Chapter 1.
Brother or Sister?
Pagi yang hangat di Trost high school. Sinar matahari bersinar hangat, angin sepoi-sepoi, burung-burung berterbangan, murid-murid saling menyapa satu sama lain ataupun berkumpul bersama membicarakan sesuatu sambil tertawa.
Pagi yang menyenangkan kecuali untuk pemuda bersurai coklat yang duduk dipojok kelas, iris emeraldnya memandang jauh keluar jendela kelasnya.
"Eren.", merasa dipanggil pemuda itu menengok kearah suara mendapati seorang gadis berwajah oriental dan pemuda manis dengan rambut pirangnya.
"Hei Mikasa, Armin.", sapanya.
"Kau tidak apa-apa Eren?" tanya Mikasa. Terselip perasaan khawatir didalam pertanyaannya. "Kudengar kau dipanggil lagi karena berkelahi?" tanyanya lagi.
"Aku baik, dan soal perkelahian itu bukanlah hal besar, Mikasa." sahut Eren, matanya kembali menerawang keluar jendela.
"Tapi Eren_"
"Ayolah Mikasa, aku bukan anak kecil yang harus kau urus!" potongnya agak keras hingga seluruh isi kelas menatap mereka.
"Su-dahlah kalian berdua." si pirang bernama Armin menengahi debat antar saudara angkat ini yang kini mulai memanas.
Eren mendecih dan pergi keluar kelas tanpa memperdulikan panggilan Mikasa, Armin maupun bel tanda pelajaran akan dimulai.
Eren menginjakkan kakinya di atap sekolah, tempat dia menenangkan diri dari semua masalahnya. Eren merebahkan diri mentap langit, tangan kanannya terangkat menutupi matanya.
"Ibu." lirihnya berbarengan dengan air asin yang meluncur dari matanya, digigitnya bibir bawahnya untuk sekedar menahan isakannya.
"Aku tidak tau kalau atap sekolah adalah tempat untuk mencurahkan isi hati."
Eren tersentak mendengar suara berat yang menginterupsi telinganya. Dengan cepat dia bangun dan menyeka matanya kasar.
Didepan pintu atap berdiri sosok pemuda berambut sehitam arang dengan potongan pendek berbelahan poni, mata silver kecil setengah terbuka tapi tajam dibungkus dengan ekspresi datar namun terkesan, err..
'Tampan' batin Eren, rona merah menjalar di pipi keturunan Jaeger itu ditambah degup jantung yang semakin kencang.
'Tapi dia agaknya lebih pendek dariku'
Selagi Eren berdebat bersama batinnya tentang perbandingan tinggi badan, pemuda didepannya berjalan mendekati Eren. Kakinya terhenti beberapa langkah dari tempat Eren duduk.
"Sekali lagi kau memanggilku pendek, kupastikan kau tidak akan melihat matahari terbit lagi, Eren Jaeger." ancamnya.
"A-pa? Aku ti-dak_" Eren gelagapan, bagaimana bisa dia membaca pikirannya. "_Eh, Kenapa kau tahu namaku? Siapa kau?" tanya Eren curiga, seingat Eren tidak ada murid sepertinya dikelas dan Eren tidak pernah berkomunikasi dengan orang dari kelas lain maupun kelas tingkat lainnya.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku dan darimana aku tahu namamu. Tapi mulai sekarang berhenti berbuat onar dan kembali kekelasmu." perintahnya.
"Memangnya kau siapa memerintahku, dari pakaianmu kau juga murid biasa sepertiku. Sebaiknya kau yang pergi, jangan ganggu aku!" teriak Eren, sekarang dia menyesal berpikiran pemuda itu tampan.
Pemuda itu mendecih, "Jangan sampai aku menyeretmu, Jaeger." pemuda itu masih diam ditempat dengan ekspresi super datarnya dan itu membuat Eren kesal.
"Pergi dari sini atau kau rasakan akibatnya, pendek!" wajah pemuda itu menunjukkan sedikit emosi tetapi sedetik kemudian kembali seperti biasa. Pengontrolan emosi yang hebat.
"Orang sepertimu memang tidak bisa menggunakan cara halus, apa orangtuamu tidak pernah memberi pelajaran untuk menurut pada yang lebih tua darimu? Sekarang turuti perintahku atau kau berakhir menyedihkan, Bocah." dia menekankan suaranya di beberapa kata terakhir yang diucapkannya.
Eren menunduk, dia benci pemuda itu membawa-bawa orangtuanya dalam kelakuannya, "Jangan berani-berani memerintahkan, dasar sial!" dengan cepat Eren menerjang kearah pemuda itu dengan tinju terkepal disamping wajahnya.
Tapi dengan mudah pemuda itu menangkap tinju Eren membuat Eren sedikit meringis. Belum sempat Eren bergerak, dengan cepat pemuda itu berputar kebelakang tubuh Eren dan memelintir kedua tangan Eren kepunggungnya, kemudian menendang belakang lututnya membuat Eren terhempas kedepan dengan kedua tangan dibelakang tubuh.
Eren mendecih menahan sakit, belum hilang rasa sakitnya pemuda dibelakangnya tiba-tiba menduduki tubuh Eren.
"Menjauh dari tubuhku kau berat sekali, cebol sialan!" Oh Eren, Author rasa sekarang kau sedang menggali lubang kuburmu sendiri. Poor Eren.
"Kau cerewet bocah, sepertinya mulutmu harus dibungkam." ucapnya datar.
Dia menjambak dan menarik rambut coklat Eren memaksanya mendongak kebelakang dan itu membuat daerah leher dan bahunya sakit.
"Ukhh, Le-lepas pen-Hmpff!" Sumpah serapah Eren terhenti karena sesuatu yang basah dan kenyal menyumpal bibirnya, pemuda diatasnya mencium bibirnya dengan paksa.
'Brengsek, ciuman pertamaku diambil lelaki pendek seperti dia!' Teriaknya dalam hati.
"Ngh" Pemuda itu melepaskan tautan mereka, ciuman yang singkat tetapi sukses membuat wajah Eren memerah.
"Sekarang kau mau atau tidak menuruti apa yang kukatakan?" tanya pemuda itu.
Eren tersenyum meremehkan "Cih, tidak akan walaupun kau mengambil ciuman pertamaku, pergi dari tubuhku!" teriak Eren.
Eren dan pemuda itu sama-sama terdiam. Pemuda itu mendengus geli, "Wah, aku tidak menyangka pembuat onar sepertimu tidak pernah ciuman." wajah Eren semakin memerah menahan malu, ya tuhan dia membuka rahasianya sendiri tanpa sadar.
Pemuda itu menyisir rambut hitam lembutnya layaknya iklan shampo, "Hah, ternyata hukumanku belum cukup untukmu bocah." tangannya denga cepat menarik dasi Eren yang tidak terikat rapi dan mengikatnya di kedua tangan Eren.
Eren mulai panik tidak bisa menggerakan tangannya dan bisa dirasakannya kini tubuhnya dipaksa berbalik menghadap pemuda datar diatasnya dengan tangan terikat kebelakang. "H-hei apa yang kau lakukan?"
Pemuda diatasnya mencengkeram pipi Eren dengan keras, menurunkan wajahnya berhadapan dengan Eren hingga membuat sebagian rambutnya jatuh kepipi Eren membuatnya geli, "Kau dalam masalah, Eren Jaeger." bisiknya ditelinga Eren, dapat dirasakan Eren lelaki diatasnya seakan menelannya bulat-bulat membuat nyalinya ciut seketika.
Eren lebih memilih menutup matanya pasrah menunggu ajalnya? Keringat dingin mengalir turun kepelipisnya. Tapi kemudian dirasakannya beban diatasnya hilang. Mungkinkah lelaki diatasnya tadi menyusut semakin pendek hingga tidak memilik beban? Eren tidak bisa berpikir rasional lagi. Dibukanya matanya sedikit demi sedikit dan dilihatnya pemuda berambut arang yang menduduki perutnya kini berdiri didepannya.
Eren bisa bernafas lega, dia menggerakkan tubuhnya untuk duduk sejenak. Mungkin pemuda sipit itu lelah dan memutuskan pergi, "Sekarang lepaskan ikat_"
Kata-kata Eren terpotong karena tiba-tiba pemuda itu menyeret tubuh Eren kearah pagar pembatas atap.
"A-apa yang k-au la-kukan, ja-ngan bilang kau ma-u menja_ UWAHHHH!" Eren berteriak saat kakinya menyentuh pagar pembatas yang hanya setinggi pahanya. Tiba-tiba pemuda dibelakangnya mendorong tubuh Eren hingga condong kedepan, untungnya pria itu menahan kedua tangan Eren agar dia tidak jatuh kebawah.
"HIIYYAAA, tarik a-ku!" teriaknya kencang tidak peduli satu sekolah akan mendengarnya, malah dia berharap sekarang Mikasa datang dan menolongnya dari psikopat kecil dibelakangnya, keringatnya kembali mengucur dengan cepat karena takut.
"Hah, apa? Aku tidak dengar." jawabnya santai.
"Tarik badanku sekarang!"
"Memohonlah dan berjanjilah, Jaeger"
"Eh, apa? Ah, ya baik aku mohon_
"Rivaille." potong pemuda itu.
"Ku-kumohon Rivaille-san dan aku berjanji memperbaiki sikapku!" Eren benar-benar pusing sekarang dan tidak bisa konsentrasi. Melawan bukan pilihan yang tepat, dirasakannya kakinya melayang dan badannya semakin condong kedepan.
'Aku akan mati, aku datang ibu' Eren menutup matanya pasrah.
Rivaille menarik tubuh Eren kebelakang membuatnya jatuh terduduk dengan keras.
"Ukh!" Ringisnya.
"Sekali lagi kau melanggar peraturan dan janjimu, kupastikan kau akan menyesal pernah menginjakkan kaki didunia ini."
Eren pucat seketika, kedua mata tajam itu benar-benar mengintimidasi dirinya. Hari ini dia benar-benar dipermalukan, pertama ciumannya dicuri dan kedua dia hampir dibunuh oleh mahluk (sedikit) pendek yang mencuri ciumannya.
Rivaille berjongkok dibelakang Eren, "A-apa yang_"
"Diam bocah, kau mau dilepas atau tidak?"
"Eh, i-iya." Eren menurut.
Saat Rivaille melepas ikatannya, Eren dapat merasakan nafas Rivaille menyapu leher belakangnya, hangat. Jantung Eren terasa berdetak tiga kali lebih cepat. Bukankah dia masih straight, kenapa sekarang dia berdebar dan wajahnya merona?
"Kenapa bocah? kau menikmati suasana ini?"
"Eh, ti-dak, bukan!" Eren salah tingkah sendiri.
Tangan Eren kini bisa bergerak dengan bebas walaupun pergelangannya terlihat merah karena bekas ikatan dan rontaannya sendiri.
Rivaille berdiri dan beranjak pergi, Dia berhenti didepan pintu atap. "Camkan semua perkataanku tadi Eren dan_"
Rivaille menyeringai dan menatap Eren tajam sembari mengelap bibirnya sendiri dengan ibu jari, "_terima kasih atas hidangannya." dia pergi meninggalkan Eren yang terbelalak tidak percaya, si mesum itu mempermainkannya.
"SIAL!" teriak Eren kencang membuat seisi sekolah kaget sedang pemuda beriris silver tajam hanya menyeringai puas.
Brother or Sister?
Mikasa dan seluruh murid dikelas kembali tersentak kaget mendengar suara teriakan kedua hari ini, bukan hanya dikelas mereka tapi kelas lain mungkin juga sedang bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
Armin menatap Mikasa yang kini berwajah super duper galau memikirkan Eren. Mereka tahu itu adalah suara teriakan Eren, tapi apa boleh buat mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau saja bukan karena ancaman mematikan dari guru paling killer Keith Sadish yang mengatakan hal itu bukanlah urusan mereka semua, tentu Mikasa akan langsung loncat dari jendela menuju atap saat teriakannya yang pertama.
'Ku harap kau baik-baik saja Eren.' harap Mikasa dalam hati.
Brother or Sister?
'Sial, sial, sial!' kutuk Eren dalam hati. Kini dia berlari disepanjang koridor sekolah, Wajahnya kusut dan pakaiannya berantakan. Dia bersyukur sekarang kegiatan belajar sedang berlangsung jadi tidak ada yang melihatnya wajah nistanya. Sebelum menuju kelas Eren berbelok menuju toilet sekedar membenahi penampilannya.
Eren merapikan pakaian, rambut dan tidak lupa membasuh wajahnya agar terlihat segar. Setelah dirasa cukup rapi Eren keluar dari toilet.
Belum hilang rasa traumanya kini Eren harus berhadapan dengan sosok yang paling ingin dihindarinya itu sedang berdiri didepan pintu toilet yang menurutnya lebih killer dari seratus Keith Sadish yang dikumpulkan jadi satu.
"R-rivai-lle-san." sepertinya Eren benar trauma hingga tergagap.
"Kau mau kemana?" tanyanya dengan wajah sedatar talenan.
"Aku akan kem-bali kekelasku, ta-pi sebelumnya aku merapikan pakaianku disini, Rivaille-san." jelas Eren terus menunduk.
"Baguslah, Ingat Eren aku akan selalu mengawasimu dimanapun berada." kini Eren membayangkan Rivaille ada didepan layar CCTV yang menayangkan kegiatan sehari-hari Eren dari tidur sampai tidur lagi. Eren menelan ludah dengan susah payah karena imajinasinya sendiri.
"Pergi kekelasmu sekarang, bocah!" perintah Rivaille.
"Baik!" Eren langsung berlari meninggalkan Rivaille, dan tanpa sengaja dia melihat seseorang atau tepatnya seonggok manusia hampir menjadi mayat dibelakang Rivaille dengan posisi diseret oleh Rivaille menuju toilet.
Tidak lama Eren mendengar teriakkan pilu dari dalam toilet tersebut yang membuat Eren semakin mempercepat larinya menuju kelas. Sepertinya mulai sekarang dia harus lebih memperhatikan kelakuannya daripada harus berurusan dengan iblis mungil seperti dia.
SREG
Semua mata murid kelas 10-4 tertuju pada pintu kelas.
"Maaf Sensei saya terlambat."
Semua mata murid terbelalak tidak percaya Eren Jaeger seorang yang biasanay membuat onar kini dengan sopan meminta maaf. Mikasa dan Armin saling tatap tidak percaya dengan mulut menganga melihat perubahan drastis Eren. Malah ada siswa bernama Connie dan Jean yang kini saling tampar dan cubit karena mengira ini hanya mimpi.
Sedangkan Keith Sadish hanya manggut-manggut, 'Kau berhasil Rivaille.' batinnya dalam hati bahagia.
Brother or Sister?
"Eren, apa yang terjadi?" tanya Armin bingung. Kini Eren, Armin dan Mikasa ada didepan loker didekat pintu masuk sekolah.
"Apanya?"
"Itu, perubahan sikapmu dan suara teriakan dari atas atap itu suaramu kan?"
"Eh, itu memang benar suaraku." Eren melenggang pergi keluar sekolah menuju gerbang.
Mikasa berlari dan memegang lengan Eren, "Eren ceritakan padaku apa yang terjadi saat kau diatap?"
Eren bingung apakah dia harus memberitahu kedua orang terdekatnya ini atau tidak, Dilihatnya Mikasa yang menatapnya khawatir dan Armin yang terlihat penasaran. Eren menghela nafas panjang.
"Begini, Sebenarnya tadi_"
Brother or Sister?
"Selamat datang kembali Rivaille, kami senang kau kembali kemari." ujar seorang pria paruh baya bernama Dot Pixis, kepala sekolah Trost High School.
Pixis berdiri dari kursi kebesarannya berjalan mendekati Rivaille, "Dengan kembalinya kau, kuharap beberapa anak dalam daftar bermasalah akan berkurang." ditepuknya bahu Rivaille pelan. "kami percayakan semuanya padamu." lanjutnya.
"Terima kasih, Sir." jawabnya seraya membungkukkan badan dan keluar dari ruangan Dot Pixis.
Saat berjalan dikoridor tidak sengaja dia melihat junior berambut coklat kesayangannya lewat jendela lantai tiga yang sedang berdiri ditengah-tengah halaman sekolah bersama dua orang lainnya dengan ekspresi terkejut melekat diwajah keduanya.
"Eren Jaeger, kupastikan setelah ini pun kau akan merasakan kehidupan yang lebih mengerikan dari ini." gumam Rivaille dan dia melangkah pergi.
Brother or Sister?
"Haahhh!" mulut Armin dan Mikasa ternganga dengan tidak elitnya seperti anime yang sering ditonton Eren ceritanya tentang raksasa yang mau makan anak tuyul.
"I-itu bisa disebut percobaan pembunuhan, Ren!" Armin teriak-teriak gaje sambil megang kepala pirangnya.
Mikasa memegang erat kedua lengan Eren dan menatapnya tajam, "Eren, mulai sekarang aku akan selalu disampingmu kemanapun kau pergi, mau kesekolah, makan, tidur, mandi ataupun ketoilet, i'll always be with you."
Eren hampir memuntahkan isi perutnya saat mendengar perkataan Mikasa.
"Aku tidak menyangka kau akan jadi korban Rivaille-senpai." ujar Armin.
"Kau kenal dia, Armin?" tanya Eren.
"Tentu saja Eren, semua sekolah tahu siapa dia."
"Ah ya, aku lupa kalian kan murid pindahan jadi maklum saja tidak tahu dia. Dia menjadi siswa pertukaran beberapa bulan dengan sekolah lain saat kalian baru masuk ke Trost High dan ku dengar baru kembali kemarin." jelas Armin.
"Dan dia itu ketua Osis di Trost High terbaik sepanjang masa sekolah ini, walaupun dia agak pendek." tambahnya sambil menggaruk pipinya yang tidak gatal.
Hmff, Eren sedikit menutup mulutnya menahan tawa. Ternyata bukan hanya dirinya yang berpikir Rivaille itu agak, lebih mungil dari yang lainnya. Sedang asyiknya menertawakan si ketua Osis Pendek, Eren merasakan hawa pembunuh menguar dari arah Mikasa.
"Kalau saja aku tahu wajahnya akan kubunuh dia!" gumamnya dengan wajah penuh amarah.
"Mi-kasa sudah-lah." Armin berusaha menenangkan Mikasa.
Mikasa yang sedang dalam mode membunuh sangat mengerikan, dia bersyukur hanya memberitahukan sebagian saja dari kejadian hari ini. Dia juga menyembunyikan tentang ciumannya yang direbut Rivaille juga, dia tidak bisa membayangkan ekspresi Mikasa kalau dia tahu bibir adik angkatnya sudah tidak suci lagi.
"Sebaiknya kita pulang, aku ingin tidur." ajak Eren dan diiyakan kedua orang terdekatnya itu.
Brother or Sister?
"Eren kau mau makan apa?" tanya Mikasa. Kini mereka sudah sampai dirumah.
"Aku nanti saja makannya, sekarang aku mau istirahat." sahut Eren dan berlalu menuju kamarnya dilantai dua.
Sesampainya dikamar Eren langsung merebahkan diri dikasur bergambar chibi titan collosal kesayangannya. Dia benar-benar lelah karena kejadian tadi pagi, dan tanpa sadar dia terlelap.
"Bangun!"
'Ngh, siapa yang membangunkanku? Malas ah, anggap tidak dengar.' batin Eren.
Suara itu semakin nyaring, "Cepat bangun!".
"Jangan ganggu aku." usir Eren.
"Kalau kau tidak bangun aku akan menjatuhkanmu dari atap!"
'Tunggu suara berat itu mirip dengan' batinnya.
Eren membuka matanya pelan dan sosok Rivaille kini berdiri didepannya sambil membawa seikat tali, tidak menunggu lama badan Eren sudah terikat kencang.
"KYAAA, lepaskan aku Rivaille-senpaii!" teriakan Eren terdengar seperti uke yang lagi rape semenya. Entah kenapa kini dia dan Rivaille berada di atap sekolah, mungkinkah Rivaille menggotongnya kemari? Tapi Mikasa ada dilantai bawah?
"Kau sudah membuatku marah Eren Jaeger, sekarang rasakan akibatnya." Rivaille mengangkat badan Eren membawanya hingga ke pinggiran pagar.
"Ku-mohon Senpai, hentikan!" Eren benar-benar ketakutan hingga air matanya mengalir.
"Sayonara, Eren." Eren merasakan tubuhnya meluncur cepat menuju tanah.
"GYAAAAA..!" dan semuanya menjadi putih.
"Ren."
'Ngh'
"Ren, Eren."
"WAAa..!" Eren berteriak kencang, iris emeraldnya membuka seluruhnya, keringat dingin mengalir didahinya.
Disampingnya Mikasa terlihat memegang tangannya yang gemetar. Matanya berusaha menangkap tempatnya berada, dia dikamarnya bukankah tadi dia diatap sekolah?
"Eren, kau kenapa? Mimpi buruk? Aku mendengarmu berteriak jadi aku kemari." jelas Mikasa, wajahnya terlihat khawatir.
"Ah itu, sepertinya iya." Eren lega ini hanyalah mimpi, dia menyeka keringat dengan punggung tangannya. Diliriknya jam digital disamping tempat tidurnya, menunjukkan pukul 18.35 ternyata sudah sore. Dia bersyukur semua ini mimpi, tapi semua itu begitu terasa begitu nyata.
"Eren, Otou-san memanggilmu. Dia meminta kita berkumpul dibawah untuk bertemu seseorang."
Eren menundukkan kepalanya,alasan ayahnya memintanya berkumpul agar dia dan Mikasa bertemu orang itu, Eren tidak terlalu suka padanya.
"Bilang padanya aku akan menemuinya setelah mandi." Eren beranjak menuju kamar mandinya dengan gontai, bahkan saat dirumahpun dia harus menemui hal yg dibencinya.
Brother or Sister?
"Nah itu Eren, kemarilah." Eren melirik ayahnya yang sedang sumringah tengah melambaikan tangannya kearahnya.
"Wah Eren, lama tidak bertemu." seorang wanita yang menurut Eren kadang terlihat seperti pria dengan kacamatanya duduk disamping Grisha Jaeger, ayah Eren dan Mikasa.
"Hai, Hanji." sapa Eren sekenanya. Dia tidak terlalu peduli dengan Hanji atau bisa disebut calon ibu tirinya ini. Dia menjatuhkan pantatnya disamping Mikasa yang duduk diseberang Hanji dan Grisha.
"Eren, Mikasa, kami ingin membicarakan tentang persiapan tentang rencana pernikahan yang akan diadakan tiga hari lagi." ucap Grisha.
"Baiklah." jawab keduanya berbarengan tapi dengan intonasi berbeda.
"Tapi kita akan membicarakannya setelah semuanya hadir disini." kata Hanji sambil tersenyum lebar.
Sebelah alis Eren terangkat, "Bukannya kita semua sudah ada disini?" Eren bingung, siapa lagi yang ditunggu oleh Hanji dan ayahnya?
"Dia anakku, sebentar lagi dia akan datang. Tadi dia sedang ada urusan disekolahnya, dia sangat sibuk akhir-akhir ini." jelas Hanji panjang lebar.
"Kau sudah punya anak, Hanji?" tanya Eren, masalahnya Eren pernah diberitahu ayahnya bahwa Hanji tidak pernah menikah.
"Ah ya, aku punya. Dia sebenarnya anak dari kakakku tapi dia meninggal, jadi sekarang anaknya tinggal bersamaku mulai dia berusia 5 tahun. Dia mungkin agak sedikit susah diajak bicara tapi dia anak yang manis dan lucu." hanji terlihat senang menceritakan tentang anak angkatnya tersebut.
TING TONG
"Nah, mungkin itu dia!" teriak Hanji, dia berlari menuju pintu.
"Permisi."
DEG
Eren sepertinya pernah mendengar suara berat khas seperti itu. Ketiga manusia yang duduk diruang tamu serentak menoleh kearah suara.
Mata emerald Eren melotot saat melihat sosok iblis disamping Hanji.
"Semuanya, kenalkan ini anakku yang akan tinggal bersama kita setelah aku dan Grisha menikah. Namanya Rivaille." Rivaille membungkukkan badannya memberi hormat.
"Rivaille?" gumam Mikasa dia merasa familliar dengan nama itu, tapi seketika wajahnya berubah kemode pembunuh.
Oh Hanji kurasa manis dan lucu bukanlah kata yang tepat untuk Rivaille, lihat saja kini Eren yang sudah hilang kesadaran dan Mikasa yang menampakkan aura pembunuhnya sambil bergumam 'bunuh dia', sedangkan Grisha tersenyum bahagia melihat calon keluarga barunya.
Kalau Mikasa dan Eren memperhatikan dengan seksama, dapat dilihat bibir Rivaille membentuk seringaian.
"Selamat datang dineraka, Eren Jaeger."
Bersambung...
Read and Review, Please..
Ziemon..
