Warning: Pairing NetherlandsXIndonesia. Jika ini bukan pairing yang anda suka atau setujui, saya sarankan tutup cerita ini daripada waktu anda terbuang. Rating hanya untuk 15 tahun atau lebih. Dikarenakan detail yang agak vulgar. Anda dibawah 15 tahun? Tolong klik tombol close tab atau tombol back. Terimakasih. Anda 15 tahun atau lebih? Silakan nikmati cerita ini :)
Disclaimer: Hetalia merupakan milik Himaruya Hidekazu. Serius, kalimat ini penting?
Please enjoy in cheerful way.
.
.
.
.
Ada secarik perkamen lusuh yang menguning dan nyaris robek jadi serpihan di dalam amplop putih bersih yang sampai pagi itu. 16 Agustus. Si pengirim seperti tahu, telat sehari saja, surat itu akan ditahan di kantor pos karena tanggal merah esok hari.
Dia membacanya perlahan, karena tulisan tangan di bagian peruntukan di muka amplop sudah cukup mengaduk perasaannya. Dia terlalu hafal tulisan tangan di lembaran perkamen yang lebih dari selembar itu. Karena tulisan tangan itulah yang mengajarinya apa itu menulis dan membaca.
..
Udaranya tidak dingin, tapi juga tidak panas
Sejuk.
Seperti selimut yang terpakai saat malam hujan.
Dipakai gerah, dilepas dingin.
Pasirnya lembut kecil-kecil.
Bandel nyelusup masuk ke sepatuku.
Tunggu, aku berubah pikiran soal cuaca tadi.
Panasnya kayak definisi neraka.
Hei matahari, kenapa kamu marah-marah?
Bikin kulitku merah saja!
.
Ribut.
Kicau burung dan entah hewan apa itu.
Dicampur pula omongan manusia, yang entah berkata apa.
Mana sih dia?
Setidaknya kupikir aku bisa langsung bertemu si kepulauan.
Sungguh, cuaca terik, bahasa yang tak kumengerti, Portugis, bikinku tak tahan.
Sungguh, lekukan gunung yang landai, merah mudanya pasir, wanginya bunga, bikinku tak sabar,
untuk bertemu sosoknya.
.
Siang dia cerah ceria penuh warna warni bunga, tumbuhan, dan budaya.
Kala malam datang, gulita.
Tapi kelap kelip obor dan kunang-kunangnya seperti merayu malu-malu.
Berbahaya, penuh misteri, tapi menggoda.
Ck.
Butuh konsentrasi penuh untukku mengingat tujuanku jauh-jauh ke ujung bumi ini.
Duh sumber uangku, dimana kamu?
Apa kamu terperosok di lembah nan eksotis?
Ah, rasanya tak mungkin, itu kan lekuk tubuhmu sendiri.
Apa kamu dikurung Portugis?
Kalau iya, teriaklah. Biar kutolong kamu masuk ke kapalku.
.
Suaramu kencang sekali.
Aku belum setua itu untuk tuli. Bicaralah dengan nada rendah dan pelan-pelan.
Aku belum terlalu mengerti bahasamu!
Lagipula, apa itu 'asu'? Kenapa kamu memanggilku begitu?
Dari tawa Portugis, aku yakin itu bukan kata pujian.
.
Sialan kamu dan panggilanmu itu.
Berani sekali ya kamu.
Berhenti memanggilku begitu!
Apalagi dengan bibir mungilmu yang merah jambu.
.
Tenagamu kayak kuda.
Batu itu kau lempar telak ke dahiku? Bagus...
Bertolak sekali dengan tubuh kecilmu,
Yang liukannya mulai terlihat walau ada beberapa bulu sudah muncul, tapi kupikir itu tak menggangu.
Yah, dadamu saja belum tumbuh.
Makanya, jangan mandi di sungai tengah hari bolong, aku jadi hafal detail sampai ke bekas lukamu, tahu?
Sial, kuharap darah dihidungku cepat berhenti.
Yah, tak perlu buru-buru.
Aku berhasil menendang si Portu.
Sepertinya aku akan punya banyak waktu disini denganmu.
Bagaimana kalau kutunggu kamu ranum?
Apa saat itu kamu mau jadi istriku?
..
Ada suara kertas robek—tak sengaja—saat dia berusaha memasukkan perkamen itu kembali ke amplop, disusul langkah kaki ringan dan nada tunggu telepon. Hanya beberapa saat, nada tunggu itu diputus yang empunya dengan kata "Halo?"
"Londo, kau pedofil."
Walau dari pesawat telepon, wanita itu bisa merasakan tawa kecil tanpa suara dari pria yang dihubunginya.
"Kau buang-buang rupiahmu, menelepon dari Indonesia ke Belanda, cuma untuk mengataiku?"
"Iya. Memang—"
"Maaf sebentar." Tak suka dia disela begini. "Iya aku keluar sekarang."
Tapi ucapan lawan bicaranya yang dalam bahasa Belanda—dan jelas ditunjukkan untuk orang lain di seberang sana, membuatnya mengerenyit bertanya-tanya.
"Kau mau pergi?"
"Iya. Kesana."
"Kesana? Kesini?
"He eh. Kesitu."
"Ngapain?"
"Mau ngucapin 'Selamat Ulang Tahun' secara langsung."
Sekarang dia yang tertawa.
"Kau buang-buang euro mu, naik pesawat belasan jam, cuma untuk menyelamatiku? Rasanya mustahil."
"Apa sih yang mustahil buat calon istriku?"
Semu merah itu tak bisa ditahan.
"Rasanya aku tidak pernah mengiyakan apapun."
Tawa lagi dari seberang sana. Kali ini dengan nada meledek.
"Aku ini laki-laki yang pernah kau ompoli. Tak perlu kau tunjukkan malu-malu kucingmu itu. Kau mau kuterkam di bandara?"
Dia kalah. Jelas sekali.
"Pedo, dasar ketularan Prancis. Udah cepet berangkat, hati-hati."
"Iya."
Ada senyum lebar disitu. Tapi sambungan itu diputus keduanya.
Membuat si wanita mulai berlinang air mata yang sudah kehilangan makna dan si lelaki bermuka kecut, tak sabar ingin bertemu, merengkuh dan berkata,
"Selamat atas kemerdekaanmu 68 tahun lalu."
Dengan senyum dan ketulusan hati.
.
.
.
Notes:
Hullo~
Ini sebenernya adalah ketikan iseng saya saat mudik ke kampung orang. Perjalanan selama lebih dari 20 jam melewati alam Indonesia membuat saya berandai-andai, 'bagaimana ya perasaan si rambut tulip saat pertama kali melihat 'fisik' Indonesia?' Dan jadilah ramblingan ini. Maaf kalau kurang sempurna, caci maki lewat review saya terima dengan ikhlas dan tulus hati :D
dan,
Indonesia, selamat atas umur kemerdekaan yang sudah menginjak angka 68! Semoga kita bisa kembali bangkit menjadi bangsa yang besar dan mampu mengalahkan kelemahan diri kita sendiri. Saya cinta kamu, negaraku.
Indonesia mampu! Indonesia bangkit!
Salam merdeka,
Sakurazaka Ohime
Log: Wed, 21 Aug 2013. 08.50 am
