.

.

Spica Zoe

Present

AKKG Fiction

.

Disclaimer

Chara : Kadokawa Games

Story : Spica Zoe

.

"Dengar. Miliki aku sepuasmu. Tubuhku, nafsuku, napasku, perasaanku, jiwaku, semuanya. Tapi dengan satu syarat. Hembuskan sedesah kebahagianmu padaku setiap kita bercumbu."

.

Akagi - Kaga

.


.

Jejak-jejak itu masih ada. Keindahan ingatan yang masih menempel di dalam kepalanya. Berputar, terulang, begitu seterusnya. Pagi membuatnya lebih banyak diam, siang membuatnya terkenang, dan malam membuatnya berharap 'Kapan ini akan terulang'. Sebuah kenikmatan yang membuatnya terikat pada hal-hal apa saja tentang 'dia'.

Gadis yang dicintainya.

"Detakan jantungmu. Hembusan napasmu. Tatapan matamu. Sentuhan tanganmu. Jangan paksa aku untuk melupakannya."

Ucapan tak tahu malu yang pernah ia ucapkan. Mengenang kembali membuat pipinya memerah malu. Kenapa, sekarang ia seakan menyesali seberapa terpesonanya ia pada gadis itu di saat mereka melakukannya. Disaat kecupan demi kecupan itu mendarat disetiap kulitnya. Membasahi sempurna setiap sisi yang tandus bagaikan asanya.

"Kau bisa memiliki semuanya jika kau mau."

Ia tak akan pernah bisa lupa ucapan itu. Bagai sebuah nada yang membelenggu kebahagiannya. Bergema, merasuk bagian tersembunyi dalam perasaannya. Mengajaknya menari, berdendang dan riang.

"Dengar. Miliki aku sepuasmu. Tubuhku, nafsuku, napasku, perasaanku, jiwaku, semuanya. Tapi dengan satu syarat. Hembuskan sedesah kebahagianmu padaku setiap kita bercumbu."

.

Akagi, seorang wanita tiga puluh dua tahun. Yang sedang jatuh cinta.


Batasan

.

"Kaga, dua puluh dua tahun. Mohon bimbingannya."

Setelah mengangkat kepalanya. Kaga mendengar beberapa tepukan tangan yang teruntuknya. Beberapa orang, tersenyum menyambut kehadirannya. Mulai hari ini, ia akan menjadi bagian dari divisi ini.

Sambutan yang ia inginkan.

"Selamat bergabung Kaga-san. Semoga kau menyukai tempat ini."

Sambutan hangat dari seorang di antara mereka. Pria mapan yang Kaga kenal sebagai orang yang mewawancarainya sebelum bergabung dalam divisi yang ia tempati sekarang.

"Kemarilah. Ini mejamu."

Kaga mengangguk santun sebelum ikut melangkah dalam irama langkah pria itu. Beberapa orang yang tersisa, masih memberinya senyuman hangat yang ia balas lembut dari dalam hatinya.

"Kau akan menggantikan posisi seseorang. Maka dari itu, dia juga yang akan mengajarimu nanti. Tunggulah di sini sampai ia datang." Pria itu mempersilakan Kaga duduk dengan senyumannya. "Tapi tumben sekali ya dia terlambat. Biasanya tidak pernah seperti ini, bukankah begitu Musashi-san?" lanjutnya dengan pandangan teralih ke seorang wanita yang tampak cantik di ujung ruangan itu. Duduk di meja kerjanya. Dan balas memandang pria itu dan Kaga bergantian.

"Paling sebentar lagi."

Dan bersamaan dengan ucapannya, seluruh pandangan teralih bersamaan pada kehadiran seorang wanita di dalam ruang divisi itu. "Selamat pagi." Bisiknya lemah tanpa memandang. Aura wajah yang terlihat muram dan datar. Ia memang biasa terlihat seperti itu. Tapi untuk kali ini terlihat berbeda.

"Shoukaku-san. Orang yang akan menggantikan posisimu telah direkrut mulai pagi ini." ucap pria itu, dan tanpa perintah Kaga langsung bangkit berdiri. Menundukkan badanya penuh hormat pada seorang wanita yang kini sudah berdiri di hadapannya. Dengan pandangan kelam namun tersenyum.

"Kaga, dua puluh dua tahun. Mohon bimbingannya." Ulangnya memperkenalkan diri.

"Shoukaku-san. Salam kenal, Kaga-san. Seperti yang sudah pria ini sampaikan." Shoukaku melangkah kecil untuk menyimpan tas jinjingnya di tempat biasa seperti yang ia lakukan di hari-hari sebelumnya. Sambil masih mengajak Kaga berbicara. "Kau yang akan menggantikan posisiku di ruangan ini."

Kaga mengangguk mengerti. Di dapatinya pria itu pun sudah tak lagi ada di antara mereka. Meninggalkan ia dan wanita cantik ini berdua. Kaga mengangguk sekali lagi mendengar instruksi-instruksi yang Sahoukaku jabarkan. Wanita cantik dengan aura yang cukup lain dari beberapa wanita yang Kaga lihat dalam ruangan itu. Ruangan yang tidak terlalu besar, dengan beberapa meja kerja dan orang-orangnya. Menurut penjelasan wanita berambut putih perak ini, ini adalah ruangan khusus administrasi dari sub divisi bagian. Kaga mencuri pandang meja yang cukup asing dari yang lain tepat di ujung ruangan. Tidak usah diberitahu, Kaga tahu itu pasti meja pimpinannya.

"Disini berbeda. Itu adalah meja kerja direkturnya. Direktur divisi kita." Seakan telah mengerti kenapa Kaga memandang ke arah sana. Maka Shoukaku pun tak terlihat pelit untuk berbagi informasi. Cepat atau lambat, semua akan Kaga ketahui 'kan?

Kini aura wajah Shoukaku sedikit lebih cerah dari pada saat pertama Kaga melihatnya tampil di hadapannya. Ditariknya kursi kosong disisinya, dan mempersilahkan Kaga pun duduk bersamanya.

"Jangan terlalu cemas. Kita sama-sama belajar di sini. Aku hanya diberi waktu satu hari ini saja untuk mengajarimu. Selebihnya semua orang di sini akan menjadi gurumu." Senyumnya ramah. Kaga hanya berperan menjadi pendengar yang baik selama ia masih mengerti akan ucapan sang seniornya.

Sesekali memperhatikan satu persatu orang-orang di ruangan ini yang sekedar menyapa Shoukaku ataupun juga memberikan senyum perkenalan padanya.

"Dia Musashi-san. Bendahara divisi. Wanita yang terkenal paling seksi di divisi kita. Semua orang memuja keindahan tubuhnya." Shoukaku mengakhiri kalimatnya dengan sebuah senyuman yang dibalas Kaga dengan senyuman yang sama. Lalu diedarkannya pandangnya ke tempat lain. Mendapati seorang gadis yang juga terlihat cantik dengan caranya. "Kitakami-san. Dia mengurusi bagian pembukuan. Surat-surat permintaan dan lainnya. Nanti jika sudah terbiasa, kau akan paham sendiri." Shoukaku melihat lambaian hangat dari seorang yang namanya ia sebutkan untuknya.

"Dan kau sendiri. Mengurusi bagian administrasi persediaan. Tugasmu cukup berat. Untuk itu jika ada yang tidak kau mengerti, bijaksanalah untuk bertanya."

Kaga mengangguk paham. Hari pertamanya berkerja setelah lulus dari sekolah tingginya. Ini adalah hal yang patut disyukurinya. Mendapati rekan-rekan kerjanya yang juga terlihat cukup bersahabat untuknya.

"Ini adalah perusahaan besar. Kita dikepalai seorang direktur divisi. Juga manager-manager bagian untuk mempersempit ruang lingkup pekerjaan agar kita bisa fokus menjalankan tugas. Jika kau penasaran dengan direktur utama kita. Jujur saja, aku sendiripun tak pernah melihatnya meski aku sudah berkerja bertahun-tahun disini." Ucap Shoukaku, sambil mengeluarkan beberapa buku dan peralatan tulisnya. Memberikan pada Kaga beberapa dan mulai mengajarinya. Belajar mengenal informasi-informasi umum yang nantinya akan sering Kaga hadapi di sana.

"Bertemu dengannya pun tak penting. Toh, kita tidak akan pernah berurusan dengannya. Cukup bertanggung jawab pada direktur divisimu saja. Itu pun sudah cukup."

Kaga mengangguk paham. Informasi yang akan ia tekankan dalam siplinnya.

Berkerja diusia muda, adalah impian Kaga. Meski menjadi seorang yatim piatu sejak remaja bukanlah keinginannya. Jadi, ia sadar seberapa pentingnya menjadi mandiri dan berusaha keras di saat muda. Kaga adalah gadis yang memiliki kompeten, itulah yang orang-orang katakan jika sudah mengenalnya. Sejak sekolah ia sudah belajar berkerja paruh waktu untuk membantu mencukupi kebutuhannya meski ia sudah diangkat menjadi anak dari sebuah keluarga yang cukup mapan sejak beberapa tahun lalu. Setahun sejak kedua orang tuanya meninggal dunia.

"Semoga berhasil, Kaga-san." pesan ibunya sesaat ia melangkah keluar rumah untuk berangkat bekerja dihari pertamanya. Kaga tersenyum hangat mendekap ibunya, dan mengecup pipinya penuh kasih. Kaga menyayangi wanita itu sudah sama sebagaimana ia menyayangi ibu kandungnya sendiri. Wanita yang terlalu baik hati membesarkannya penuh cinta hingga Kaga merasa tidak kekurangan apapun meski ia tak lagi berpunya orang tua.

"Doakan aku 'bu." Bisiknya meminta doa. Dan sebagai balasan, Kaga hanya mendapati sang ibu mengusap puncak kepalanya dengan senyuman.

.

.

Tak terasa sudah berapa lama waktu yang Kaga lewati di sana. Mendengar ucapan Shoukaku membuatnya lupa diri akan waktu. Shoukaku ternyata pribadi yang ramah. Pandai mengajarinya untuk melakukan ini itu dalam perkerjaan pertama yang baru dihadapinya. Merasa bersyukur jika Shoukaku lah yang menjadi instrukturnya. Tapi jika besok Shoukaku sudah pergi, rasanya ia jadi tidak rela.

Kaga mengikuti langkah seniornya itu untuk menuju sebuah ruangan di lantai atas perusahaan. Sebuah ruang makan, yang Kaga kenal sebagai kantin. Jam makan siang sudah hampir lewat ternyata. Kaga bahkan tak lagi merasa lapar saat ini.

"Kau mau makan apa Kaga-san?" Shoukaku meleburkan pandangannya ke rentetan hidangan yang tersedia. "Ambil saja." Lanjutnya membuat Kaga mengangguk paham.

Setelah hidangan sudah mereka dapatkan. Kaga pun masih tetap mengikuti langkah Shoukaku untuk menuju sebuah tempat. Mencari sebuah meja yang tampaknya tak ada yang tersisa. Keadaan tempat masih terlalu ramai. Meski jam makan siang harusnya akan segera berakhir. Untung, Shoukaku melihat lambaian seseorang yang memanggilnya untuk bergabung bersama. Dan Shoukaku pun mengajak Kaga bersama.

"Jadi ini anak baru di divisi kita ya?" seorang wanita dengan air muka cukup cerah membuka suara. Kaga ingat, wanita ini yang tadi melambai pada mereka. Kaga tersenyum menghargai. Disaat seperti ini, jiwa sosialisasi adalah kebutuhan yang mutlak.

"Terlihat keren ya?" sambung seorang lagi. Seorang wanita berambut terang. Cantik. Apa semua wanita di divisi tempatnya adalah mantan model?

"Kaga, dua puluh dua tahun." Kaga mengulang lagi kalimat perkenalannya. Membuat Shoukaku tersenyum jika harus mendengarnya untuk kedua kalinya.

"Wah, masih muda! Tidak terlalu tua dariku lah. Aku kan masih tujuh belas tahun." Respon Koungo. Si wanita ceria, membuat semua yang ada di meja itu tertawa. Kaga juga, meski hanya senyum sederhana.

"Aku Kongou. Tentang umur, kau cari tahu saja sendiri." Koungo menjulurkan tangannya berkenalan, dan disambut Kaga dengan sopan. "Mohon bimbingannya, Senpai.' Ucapnya mantap.

"Aku Atago. Belum menikah." Serunya-si wanita berambut terang, yang membuat beberapa orang lain menyorakinya malas.

Ruang lingkup keakraban yang bertolak belakang dari kepribadian Kaga, tapi entah kenapa ia merasa baik-baik saja dengan suasana ribut seperti ini. Mungkin karena mereka adalah orang-orang baik.

"Ohya, Shoukaku-san. Hari ini bukannya Akagi-san belum masuk juga? Siapa yang akan menyetujui pemindahanmu?"

Kaga menoleh pada si wanita di sebelah Shoukaku. Gadis berambut gelap panjang. Tetap saja, cantik. Membuat Shoukaku mengunyah makanannya lebih cepat untuk membalas pertanyaannya.

"Besok masih bisa 'kan?" balasnya singkat.

"Aku dengar, besok pun dia masih cuti." Lanjut Atago menimpali.

"Memangnya dia cuti untuk apa? Sudah empat hari dia tidak datang. Cuti melahirkan?" celoteh Kongou sambil memangku dagunya malas. Membuat beberapa menanggapi seadanya.

"Aku dengar dia mau menikah. Kalian tidak tahu?" Mutsu, memberi suara. Meski sejak tadi ia hanya diam.

"Masih rumor. Kalian tahu sendiri. Wanita itu terlalu tertutup. Si keras kepala, si ratu es." Kongou masih ikut menimpali. Terlihat cuek dan malas jika membicarakan orang itu.

Kaga hanya diam sambil mencuri dengar. Sepertinya pun tak apa mendengar mereka bercerita jika mereka pun tak terlalu merasa terusik akan kehadirannya di sana.

"Ohya benar. Kaga-san, kau harus dengar baik-baik. Jangan membuat kesalahan pada orang satu ini. Kau mengerti?" Tapi sekarang Kongou terlihat sangat bersemangat memberi Kaga sebuah petuah. Seperti seorang nenek pada cucunya. Membuat Kaga menatapnya serius. Ini informasi baru yang harus dijadikannya pedoman. Mungkin.

"Namanya Akagi. Dia manager yang mengepalai pekerjaanmu. Jangan pernah membuat kesalahan sekecil apapun dan diketahui olehnya. Sudah banyak orang yang menangis karena sikapnya."

Kaga mengalihkan pandangannya pada Shoukaku, mungkin jika seniornya itu mengonfirmasi kebenarannya, baru ia akan berjaga-jaga. Melihat Kaga yang memandang Shoukaku, membuat Kongou seakan tahu keadaannya.

"Kau belum memberitahukan informasi ini padanya, Shoukaku-san?" tanyanya berlebihan.

"Jangan menakut-nakutin anak baru Kongou-san." ucapnya mengakhiri makanannya. Sedang Kaga sudah selesai sejak tadi.

"Bukan menakuti, tapi ada baiknya Kaga-san tahu keadaan lebih dulu." Atago menimpali.

Membuat Shoukaku menghembuskan napas malas. Dipandangnya Kaga dengan tatapan serius.

"Akagi salah satu manager paling sulit dihadapi di divisi ini. Atau bahkan seluruh divisi di perusahaan ini. Aku dengar dia menolak penawaran naik jabatan, menjadi direktur di divisi sebelah. Untuk jaga-jaga, kau harus berhati-hati Kaga-san."

.

.

"Dia paling benci sebuah kesalahan."

Kaga mengelah napasnya penat. Hari pertama yang melelahkan. Tapi ini akan menjadi awal baik untuknya. Meski baru satu hari, ia sudah cukup mengerti beberapa hal dari bagian-bagian tugasnya. Melelahkan. Satu bagian yang terdengar cukup indah dalam hatinya. Akhirnya, ia memiliki lelah yang menguntungkannya.

Kaga menunduk hormat pada beberapa orang di ruangan itu sebelum kembali pulang. Kitakami tersenyum ramah, juga Kongou yang ternyata memiliki meja kerja tepat di sebelahnya. Kaga tak memperhatikannya sejak tadi.

"Terimakasih atas kerja kerasnya Kaga-san!" lambainya ceria. Dan Kaga hanya memberi senyum untuknya.

.

Ribuan puji syukur Kaga panjatkan dalam hati. Hari pertama berkerja membuatnya merasa nyaman. Ini menyenangkan. Tidak ada intimidasi yang ia rasa membuat kenyamanannya berkurang. Seakan tak sabar menyambut hari esok di tempat ini juga.

Kaga melewati koridor cukup sepi sepanjang langkah kakinya. Perusahaan ini memang besar. Shoukaku tak berbohong. Besar dan sepi. Tapi tidak, rasanya mungkin di setiap ruangan, ada kehidupan-kehidupan lain di perusahaan ini, seperti di ruangannya. Juga ruang kantin yang begitu sesak, selalu ada seyuman dan tawa kehidupan menguar. Mungkin hanya koridornya saja yang terkesan sepi. Sampai tanpa sadar langkah kaki Kaga terhenti di sebuah ruang tak berpintu. Hanya tertutup tirai tebal sebagai penutupnya. Ruangan yang cukup besar jika di lihat dari luar. Entah mengapa, Kaga merasakan ada suara bising di dalam sana. Sepi itu terusik. Dan tanpa sadar, Kaga sudah melangkahkan kaki, menyibak tirai itu dan memasuki ruangan itu dengan was was.

Kaga tertegun melihat apa yang tak ia bayangkan di dalam sana. Shoukaku, bersama seorang wanita. Wanita yang pertama kali Kaga lihat. Wanita asing yang kini memergoki kedatangannya. Balas menatap tepat di matanya. Cantik. Kaga terbungkam. Apa yang ia lihat ini, tidak pernah ia bayangkan. Bagaimana bisa Shoukaku melakukannya.

"Apa yang terjadi?" pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya. Shoukaku menoleh dan kini mata mereka bertatapan. Sedang sang wanita lain itu masih memandang Kaga dengan tatapan yang tidak berubah. Membunuh.

K-kaga-san?" Shoukaku kaget setengah mati. Sampai rasanya suaranya tak mampu keluar lebih banyak lagi. Khawatir. Wanita lain itu bangkit dari posisinya. Mengelah nafas berat kemudian kembali menatap Shoukaku penuh pertimbangan. Di turunkannya rok pendeknya yang tampak menaik karena posisi duduknya tadi.

"Kembalilah ke ruanganmu." Ucapnya tegas. Mengarah pada Shoukaku yang masih duduk berlutut padanya.

Kaga tidak pernah membayangkan jika ia harus melihat pemandangan ini. Shoukaku, wanita yang menjadi orang yang paling ia segani sejak pagi tadi, kini duduk bersimpuh seakan ingin memohon, berlutut pada seorang wanita yang Kaga tidak kenal. Wanita dengan keangkuhan yang sangat tinggi. Terlihat dari bagaimana caranya memandang, tidak hanya itu. Bahkan sanggup membuat Shoukaku berlutut padanya. Sosok pertama di perusahaan ini yang ia dapati dengan kepribadian paling berbeda. Jika semua yang ia temukan terlalu bersahabat, namun wanita ini beda.

"Jangan mempermalukan dirimu di depan orang lain, Shoukaku-san." ucapnya. Suara yang terkesan datar. Kaga tak tahu harus berkomentar apa. Bukannya menuruti, Shoukaku tetap bertahan, bahkan kini ia menempelkan dahinya di atas lantai. Berlutut, memohon sambil suaranya kembali terdengar.

"Aku mohon Akagi-san. Maafkan kesalahanku." Rengeknya.

Akagi-san? Jadi ini wanita yang mereka bicarakan tadi?

Ada apa ini? Kaga tidak tahu. Tapi, ia sudah terlanjur ikut campur dengan urusan dua orang ini. membiarkan Shoukaku mempermalukan dirinya seperti ini rasanya ada sesuatu yang masih tak ia pahami.

"Shoukaku-san, apa yang kau lakukan?" Kaga tidak tega.

Sejahat inikah wanita yang bernama Akagi ini? Inikah yang Koungo maksudkan saat makan siang tadi. Iya. Wanita ini kejam. Bahkan ia membuang wajah dan membiarkan Shoukaku terus memohon, berlutut di bekangannya. Diabaikannya. Sialan.

Kaga tak sadar jika langkah kakinya sudah mendekati sosok yang berlutut itu, meraih pundaknya. Sedikit menahan kesal.

"Aku tidak percaya. Aku pikir ucapan mereka tentang keangkuhanmu itu omong kosong. Tapi ternyata aku melihatnya sendiri. Sebesar apa kesalahannya sampai kau memperlakukannya seperti ini?" Kaga tak kuasa. Ia dulu pernah merasakan hal yang sama sakitnya. Berlutut minta ampun bersama kedua orang tuanya karena sebuah kesalahan yang tidak mereka inginkan. Sampai pada akhirnya ia kehilangan kedua orang tuanya karena kecelakaan misterius yang sampai kini ia tidak tahu.

Shoukaku mengangkat kepalanya memandang Kaga yang telah memasang tampang tidak senangnya. Pertama kali ia lihat wajah memiliki sisi seperti ini dari kepribadian tenangnya. Tapi, segera diraihnya tangan Kaga untuk ikut bersimpuh sama sepertinya. Tentu, Kaga menolak.

Akagi menoleh menatap mereka berdua. Yang satu telah menyembunyikan wajahnya. Satu lagi masih memandangnya tidak suka. Tatapan yang sangat dingin. Kaga menyadarinya.

"Siapa namamu?" tanyanya dengan aura yang benar-benar mencekam.

"Kaga, dua puluh dua tahun." Ucapnya lantang. Membuat Shoukaku mendengar kalimat itu untuk ketiga kalinya. Meski ia masih menatap Akagi, tapi ia pun memiliki kecemasan. Koungo benar. Wanita ini berbeda.

"Aku tidak akan membiarkan, anda menindas bawahan anda seperti ini." ucapnya tidak senang.

Hari pertama berkerja. Ia sudah tak lagi peduli. Seketika bayangan akan senyum ibunya menyakiti perasaannya. Padahal ia pun senang akan pekerjaan ini. Tapi jika ia harus dipecat karena kelancangannya ini. Apa boleh buat.

Jauh dari bayangan Kaga. Ia pikir wanita ini akan membalas ucapannya dengan makian. Tapi tidak, wanita itu bergeming. Dialihkannya pandangannya pada Shoukaku yang masih menunduk padanya.

"Bawa dia pulang. Sudah tidak ada lagi hal yang harus kusampaikan padanya." ucapnya sambil berlalu melangkah melewati posisi mereka berdua. Keluar, menghilang diantara tirai-tirai penutup itu. Membuat Kaga hanya memandangnya penuh ketidakmengertian. Sampai suara tangisan Shoukaku menyadarkan lamunannya.

"Kenapa kau datang?! Sialan!" teriaknya memandang Kaga dengan tatapan berbeda. Membuat Kaga terpana, terkejut dan tak menduga.

"Kau tidak mengerti apapun. Untuk itu tidak usah merasa kau paling paham apapun yang terjadi di dunia ini! Berengsek!" dan tanpa Kaga antisipasi. Shoukaku sudah bangkit dan mendorongnya sampai ia tak lagi punya akal untuk mengangkat tubuhnya. Shoukaku pergi. Menghilang membawa ketidakpahamannya akan apa yang telah terjadi.


Kaga masih tak paham jalan cerita apa yang sedang ia perankan. Mulai hari itu, ia tak lagi melihat Shoukaku. Entah dimana seniornya itu berada. Jika memang dipindahkan, kenapa sampai sekarang pun ia tak lagi bisa melihatnya bahkan di tempat umum sekalipun. Juga sama dengan Akagi yang menurut rumor masih terus menjalani cutinya. Yang tidak ada yang tahu sampai berapa lama. Kaga mencuri pandang saat Mutsu, melangkah kearah meja direktur di ruangan itu. Mencuri dengar juga akan apa yang sedang mereka bicarakan.

Tentang Akagi ternyata. Jika tadinya ia-Akagi hanya karyawan biasa sekelas dirinya dan Kongou atau yang lain di ruangan ini, tidak lah masalah. Yang menjadi masalah adalah, ia seorang manager keuangan yang tentu ada tidaknya ia sangat berpengaruh bagi divisi.

"Cutinya telah berakhir seminggu yang lalu." Nagato bersuara. Menelusuri setiap laporan yang Mutsu serahkan padanya. Seminggu yang lalu. Tepat hari pertama Kaga berkerja di sana. Dan hari dimana mereka bertemua dengan misteri yang tak Kaga mengerti sampai sekarang.

Bertanya pada yang lain rasanya tidak enak. Apalagi Kaga pun menutup rapat bibirnya akan kejadian aneh seminggu yang lalu itu.

"Apa benar ia akan menikah?" Nagato, yang menjabat sebagai direktur menyerahlan laporan yang telah di parafnya dan menyerahkannya kembali pada Mutsu yang ternyata juga menjabat sebagai manager di sana.

"Hanya rumor Nagato-san. Saya pun tak paham." Nagato mengangguk saat Mutsu menarik dirinya.

.

Banyak pertanyaan yang terbesit dalam kepala Kaga setelahnya. Kenapa ia merasa jika ia telah salah bertindak saat itu. Kemarahan Shoukaku padanya. Juga melihat tatapan Akagi untuknya. Kaga mulai tak enak hati. Esoknya, di temuinya Kongou secara pribadi. Setidaknya ia ingin berbagi sedikit kegelisahan hatinya. Namun saat mulutnya hampir berucap. Kehadiran seseorang dalam ruangan yang masih sepi itu menahan getar suaranya.

"Akhirnya ia kembali juga." Bisik Kongou yang kini mendapati Akagi telah memasuki ruangannya. Dalam ruangan divisi itu. Hanya jabatan manager yang memiliki ruangan pribadi di dalamnya.

Kaga bergeming.

"Wajahnya tidak berubah. Selalu seperti itu." Kongou berceloteh tidak suka. "Seharusnya ia tidak usah datang lagi saja." Lanjutnya, yang mendapat teguran dari Atago karena takut Akagi mendengarnya. Dan saat mereka berbisik-bisik seperti itu. Kaga sudah melangkah meninggalkan mereka. mengarah ke ruangan Akagi, yang membuat Atago dan lainnya saling menatap.

"Kau mau kemana, Kaga-san?í" ucap mereka menahan suara.

"Aku ingin menemuinya."

.

Akagi meletakkan tas jinjingnya di atas meja. Dua minggu tak berada di dalam ruangan, membuatnya sedikit rindu. Dilepasnya blazer yang membungkus tubuhnya. Menyisakan kemeja putih langit yang masih membungkus tubuh sintalnya. Dengan rok span di atas lutut yang cukup minim melekat sempurna di tubuhnya. Melangkah menuju jendela kaca dalam ruangannya, menggigit sesuatu dari tangannya. Sambil mengumpulkan uraian rambutnya dan mengangkatnya tinggi untuk diikat. Dan saat itu juga, ia mendengar suara seseorang memasuki ruangan sepinya. Ia menoleh, meski tangannya masih bergerak menggenggam rambutnya di sana. Dan mulutnya masih menggigit sebuah pernik untuk rambutnya.

Kaga terpanah. Sesaat.

Membuat Akagi pun ikut menatap keterpanahan Kaga yang entah kapan akan berakhir.

Cantik.

Akagi mengurungkan niatnya untuk mengikat rambutnya. Dilepasnya begitu saja rambut itu, hingga turun berurai menutupi punggung dan bahunya, dan tangannya segera meraih sesuatu yang ia gigit di mulutnya. Menatap Kaga yang masih betah untuk diam menatapnya.

"Ada apa?" dan pertanyaan itu membuyarkan lamunan Kaga.

Inikah manager yang semua orang takuti itu?

Kaga berusaha untuk mengumpulkan kesadarannya. Ditatapnya wanita itu cukup lama, bingung harus memulai dari mana. Haruskah ia bertanya tentang Shoukaku darinya? Tapi rasanya tidak baik. Apa ia harus meminta maaf terlebih dulu?

"Aku tidak punya waktu untuk kau tatap berlama-lama. Ada perlu apa menemuiku? Masuk keruanganku tanpa persetujuan dariku?" Akagi kembali bertanya. Dengan nada yang membuat Kaga ingat akan keangkuhan yang melekat padanya. Berbeda saat pertama kali ia datang ke ruangan ini. Pertanyaan 'ada apa' wanita ini tadi masih terdengar begitu bersahabat.

Meruntuhkan keberanian Kaga seketika.

"Apa yang anda lakukan dengan Shoukaku-senpai? Dia tidak lagi terlihat sejak insiden saat itu." Ya, lebih baik dimulai dari pertanyaan ini.

Akagi sudah duduk di kursi miliknya. Menyandarkan punggungnya sambil menautkan kedua jarinya, dengan siku yang mendarat di atas meja. Kadang ia mengecup jemari-jemarinya yang bertaut yang sejajar dengan bibirnya untuk menimbang pertanyaan Kaga. Sedikit lebih lama dari yang Kaga pikirkan. Sampai Kaga sendiri memanfaatkan waktu yang terbuang itu untuk menelisik setiap bentuk wajah sang manager.

Sempurna.

Wanita ini sangat sempurna.

"Siapa namamu?" tanya Akagi, mengabaikan pertanyaan Kaga. Diulurkannya tangannya memberi perintah untuk Kaga duduk di kursi di depan mejanya.

"Kaga, dua puluh dua tahun-"

"Perkenalan yang membosankan." Bisik Akagi untuk dirinya sendiri. Sambil meraih beberapa laporan yang masih tersisa di atas mejanya sejak minggu-minggu kemarin.

"Apa masalahmu, nona dua puluh dua tahun?" tanyanya, setelah memberi paraf di atas laporan yang baru saja selesai diperiksanya. Kembali menatap tepat ke dalam mata Kaga. Membuat keduanya terdiam sejenak. Terlena oleh apa yang tidak bisa Kaga pahami.

Sejak kapan Kaga merasa jika suara wanita ini terdengar jadi lebih seksi. Sejak kapan, detak jantung Kaga berpacuh tak menentu. Sejak kapan, rasanya tatapan mata Kaga tak bisa berpaling dari wajah wanita ini. Sejak kapan Kaga merasa jika kesadarannya selalu menipis jika menghirup desahan napas sunyi yang bercampur dengan udara yang ia hirup dalam ruangan ini.

"Sudah berapa lama kau berkerja di sini?" tanya Akagi lagi sebab pertanyaannya sebelumnya tak direspon oleh lawan bicaranya.

"Sudah dua minggu, Akagi-san." dan entah kenapa, rasanya Kaga begitu ingin memanggilnya begitu. Membuat Akagi tertegun sejenak. Diangkatnya kepalanya menatap wajah Kaga yang terlihat berbeda entah karena apa. Apa karena ia baru mendengar seseorang asing memanggilnya begitu tulus. Padahal beberapa orang juga memanggilnya begitu di perusahaan ini. Tapi kenapa oleh Kaga terasa berbeda. Membuat Akagi membuang detik-detiknya secara percuma. Hanya untuk memahami jika namanya ternyata terdengar begitu manis.

Akagi kembali menundukkan kepalanya. dibiarkannya tangannya sibuk menggapai segala jenis lembaran untuk kembali dipelajarinya. Mengabaikan Kaga yang masih tetap merasa nyaman di posisinya. Yang ia tahu, mungkin kini sedang menatap lekat wajahnya. Memperhatikan semua gerak-geriknya. Mempelajari kepribadiannya. Membiarkan Kaga menguasai waktu dengan segala jenis perasaan aneh yang semakin lama semakin menumpuk, menyebar, diseluruh tubuhnya. Mengantarkan ribuan percik kebahagiaan. Dan sampai sekarang pun ia tak tahu percikan kebahagiaan itu terjadi karena apa.

Akagi pun sama. Jika tidak lagi ingin Kaga berada di sana. Kenapa tak ia perintahkan gadis muda itu pergi dari ruangannya. Membiarkannya fokus berkerja. Karena saat ini rasanya ia tengah ditelanjangi oleh tatapan mesum dari seorang pria mesum yang ingin memerkosanya.

Tapi, Akagi tak mampu bersuara. Bahkan ia enggan mengangkat kepala menatap Kaga memberi perintah, takut jika pandangan mata mereka kembali mengikat dan ia tak bisa bertingkah layaknya kepribadian luarnya.

Sampai suara ketukan menyelamatkan situasi mereka.

"Masuk." ucap Akagi mengangkat kepala. Dan tatapan itu langsung ditangkap oleh Kaga yang kini memberinya sebuah senyuman. Akagi merasa tak nyaman.

"Akagi-san. Maaf jika anda harus menandatangani laporan sebanyak ini." ucap Atago meletakkan tumpukan data yang benar-benar menggunung. Kemudian menatap Kaga dengan tatapan penuh pertanyaan. Yang hanya menatap Akagi dalam matanya.

"Nanti aku akan memanggilmu jika sudah selesai." Ucap Akagi menunduk resah.

"Baiklah, saya permisi dulu."

Atago meninggalkan ruangan.

"Kau juga, jika tidak ada lagi yang bisa kau bicarakan. Pergilah." Akagi tak menatap Kaga saat bicara. Meski ia tahu Kaga sedang melakukan apa. Dari sudut matanya. Akagi melihat gerakan Kaga yang bangkit. Menggeser kursi dengan kakinya. Dan itu membuat Akagi mengangkat kepalanya. Memandang Kaga yang tersenyum melihatnya.

"Senang bisa melihat wajahmu, Akagi-san."

Dan detik berikutnya, wujud Kaga menghilang dari pandangan.

.

.

.


Katanya gak punya waktu nulis -_-

NB : Untuk sebuah kisah cinta yang manis.