Suara baritonnya selalu berhasil membuat jantungku berdegup kencang. Seperti sekarang ini, kedua lengan kekarnya melingkar di pinggangku dan aku yang gemetar dalam dekapannya. Dia memelukku dari belakang. Badannya menunduk badannya bagai tiang listrik sedangkan aku sangat pendek dan dagunya berada di bahuku. Belum cukup membuatku geli dengan dagu kurusnya, ia menggunakan bibir tebalnya, mengerjai telingaku.

Oh, ralat, lelaki itu menggunakan giginya.

"Telingamu terasa lebih manis dari permen kesukaanmu, percayalah."

Setiap aku akan memintanya untuk berhenti, dia terlebih dulu membuatku bungkam dengan kata-kata manisnya. Aku sama sekali tidak diperbolehkan mengucapkan satu kata pun.

"Oh ya, sudah lihat tatoku?"

Aku menggeleng.

Tangan kananku terulur untuk membalik tangannya. Baru minggu lalu terakhir kali aku melihatnya dan tidak ada apa-apa di lengannya. Dan kini dua kalimat terlukis di sana. Dua-duanya merupakan kalimat favorit yang sering kutulis di halaman terakhir buku tulisku setiap pelajaran matematika (ini sungguhan).

Si me amas, serva ma

"If you love me, save me."

Suaviter in modo, fortiter in re

"Gently in manner, strongly in deed."

Ia terkekeh pelan. Satu tiupan terakhir sebelum akhirnya ia membalik badanku menjadi berhadapan dengannya. Matanya dan mataku bertemu. Lalu dari ujung kepala sampai ujung kaki masing-masing, kami saling mengamati.

Dia masih seimut dulu, namun terlihat lebih dewasa. Maksudku, badannya sangat atletis dan rambutnya berwarna hitam, bukan merah atau abu-abu seperti terakhir kali. Bahkan kehangatan dari mata bulatnya masih terasa sama.

Dan dia masih setampan saat ia meninggalkanku.

"Come here, honey."

GREP

Aku ditarik ke dalam dekapannya, lagi. Kepalaku bersandar di dada bidangnya dan lenganku melingkar di lehernya. Begitu juga dengannya yang melingkarkan lengannya di pinggangku. Aku memeluk tak kalah erat darinya. Sampai bisa kudengar jelas detak jantungnya, juga tak kalah cepat dengan detak jantungku.

"Kau masih mencintaiku?"

Aku tidak akan memaafkan kebodohanku sampai pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku. Kugigit bibir bawahku. Liquid bening dari mataku turun membasahi kaos yang dipakainya. Badanku gemetar tak karuan. Aku hampir tidak sanggup lagi berdiri.

Aku tidak sanggup mendengar jawabannya.

"Kembalilah padaku."

Pelukannya semakin erat ketika aku mulai melepas badannya. Sudah jelas; Ia masih mencintaiku makanya ia memintaku kembali.

"Sayang, aku hanya bisa mencintaimu. Yang ada di sini "

Tangannya meraih tanganku, menaruhnya di dada kirinya.

" hanya namamu. Aku hanya mau memilikimu dan kau hanya milikku."

Aku menggeleng berkali-kali. Kepalaku pening. Harusnya aku menjauh, tapi yang ada malah kepalaku kembali bersandar di dadanya. Kedua tanganku meremas bahu tegapnya. Yang ada akulah yang tidak mau melepaskannya.

"Don't cry. Sayang, sungguh, aku tidak bisa lagi melihatmu menangis."

Dia lelaki pertama yang mengenalkanku pada rasanya jatuh cinta. Dan sekaligus orang paling egois dan keras kepala yang pernah kukenal. Tapi tidak, di sini bukan dia yang paling egois. Tapi aku.

"Aku mencintaimu, aku mencintaimu."

Aku menggeleng lagi. Aku tahu dia masih mencintaiku.

Yang paling mencintaiku adalah Oh Sehun dan yang paling kucintai adalah Oh Sehun. Aku kekasih seorang Oh Sehun dan aku milik Oh Sehun.

Tapi sekarang aku ada di pelukan Park Chanyeol.

Lelaki jangkung yang meninggalkanku sendirian, di bawah langit Seoul, diguyur hujan deras, dan hanya mengirim pesan teks sepuluh jam kemudian; Terimakasih untuk semuanya. Kuharap kau akan menemukan yang lebih baik dariku.

"Aku sudah menemukan yang lebih baik darimu, Chanyeol."

Kujauhkan badanku segera setelah mengatakannya.

"Sehun. Aku milik Sehun."

FIN

Apa ini?

Cerita macam apa ini?

Yang nulis aja gak tau.

Makasih kalo udah baca dan maaf karena (pastinya) ini mengecewakan.

Annyonggggggg