dengan seseorang. Ia masih tetap berjalan, sampai ia bisa mendengar percakapan mereka.
"Kau harus memberi tahunya. Adiknya meninggal."
DEGG.. perasaannya jadi tak enak. Meski ia tak tahu adik siapa yang meninggal Gempa merasa hatinya sakit. Seperti de javu perasaan yang dirasakannya saat mendengar berita kematian kedua orang tuanya kembali menerpanya.
"Eh.. Gempa. Sejak kapan kau disitu?" ucap kakak pembina gugup. Ia ingin memberi tahu kematian adik Gempa dengan perlahan karena Gempa masih kecil dan baru saja kehilangan kedua orang tuanya namun jika ia telah mendengar percakapan mereka..
"Adik siapa yang meninggal kak?" ucap Gempa pelan.
"Gempa.. kau harus tenang." Ucap kakak pembina menenangkan Gempa. Kakak pembina itu mendekati Gempa dan mengusap punggungnya untuk menenangkannya.
Mendengar perkataan kakak pembinanya itu. Gempa bisa tahu siapa yang kehilangan adiknya. Barang-barang yang dibawanya tadi dijatuhkannya begitu saja. air matanya mengalir dan tak terbendung lagi. Ia tak bisa menerimanya, ia tak mau adik kecilnya meninggalkannya. Ia tak mau mempercayai ini. Kepalanya menunduk dalam dan tubuh mungilnya bergetar. Dibiarkannya kakak pembinanya itu mencoba menenangkannya.
"Gempa? Ayo kita kerumah sakit" ucap kakak pembina itu dan menggandeng tangan Gempa lembut. Gempa hanya menurut membiarkan kakak pembinanya itu menuntunnya memasuki mobil yang dibawa oleh orang yang berbicara denga kakak pembinanya tadi. Gempa merasa hampa dan linglung. Kakak pembina yang melihat keadaan Gempa hanya bisa menenangkannya.
Sampai di rumah sakit. Gempa ingin segera berlari masuk, namun tangannya di pegang oleh kakak pembinanya. Gempa menatap kakak pembinanya. Orang yang dipandang hanya tersenyum dan menggandeng tangan Gempa pelan. Melewati lorong yang terasa sangat panjang. Perasaan de javu ini kembali lagi. Ia masih ingat betul bagaimana sedih dan takutnya dia ketika digandeng tangannya seperti saat ini di melewati lorong rumah sakit menuju orang tuanya yang kecelakaan. Air matanya semakin mengalir ketika melihat kakaknya sedang menangis dan ditemani oleh tetangganya.
"Nii-san mengapa disini?" tanya Gempa kepada Halilintar. Ia tahu itu pertanyaan bodoh karena ia tahu sebab kakaknya itu ada disini. Tapi ia tak mau mempercayainya. Ia masih berharap semua itu tidak benar, ia tak mau menerima kenyataan bahwa ia kehilangan adik terkecilnya.
Melihat Gempa datang, Halilintar segera berdiri dan memeluk adiknya itu.
"Gempa. Taufan ia..." ucap Halilintar dengan terisak. Seketika tubuh Gempa mematung. Kenyataan memang pahit, semua tidak sesuai dengan harapan. Tubuhnya lemas dan kesadarannya menghilang.
Flashback end..
Sekarang hanya penyesalan dan rasa benci yang menderanya. Ia masih belum menerima kenyataan yang pahit ini. Ia tak bisa menerima kenyataan bahwa ia kehilangan adik kecilnya. Ia juga tak bisa memaafkan kakaknya yang tak bisa menemani Taufan dan bersikap dingin pada Taufan. Ia bahkan merasa tak ingin hidup dan menemani Taufan diatas sana. Tapi ia tahu Taufan pasti akan sedih jika ia mengakhiri hidupnya ini.
Matahari semakin meredupkan sinarnya. Tak terasa sudah 1 jam ia berdiri meratapi makam adik kecilnya.
"Aku akan kembali besok lagi Taufan" ucap Gempa pelan. Gempa beranjak dan pergi pulang.
Gempa berjalan pelan menuju rumahnya. Saat ia melihat berhenti dan menatap anak-anak yang bermain ditemni kedua orang tuanya serta kakaknya. Gempa ingin menangis melihat hal itu. Anak kecil itu pasti seumuran dengan Taufan jika ia masih hidup. Ia dan keluarga dapat menikmati saat-saat seperti itu jika Taufan masih hidup. Namun itu hanya impian kosong yang takkan terwujud. Lama Gempa menatap taman itu.
BRUKK...
"Hiks...Hiks..." Gempa segera mencari asal suara itu dan mendapati seorang anak menangis karena terjatuh dari sepeda. Gempa segera mendatangi dan menolong anak itu.
"Hei... Kau tak apa?" tanya Gempa panik. Dilihatnya lutut anak itu terluka, ia menatap anak itu lagi. Anak itu masih menangis. Gempa tersenyum dan mengambil obat merah dan kapas yang dibawanya untuk latihan PMR sore tadi. Diobatinya lutut anak itu. Gempa tersenyum ketika selesai mengobatinya.
"Terimakasih kakak" kata anak itu ceria. Gempa yang melihat itu tersenyum dan mengusap kepala anak itu.
"Tak apa. Hati-hati kalau bermain sepeda Taufan" kata Gempa sambil tersenyum.
"Eng.. namaku Ari bukan Taufan kak"
"Ah.. Benarkah. Hahaha.. maaf hati-hati ya Ari" ucap Gempa sambil tertawa canggung. Gempa beranjak menlanjutkan perjalanannya kerumah sebelum air matanya tumpah kembali.
Sampai dirumah ia membuka pintunya dan mendapati rumahnya kosong dengan lampu yang tidak menyala. Ia tahu kakaknya ada dirumah tapi ia tak pernah keluar kamarnya. Gempa menyalakan semua lampunya dan menuju kamarnya untuk mandi dan ganti baju. Setelah mandi dan ganti baju Gempa kembali kedapur untuk memasak. Waktu menunjukkan pukul 07.00 dan semua makan malam telah tersedia di meja makan. Gempa mengambil tempat duduk dan memakan masakannya sendirian. Ya.. ia akan makan sendirian. Ia tak pernah mengajak kakaknya lagi. Ia tak peduli jika kakaknya akan makan atau tidak, yang penting ia sudah menghidangkan makan malam. Saat ia makan dilihatnya sang kakak hendak pergi keluar dengan menggunakan jaket dan topi merah hitam kesayangannya.
"Aku keluar dulu" kata Halilintar sambil menatap adiknya.
Gempa hanya meliriknya sekilas dan tetap melanjutkan makan. Dilihatnya sang kakak hanya menghela nafas dan pergi keluar. Gempa tak peduli kakaknya itu mau kemana. Toh kakaknya sering keluar dan akan kembali malam nanti. Setelah menghabiskan makanannya Gempa beranjak untuk mencuci piringnya dan menuju kamar.
Gempa berjalan pelan kekamar karena ia sudah sangat kelelahan. Besok memang hari libur jadi Gempa tak memiliki kegiatan di malam minggu ini. Sampai dikamar Gempa menjatuhkan diri di ranjang dan terbang ke alam mimpi.
OoooooooooO
Antara sadar atau tidak sadar Gempa merasakan rambutnya dielus lembut. Ia terlalu mengantuk dan menganggap ini hanya mimpi. ia masih menutup matanya, ia merasa ini sangat familiar. Ia merasa bahwa ia pernah merasakanny dulu. Tapi kapan? Ia bingung. Namun ia menikmatinya. Samar-samar ia mendengar suara orang yang mengelusnya berbicara.
"Sebenarnya aku tak mau meninggalkanmu. Aku tak mau membiarkan menjalani kehidupan ini sendirian. Tapi aku tak bisa melawan takdir yang akan mengambil nyawaku."
Suara itu sangat pelan dan terasa pilu. Gempa menggerakkan tubuhnya dan memeluk orang itu. Ia merasa orang itu shock dan membeku, namun ia tak peduli. Ia tak tahu siapa orang itu namun ia merasa senang dapat memelukanya. Ia rindu pelukan ini dan ia ingin terus memelukanya. Hingga kantuk menguasainya dan ia kembali tertidur pulas.
OoooooooooooO
Pagi menjelang, Gempa bangun dan pergi membersihkan diri dan mempersiapkan sarapan. Ia masih terasa bingung dengan perasaannya kemarin. Siapa orang itu? Apakah itu mimpi? tapi jika itu mimpi mengapa perasaan ini terasa nyata? Gempa menggelengkan kepalanya dan kembali memasak. Selesai memasak Gempa meletakkan semua makanannya dimeja. Dilihatnya Halilintar yang sudah rapi, ia mendudukkan di kursi yang jauh dari Gempa. Gempa yang melihat itu berdiri dan membawa makanannya menuju kamar. Satu langkah ia menaiki tangga namun suara Halilintar mengehentikan langkahnya.
"Aku akan pergi hari ini. Mungkin seharian, jadi kamu nggak usah memasakkanku makan siang."
Gempa yang mendengar itu hanya mengerakkan kepalanya sedikit dan mengangguk. Ia kembali berjalan kekamarnya, samar-samar ia melihat senyum kakaknya. senyum itu penuh kebahagiaan dan terasa menyakitkan secara bersamaan.
Gempa mempercepat langkahnya menuju kamarnya. Sampai kamar Gempa mendudukan diri dimeja belajar dan melanjutkan makannya.
Selesai makan Gempa kembali ke dapur untuk mencuci piringnya. Sesampainya didapur ia mendapati ruaangan yang kosong dan ia tahu Halilintar telah berangkat. ia segera mencuci piringnya, mengambil sapu dan pergi bersih bersih. Rumahnya tak terlalu kotor, karena ia tahu kakaknya selalu membersihkan rumah. Setelah menyapu lantai bawah, Gempa pergi keatas untuk membersihkan kamarnya. Ia berjalan menuju kamarnya. Namun ia berhenti ketika melihat pitu kamar kakaknya yang terbuka sedikit. 'tumben?' Gempa tidak pernah melihat pintu kamar kakaknya terbuka seperti ini. Ia tak pernah melihat kamar kakaknya itu. Dengan penasaran ia membuka pintu kamar kakaknya. kamarnya rapi, hanya selimutnya yang tersingkap belum di rapikan. Dan beberapa buku yang masih terbuka di meja belajar. Gempa masuk kekamar kakaknya dan memutuskan untuk membersihkannya. Pertama ia menutup dan mengembalikan buku-buku yang ada diatas meja kakaknya itu. Selesai dengan meja kakaknya ia berjalan ke ranjang kakaknya dan merapikan sprei kakaknya itu. Sprei brwarna merah dan hitam seperti warna jaket kesayangannya. Saat Gempa menyingkapkan sprei kakaknya ia melihat beberapa butir obat yang tumpah dari botol obatnya. Ia mengambil botol itu dan menyerngit heran. Obat apa ini? ia tak pernah melihat kakaknya itu meminum obat ini.
Diambilnya obat itu dan memasukkannya kesaku. Ia ingin menanyakannya pada kakaknya nanti. Gempa segera berdiri dan beranjak keluar dari kamar kakaknya itu.
OoooooooooO
Hari sudah sore Gempa memutuskan untuk pergi ke makam adiknya sebentar. Sampai di makam adiknya seperti biasa ia akan mendoakan adiknya dan mengusap nisan adik kecilnya itu.
Waktu menunjukkan pukul 17.00 Gempa beranjak dan kembali pulang kerumah. Sesampainya di rumah Gempa menyerngit heran ketika mendapati rumahnya masih terkunci. Kemana kakaknya kenapa lama sekali ia belum pulang? Memang biasanya ia akan masa bodo dengan kegiatan kakaknya namun entah mengapa ia merasa sedikit khawatir kepada kakaknya. sejak mimpi atau kenyataan yang dialaminya kemarin.
Gempa membuka pintunya dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Selesai membersihkan diri Gempa pergi untuk memasak. Ia membuka kulkasnya dan mendapati kulkas yang hanya menyisakan sedikit bahan makanan. Ia bingung biasanya bahan makanannya selalu ada. Namun sekarang tinggal sedikit, ia mengambil wortel dan beberapa sayuran lain untuk membuat sup. Saat ia memasak ia melihat Halilintar yang baru pulang membawa bahan makanan dan sedikit uang. Halilintar meletakkannya di meja dan pergi ke kamar untuk membersihkan diri. Gempa selesai memasak dan menyiapkan hidangan dimeja bersamaan dengan Halilintar turun dari tangga. Gempa menatap kakaknya, ia tersentak ketika menyadari bahwa wajah kakaknya sangat pucat. 'Apa ia sakit?' Berbagai pertanyaan berkecamuk di pikiran Gempa.
Ia melihat Halilintar lagi-lagi duduk di kursi yang jauh dari Gempa. Biasanya ia akan beranjak pergi namun sekarang tidak ia entah mengapa ingin sekali duduk dan makan bersama kakaknya. Halilintar menunduk, ia merasa aneh dengan situasi ini. Sudah lama sekali sejak mereka makan bersama seperti ini. Mereka makan dalam diam, hanya suara dentingan sendok yang mewarnai ruangan. Selesai makan Halilintar berdiri.
Melihat kakaknya sudah selesai makan dan akan beranjak. Gempa segera merogoh sakunya, mengeluarkan dan meletakkan di meja obat yang ditemukannya tadi pagi.
"Ini obat apa?"
Gempa melihat kakaknya shock dan kebingungan. Gempa segera mengambil lagi obatnya ketika Halilintar akan mengambil obatnya kembali.
"It..Itu.."
Gempa semakin heran dengan sikap kakaknya. Kakaknya menggerak-gerakkan bola matanya seperti mencari-cari alasan. Tangan Halilintar bergerak-gerak tak nyaman dan mencoba mengambil obatnya. Namun obat itu dipegang erat oleh Gempa. Membuatnya tak bisa mengambil obat itu.
"Enggg... Itu.. Itu suplemen" kata Halilintar.
Gempa menyerngitkan dahinya heran. Mengapa kak Halilintar seperti orang yang berbohong?
"Aku tak pernah melihatmu meminumnya?"tanya Gempa masih tak percaya pada kakaknya itu. Namun ia meletakkan obatnya diatas meja.
"Engg... Aku meminumnya di kamar" kata Halilintar dan cepat-cepat mengambil kembali obatnya.
Gempa hanya memandang kakaknya heran. Ketika Halilintar segera mencuci piringnya dan berjalan cepat menuju kamar. Jalannya terhuyung-huyung, seperti orang yang hampir pingsan. Dan seperti dugaannya sang kakak terjatuh. Gempa yang melihat itu langsung menghampiri kakaknya.
"Hei..Hei.. Nii-san tak apa?" tanya Gempa panik. Dilihatnya wajah sang kakak sangat pucat. Ia memapah kakaknya menuju sofa.
"Nii-san.. Bangun?" kata Gempa kebingungan. Segera saja Gempa mengambil handphone yang ada di saku kakaknya. dilihatnya nomor yang tertera di sana. Dia melihat nomor yang terakhir dipanggilnya adalah Doktor Burhan. Tanpa pikir panjang Gempa segera menelfon dokter Burhan.
"Halo ada apa hali?"
"Halo.. Halo.. Dokter saya Gempa. Nii-san pingsan" kata Gempa sangat panik.
"Apa? Saya kirimkan ambulan kesana sekarang." Kata doktor di seberang sana. Sambil memutus hubungan.
Siapa dokter Burhan ini. Ia seperti kenal akrab dengan kak Halilintar. Ia bingung, apa yang terjadi dengan kakaknya. jika ia cuma sakit biasa mengapa ia harus dikirimkan ambulan. Bukannya lebih baik kalau dokter itu yang kesini. Pikiran Gempa berkecamuk. Ia tak mengerti dengan semuanya. Apa yang terjadi dengan kakaknya itu?
Tak berselang lama ambulan datang. Gempa segera membukakan pintu dan membiarkan beberapa orang masuk membawa menggendong kakaknya.
"Kamu boleh ikut" kata salah satu dokter disana. Gempa segera menutup dan mengkunci pintu rumahnya. Setelah ia menutup dan mengkunci pintu rumahnya Gempa segera masuk ke dalam ambulan dan duduk didekat kakaknya.
Sesampainya dirumah sakit Gempa melihat kakaknya segera dibawa ke ruang UGD. Ia sangat khawatir ini ketiga kalinya ia berdiri menunggu disini. Ia takut terjadi apa-apa pada kakaknya. Ia tak mau kehilangan orang yang ia sayangi lagi. Cukup ia kehilangan kedua orang tua dan adiknya. Ia menatap ruang UGD, dilihatnya dokter meletakkan alat pacu jantung pada dada kakaknya itu. Ia semakin bingung, apa yang terjadi dengan kakaknya itu. Dilihatnya alat pengukur detak jantung. Alat itu semakin stabil, dan hal itu membuatnya sedikit menghela nafas lega.
Ia segera menyingkir ketika melihat dokter keluar dari ruangan.
"Boboiboy Gempa ya? Bisa ikut aku keruanganku?"
"Baik dok."
Gempa mengikuti dokter itu keruangannya. Dibelakangnya ia melihat sang kakak yang dibawa ke ruangan lain. Setelah berjalan agak lama ia sampai di ruangan tempat dokter itu. Dilihatnya sang dokter duduk di belakang meja. ia melihat dua kursi didepan dokter itu dan mengambil tempat duduk di salah satu kursinya.
"Dokter nii-san kenapa?" tanya Gempa tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Sang dokter menyerngit heran mendengar pertanyaan Gempa.
"Kamu tak tahu? Ia mengidap jantung lemah. Apa Halilintar tidak menceritakannya padamu?" kata dokter itu. Gempa tersentak mendengar perkataan sang dokter.
"Jan-Jantung lemah. Tapi sejak kapan dok?"
"1 tahun yang lalu. Memang Halilintar sejak dulu mengalami kelainan jantung. Namun sejak 1 tahun yang lalu ia mengalami lemah jantung. Ini sudah sangat parah. Denyut nadinya sangat lemah. Apa yang dilakukannya seharian ini? Mengapa ia bisa sampai kelelahan? Padahal aku sudah mengatakan padanya bahwa tubuhnya sangat rawan. Keadaannya bisa semakin memburuk jika ia kelelahan."
"Saya tidak tahu dok. Nii-san tak pernah menceritakan apapun padaku. Ah..." Gempa menundukkan kepalanya. ia tahu mengapa kakaknya itu tak pernah menceritakan apapun padanya. Ia tak pernah berbicara apalagi saling bercerita pada kakaknya itu. Ia semakin merasa bersalah. Mengapa ia begitu egois? Halilintar sudah mengucapka ribuan kata maaf padanya. Tapi ia tak pernah memaafkannya. Hingga sekarang ia tahu bahwa kakaknya menderita penyakit yang sangat berbahaya.
"Gempa. Aku tahu ini berat tapi... apa yang dilakukan Halilintar hari ini?"
"Aku tak tahu dok. Seharian ini nii-san tidak pulang. Pulang sore tadi dan makan bersama lalu saat nii-san akan kekamar ia jatuh pingsan."
"Ehmm... Baiklah. Aku akan tanya pada Halilintar saat ia siuman nanti"
"Ah.. Dokter. Nii-san tadi dipindahkan kemana?"
"Ohh... Halilintar dipindahkan ke ruang rawat inap. Kondisinya sudah stabil. Tinggal istirahat saja"
"Eng.. Dokter untuk biaya rumah sakit Nii-san..."
"Tak masalah saya sudah membiayai pengobatan Halilintar."
"Ohh... Saya jadi tak enak seharusnya saya yang..."
"Tak apa. Temani dia"
"Baik dokter"
Gempa segera berjalan menuju ruang dimana Halilintar dirawat. Gempa masih bingung mengapa kakaknya menyembunyikan penyakitnya itu padanya? Apa ini salahnya karena terlalu marah pada kakaknya. tapi mengapa tanda-tanda penyakit kakaknya Gempa sama sekali tak melihat?
Sampai di kamar kakaknya. Gempa membuka pintu kamar rumah sakit itu perlahan. Hatinya seperti teriris melihat kondisi kakaknya itu. Ia merasa sangat bersalah karena tidak memperhatikan kakaknya itu. Amarah yang selama ini meninggali hatinya terasa menghilang digantikan dengan rasa bersalah ketika melihat kondisi kakaknya.
Gempa berjalan dan duduk di kursi dekat kakaknya. Gempa menggenggam tangan kakaknya. 'hangat'. Gempa mengangkat tangan kakaknya dan menempelkannya di pipinya. Tanpa terasa bulir-bulir air mata mengalir dari kedua matanya. Ia sudah lupa dengan kehangatan ini dan Gempa merindukannya sekarang. Ia tak mau kehilangan kehangatan ini. Gempa ingin merasakan kehangatan ini selamanya.
"Nii-san, bangun. Gempa tak mau kehilangan nii-san"
Gempa menutup matanya. Perlahan ia merasakan sebuah tangan mengusap air matanya. Reflek Gempa membuka matanya dan menemukan kakaknya yang sudah siuman dan tangan yang mengusap wajahnya.
"Gempa.. Jangan menangis" ucap Halilintar sambil tersenyum lembut.
Gempa semakin menggenggam tangan kakaknya. ia tak mau melepaskan tangan hangat ini. Ia tak mau kehilangan kakaknya. Gempa menatap kakaknya yang masih mengusap pipinya. Perlahan tangan itu ditarik oleh kakaknya. Halilintar mencoba untuk duduk namun Gempa menahan tubuhnya dan kembali membaringkan Halilintar.
"Nii-san jangan bangun dulu. Nii-san tidur saja"
Halilintar tersenyum dan menuruti adiknya. Gempa yang melihat kakaknya kembali berbaring, berdiri ingin memberi tahu suster tentang ini. Namu belum satu langkah ia beranjak. Sebuah tangan menahannya untuk pergi. Gempa membalikkan badannya. Ia melihat sorot mata kakaknya yang seakan mengatakan 'jangan pergi'. Gempa kembali duduk didekat Halilintar. Matanya tetap menatap kakaknya.
"Nii-san mengapa tak menceritakannya padaku?" ucap Gempa pelan.
Dilihatnya sang kakak hanya diam dan menundukkan kepalanya. Gempa menggenggam tangan kakaknya itu. Ia tau kakaknya takkan menjawab pertanyaannya. Ia hanya menatap tangan kakaknya yang tidakdigenggamnya sedang meyusap kepalanya. ia sangat merindukan usapan ini. Ia menatap mata kakaknya lama.
"Gempa jangan sedih jika aku pergi. Maaf aku tak bisa menemani Gempa lagi. Maaf kan nii-san karena menolak ajakan Taufan dan membuatnya pergi meninggalkan kita. Maafkan nii-san karena dengan bodohnya membuaut Taufan pergi sendiri. Maafkan nii-san yang dengan egoisnya tak bisa tersenyum untu Taufan dan Gempa. Maaf nii-san seharusnya kita bersama tapi... "
"Nii-san stop. Berhenti berbicara seperti itu. Nii-san pasti sembuh. Nii-san pasti sembuh.." Gempa berkata bahwa Halilintar akan sembuh berulang-ulang seakan meyakinkan dirinya sendiri bahwa kakaknya akan sembuh. Perlahan air matanya mengalir kembali. ia melihat kakaknya, sang kakak hanya tersenyum dan menggeleng. Halilintar mencoba duduk lagi. Dan sekarang di biarkan oleh Gempa.
"Gempa.." panggil Halilintar lembut. Gempa segera memeluk Halililintar. Air matanya semakin mengalir.
"Nii-san jangan mengucapkan apapun. Nii-san pasti sembuh. Gempa sayang pada nii-san. Gempa tidak meu kehilangan nii-san"
Punggungnya terasa hangat. Apa kakaknya menangis?
"Nii-san senang sekali ketika Gempa memanggilku lagi. Nii-san senang sekali ketika nii-san bangun melihat Gempa yang memgang tanganku. Nii-san senang sekali memiliki adik seperti Gempa. Gempa, jaga diri kamu yaa! Nii-san sayang pada Gempa. Nii-san pasti akan tetap menjaga Gempa diatas sana." Ucap Halilintar sambil mengelus kepala adiknya.
Gempa semakin mengeratkan pelukannya. Ia tak mau mendengar kata-kata kakaknya lagi.
"Berhenti.. jangan berkata seperti itu lagi"
"Sampai jumpa Gempa. Nii-san sayang Gempa"
Gempa merasa bahwa tubuh kakaknya memberat. DEGG... jantung Gempa terasa berhenti berdetak. Ia melepas pelukannya dan mendapati kakaknya yang telah memejamkan matanya dengan senyum tulus mengembang di wajahnya. Tubuhnya membeku dan air matanya semakin mengalir. Ini bohong kan?
"Nii-san? bangun. Nii-san... Nii-san. Dokter nii-san. -san dia.. nii-san bangun.."
Gempa berteriak dan menggoyang kan tubuh kakaknya.
"DOKTER.. Nii-san"
Gempa semakin menangis dan segera keluar untuk memanggil benar-benar panik, ia tak mau menerima kenyataan bahwa kakaknya telah pergi. Tidak akan. Beberapa suster dan dokter yang menangani Halilintar tadi masuk dan mememriksa keadaan kakaknya. Gempa hanya menyingkir dan menahan tangisnyya.
Sang dokter selesai melakukan pemeriksaan dan menghela nafasnya. Ia berjalan kearah Gempa dan menyentuh bahunya.
"Gempa kau harus mengikhlaskannya. Aku tahu ini berat tetapi.."
"Tidak ini bohong kan... Nii-san masih hidup kan.. Dokter bohong kan?"
Dokter itu menutup matanya dan membimibing Gempa untuk menenangkannya. Suster-suster itu membawa Halilintar. Gempa tak bisa menerima kenyataan ini. Ia tak mau kehilangan seseorang yang berharga lagi. Tidak ketika ia menyia-nyiakan waktu bersama kakaknya. Ia benar-benar menyesal. Perlahan kesadarannya menghilang.
OooooooooooooO
Gempa duduk terdiam setelah ia menangis semalaman karena kehilangan orang yang ia sayangi sekali lagi. Sekarang ia sendiri. Ia tak bisa menghadapi kenyataan pahit ketika melihat seluruh anggota keluarganya terkubur disekitarnya. Pertama ayah dan ibunya, lalu adiknya dan sekarang ia harus kehilangan kakaknya. ia tak tau apa yang harus dilakukannya mulai sekarang.
"Maafkan Gempa nii-san. Jika saja Gempa tahu dan memperhatikan nii-san. Pasti sekarang kita bisa bersama. Aku takkan kehilangan nii-san. Sekarang aku sendiri nii-san. Gempa takut tak bisa menghadapi dunia lagi. Nii-san meski Gempa tak bisa merelakan nii-san. Tapi semoga nii-san bahagia dan diterima disisinya."
Gempa berdiri dan kembali pulang kerumahnya. Ia memang sangat menyesaldan merasa berat untuk hidup tapi ia yakin semua menjaga dan melindunginya dari atas sana.
END
Nah.. lhooo..
Nggak jadi lagi. Huhh.. beneran ini fic terpanjang yang pernah saya buat. Kecuali yang multi chap.
Gempa OOC banget ya? sumpah aku nggak tau jadinya kayak gini.
Maaf untuk cerita yang berbelit-belit dan nggak ngena feelnya. Beuh.. susah sekali.
Oke maafkan saya karena membuat fic yang sad ending LAGI
Sebenarnya pengen banget di pakek happy ending. Tapi ternyata saya nggak bisa milih penyakit yang kronis tapi bisa sembuh.
Oke kendala di fic ini adalah pemilihan penyakit Halilintar. Beuhh... susah sekali.
Kalo adayang ngira yang paling menderita itu Gempa. Aku setuju tapi Halilintar juga sangat menderita lhoo..
Di chap ini sudut pandangnya dari Gempa. Nah kalo ada yang review saya akan buat yang sudut pandang dari Halilintar.
Oke dari pada saya lupa lupa terus
Saya meminta maaf kalau fic-fic saya akan jarang update. Saya sedang ada kegiatan di sekolah. Dan biasanya saya punya banyak waktu luang untuk ngetik fic. Tapi beberapa hari kedepan waktu luang saya hanya sekitar 1 jam. Jadi maafkan saya (all: sok sibuk)
Hahahahha... tapi saya usahakan tetap menulis.
Saya bahkan kepikiran untuk berhenti nulis dulu tapi ahh... sudahlah pokoknya saya akan tetap berusaha untuk nulis.
Terimakasih telah membaca
review pleaseee...
^_^ dan saya minta pengarahannya senpai ^_^
