Originally made by Kajegaje.

Long time ago requested by Debby, sorry for the long long waiting, eh?


This is Starlight.

Story about Kyungsoo, that has been planned to be Jongin's one and only Starlight since long time ago.

"No matter how hard the path is, what is yours will be yours."

.

Starring EXO and other cast.

WARNING FOR GS AND MAINSTREAM STORY.

WARNING FOR HEARTBREAKING STORY.

WARNING FOR FLUFFY LOVEY-DOVEY.

Disarankan sekalian mendengarkan lagu yang digunakan sebagai BGM agar cerita lebih meresap.

Reviews are appreciated

.


PART: TROUBLEMAKER (Olly Murs Ft. Flo Rida)

Seorang pemuda yang ditaksir berumur dua puluh tahunan sedang berjalan terpincang-pincang ke dalam sebuah ruangan kantor yang bertuliskan Vice President di depan pintunya. Setelah mengetuk pintu dua kali, ia pun segera masuk dan merebahkan dirinya di sofa empuk yang sudah jadi kasur keduanya itu.

"Oi, kenapa kakimu?"

Seorang pria dengan setelan jas khas business man masuk ke dalam ruangan yang sama beberapa saat kemudian.

"Tertimpa buku,"

Wajah sang pria yang ternyata sang Vice President itu pun menampakkan raut heran. "Buku? Buku macam apa yang membuat satu kakimu jadi pincang? Apa ada gadis yang kau buat marah hingga ia melemparimu dengan buku?"

"Ha. Ha. Lucu sekali, hyung." Balas sang pemuda. "Kau tahu itu tak akan terjadi,"

Sang pria menahan tawanya kemudian duduk di sofa kecil di dekat sang pemuda. "Ceritakan,"

"Ingat gadis yang menabrakku di pesta Jimin minggu lalu? Aku bertemu lagi dengannya hari ini di toko buku yang ada di ujung jalan sana. Sepertinya dia baru bekerja disana. Dan percayalah padaku, kerjanya benar-benar serampangan." Ulasnya kesal. "Dia membawa beberapa buku setebal buku Harry Potter dan menabrakku. Lagi. Dan kau bisa tebak apa yang terjadi padaku,"

Kali ini, tak ada lagi tawa yang mampu ditahan lawan bicara sang pemuda. Dengan raut wajah yang seolah mengisyaratkan bahwa ia sangat senang apabila pemuda itu kesakitan, ia melepas tawanya dengan begitu puas.

"Nampaknya kau bahagia melihatku sial,"

Dengan terpaksa, sang pria mencoba memberhentikan tawanya. "Bukan begitu, Jongin. Raut wajah kesalmu itu benar-benar menggelikan, makanya aku tertawa."

"Alasan yang bagus. Aku sedang bercerita tentang mengapa aku datang dengan kaki pincang dan kau tertawa karena muka kesalku menggelikan. Sempurna, terima kasih."

"Okay, okay." Potong sang pria. "Maafkan aku, tapi kau benar-benar lucu tadi,"

"Aku sudah bilang terima kasih, kan?"

"Ya, ya, sudah. Baiklah. Lalu, apa yang terjadi pada gadis itu? Apa dia dimarahi oleh bosnya? Atau bagaimana?"

Jongin, sang pemuda yang setengah kakinya pincang karena tertimpa buku setebal buku Harry Potter yang terkenal seantero semesta itu pun kembali menunjukkan raut kesalnya. "Aku yang jadi korban disini, hyung. Kenapa kau malah menanyakan kabar gadis itu, sih?"

"Kalau kabarmu kutanya, aku sudah tahu jawabannya. Kau pincang. Tapi kalau gadis itu kan aku tidak tahu," kilahnya.

"Setelah aku berteriak sih, yang datang hanya temannya yang bertugas jadi penjaga juga. Tapi sepertinya setelah aku pergi, bosnya datang dan menanyainya. Entahlah, kenapa pula aku harus peduli?"

"Kau... apa? Berteriak?"

"Hyung! Yang benar saja! Bagaimana aku bisa bersikap tenang saat buku setebal novel Harry Potter itu menghantam kakiku? Kau gila, ya?!"

"Ya, ya. Tenanglah, aku kan hanya bertanya. Tanpa kau ulang pun, aku bisa membayangkan sakitnya. Sekarang bagaimana? Apa perlu kuminta Wendy untuk membawakanmu es batu?"

Jongin mengangguk sambil menutup kedua matanya dan mencoba tidur sejenak. "Saran yang terlambat tapi cukup bagus dari seorang wakil presiden yang cerewet dan menyebalkan,"

"Sama-sama,"

"Oh, Chanyeol hyung! Bisakah aku minta orange juice juga? Aku haus,"

Chanyeol, sang pria dengan setelan jas itu pun memasang wajah datarnya sebelum menekan tombol di telepon yang ada di mejanya. "Wendy, tolong minta OB untuk membuatkan orange juice untuk Jongin dan juga jangan lupa bawakan es batu dan air dalam baskom, ya. Kaki anak itu sedang sakit, terima kasih."

"Hei, Jongin," panggil Chanyeol setelah menutup panggilan telfonnya pada Wendy. "Apa yang kau cari di toko buku, ngomong-ngomong?"

"Kumpulan film porno,"

Chanyeol menolehkan kepalanya cepat dari pandangannya yang sebelumnya sedang mencari sesuatu di lacinya pada Jongin yang masih tidur-tiduran dengan santai. "Hah?!"

"Tentu saja aku mencari buku yang dapat membantuku mengerjakan tugas kuliah, hyung. Memangnya apalagi?"

"Kupikir kau benar-benar bodoh mencari film porno di toko buku," jawab Chanyeol lega sambil melanjutkan pencariannya. "Memangnya ada tugas sulit?"

"Tidak sih, tapi ada yang tidak aku mengerti dari tugasnya, jadi aku butuh buku itu. Tapi disana tidak ada,"

"Ah, begitu. Kalau begitu apa sekarang kau tidak ada kegiatan?"

"Ada,"

Chanyeol menolehkan kepalanya lagi pada Jongin yang tidak juga bergerak dari posisinya. "Hah? Apa yang kau kerjakan? Bukannya kau sedang tiduran?"

"Bukankah sedang tiduran adalah juga sebuah kegiatan?"

Dan dengan segera, sebuah pulpen mendarat tepat di dada Jongin yang membuat pemuda itu bangun dengan cepat.

"Ya!"

"Begitu lebih baik."

"Apalagi yang mau kau perintahkan pada anak atasanmu ini, Tuan Park?"

Chanyeol terkekeh pelan lalu memberikan sebuah dokumen perusahaan pada Jongin.

"Apa ini?"

"Itu? Itu adalah buku panduanmu,"

"Untuk?"

"Untuk bekerja disini tentu saja. Kau pikir aku yang akan menggantikan posisi Presiden Direktur setelah Tuan Kim pensiun?"

Jongin mendesah kasar. "Tugas kuliahku bahkan belum selesai!"

Chanyeol mengendikkan bahunya tak peduli. "Maaf, Tuan Muda Kim. Itu perintah Tuan Besar Kim~"

Dan detik selanjutnya adalah erangan marah dari sang Tuan Muda yang disambut raut wajah terkejut dari Wendy dan salah satu OB di Kim Enterprise.

"Oh, maaf Tuan Park, saya tadi sudah mengetuk tapi sepertinya—"

"Tidak apa-apa, Wendy. Tolong taruh baskom itu didekat Jongin, ya. Dan segeralah kembali ke mejamu. Terima kasih, Hyungbeom, Wendy." Ujar Chanyeol penuh wibawa. "Cepat masukkan kakimu ke dalam baskom. Setengah jam kemudian, angkat dan keringkan dengan handuk itu. Lalu, kita akan cari makan siang. Aku sudah lapar,"

Dan dengan segera Jongin merubah ekspresinya menjadi raut gembira serta patuh layaknya anak kecil yang baru saja dijanjikan akan diberi permen gulali jika ia menurut untuk tidak menangis saat disuntik.

Di Kim Enterprise, hanya Chanyeol dan Sehun yang menjabat sebagai General Manager di perusahaan besar itu yang dekat dengan Jongin dan dapat memberinya perintah selayaknya kakak laki-laki dan adik laki-lakinya. Kedekatan mereka terjalin sejak ketiganya masih muda, jadi tidak heran jika hingga saat ini mereka pun tetap dekat seperti saudara. Dalam diamnya saat merendamkan kakinya ke baskom yang dipenuhi air dan es batu, diam-diam pikiran Jongin melayang dan memutar kembali kenangan buruk yang ia dapat setiap kali ia bertemu gadis yang tidak ia ketahui namanya itu. Jongin sebenarnya dikenal sebagai pemuda dengan temperamen yang agak buruk. Sangat mudah sebenarnya membuat anak itu marah, dan juga cukup sulit untuk membuatnya tenang kembali apalagi apabila dia adalah korban dari suatu kejadian yang merugikan. Tapi hari itu, saat di pesta ulangtahun Park Jimin, sepupu Chanyeol yang minggu lalu merayakan pertambahan usianya yang ke delapan belas, Jongin berbeda. Walau dia terlihat cuek dan tetap bersikap dingin seperti biasa, tapi saat gadis itu mengacau dan melibatkan Jongin dalam kekacauan itu dengan menumpahkan minuman yang Jongin bawa ke kemeja pestanya, Jongin tidak marah. Dia bahkan hanya menatap gadis itu sekali lalu melanjutkan langkahnya untuk mengambil cupcake di meja lain. Ketika sang gadis meminta maaf, Jongin pun hanya memintanya untuk pergi, bahkan saat gadis itu kembali meminta maaf untuk kedua kali, jawaban Jongin tetap sama. Chanyeol yang saat itu berada di dekat keduanya pun memilih untuk menengahi perang dingin keduanya dengan meminta sang gadis untuk pergi dan kemudian menghampiri Jongin.

Diluar dugaan, Chanyeol tidak menemukan raut amarah di mata Jongin dan hanya ketidakpedulian saja yang bertengger di wajahnya. Hari itu, Chanyeol dalam kepalanya mencatat satu keajaiban dari diri Jongin yang mungkin hanya ia temui satu kali seumur hidup.

"Tidak marah pada gadis yang membuatnya terlihat memalukan di depan banyak orang."

.

.

Di daerah Gangnam sedang ada food fair, dan Jongin sebagai penyuka kuliner tentu saja tidak akan melewatkan kesempatan untuk mencicipi banyak makanan dengan harga yang terjangkau disana. Beruntung Jongin adalah mahasiswa menjelang semester akhir yang tidak banyak kegiatan kampus, jadi ia punya banyak waktu luang untuk bersenang-senang. Yang tidak ia punya hanyalah banyak teman.

"Hyung! Kau sedang sibuk?"

Jongin menyapa lawan bicaranya di telepon dengan riang.

"Aku sedang di Gangnam, kau tahu kan food fair itu. Kemarilah saat makan siang! Kau harus menemaniku jalan-jalan dan mencari makanan-makanan lezat!"

Jam makan siang yang dimaksud Jongin adalah tiga puluh menit dari sekarang. Sejak pagi, Jongin menghabiskan waktunya di ruang kerja ayahnya untuk menyelesaikan beberapa dokumen kerja yang sengaja ayahnya berikan pada Jongin untuk melatih kemampuan Jongin menyelesaikan dan mempelajari jenis-jenis dokumen yang akan sering ia hadapi saat ia menjadi pemimpin perusahaan nanti. Dan tiga puluh menit lalu adalah waktu dimana akhirnya ia selesai berkutat dengan kumpulan dokumen itu lalu memutuskan untuk berangkat menuju food fair.

"Kalau kau bukan anak atasanku, kau sudah ku sumpahi macam-macam, kau tahu."

"Memangnya selama ini kau tak pernah menyumpahiku? Bohong,"

"Aku ada rapat sepuluh menit lagi, Bodoh. Dan waktu makan siang itu tiga puluh menit lagi!"

"Kalau begitu selesaikan rapatmu dalam dua puluh menit, dan kemarilah."

"Aku akan membunuhmu begitu aku tiba,"

"Ya baiklah, satu jam juga tidak masalah. Aku akan jalan-jalan dulu di mall, nanti kalau kau sudah tiba disini baru kita ke food fair!"

"Satu setengah jam,"

"Baiklah, satu jam empat puluh lima menit. Apa itu sangat cukup?"

"Deal. Jangan makan dulu sebelum aku datang!"

"Cerewet," pungkas Jongin yang lalu menutup panggilannya dan segera melangkahkan kakinya menuju salah satu mall di dekat tempatnya berdiri saat ini.

Sebenarnya, Chanyeol tidak jauh berbeda dengan Jongin. Pria yang hampir memasuki usia kepala tiga ini sangat hobi memasak dan berbelanja. Untung saja pekerjaannya sekarang dapat membantunya menjaga isi dompet dan rekeningnya untuk tetap penuh tiap bulannya, jadi sebanyak apapun atau semahal apapun barang yang ia beli, itu tak akan banyak berpengaruh pada penghasilannya. Jongin, dilain pihak, adalah pemuda yang dingin, cuek tapi cerdas luar biasa, dan juga sederhana. Selama dua puluh dua tahun hidupnya, hanya beberapa kali ia terlihat mengendarai mobil pribadi miliknya. Berbeda dengan sang ayah yang selalu keluar dengan menggunakan mobil mewah yang dikendarai oleh sopir pribadi keluarga dan atau Chanyeol yang bangga sekali dengan Lamborghini terbaru miliknya, Jongin lebih senang menggunakan transportasi umum menuju tempat yang ia inginkan. Jika bukan keadaan yang penting, kendaraan-kendaraan mewah milik Jongin itu hanya akan beristirahat di garasi rumahnya. Namun walau begitu, Jongin sangat suka menghabiskan pundi-pundinya dengan membeli makanan terutama yang berkaitan dengan ayam goreng. Ibarat lebah yang membutuhkan bunga, Jongin pun membutuhkan ayam goreng untuk tetap bisa tetap tersenyum bahagia menjalani harinya.

"Oh, yeoboseyo?"

"Dimana kau bocah? Aku sudah sampai di food fair."

Jongin melihat arlojinya dan tertawa sejenak. "Sudah satu jam setengah ya? Tidak terasa. Padahal aku hanya berputar-putar disini sejak tadi. Baiklah, aku akan kesana. Jangan beli apapun sebelum aku sampai!" teriak Jongin yang kemudian berlari menuju pintu keluar.

"Anak itu. Ku suruh menunggu disini saja malah seenaknya lama-lama di mall."

"Ah!"

Chanyeol menolehkan kepalanya cepat setelah mendengar teriakan kecil seorang gadis di belakangnya. Melihat ada gadis yang ternyata baru saja bertubrukan dengan punggungnya dan ada beberapa belanjaan sang gadis yang jatuh, Chanyeol segera ikut membantu untuk membereskan.

"Oh, maafkan aku nona. Aku tidak tahu kau ada di belakangku," ujar Chanyeol jujur. "Apa kau terluka?" tanyanya sembari membantu sang gadis berdiri.

"Tidak kok, Tuan. Aku baik-baik saja. Terima kasih atas bantuannya,"

Sejenak, dunia Chanyeol saat itu terasa berhenti tiba-tiba. Gadis itu, gadis yang baru saja bertubrukan dengannya terlihat begitu menarik di mata Chanyeol. Jika pengamatan Chanyeol tidak salah (selama ini sih, belum pernah meleset), gadis itu berusia lebih muda darinya dan mungkin perbedaan usia mereka cukup jauh. Gadis itu, punya mata yang... ah, perut Chanyeol tiba-tiba seperti diisi ratusan kupu-kupu saat ia mengulangi ingatannya tentang bagaimana gadis itu menatapnya dengan wajah yang tersenyum dan mata cantiknya itu hilang sesaat. Chanyeol harus tahu siapa nama gadis itu! Chanyeol ha—

"Oi!"

"Eh?"

"Kau ngapain, hyung? Kenapa bengong?"

Chanyeol mengedipkan kedua matanya cepat. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru tempatnya berdiri dan tidak menemukan sosok yang ia cari. Sial, secepat itukah bidadari tadi pergi?

"T-tidak, aku hanya—ah sudahlah, tidak penting. Ayo cepat ke food fair. Perutku sudah keroncongan!"

Jongin mengendikkan bahunya tak acuh dan menyanggupi ajakan pria yang lebih tua tiga tahun darinya itu untuk segera mengisi perut mereka dengan makanan lezat nan murah.

"Ah, takoyaki itu terlihat sangat enak, hyung!"

"Ei, corn-dogs itu juga terlihat lezat!"

"Wah, ada ramyun gila, hyung! Itu sudah terkenal di Jepang, kan? Kita harus co—ah!"

"Oh Ya Tuhanku! Ma-maafkan aku Tu—ah, kau Tuan yang kemarin, ya?"

Jongin melihat kemeja biru langit kesayangannya yang kini sudah tercemari oleh jus jeruk yang tadi ia beli untuk menghilangkan rasa hausnya saat di mall. Sebenarnya, Jongin sudah hampir meledak, tapi begitu telinganya mendengar suara yang familiar, mendadak amarahnya hanya tinggal 10%.

"Kau?" pekik Jongin gemas. "Apa tidak ada yang bisa kau lakukan selain membuatku kesakitan atau malu, huh?" pungkasnya sambil berdecih sekali kemudian melanjutkan langkahnya mendahului Chanyeol. Dalam keterkejutannya, Chanyeol tiba-tiba tertampar sebuah ingatan yang dulu pernah ia simpan tentang perubahan istimewa Jongin yang menghasilkan senyum kecil di sudut bibirnya.

Di lain pihak, pemilik gerai tempat gadis yang menabrak Jongin tadi pun segera menghampiri Jongin dan meminta maaf.

"Maaf Tuan, karena kecerobohan pekerja kami, kemeja Anda menjadi kotor. Sebagai ganti rugi atas ini, Anda dan rekan Anda kami persilahkan untuk menikmati hidangan kami dengan gratis."

Mendengar kata gratis, Chanyeol yang tadinya hanya berniat menenangkan Jongin pun langsung berubah pikiran dan segera merangkul pemuda yang lebih muda darinya itu lalu berbalik menghadap sang pemilik gerai takoyaki tersebut.

"Dengan senang hati. Saya mewakili adik saya, menerima tawaranmu,"

Jongin menatap Chanyeol dengan malas. "Kau dan kepelitanmu, hyung."

"Hei, ini namanya strategi untuk menjaga profit tetap stabil walau kondisi modal sedang turun, Jongin. Ini strategi bisnis, kau tahu."

"Bisnis pantat kuda?" balas Jongin malas. Jongin mengalihkan pandangannya dari takoyakinya dan menatap gadis yang tadi menabraknya, saat ini gadis itu sedang bersama sosok lain yang mungkin adalah atasannya. Dan sepertinya, gadis itu sedang dimarahi.

"Hei, kau tidak mau makan?"

"Enak saja! Bagianmu masih ada!" protes Jongin saat Chanyeol hampir saja mencomot makanannya. "Dasar perut karet!"

"Pelit!"

"Kau lebih pelit, hyung!"

"Ini namanya strategi!"

"Wakil CEO macam apa sebenarnya kau ini, huh? Punya banyak uang tapi selalu bahagia dengan promosi gratisan! Tidak modal!" teriak Jongin dengan tertahan.

"Tidak ada yang tahu aku wakil CEO disini kecuali kau berte—hei, hei! Okay! Aku akan membelikanmu makanan apapun yang kau mau!" final Chanyeol saat ia melihat gerakan Jongin yang terlihat membahayakan statusnya sebagai pria tampan yang sedang santai dari pekerjaan beratnya demi mencari makanan murah.

"Deal!"

Chanyeol menjitak pelan kepala Jongin, kemudian melanjutkan kegiatan makannya tanpa menyadari bahwa Jongin kembali menatap gadis yang saat ini sudah kembali bekerja seperti biasa itu sembari dengan cepat menghabiskan takoyaki pesanannya yang tinggal satu piring.

"Woah, aku kenyang! Ramyun, corn-dogs, takoyaki dan tteopokkie tersayang, kalian benar-benar luar biasa~" seru Jongin sembari menutup mata dan membayangkan makanan-makanan yang tadi ia santap dengan gratis itu.

"Ya, ya. Tentu saja mereka luar biasa. Apalagi karena mereka gratis, kan?" sela Chanyeol dengan nada sarkasnya.

"Ei, itu kan janjimu sendiri. Jangan marah padaku dong kalau pada akhirnya kau merogoh isi dompetmu untuk membantuku kenyang," goda Jongin. "Terima kasih, ya hyung. Aku akan menggantinya lain kali!"

Chanyeol tertawa lalu menjitak kepala Jongin lagi dengan pelan. "Sudah sana, segeralah pulang. Nyonya Kim pasti sudah menunggumu. Lagipula, langitnya sudah mendung sekali."

Jongin mendongak ke atas dan menyetujui perkataan Chanyeol barusan. Ia tidak bawa payung dan hanya membawa sebuah jaket parasut yang ia pakai sebagai luaran kemeja pendeknya saat ini. Jadi kalau memang hujan terjadi sebelum ia sampai di rumah, tentu akan jadi pilihan yang buruk baginya.

"Baiklah. Jangan lupa kerjakan pekerjaanmu dengan baik, hyung! Aku lelah membantumu menyelesaikan dokumen-dokumen sialan itu, tahu!"

"Heh? Dokumen apa?"

"Appa menyuruhku mengerjakan beberapa dokumen, dan aku sangat tahu itu adalah sebagian dari pekerjaanmu yang ia berikan padaku untuk membantumu punya waktu luang lebih banyak, kan?"

Chanyeol tertawa sejenak. "Benarkah Tuan Kim melakukan itu? Pantas saja dokumen-dokumen di mejaku berkurang hampir setengah. Hei, itu adalah dokumen-dokumen yang tidak terlalu aku pahami bagaimana cara menyelesesaikannya, kau tahu. Makanya aku kesampingkan,"

"Begitu? Lalu kenapa aku bisa menyelesaikannya dengan cukup cepat?"

"Well, mungkin itu adalah berkat otakmu yang kapasitas kecerdasannya jauh lebih besar dari punyaku? Sudahlah, anyway, terima kasih bantuannya. Anggap saja traktiran tadi adalah hadiah dariku, ya. Bye bocah!"

Chanyeol berlari menuju tempat parkir dimana mobilnya berada dan meninggalkan Jongin yang tertawa kecil dalam larinya menjauhi tempatnya tadi berdiri. Dengan gerimis yang tiba-tiba turun, adalah keputusan paling tepat bagi Jongin untuk terus berlari sampai tiba di halte bus.

Arloji Jongin sudah menunjukkan pukul lima sore, artinya shift pertama dari food fair sudah berakhir lima belas menit lalu. Kenapa Jongin tahu? Karena salah satu teman sekelasnya yakni Yoon Hyungbin, adalah pemilik salah satu gerai makanan disana. Hujan deras mulai turun, beruntung jaket Jongin hanya sedikit basah karena ia berhasil tiba di halte tepat waktu sebelum hujan deras menyapa bumi. Saat sedang berdiri dan menunggu giliran busnya datang, ekor mata Jongin menangkap sebuah sosok manusia yang berlari dengan cepat mendekati halte. Ia pun menolehkan kepalanya untuk melihat siapa sosok itu, namun karena sosok itu berlari cukup cepat, Jongin baru benar-benar bisa tahu bagaimana wajah sosok itu saat ia berhenti di samping Jongin dengan kondisi basah kuyub.

"Dia lagi?" pikir Jongin.

Sosok yang tadi berlari ternyata adalah gadis yang menabrak Jongin di food fair. Dengan tak acuh, Jongin memilih untuk tidak bersuara dan tetap fokus menunggu busnya datang. Tapi sialnya, gadis itu mengenalinya.

"O-oh, kau Tuan yang kemarin dan tadi siang!" pekiknya. "Tuan, maafkan kecerobohanku. Aku sungguh tidak bermaksud—"

"Tidak masalah," potong Jongin cepat.

"T-tapi Tuan—"

"Aku bilang tidak masalah, kenapa kau keras kepala sekali, sih?"

"Itu karena aku merasa tindakanku memang merugikanmu, makanya aku bersikukuh untuk minta maaf, tahu."

Jongin mendesah kesal. Tadi gadis itu berbicara dengan nada takut, sekarang sudah berubah jadi kesal? Beruntung, bus yang ditunggu Jongin akhirnya datang. Namun, karena tidak melihat pergerakan dari sang gadis yang juga menunggu bus bersamanya itu, Jongin dengan tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menoleh.

"Kau tidak naik?"

"Oh, busku bukan yang ini," balasnya sembari memegangi kedua lengannya; kedinginan.

Jongin mengangguk cepat dan kembali menghadapkan kepalanya ke bus yang pintunya sudah terbuka. Tapi, tiba-tiba...

"Hei!" Jongin melemparkan jaketnya pada sang gadis yang terkejut karena tindakan Jongin. "Pakailah,"

Tanpa mengucap sepatah kata apapun setelahnya, Jongin langsung naik dan duduk di kursi bus yang kosong sambil memandang lurus ke depan hingga bus sudah melaju sekitar lima puluh meter dari halte tersebut. Kini, perlahan, sebuah senyum kecil tiba-tiba muncul di sudut bibir Jongin yang kemudian hilang dengan cepat setelah otak Jongin menyadari siapa yang baru saja mampir ke dalam kepalanya.

"Kenapa juga aku harus peduli dengannya? Ayolah otak, pikirkanlah hal yang lebih penting!" gumamnya seraya berusaha memejamkan mata untuk tidur hingga halte tujuannya tiba.

Sekitar dua puluh menit kemudian, Jongin pun turun di halte yang berada tak terlalu jauh dari rumahnya. Hujan deras yang tadi turun tanpa jeda, sepertinya sudah reda. Jadi, Jongin memilih untuk pulang ke rumahnya dengan langkah santai.

"Aku pulang~"

"Selamat datang, Sayang."

"Umma, mana appa?"

"Di kamarnya, Sayang. Sepertinya ayahmu itu terlalu lelah bekerja, belakangan ia jadi cepat lelah, kau tahu."

Dengan raut khawatir, Jongin pun membalas jawaban Ibunya. "Kalau begitu, bolehkah aku menemuinya?"

Sang Ibu menggelengkan kepalanya pelan. "Dia baru saja istirahat, sepuluh menit lalu dia baru saja pulang dan mengeluhkan kepalanya yang pusing. Lebih baik kau langsung—hei, kenapa dengan bajumu?" tanya sang Ibu saat melihat ada noda kuning di pakaian putranya.

"Ah, ini kena jus jeruk. Tadi ada yang menabrakku saat di food fair."

"Astaga, bukannya ini kemeja kesayanganmu ya? Sudah, cepat ganti baju dan—ya ampun, tadi kau kehujanan?"

"Hanya sedikit, umma. Jangan kaget begitu, ah. Aku naik dulu, ya?"

"Aku pulaaaang~"

"Ah, selamat datang, Sayang. Ohh, syukurlah bajumu kering. Kukira kau juga hujan-hujanan seperti Jongin." goda Nyonya Kim.

Jongin menatap Ibunya tidak setuju. "Umma, aku tidak hujan-hujanan,"

"Memangnya dia dari mana Mama? Tumben sekali sebelum makan malam sudah di rumah?"

Jongin menatap sosok yang sedang berbicara dengan Ibunya itu dengan tatapan malas. "Kau cerewet, Soojung."

"Ish, apa salahnya aku mengkhawatirkanmu? Ya, kan, Mama?" tanya gadis yang Jongin panggil dengan Soojung itu pada Ibu Jongin dengan tatapan bercanda. "Habis, kau selalu tiba di rumah saat makan malam, sih. Aku kan jadi kesepian kalau tidak ada agenda dan kau juga tidak ada di rumah!"

"Kenapa kau tidak main dengan teman-temanmu?"

"Oppa, please. Teman-teman modelku itu tidak seasyik oppa tahu," rajuk Soojung manja.

"Aku tahu, aku tahu. Kau pasti ingin sesuatu dariku, kan? Wajahmu benar-benar jadi sangat menyebalkan, kau tahu?"

Ibu Jongin hanya tertawa melihat interaksi putra dan putrinya tersebut. "Sudah, cepat mandi dan ganti baju. Jangan lupa segera turun kalau makan malam sudah siap, mengerti kalian berdua?"

"Iya umma,"

"Iya Mama,"

Soojung dengan cepat mengikuti langkah Jongin menaiki tangga menuju kamarnya. Dengan sedikit berbisik dan terlihat menahan bahagia, Soojung mendorong Jongin cepat saat lelaki itu sudah membuka pintu kamarnya.

"Aku senang sekali hari ini, kau tahu!" pekiknya tertahan.

"Apalagi hari ini? Kemarin kau ribut karena gebetanmu berubah jadi sangat baik padamu, sekarang apalagi?" tanya Jongin malas. Bagaimana tidak? Sekitar setengah tahun belakangan, pembicaraan yang gadis itu bagi hampir setiap harinya dengan Jongin adalah tentang seorang pemuda berwajah tampan yang Soojung sukai. Padahal sebelum Jongin masuk jenjang perguruan tinggi, perbincangan mereka hanyalah tentang akan kemanakah mereka bermain hari itu apabila Jongin tidak ada kuliah atau Soojung sudah pulang sekolah.

"Ihh, harusnya kau ikut senang, tahu. Ini itu kabar bahagia!"

Soojung tak pernah memanggil Jongin dengan oppa kecuali gadis itu punya keinginan yang absolut yang tidak bisa Jongin abaikan.

"Apa? Kau jadian dengannya?"

Soojung mengangguk cepat dan memenuhi wajahnya dengan raut bahagia yang penuh tinta merah muda. "Kau memang benar-benar saudaraku yang tampan!"

Jongin berdiam diri saat tiba-tiba Soojung memeluknya erat. "Apa umma tahu?"

"Tentu saja tidak!"

"Appa?"

"Kau bercanda?"

"Tidak, sih." Balas Jongin cepat. "Lalu, sampai kapan kau akan menyembunyikannya?"

"Entahlah. Mungkin sampai appa memberi sinyal padaku bahwa aku boleh pacaran?"

Jongin menggeleng tidak setuju. "Kau tahu itu tidak akan terjadi," jawab Jongin. "Kau adalah idol, Soojung. Dan punya kekasih adalah hal kesekian yang harus kau pikirkan kalau kau mau karirmu baik-baik saja,"

"Kami memang merahasiakan ini dari publik, kok!"

"Aku tidak mau tahu kalau ada apa-apa nantinya, ya." pesan Jongin.

"Ahh oppa tidak seru, ih!"

Jongin tertawa kecil. "Dasar gadis manja menyebalkan. Kau harusnya melihat wajahmu sendiri saat merajuk padaku. Itu benar-benar raut yang membuatku kesal,"

"Tapi kau juga tetap sayang padaku,"

"Tentu saja, Bodoh. Kau kan adikku!"

"Ihh, oppa bau jus jeruk!"

Jongin menatap kemejanya sekilas lalu meringis saat menatap Soojung. "Tadi ada accident di food fair."

"Jangan-jangan gadis itu lagi yang terlibat?"

Jongin dan Soojung memang benar-benar jarang tidak saling cerita tentang keseharian mereka masing-masing sejak kecil. Menyenangkan atau menyebalkan, Soojung maupun Jongin akan selalu membaginya bersama. Jadi tidak ada hal yang Jongin tidak tahu dari Soojung dan sebaliknya. Kecuali beberapa bagian yang perlu disembunyikan terutama yang berhubungan dengan perasaan ketika mereka sudah menginjak usia dewasa.

"Kau benar,"

"Ei, apa untungnya sih terlibat accident dengan pemuda sok dingin dan sok cuek sepertimu? Aku saja masih heran, loh, kenapa banyak sekali gadis di luar sana yang mendamba jadi kekasihmu. Aku saja ya, tidak akan sekalipun mau denganmu, tahu."

Jongin menjitak kepala Soojung tidak main-main. "Cerewet," protesnya. "Pergi sana. Cepat mandi, dan jangan terlambat turun untuk makan malam."

Soojung hanya membalas Jongin dengan raut wajah mengejek seraya melangkahkan kaki keluar dari kamar pemuda yang lebih tua darinya itu.

Sepeninggal Soojung, Jongin segera mengunci pintu kamarnya lalu membuka kemejanya dan menaruhnya di kasur sambil memandanginya dengan tatapan sedih. "Dari sekian banyak kemejaku, kenapa harus kau yang jadi korban, sih?" gumam Jongin sembari memindahkan kemejanya ke tempat baju kotor yang ada di kamar mandi dan lalu segera mandi untuk menghindari omelan lebih lanjut dari Ibunya karena ia terlambat turun untuk makan malam seperti beberapa minggu yang lalu saat ia sedang sibuk main game di komputernya.

"Apa gadis itu sudah sampai rumahnya, ya?"

Jongin tiba-tiba kaget sendiri dengan apa yang baru saja ia katakan. Yang benar saja. Dia bahkan tidak mengenal siapa gadis yang belakangan selalu ia temui dalam keadaan sial itu. Dan kini ia harus mempedulikannya?

Sambil sesekali memukul kepalanya sendiri, Jongin melanjutkan acara mandinya tanpa benar-benar menghapus bayangan gadis itu dari pikirannya.

.

.

.


Assalamu'alaikum pembaca!

Menyenangkan akhirnya bisa kembali nongol walau dengan cerita baru lagi yang nggak ada hubungannya sama cerita yang belom selesai kemaren. Tunggu, ya, yang cerita kemaren mau post aja mager karena belom ada feel. *ditimpuk kamus*

Sebelumnya, minal aidzin wal faidzin, maaf lahir batin. Kaje banyak salah karena sering php dan sebagainya. Mohon dimaafkan karena jadwal di kehidupan nyata yang kadang menyita mood untuk sekedar nulis cerita yang bagus.

Oh, apa? Baekhyun abs? Oh, buat saya itu cuma ilusi. Absnya sedikit terlihat karena dia jadi tambah kurus, jadi buat saya itu bukan abs sesungguhnya. *efek tidak terima karena sendirinya belom punya abs, dan Baekhyun yang notabene... cantik, punya abs!*. Semoga bias saya selamanya nggak punya abs, tulung ya penguin, jangan build abs.

Anyway, EXO yang sekarang memang cukup kurang ajar dengan dua lagu andalannya yang ciamik. Apalagi lagu-lagu pengiringnya yang dancenya cukup sialan karena bikin banyak fangirl yang harusnya masih polos jadi ikutan yadong. Tapi nggak apa-apa, memang sudah umurnya para member untuk mulai bikin lagu yang dewasa :)).

Sangat saya tunggu kritik dan sarannya. Jika ada yang ingin request cerita, dipersilahkan untuk PM.

Salam bulan August!