Disclaimer: All characters belong to Tite Kubo. But this story purely mine. I don't take any material profit from this work. It's just because I love it.
Warning: headcanon, poetic, miss-typos, kinda rush, and other stuffs.
.
the black sun and his white moon
.
Ichigo lupa rasanya menjadi yakin. Di dalam dirinya, ia tautkan hal-hal penuh logika di atas keyakinan. Keyakinan akan hati dan hal-hal yang menaut perasaan. Keyakinan akan hidup dan pilihannya yang terempas arus.
Hidup tak membiarkannya memilih, lagi pula. Maka ia menjalaninya tanpa pamrih. Tanpa umpat-umpatnya yang seringnya melesak ingin keluar dari balik indera pengecap. Terkadang, ia merasa begitu berdosa. Ia menyentuh pigmen wanita lain dan menaut desah di antara malam-malam larut. Mencipta rasa yang Ichigo tak tahu apa namanya. Ia lakukan dan lupa kapan ia memulai semua ini. Hanya, selalu terpikirkan, selalu dan selalu, bahwa ia ingin mengakhiri semua ini.
Tapi hidup telah membawanya kepada kata telanjur. Sudah. Hidupnya yang tak tertaut arah sudah berjalan mengikuti alirannya. Ia terlalu lama menoleh, hingga rasanya lupa ada kehidupan di depan matanya. Ada matahari, ada bintang-bintang. Ia lupa senyum-senyum yang harus ia uar ketika lelaki kecil berhambur pada pelukannya. Ia lupa kata-kata romantis ketika malam menjalar dan meminta desah napas yang lebih dari biasa. Ia lupa cara menghidupkan hidup. Menjadi lelaki yang berkeyakinan tanpa semu-semu belaka. Ia terlalu lama menatap ke belakang.
Terima kasih karena pernah ... menjadi memori.
Ichigo mengulang monolognya, setiap tahun, setiap malam, setiap yang ia ingat bahwa ada hidup yang lebih indah dari ini. Ada bayang yang kemudian pergi, muncul lagi, seperti kabut yang menutupi pandang-pandang di depan. Ia ingat hidup matinya, mungkin kesulitan itu sudah berakhir. Di mana Kurosaki Ichigo menjadi pahlawan di dua dunia. Ia hampir melupakannya, hampir terlena akan dunia nyata yang memang, nyatanya, punya lebih banyak janji akan kehidupan.
Naifnya ia. Naif karena kemudian menjadi manusia tanpa kekuatan membuatnya merasa bebas. Terlepas akan tugas-tugas tak masuk akal yang mungkin di luar nalar. Namun, tidak. Ia lebih naif dari itu. Karena kemudian Ichigo masih selalu menginginkan masa-masa itu kembali. Mungkin sekadar bernostalgia. Mungkin ingin merepetisi hal yang sudah pergi. Mungkin. Mungkin untuk bertemu kembali. Dengannya. Dengannya yang dulu selalu ada. Selalu menghidupkan hidup dan membentuk memori akan yakin-yakin yang tak pernah lagi Ichigo dapati.
Ichigo memejam mata. Mencari-cari bayangan yang diburam kabut-kabut. Yang terkadang htam. Terkadang begitu berwarna. Yang selalu adalah, ia melihat senyum. Senyum lebar dan pekik familier yang mampir di kedua telinganya.
"Ichigo, Ichigo, Ichigo." Begitu. Dan terkadang berubah. "Tawake."
Begitu saja. Ichigo tersenyum. Ichigo menoleh lagi, dan mengharap masih menemukan bayangnya di sana. Meski nihil. Meski tak ada lagi yang mampu ia tatap dari udara kosong di belakang sana.
Kalau sudah begini. Ichigo akan berpaling dari tatapnya. Berada di antara. Tidak pada tatapan di depan, atau di belakang. Ia menyimpan ruang itu untuk dirinya sendiri. Untuk lontar-lontar kata yang menggunung meminta permukaan. Untuk menggumamkannya. Menyebutnya tanpa rasa penyesalan atau bersalah.
Rukia. Rukia. Rukia.
Seperti itu. Seperti itu Ichigo menanam namanya.
.
Kau bulan putih yang terlampau terang
Terlampau kuat
Terlampau membutakan mata
Aku matahari yang sinarnya menghitam
Karena terlalu lama
Tenggelam dalam malam
Dan tersesat
Dalam lubang hitam berbentuk matamu
.
-14 Januari
hari yang sama, perasaan yang tak pernah berubah
( Selamat ulang tahun, Rukia. )
.
.
(end.)
