Perpustakaan tengah kota sedang sepi-sepinya pengunjung. Hanya dua mahluk bergen persis; laki-laki, berstatus klop; pelajar jomblo, dan berkepribadian sama; cinta kutu sama sastra. Menemani sederet buku-buku yang ditata apik di rak-rak besar perpustakaan—sebagai alternatif cuci mata.
"Aku disini, kau disana." Mayuzumi main atur. Menghakimi masing-masing dua meja dengan berderet-deret kursi yang dihalangi sebuah rak besar sebagai pembatas.
Kuroko mengiyakan saja, toh dirinya juga butuh berkonsentrasi selama mengerjakan tugas sastra yang berbeda dengan kepunyaan Mayuzumi.
"Mayuzumi-kun akan mengerjakan apa?" si rambut aqua sudah sampai di bangkunya. Nihilnya eksistensi keramaian membuat untung suaranya bisa terpantul kesana-kemari dengan mudah tanpa harus teriak-teriak.
"Puisi. Puisi bermajas, roman."
"Oh…" Kuroko merobek lapisan lapotop menjadi dua, menyalakan programnya. "Sudah dapat inspirasi?"
Mayuzumi menggeleng. Menngeleng?—buru-buru mengeluarkan verbal karena sadar Kuroko itu nun jauh disana. "Belum. Kau sendiri?"
"Aku baru buat seperempat, tapi idenya masih kabur." Kuroko bertopang dagu, membuka Ms. Word simpanannya. "Teks deskriptif, tapi pakai unsur roman."
Percakapan mereka selesai disitu. Keduanya sama-sama menerawang, sama-sama memutar otak. Sampai mulai sama-sama tidak betah.
"Akh.. butuh inspirasi." Sahut.
"Sesok Jumat harus selesai, nih." Menyahut.
Akh, butuh inspirasi. Sesok Jumat harus selesai.
Akh, butuh inspirasi? Akh—si. Akh—si.
Sesok Jumat harus selesai? Se—ju—ru. Se—ju—ru.
Apa tadi? Akashi Seijuurou?
.
.
.
Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki
Original POV © moronsfr
.
.
.
[Mayuzumi sibuk berpuisi, sedang Kuroko berkutat teks deskriptif. Mungkin keduanya saling punggung-punggungan, tapi nyatanya satu tema: "Oh, Akashi-sama si Pujangga"]
[AU, Rakuzan!Kuroko, potensi typo(s), sastra ngarang, MayuKuro—Akashi-centric]
.
.
.
Jangan ditanya bagaimana ekspresi Kuroko saat nama itu tercenung begitu saja di otaknya. Jangan tanya juga perihal raut wajah Mayuzumi saat nama itu mampir lewat di imajinasinya.
Akashi Seijuurou. Yah, bukannya hal besar atau apa, sih. Hanya… sebuah inspirasi.
Mayuzumi langsung bergegas meraut pensil. Membuat ujung benda kayu itu tajam, setajam-tajam ide yang mengalir jelas di jembatan imajinasinya sekarang. Selembar kertas ditarik beringas. Tanpa perlu melirik kamus, tanpa perlu referensi perpus, Mayuzumi dengan santainya menuang segala desain kasarnya pada si kertas. Suara aktivitas gesek-gesek batang pensil ke polosnya kertas, sudah begitu diimbangi melodi awut-awutan dari tarian jemari Kuroko di substansi keyboard. Sekejap layar di depan mata penuh dengan semut-semut alfabet. Kalau ide sudah hinggap, anak itu langsung tancap gas.
Tidak perlu menunggu sampai si kertas sobek, atau seriosa kesakitan karena Mayuzumi menekannya terlampau keras, bait pertama selesai digarap.
"Kuroko." Dia mengerang, meregangkan kedua tangan keatas seperti habis bersusah payah menyelesaikan sesuatu. "Aku selesai bait satu. Mau dengar?"
Kuroko dibalik sana yang buntu di paragraf terakhir, sedikit berjengit saat ditegur suara Mayuzumi. "Ya? Boleh, boleh."
Mayuzumi berdehem. "Dua windu tanpa lelah kusimpan parasnya. Remuk logika tersenut-senut kasih. Helaian bayang-bayang engkau menguliti takdir ini. Bagai benang merah telah digunting untuk melilit kita."
Ada yang aneh. Dan sedikit tidak beres.
Sebagai murid yang berkecimpung di dunia sastra, Kuroko malah ingin tertawa mendengar mendengar curahan bait Mayuzumi—bukannya menilai dan mengapresiasi dengan benar.
"Gimana menurutmu?"
Kuroko mengganjal perutnya dengan buku, nyaris tersedak tawa. "Umm.. Mayuzumi-kun kali ini lebih eskpresif ya? Tidak seperti biasanya saja."
"Lebih ekspresif bagaimananya?" Mayuzumi angkat alis, berbalik punggung berniat menunjukkan wajah bingungnya pada Kuroko. Tapi ia sadar lagi, kalau yang menyapa wajahnya itu sebuah rak besar sebagai penghalang. Dan Kuroko masih nun jauh disana. Disitu, Mayuzumi kelihatan begonya. "Maksudmu aku seperti sedang curhat secara terselubung begitu?"
Tanpa Mayuzumi tahu, Kuroko sudah meringkuk sendiri di alas kursi. Tidak kuat ingin segera out of character dan ketawa keras-keras. "Kau sendiri yang bilang begitu, bukan aku."
"Masa sih?" Mayuzumi topang dagu, mengernyit memandang rak buku—harap-harap Kuroko dapat tembus pandang dan melihatnya dari sana.
"Coba dilihat lagi diksinya dengan benar." Dari balik rak, Kuroko kembali menyahut. "Aku tahu maksud Mayuzumi-kun ingin mengaplikasikan majas personifikasi, tapi… itu gunting kenapa diseret-seret?"
Apa yang salah dengan itu?
Mayuzumi kembali melirik bait kasar yang ia buat diatas kertas, tulisannya acak-acakan ia anggap masih sketsa pembukaan. Sampai dirinya menangkap bukan hanya dia seorang yang ganjal di sini. "Kuroko."
"Ya?"
"Sejak kapan kau memperhatikan hal-hal kecil seperti gunting ketimbang unsur lain dalam puisiku?"
Itu… skakmat, Mayuzumi.
"Entah, ya." Kuroko berkedik, kendati tahu Mayuzumi tidak bisa mengintip aktivitasnya. "Aneh saja, aku jadi merasa ingin buang air."
Kenapa harus buang air?
"Duh." Mayuzumi meremas-remas kertasnya hingga penyet, melempar sembarang arah. "Buntu, ah. Kau sih, komentar yang aneh-aneh."
"Mayuzumi-kun bicara denganku?"
Yang direspon begitu gemas. "Bukan, ge-er. Aku lagi telfon ini—sama Akashi." Setelah bilang begitu, baru Mayuzumi tergerak mengambil ponselnya. Tanpa mengusap lock screen, tanpa menekan nomor, ia tempelkan ke telinga. "Ya, apa tadi, Akashi? Huh? Oh… oke, oke. Nanti? Iya, jadi dong."
Dari balik sana, suara gemuruh terburu-buru buku yang ditutup, banting, dan lempar terdengar bersamaan. Mayuzumi terkekeh, lebih-lebih saat Kuroko tiba-tiba nongol menyelipkan wajahnya di salah satu space jejeran buku rak besar yang jadi penghalang masing-masing meja mereka.
"Bohong." Kalimatnya polos, terlontar bersama pipi yang digembungkan.
Mayuzumi memutar badan, duduk seperti naik kuda-kudaan karena dadanya bersandar pada sandaran kursi. "Ups, sudah kuputus sambungannya." Ditangan kanan ada ponsel, digoyang-goyang usil.
"Bohong, bohong, bohong. Mayuzumi-kun tukang bohong." Kuroko mengulanginya berkali-kali seperti konjungsi dalam satu paragraf.
"Sudah tahu aku bohong kenapa masih penasaran ngintip," Mayuzumi masih menghadap Kuroko, dan kepala Kuroko seperti tersangkut di lapisan rak ogah ditarik keluar. Pipinya ditangkap basah Mayuzumi sedang terbakar bak takoyaki rebus. Rambut serba abu itu menyinggung dengan sungging senyum. "Hm?"
"Ke-keparat!" Kuroko menarik balik kepalanya, menutup semua cela yang tersisa di bagian rak dengan buku-buku lain. Buku apa saja lah yang ia temui di lantai, menyomot dari rak sebelah, atau buku bawaannya sendiri yang ia pakai referensi. Tutup, tutup, tutup. Halang, halang, halang. Blokir, blokir, blokir. Rapi sudah, rak terpadati jajaran buku tanpa Kuroko bisa melihat secuil pun warna abu-abu melambai dibaliknya.
"Huh? Kenapa kau ini?" Mayuzumi puas mengerjai Kuroko, yang bisa ditebak tengah berjalan lemas kembali ke kursinya semula.
"Berisik. Jangan ganggu. Aku tidak mau lihat Mayuzumi-kun lagi."
"Jangan bertsundere, Kuroko. Kita kesini untuk tukar sudut pandang sastra. Jadi, kau sudah selesai dengan teks deskriptifmu?"
"…Sudah." Nah, kan. Buktinya Kuroko masih menyahuti kalimat dia.
"Sekarang bacakan."
Kuroko hendak membuka mulut, tapi waktu bola matanya bergerak lincah mengulum habis setiap deret kalimat yang ia tadi tulis sendiri, anak itu kicep.
Benar tadi ia yang tulis ini?
Dia menulis hal seperti ini? Melamun atau bagaimana?
Mayuzumi keburu khawatir reaksi nol yang diberikan Kuroko itu tanda kalau dia beneran ngambek. Jadi dengan langkah mengendap-endap, Mayuzumi berhasil sampai di punggung si aqua. Menungging sedikit sampai leher Kuroko ia sambit nafas.
"Kok diam?"
Kuroko berjengit, pundaknya tertarik keatas, telak sampai terantuk dagu Mayuzumi. "Jangan lihat!"
"Aduh… kenapa sih, kau ini." Dia elus-elus dagu licinnya, memandang heran ke Kuroko yang sekarang malah duduk di atas meja, mengeram si laptop sampai keringetan.
"Belum selesai, ternyata. Jelek, jelek. Butuh banyak revisi ulang."
"Tidak apa-apa, aku bisa bantu merevisi dan tambah masukan." Mayuzumi mempersempit jarak. "Sini biar aku lihat dulu."
Kuroko menggeleng kuat-kuat. Semakin mengesot mundur diatas meja kayu. "Aku baru terbersit ide lain, jadi biar aku ganti dulu. Habis itu Mayuzumi-kun boleh bantu."
"Kuroko, jangan naik-naik meja. Nanti patah, turun." Tapi kenapa sekarang Mayuzumi ikut-ikutan menapak permukaan meja. "Sini, aku cuma mau lihat sebentar."
"Tidak mau, Mayuzumi-kun."
"Aku tidak akan komentar aneh-aneh."
"Jangan paksa aku—uaah!"
Meja itu bentuknya persegi panjang kan? Jarak antara kanan dan kiri, depan dan belakang, atas dan bawah, itu sama. Jadi kalau kalian sudah meraup habis sisi satunya, jangan harap sebuah persegi panjang akan beranak pinak menambah beberapa senti untuk sisi lainnya.
Ironisnya, Kuroko kehabisan senti diujung persegi panjang. Sekarang ia diambang kejatuhan—kepalanya terombang-ambing tanpa topangan meja. Tangannya mencengkram laptop kuat-kuat, dia angkat diatas kepala sementara badannya telentang menyerah. Darahnya meluncur ke kepala semua, karena ujung meja hanya mampu menampung bagian punggung ke bawah. Dan Mayuzumi Chihiro sebagai pilarnya, berjongkok diatas persis kepala pelayan.
"Aku dapat." Dengan mudah, Mayuzumi menyambit laptop Kuroko.
"Mayu—uhuk—uff." Kuroko mual sendiri, jarang diuji nyali naik roller coaster membuatnya sudah seperti mayat hidup walau sekedar kepala dituang kebawah.
"Sekarang, kita lihat isinya." Begitu antusias, begitu penasaran. "Apa yang membuatmu bersikukuh kalau teks deskriptif karanganmu sendiri itu jelek?"
Mayuzumi mengerling pada setiap kalimat yang diketik rapi dengan font kekecilan. Lamat-lamat menghayati sambil bersuara. "Dia seperti kantong polkadot kecil dibalik ratusan koper bagasi. Unik dan eksentrik, tapi susah dicari." Berhenti sebentar. "Ini bagus, lho Kuroko. Mananya yang jelek?"
Kuroko sepertinya sudah tewas. Tapi Mayuzumi belum mau membuang tenaganya untuk membopong anak itu ke rumah sakit dulu, ia masih penasaran lanjutannya. "Kau mengenalnya persis seperti aku mengenalnya, dia sudah menganggap kita seperti anak ayam kembar yang kemana-mana bergandeng tangan."
Agaknya Mayuzumi heran, kenapa Kuroko menggunakan tiga subjek dengan satu sudut pandang dalam teks deskriptif berbau roman? Apa endingnya akan cinta segitiga?
"Oh, kreatif." Mayuzumi memahami ekspetasinya sendiri. "Kreatif sekali."
Ia melanjutkan. "Dia rakus, serigala berbulu domba pun kalah dengan kharismanya seorang. Dia punya taring tajam digunakan untuk membabat—ku. Dia juga punya cakar besar digunakan untuk mencabik—mu. Kita terkurung bersama, bersama pesonanya."
A-apa?
Mayuzumi melirik Kuroko lagi. Anak itu tak berkutik. Padahal dia baru mau bertanya. "Kuroko, ini benar kamu yang buat?"
Oke, oke. Nanti saja. Sekarang lanjut dulu. "Dia kuapresiasi, engkau pun begitu. Dia kudamba, engkau pun begitu. Dia kusayang, engkau pun begitu. Kenapa kita tidak saling memakan saja?"
Ada sesuatu yang mengena. Entah apa.
"Tidak jadi, kita tidak saling makan. Dia sudah datang. Memisahkan kita seperti menggunting dua bulu anak ayam yang saling menempel."
Mayuzumi gondok di kalimat itu. "Hei, Kuroko." Dan mulai tidak peduli kondisi mengenaskan manusia macam apa yang dijadikannya alas duduk. Dia guncang-guncang tubuh Kuroko, mengantar balik kepalanya menuruti hukum gravitasi. "Kalau tidak salah… kau bilang sesuatu tentang gunting tadi?"
Kuroko masih kedip-kedip, badannya yang sudah terduduk diatas meja bergoyang-goyang rawan terguling. Mayuzumi masih menunggu, sesekali menempelkan jarinya dibawah lubang hidung Kuroko—memastikan nafasnya eksis.
"Huh? Mayuzumi-kun bilang apa tadi?"
"Gunting." To the point. "Kau bilang itu unsur kata yang aneh, tapi kenapa kau pakai?"
"…Apa yang salah dengan itu?"
Kallimat barusan, rasanya tidak asing. Seperti baru saja beberapa saat lalu terkecap di lidahnya.
"Oke, aku menyerah." Seperti dua orang konyol yang sejak tadi tanpa terasa melakukan interaksi di atas meja, kali ini Mayuzumi angkat tangan. "Serius, Kuroko. Kita harus keluar dari zona 'gunting-menggunting', tapi sepertinya susah ya."
Kuroko menggeleng. Memangku balik laptopnya. "Pakai saja. Siapa tahu 'gunting' bisa jadi inovasi hebat dalam sastra."
"Kita pakai." Deal. Mereka saling berjabat. Peresmian penemuan besar sudah di genggaman tangan. Nampak siap dipasang gelar profesor. Keduanya kembali menunggangi tempat masing-masing, tatap punggung dihalangi sebuah rak besar. Sampai penat, sampai larut petang, habis-habisan mengerjakan tugas.
.
.
.
.
.
OMAKE
"Aku lewat sini, kau lewat sana." Kuroko mengangguk saja, menurut. Keduanya keluar dari ruang guru melalui akses pintu yang berbeda sesuai petuah Mayuzumi.
"Tetsuya!" di belokan koridor, radius empat kelas, suara itu berhasil menyapa gendang telinganya. Kuroko berjengit, pegangan pada print out salinan teks di tangkupan tangan mengerat. Akashi kemari, Akashi kemari.
"Kudengar katanya karya teks buatanmu akan dipajang di mading sekolah." Mata hetero Akashi mendeteksi kertas-kertas di hadapannya itu ibarat sasaran empuk. "Ini, ya? Boleh aku lihat?"
"Ini—" tanpa pikir dua kali, sebelum tangan Akashi terlanjur mengait, Kuroko sobek-sobek tumpukan kertas tak berdosa jadi potongan sampah. "—formulir ekstrakulikuler yang kutolak."
"Oh." Sayang sekali.
"Sampai nanti, Akashi-kun." Jalannya bisa dibilang terburu-buru. Tertahan-tahan, persis penguin mengeram.
"Hm… oh, Chihiro!" Sementara si penguin satunya baru keluar dari bilik lain ruang guru, Akashi berlari menghampiri. "Karya puisimu akan dipajang di mading sekolah juga, kan?" menunjuk-nunjuk lampiran kertas di tangan Mayuzumi. "Pasti ini, ya? Boleh lihat?"
Bunyi sreeeekk panjang. Beda dengan Kuroko yang srek srek srek. Kertas putih Mayuzumi langsung terbelah dua—dengan wajah datar berkanopi abu-abu ditengahnya. "Bukan. Ini formulir rekomendasi universitas yang kutolak. Sudah dulu, ya."
"…Oh." Sayang seribu sayang.
Akashi berdiri di antara dua bilik pintu ruang guru dalam satu koridor. Membuka masing-masing kepalan tangannya. Tanpa Kuroko tahu, tanpa Mayuzumi sadari, sobekan-sobekan—yang katanya—formulir mereka tertangkap masing-masing secuil kertas. Seperti catatan kaki, karena ini ditulis pakai pensil, Akashi berasumsi isi di dalamnya bukan bagian dari teks.
"Akh, butuh inspirasi." Punya Mayuzumi.
"Sesok Jumat harus selesai." Punya Kuroko.
Diikuti alis terangkat naik. "Ini… apa maksudnya, ya?"
Pangeran pujangga meraba saku, mengambil ponsel. Menyambungkan dengan salah satu kontak privasi. "Halo, Papah?" intonasi yang dipakai lugas—kalau tidak mau dibilang… sedikit manja.
"Aku butuh pemecah kode profesional, se-ka-rang."
Ah, untunglah Akashi Seijuurou itu buta sastra—setidaknya sastra roman.
.
.
.
OMAKE (lagi)
Karena lelah berjalan peguin, Kuroko bersandar pada dinding terdekat. Melenguh barang sekejap.
"Kuroko! Kuroko! Kuroko!" sayangnya, ia bersandar pada dinding kelas yang salah. Hayama Koutarou muncul dihadapannya dengan dua kertas yang digoyang-goyangkan genggaman tangan kanan. "Aku punya tiket diskon taman bermain. Kau belum pernah naik roller coaster, kan? Ayo naik denganku!"
Kuroko masih berpegangan pada permukaan dinding. Mengerling pada ekspresi berapi-api Hayama. "Tidak, terimakasih. Aku sudah pernah naik."
"Hah? Kapan? Kau tidak pernah cerita."
"Kemarin. Sama Mayuzumi-kun." Hayama sampai perlu berkedip melihat penampakan senyum misterius seorang Kuroko Tetsuya.
fin
tolong tarik saya, bikin romance itu ternyata susah; hampir tertelan kegaringan. butuh dibawa meditasi kali, ya. tapi thanks sudah mampir baca:)
mor.
