Disclaimer : Naruto and all the characters mentioned in the story they're all belongs to Masashi Kishimoto. I do not take any financial benefits from this.
Capture the Kiss
"Teme," panggil Naruto pelan. Iris birunya menatap lekat ke arah remaja bersurai hitam yang duduk tepat di belakangnya dalam kelas.
"Hn?"
Si pirang mengernyit. Menggaruk pipinya kirinya dengan jari telunjuk, terlihat ragu untuk bertanya. Namun rasa penasaran mendesaknya. "Sejak tadi kau menatapku seperti itu, ada apa?"
Sasuke mengerjapkan sepasang netranya beberapa kali, lalu ikut mengernyit. "Kau bilang apa? Aku menatapmu?" Ia balik bertanya diiringi tawa kaku.
Naruto mengangguk. "Belakangan ini kuperhatikan kau selalu menatapku seperti itu."
"Menjijikkan," umpat Sasuke, "kenapa aku harus menatapmu seperti itu? Sudahlah ayo pulang." Bangkit dari atas kursi, lalu melangkah ke arah pintu. Telihat santai tanpa merasa canggung seperti biasa, meskipun sebenarnya berusaha sangat keras menutupi salah tingkahnya saat ditanya seperti itu.
Si pirang tidak langsung menyahut, untuk beberapa detik hanya diam menatap ke arah punggung Sasuke bingung. Namun saat namanya diteriaki dari luar kelas, cepat-cepat ia mengikuti temannya yang bersurai hitam itu dari belakang.
"Kau ini tidak sabaran sekali," protes Naruto mengacak surai pirangnya asal. "Apa kau takut karena tidak ada lagi siswa juga petugas di sekolah ini? Lagi pula ini salahmu sendiri Teme. Kau, dan hobimu yang aneh itu setiap hari menunggu hingga seisi sekolah kosong hanya untuk menghindari siswi kelas sebelah."
"Lagi-lagi hanya lelucon bodoh yang terlontar dari mulutmu itu, Dobe," ketus Sasuke.
Naruto tertawa geli. Menarik tubuh Sasuke mendekat ke arahnya, lalu berbisik pelan. "Ayolah, mereka hanya para gadis yang tergila-gila padamu. Mereka tidak akan mengigit," ada jeda sesaat, "kecuali jika kau yang memintanya."
"Jika mereka bisa menarik seragamku hingga sobek, menunggu untuk mengoyak kulitku tentu tidak akan lama lagi," sahut Sasuke menepis tangan si pirang yang melingkar posesif pada bahunya.
"Kau pikir mereka zombie?" ucap Naruto meninju pinggang Sasuke pelan. "Kau ini terlalu kaku Teme, santai sedikit. Apa kau tidak pernah berpikir tentang hal 'itu'. Kau bukan anak kecil lagi mereka akan senang hati membantumu, gunakanlah kesempatan ini selagi kau bisa."
Sasuke hanya bergumam malas.
"Apa mereka bukan tipemu? Aku kenal dengan beberapa siswi sekolah sebelah, dan aku bisa menghubungi mereka jika kau mau me—"
"Naruto," potong Sasuke datar.
Si pirang berhenti melangkah. Ia terdiam saat Sasuke berdiri tepat di hadapannya. Mulanya tampak seperti biasa. Namun perlahan tapi pasti entah mengapa ia merasa tatapan Sasuke saat ini cukup berbeda; marah, benci, sedih, dan kecewa. Semuanya seakan bercampur menjadi satu.
Dan ini untuk pertama kali, Sasuke menatapnya seperti itu.
"Kau tidak perlu repot-repot mengajariku bagaimana cara untuk bersenang-senang," ujarnya datar, "akan kulakukan tanpa siapa pun menyuruh," ada jeda sesaat, "jika memang aku bisa melakukannya."
Naruto membuka mulut seakan ingin membantah, tetapi ia mengurungkan niatnya. "Baiklah ..., terserahmu saja."
Hening untuk sesaat.
Sasuke memalingkan wajah, memilih untuk melangkah pergi meninggalkan si pirang tanpa mengatakan sepatah kata pun, dan juga membatalkan secara sepihak rencana pulang bersama mereka hari itu.
"Kenapa ini?" gumam Naruto pelan mengernyit tidak suka. "Kenapa aku menjadi sangat kesal?!"
Entah mengapa ia merasa Uchiha yang satu itu menyembunyikan sesuatu darinya, bertingkah selayaknya orang asing yang tidak dikenal sama sekali. Sasuke tidak pernah memperlakukannya seperti ini sebelumnya, lalu kenapa?
Bukankah mereka sahabat?
.
"Kau tahu di mana Sasuke?"
"Kau lihat tidak? Rumah kalian dekat, dan bukankah kalian selalu datang bersama setiap hari?"
"Hey, Naru!"
Menulikan telinganya dari pertanyaan para gadis, hanya fokus pada layar ponsel. Biasanya Naruto akan berbohong untuk melindungi Sasuke, tapi tidak kali ini, karena seseorang yang ia sebut 'sahabat', dan baru saja melangkah di hadapannya, sengaja membuatnya menunggu selama 45 menit di depan pintu gerbang dengan plat Uchiha di sisi tembok kirinya.
"Kalian tidak buta, lihat sekitarmu, dan kau akan menemukannya," sahut Naruto datar, tidak peduli lagi saat Sasuke menoleh tajam ke arahnya.
Para siswi yang biasanya langsung mengerumuni Sasuke, kali ini hanya diam. Mereka menoleh ke arah Sasuke, dan Naruto bergantian dengan raut wajah tampak bingung.
"Ada apa? Kalian sepertinya sedang bertengkar?" tanya salah seorang siswi, diikuti angguk kepala oleh siswi yang lainya.
"Tidak," sahut Naruto cepat. Namun datar. "Pertemanan kami seharusnya tidak akan rusak semudah itu. Bukankah itu benar, Teme?" sindirnya halus seraya mematikan ponsel, tetapi Sasuke hanya diam, menatap datar ke arahnya tanpa merespon.
"Hm ..., jadi begitu rupanya?" tegas Naruto. Raut wajahnya yang semula datar, kini tampak tidak senang. Sorot matanya berubah menjadi tajam seakan mencari ke mana perginya kata 'setuju' yang harusnya diucap si Uchiha beberapa detik yang lalu.
"Mungkin," sahut Sasuke tidak peduli.
"Katakan padaku sekali lagi dengan jelas," ujar Naruto melangkah mendekat. "Sahabatku? Apa kau akan pergi?"
Sasuke bangkit dari atas kursi, melangkah menghampiri Naruto, lalu tersenyum sinis seakan menantang. "Aku tahu kau ini sangat posesif, tetapi seperti ini? Itu sangat keterlaluan."
Pukulan keras mendarat di rahang kanan Sasuke tanpa aba-aba, bercak merah yang menetes dari sudut bibirnya terlihat kontras dengan pucatnya warna kulit yang ia miliki, dan Naruto juga harus menahan rasa sakit luar biasa saat Sasuke membalasnya dengan bogem mentah tepat di mata sebelah kiri.
Para gadis yang berada di sekitar mereka histeris, teriakan ngeri tidak membantu, hanya membuat isi kelas menjadi riuh.
Mereka terus berkelahi, membalas pukulan dengan pukulan, hingga kepala sekolah datang, dan menyeret keduanya dengan paksa keluar kelas.
.
"Berkelahi di kelas, membuat keributan, menakuti siswa, dan siswi lainnya."
Keduanya hanya bisa menunduk dengan wajah penuh luka memar yang terasa nyeri saat disentuh. Entah menyesali perbuatan mereka, atau tidak? tidak ada yang tahu.
"Uzumaki, dan Uchiha. Kalian akan belajar di rumah selama 3 hari."
Naruto mengangguk, lalu membungkuk hormat sebelum pergi meninggalkan ruangan yang dipenuhi oleh buku tebal bersampul oranye seraya menarik lengan berkulit pucat di sebelahnya.
"Ayo Sasuke, lebih cepat sedikit," perintahnya menyusuri koridor yang membawa mereka ke gerbang utama.
Tidak ada penolakan dari Sasuke saat itu. Ia hanya diam mengikuti ke mana pun Naruto membawanya. Bahkan ketika si pirang membuatnya duduk di kursi taman yang terletak tidak jauh dari lingkungan sekolah pada pukul 8 pagi, hanya untuk membersihkan luka di wajah menggunakan sapu tangan basah, dan mengompres memar dengan minuman kaleng dingin dari supermarket seberang taman.
"Apa itu lebih baik," tanya Naruto khawatir, meskipun kondisi wajahnya tidak jauh berbeda dari si Uchiha.
"Hn," gumam Sasuke singkat, merampas minuman kaleng dari tangan Naruto lalu ditenggaknya hingga habis.
Berkelahi dengan Sasuke bukanlah hal yang baru. Sehebat apa pun bertengkar, mereka akan kembali seperti biasa setelah saling memukul. Terdengar aneh memang, tetapi mereka sering melakukannya, dan terbiasa dengan itu sejak kecil.
Terkadang ada beberapa kalimat yang sulit mereka ucap, atau tidak bisa sama sekali. Menurut keduanya dengan berkelahi membantu mereka menyampaikan sedikit rasa 'protes'. Meskipun begitu sejujurnya Naruto tidak ingin selalu menghajar Sasuke terlebih dahulu.
"Teme," ada jeda sesaat, "apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?"
"Tidak ada," sahut Sasuke cepat. Ia bersandar pada punggung kursi taman, lalu menatap kosong ke arah langit yang sedikit mendung tertutup awan.
"Aku mengenalmu sangat baik Sasuke, jadi jangan berbohong," desak Naruto.
Ada jeda sesaat sebelum Sasuke membuka mulutnya. "Aku hanya tidak bisa mengatakannya padamu."
"Kenapa? Kau selalu bercerita hal apa pun padaku sebelumya?" desak Naruto lagi. Sedikit kesal karena tidak bisa menerima kenyataan jika Sasuke memang menyembunyikan sesuatu darinya.
"Kenapa kau selalu memaksa?" Sasuke balik bertanya. Membetulkan posisi duduknya, lalu menoleh tajam ke arah Naruto.
"Bukankah kita sahabat?"
"Lagi-lagi kalimat itu," dengus Sasuke, "apa kau tidak bisa berhenti mengucapkan kalimat bodoh itu, Naruto?"
"Sasu?" sela Naruto mengernyit tidak paham.
"Aku sahabatmu. Ya itu benar, tapi bukan berarti kau bisa membuatku melakukan hal apa pun yang kau inginkan, dan memaksaku untuk mengatakan hal yang tidak ingin kukatakan," ujar Sasuke, "kau dan sifat posesifmu itu Naruto, selalu memperlakukanku seakan-akan aku ini benda milikmu,."
"Aku tidak pernah menganggapmu seperti benda," sergah Naruto cepat, "aku tidak bermaksud seperti itu! Aku tidak pernah, sekali pun! Aku hanya ..., aku hanya tidak ingin kau meninggalkanku dan membuangku begitu saja, karena kau satu-satunya temanku, Teme. Aku tidak memiliki orang lain se—"
"Naruto aku gay," potong Sasuke. Iris hitamnya menatap Naruto datar, seakan tidak ada penyesalan sedikit pun.
"H-huh?"
"Kau dengar itu? Aku gay, akan kukatakan berulang kali jika perlu. Apa kau puas sekarang?" ujarnya mantap, "jadi jangan memperlakukanku seperti ini dan membuatku berharap yang tidak-tidak."
.
"Aku gay, akan kukatakan berulang kali jika perlu. Apa kau puas sekarang? Jadi jangan memperlakukanku seperti ini dan membuatku berharap yang tidak-tidak."
Mulut mengulang kalimat yang didengarnya tadi siang, mata menatap kosong langit-langit kamar tidurnya yang gelap, dan ponsel di genggaman tangan kiri.
"Gay," ulangnya lagi.
"Gay?" Lagi.
"Huh ..., gay?" Untuk kesekian kali kata itu terlontar jelas dari bibirnya.
"Sasuke gay, itu berarti dia menyukai seorang pria? Aku paham tentang hal itu, tetapi ... jika Sasuke gay?" ada jeda sesaat, "ini semua sangat bodoh! Lagi pula mengapa aku diam saja saat Sasuke mengatakan hal sepenting itu tadi siang?! Harusnya aku bisa memberinya beberapa pertanyaan, bukan hanya diam tersenyum lalu membiarkannya pergi begitu saja!"
Naruto berdecak kesal.
"Dia merahasiakan ini semua dariku? Apa dia pikir aku akan membencinya jika mengetahui semua hal ini? Mengapa dia berpikir seperti itu? Bukankah aku ini sahabatnya? Apa hanya aku yang menganggapnya sebagai sahabat? Jika Sasuke menyukai seorang wanita aku tidak peduli, itu normal, tetapi pria? Entahlah ... mengapa ini terasa sangat aneh?! aku tidak menganggapnya menjijikkan ..., aku ... aku memiliki teman gay lainnya, dan sedikitnya paham tentang kehidupan mereka, hanya saja jika Sasuke memiliki kekasih yang bukan wanita, aku ..., aku," kalimat menggantung yang diucap membuatnya mengernyit bingung.
Naruto sendiri tidak tahu mengapa tiba-tiba saja ia merasa kesal karena tidak bisa menjawab satu pun pertanyaan yang menghantui kepalanya.
"Sial," geramnya pelan, bangkit untuk duduk di tepi kasur.
Jemarinya bergerak tanpa diperintah, mengetik beberapa kata yang disusun hingga menjadi sebuah kalimat singkat yang dikirimnya melalui sebuah aplikasi.
'Teme, tunggu aku di tempat biasa, ada hal penting yang ingin kukatakan.'
Tidak lagi peduli dengan jarum pendek yang menunjukkan pukul 11 malam, kedua orangtuanya yang sudah pasti terganggu dengan suara bantingan pintu kamar, atau Sasuke yang mungkin saja tidak membaca pesan singkatnya.
Naruto hanya ingin semua pertanyaan dalam kepalanya dijawab. Ia sudah menghabiskan sisa waktunya hari ini hanya untuk memikirkan tentang Sasuke, dan tidak bisa lagi menahan untuk berpura-pura diam. Bahkan 4 blok bisa ditempuhnya hanya dalam beberapa menit karena pengaruh emosi yang memuncak.
"Apa dia tidak membaca pesanku?" batin Naruto dalam hati, mengatur deru napas selagi bersandar pada salah satu tiang listrik.
Memerhatikan sekelilingnya dengan seksama. Taman yang kosong, dahan pohon yang bergerak karena tertiup angin, serta beberapa lampu taman yang padam.
Sepi, tidak ada sosok selain dirinya saat ini.
"Apa yang kupikirkan?" gumam Naruto pelan, mengacak rambut sambil menunduk, menatap kakinya yang berpijak pada tanah, "Sasuke mungkin saja sedang tertidur saat ini."
"Atau tidak."
Kepalanya menoleh ke arah sumber suara. Naruto kenal suara siapa itu, dan tepat sesuai dugaannya, Sasuke melangkah tidak jauh dari tempatnya berdiri.
"Jadi hal penting apa? Cepat katakan, karena jika kau hanya membuang waktu, akan kupastikan kau pulang dengan lebam biru di wajahmu."
Naruto tertawa meskipun ditahan. Ada rasa puas yang aneh pada dirinya melihat Sasuke berdiri tepat di hadapannya saat ini. "Itu ..., mengenai hal tadi siang."
Sasuke menghela napas. Entah mengapa ia sudah bisa menebak jika si pirang akan mengucapkan kalimat yang sama persis dengan apa yang dibayangkan beberapa menit lalu.
"Sasuke," panggil Naruto. Senyum di bibir perlahan memudar saat wajahnya menunduk karena tidak mampu membalas tatap lekat si Uchiha. "Maaf, seharusnya aku tidak memaksamu untuk bertemu selarut ini, tetapi ada hal yang membuatku terganggu, dan aku tidak bisa tenang karena itu."
Sasuke tahu ke mana arah akhir percakapan mereka saat itu. Gelagat si pirang yang terlihat ragu, bahkan tidak mampu melihat wajahnya sudah cukup untuknya menyimpulkan apa yang sedang terjadi di antara mereka saat ini. Namun saat bibirnya terbuka hendak mengeluarkan suara, kalimatnya terpotong oleh genggam lembut di lengan kiri dan kanan.
"Kenapa kau menyembunyikan ini semua dariku? Apa kau pikir aku akan membencimu? Bukankah kita sahabat? Kumohon jangan mengatakan jika selama ini hanya aku yang menganggapmu sebagai sahabatku, Teme." Naruto mengeratkan genggaman, sangat erat hingga bisa merasakan suhu tubuh Sasuke menurun dari telapak tangan. "Apa kau pikir aku sama seperti mereka? Teme, apa kau benar-benar menilaiku sama dengan orang berkepala sempit seperti mereka? Apa pun yang terjadi Sasuke tetap Sasuke, apa bedanya? Tidak ada yang berbeda, jadi jangan menyembunyikan hal apa pun dariku."
Banyak yang ingin dikatakan. Namun Sasuke tidak mampu mengeluarkan satu pun kalimat saat Naruto mendongak untuk menatapnya lekat. Tenggorokannya tercekat, kedua matanya memanas, napasnya memendek, dan kedua lengan yang dingenggam erat si pirang terasa sakit. Kesal. Rasanya sangat kesal hingga membuatnya ingin meledak. Naruto bicara semaunya tanpa memikirkan apa yang ia rasa, tanpa memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya, tanpa memikirkan seharusnya ia juga diberi kesempatan untuk berbicara.
"Karena kita sahabat, bukan?"
"DIAM!"
Naruto tersentak, tubuhnya terdorong beberapa senti ke belakang saat Sasuke menarik kasar kedua lenganya terlepas.
"Harus berapa kali kukatakan aku muak mendengarmu menjadikan sahabat sebagai alasan, Naruto? Terkadang aku tidak bisa membedakan kau ini terlalu bodoh, naif, atau memang tidak bisa membaca situasi?"
"Sasuke," lirih Naruto, "a-aku hanya ingin kita kembali seperti dulu. Aku tidak peduli dengan pilihanmu, k-kau tahu itu bukan? Aku tidak seperti mereka, lagipula aku juga punya teman gay lainnya jadi itu tidak menggangguku, kenapa kau tidak bisa mempercayaiku dalam hal ini? Apa yang harus kulakukan untuk membuatmu kembali seperti biasa?"
Keduanya saling menatap. Mencoba meyakinkan satu sama lain selama beberapa detik, hingga salah satu dari mereka yang berambut hitam lagi-lagi menghela napasnya panjang.
"Naruto, jangan pernah memanggilku dengan sebutan sahabat lagi."
.
Selembar tisu ditarik dari dalam boks, lembar selanjutnya, lalu lembar lainnya.
Di kamarnya yang gelap, Naruto duduk di atas kasur menangisi tingkah bodohnya beberapa menit lalu sambil menonton video porno dengan kata kunci 'short black haired girl getting fucked in the ass' yang dicarinya melalui internet.
Ekspresi wajahnya terlihat buruk menyadari apa yang dilakukannya saat ini terlihat sangat menyedihkan, tetapi ia tidak punya pilihan. Akan lebih mudah baginya untuk mengatakan, dan mengakui 'satu boks tisu habis untuk membersihkan sisa sperma' dibandingkan 'satu boks tisu habis untuk menghapus air mata'.
"Brengsek!" Merutuk disela-sela tangisan. Pantulan video porno dari layar ponselnya terlihat jelas di kedua mata yang sembab.
Selama 6 tahun terakhir selalu membuat para gadis menangis, ini kali pertama untuknya dibuat menangis, terlebih lagi disebabkan oleh Sasuke. Sadar apa yang terjadi bermula karena ulahnya, ia tidak bisa melimpahkan semua kesalahan pada si Uchiha, meskipun begitu tetap saja merasa kesal.
Ia rela melakukan apa pun untuk Sasuke, tetapi—mantan—sahabatnya itu memiliki jalan pikiran yang sulit ditebak. Ia tidak begitu paham keseluruhan tentang 'dunia gay' di mana Sasuke berada saat ini, dan ia tidak suka ditinggal jauh di belakang—tepatnya tidak suka adanya jarak memisah di antara mereka—karena membenci rasa kehilangan.
"Aku sudah katakan, tidak peduli dengan pilihanmu. Kenapa kau tidak paham akan hal itu, Sasuke? Aku tidak akan pernah mengerti tentang duniamu jika kau terus menjauh, tanpa memberikan cukup detail." Helaan napas panjang dari bibirnya terdengar berat. "Sial ..., apa yang harus kulakukan untuk membuatmu berhenti berlari?"
.
Layar ponsel berkedip berulang, tanda notifikasi bertambah setiap detiknya. Tidak tertarik untuk melihat karena tahu siapa yang menganggunya, getaran di saku celana dihiraukan Naruto justru asik memerhatikan club di seberang jalan yang masih tutup.
"Jadi ..., di sana?"
Hampir setengah hari tidak bergerak dari tempatnya duduk—di salah satu halte bus 6 blok ke arah timur dari pusat kota—ditemani beberapa kaleng soda jeruk yang dibelinya menggunakan sisa uang saku, juga tatapan spekulatif yang diberikan para pejalan kaki karena tubuhnya masih dibalut seragam. Sekolah tidak mengijinkannya masuk ke dalam gerbang untuk 3 hari ke depan, dan ia tidak bisa mengenakan pakaian kasual saat meninggalkan rumah karena tidak ingin kedua orangtuanya tahu ini sudah kali ketiga ia dihukum oleh sekolah.
Dulu selalu menghabiskan sisa hukumannya di rumah Sasuke, kini semenjak—mantan—sahabatnya memutuskan hubungan, ia tidak lagi memiliki tempat untuk bersembunyi. Beberapa teman perempuan dari sekolah sebelah tentu menawarkan bantuan, tetapi entah mengapa hari ini ia merasa tidak tertarik membayangkan harus menunggu hingga larut malam di dalam kamar beraroma manis, didominasi warna-warna lembut, dan kikik palsu di telinga.
Lagipula isi kepalanya saat ini sedang berantakan. Seperti benang kusut yang tidak bisa diurai karena ada terlalu banyak hal dipikirkan dalam waktu bersamaan. Ia tidak pernah memaksa kepalanya bekerja terlalu lama sebelumnya, sangat mengerti bagaimana berpikir keras bukanlah keahlian yang bisa dibanggakan.
Setelah puas menangis berkedok masturbasi semalam, memutuskan mencari informasi dirasa sangat penting. Meskipun itu tidak henti membuatnya terkejut, tidak henti membuatnya menganga, dan tidak henti membuatnya membuka mata lebar-lebar. Semua didasari karena rasa keingintahuan yang berlebih, juga rasa kesal karena Sasuke tidak berniat untuk membantunya sama sekali. Menurutnya jika tidak melakukan apa pun, dan membiarkan semuanya berjalan diluar kendalinya, akan semakin sulit baginya mendapatkan Sasuke kembali.
Anehnya, dunia yang baru saja dikenalnya hanya dalam waktu semalam tidak membuatnya terintimidasi.
"6:30 huh, itu berarti menghitung mundur 90 menit dari sekarang."
Tertarik adalah kesimpulan mutlak, dan ia belum mampu untuk mengakuinya. Menurutnya, alasan tepat dibalik semua hal yang ia lakukan adalah karena Sasuke sahabatnya, dan tentu saja ia akan melakukan apa pun untuk mendukung pilihan yang diambil oleh si Uchiha, bahkan jika itu mengharuskannya terjun langsung ke tempat yang terkenal dengan julukan gay club pusat kota.
.
Continued
