Suara sirine mobil polisi malam itu menembus keheningan langit gelap yang tercipta. Telinga semua orang berdengung mendengarnya, penasaran dengan apapun yang terjadi, diam-diam melongok dari kaca jendela kamar pribadi mereka. Wajah-wajah tak bersahabat para polisi menghentikan segala aksi mengintip, mereka akhirnya kembali menggerai gorden menutupi seluruh kaca dan mematikan lampu.
Rumah yang menjadi tujuan para pengaman Negara itu terlihat terang dan penuh—bukan penuh dengan para penghuni asli rumah, melainkan oleh para polisi yang sibuk keluar masuk dari pintu depan untuk mencari keterangan dan asal-usul penyebab terjadi masalah ini.
Ribut.
Dan mencekam.
Seluruh anggota polisi dibuat bingung karena tak ada satu pun penghuni rumah yang tersisa disana, semakin menyulitkan mereka untuk segera mencari bukti dan saksi.
"Lapor, Pak! Kaca jendela sebuah kamar di lantai dua ditemukan sudah dalam keadaan pecah ketika kami mengeceknya. Diduga kamar tersebut milik putra dari keluarga ini. Kemungkinan juga ia melarikan diri lewat jendela saat insiden terjadi."
Seorang polisi memberikan hormat lapor pada atasannya yang terlihat serius.
"Laporan diterima. Kembali bekerja!"
"Siap!"
Suara bising tak kunjung berhenti setelahnya.
Malam telah larut seiring misteri yang kian menguak rasa penasaran semua orang.
Diantara keramaian yang semakin memekakkan itu, gorden pada jendela sebuah kamar di lantai dua bergerak pelan tertiup angin malam yang menembus kulit. Menampilkan kaca jendela yang pecah di bagian tengahnya—seolah ada orang berusaha kabur dengan terpaksa menerobosnya.
Darah yang tertinggal di pinggiran kaca yang pecah dan bingkai jendela yang dingin tampak kontras dengan suasana kamar yang remang-remang kala itu.
v
v
BOYS BE
© xkagehime
Chaptered Present
Seventeen – Couples – Meanie
Romance – Friendship
Sorry for typos, ^^v
Enjoy!
.
.
1 Agustus 20xx
Bruk!
"Akhhh!"
"Waduh, mianhae!"
Rintihan mendadak dari seorang yang tertidur di kasur di sebelahnya telah membangunkan sosok bermata sipit yang sebelumnya tertidur nyenyak. Ia bahkan tak tampak seperti terbangun—tentu saja ia masih sangat mengantuk—karena matanya yang hanya segaris, melongok dan menoleh kaget ketika suara asing dan dengan tiba-tiba menusuk telinganya.
"Eoh?" celetuknya bak orang idiot.
"Eh, dia bangun? Maaf, ya, mengagetkan. Ehehehe... woi, bangun! Mengganggu saja!"
Kwon Soonyoung memukul tubuh Boo Seungkwan yang jatuh menimpa dirinya. Si pelaku kesalahan menguatkan kakinya dan bangun setelah sebelumnya sempat kehilangan keseimbangan sehingga berakhir menimpa teman di kasur bawahnya, efek masih mengantuk.
"Kau—" suara yang tadi terbangun tersendat karena serak baru bangun tidur. Setelah menelan ludah, ia kembali memaksa melanjutkan. "—tidak apa-apa?"
"Oh? Ya, tentu saja." Seungkwan awalnya tampak terkejut mendengarnya. Ia melipat selimut dan naik beberapa anak tangga untuk menaruh diatas kasurnya sendiri. "Aku harus bergegas, karena hari ini aku yang bertugas menyiapkan sarapan."
"Masak yang enak, ya." Soonyoung berpesan dalam kantuknya.
"Bagaimana dengan... tugasmu semalam?" lanjut sang hyung yang terlihat tak sabar ingin kembali berbaring, namun menahan diri agar dapat memulai percakapan lebih dengan dongsaeng-nya itu.
Seungkwan melirik Soonyoung yang dengan seenak jidat kembali merebah di kasur dan melanjutkan tidur, lalu kembali pada si penanya. "Tugasku? Tentu saja telah selesai."
"Oh, ya sudah." Si penanya kini menarik selimut dan kembali berbaring. "Aku tidur lagi, ya."
"Ne..."
Seungkwan melangkah. Setelah melewati satu kasur tingkat milik si tertua dan wakilnya, Seungkwan meraih pintu keluar berwarna hijau terang di pojok ruangan yang sunyi. Dengan perlahan ia membuka pintu, dan melangkah keluar.
Setelah menatap sebentar kasur sang hyung yang tak sengaja terbangun sebelumnya, Seungkwan kembali melangkah. Tanpa ragu tertelan dalam kegelapan ruangan dan menutup pintu dengan tak kalah perlahan.
-0-0-0-
"MINGYU HYUNG MANDINYA LAMA!"
Junghan menoleh ketika mendengar dongsaeng-nya yang tersiksa di depan pintu kamar mandi itu berteriak untuk kesekian kalinya. "Dino-ya, mau makan dulu?"
"Eh? Ukh..."
Little giant di ruangan itu terlihat bingung. Pasalnya, menu sarapan kali ini adalah makanan kesukaannya, dan ia ragu apakah harus menunggu lebih lama di depan kamar mandi dan kembali berteriak yang jelas-jelas takkan di notice oleh orang di dalamnya.
"Sudah, makan saja. Keburu telat."
Choi Seungcheol yang telah terbalut seragam memakan sesendok besar masakan ala Seungkwan untuk sarapan di bangkunya. Di sampingnya, Joshua menyeruput tehnya dengan kalem, Jun mengolesi roti sarapannya dengan selai, dan banyak aktivitas hyung lainnya di dapur.
"Tapi tidak enak kalau makan dulu baru mandi..."
"Tidak apa-apa. Kalau setelahnya masih lapar, akan kusisakan sedikit di panci." Jihoon menyahut dari dalam dapur dengan baik hati.
Raut wajah sang maknae bersinar cerah. "Woah! Kalau begitu, ayo—"
Cklek. "Berisik ya, dari tadi teriak-teriak terus. Sana masuk!"
Sosok menjulang Kim Mingyu keluar dari kamar mandi dan telah bersiap. Ia tersenyum jahil pada si termuda dan melenggang gontai masuk ke ruang makan yang penuh aroma masakan.
Dino melongo tak percaya, di pagi yang terlihat begitu bersahabat ini, ia telah dikerjai, dan yang lebih menjengkelkan adalah ia dikerjai oleh hyung tingginya itu.
Tak lama kemudian, semua telah berkumpul di ruang makan. Beberapa dari mereka yang telah makan duluan kembali menyendok porsi atau sekedar memakan roti selai yang telah dioles Jun. Mereka duduk melingkar di meja makan seadanya.
Seungkwan yang menyendok makanannya berujar. "Oh ya, hyung. Tadi pagi aku berbicara dengannya."
"Bicara?" sela Vernon.
"Iya, dengannya." jelas Seungkwan disertai penekanan.
"Oh." Seungcheol meletakkan sendoknya dan meneguk minum. "Dia, ya."
"Kau serius tidak apa-apa kalau dia disini?" kata Junghan di sebelahnya.
"Kenapa tidak?" Seungcheol menoleh bingung.
"Karena... yah, kau tahu, dia belum bertemu..." kini Joshua yang buka suara.
"Tuan Kim. Iya, aku tahu." Seungcheol memutus cepat. Ia mengerti betul apa yang dikhawatirkan dongsaeng-dongsaengnya. "Untuk sementara, biarkan saja dia disini."
Dokyeom berujar pelan-pelan, seolah rahasia. "Kalau boleh jujur, dia tampak mengerikan."
"Maksudmu, menyedihkan. Jangan bercanda, ia tidak mengerikan, kok. Terlihat baik dan kalem." Mingyu menggedikkan bahu acuh.
"Oh... hohoho..." yang lainnya berkoar tak menyangka sambil bertepuk tangan heboh dan menertawakan Mingyu yang hanya bisa tersenyum lebar sambil mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi—tampak bangga dengan dirinya sendiri.
"Yah, tidak buruk juga menerima orang baru disini." Soonyoung mengangguk setuju.
"Siapa tahu ia pintar beres-beres rumah!" Jun berceletuk.
"Oi, tentu saja ia akan mendapat bagian piket untuk membereskan rumah!"
"Benar. Kalaupun dia orang jahat, kita akan dengan senang hati mengusirnya." Minghao menunjukkan tinjunya, disambut dengan tawa setuju yang lainnya.
"Ayo kita menerimanya dengan tangan terbuka." Seungcheol memutuskan dengan tersenyum.
Pandangan matanya tertuju pada pintu kamar hijau yang masih tertutup rapat. Di dalamnya, sosok baru mungkin masih terlelap disana.
"Kalau begitu, ayo kita semakin akrab dengannya." Mingyu menyudahi sarapannya dan bangkit berdiri.
"Eh?"
Seketika sarannya menimbulkan kekagetan diantara yang lain.
"Apa? Kalian tidak mau akrab?" Mingyu mengangkat alisnya bingung.
"Eh, tidak... maksudku, serius? Sekarang?"
"Bagaimana bisa kalian menerimanya tanpa mengakrabkan diri? Bagaimana jika ia merasa dirinya masih saja tak dianggap dan tak diterima, masih merasa asing dan terbuang, masih merasa sendirian sehingga ia tak bisa melupakan masa lalunya? Itu sama saja dengan kalian tak menerimanya, tahu."
Mingyu berkoar kecil sambil melangkah pasti menuju pintu hijau yang tertutup menghadap celah dapur. "Ngomong-ngomong, sebentar lagi kita harus berangkat."
Jam menunjukkan pukul setengah delapan.
Tangannya meraih kenop, membuka pintunya perlahan seolah tak ingin mengganggu. Ia memasukkan tubuhnya dan meninggalkan kepalanya di luar, menunjukkan senyum percaya diri dan sebuah thumbs up kepada teman-temannya sebelum akhirnya hilang di balik pintu.
Senyum dan rasa percaya diri itu berbekas di penglihatan mereka masing-masing.
"Benar." Seungcheol berdiri dan bertepuk tangan mengomandoi. Seluruh kepala yang mengitari meja makan terdongak menatap dirinya.
"Pakai tas dan sepatu kalian. Kita harus berangkat sekarang, pelajaran pertamaku hari ini Han seonsaengnim. Aku tak ingin lari mengelilingi lapangan untuk ketiga kalinya."
"Dino, jersey olahragamu jangan sampai ketinggalan."
"Dokyeom, tempat pensilku kau pinjam semalam."
"Oh iya! Soonyoung, kau taruh dimana penghapus dinosaurus milik Dino?"
"Sudah kukembalikan, Joshua hyung!"
"Belum! Kulihat semalam hyung tertidur di meja belajar dan penghapusku tertindih pipimu!"
Soonyoung menoleh dengan wajah horor. "Aku tidak tidur di meja belajar..."
"Kalau kau tidak dibangunkan olehku, kau pasti sakit punggung sekarang, kau tahu." Seungcheol lewat di belakang Soonyoung dengan wajah datar.
"Oh, benarkah? Terima kasih kalau begitu, hyung."
"Penghapusku, hyung?"
"Nanti saja, aku akan mengembalikannya! Sekarang dimana kaus kakiku? Astaga, siapa yang mencucinya?!"
"Bukan aku, swear."
"Pukpuk, Dino-ya! Hwaiting!"
"Jun, pulang sekolah berangkat bareng ke tempat kerja, ya. Tunggu aku di gerbang timur."
"Kalian kerja sambilan?"
"Di toko kecil milik Nenek Kim dekat sekolah, tahu kan?"
"Oh, aku tahu. Aku sering membeli makanan disana."
"Nah! Hyung ketahuan sering bolos saat pelajaran."
"Heh, enak saja!"
Gerombolan 11 orang itu ribut berbicara sambil mempersiapkan diri. Mereka membuka pintu utama dan satu per satu keluar dari dalam rumah. Beberapa menunggu mereka yang masih memasukkan buku atau mengikat tali sepatu, atau yang masih mencari kaus kaki.
Cklek.
Sebelas orang yang sama sekali belum mencapai pagar luar itu terdiam begitu melihat pintu hijau yang terbuka mendadak. Menampilkan tubuh menjulang Mingyu dibelakang sosok yang masih baru bagi mereka.
Berdiri masih dengan kaus tidur dan celana pendek, wajah kusut bangun tidur dan mata yang hanya segaris. Sosok itu mengusap matanya, lalu terkejut dan salah tingkah ketika banyak sekali orang yang menatap dirinya. Ia terlihat kikuk dan tak tahu harus berbuat apa, khas orang yang baru pertama kali bertemu.
"Wah, sepertinya aku telat bangun." katanya pelan. Senyum kecil dan sedikit ingin tertawa terpatri dalam wajahnya yang masih malu-malu.
Sebelas orang itu sendiri juga tidak tahu bagaimana harus berbuat.
"Apa? Kalian tidak mau akrab?"
Suara itu terngiang pada batin masing-masing dari mereka.
"Ahaha, tidak apa-apa, hyung! Kami juga seperti itu, kok. Santai saja." Seungkwan melambai, selaku orang yang tahu bahwa si sosok baru itu sempat terbangun karena dirinya dini hari tadi.
"Bagaimana bisa kalian menerimanya tanpa mengakrabkan diri?"
Sekali lagi.
"Kami masih menyisakan sarapan jika kau mau. Anggap saja rumah sendiri, ya!" Jihoon melambai juga, diikuti Seungcheol, Jun, Joshua, Minghao, dan Soonyoung.
"Bagaimana jika ia merasa dirinya masih saja tak dianggap dan tak diterima, masih merasa asing dan terbuang..."
Terus terulang.
"Kami berangkat dulu. Istirahat saja di rumah, jangan lakukan apapun yang memberatkan dan tidak perlu sungkan. Tunggu kami pulang, ya! Kami akan menyiapkan makan malam nanti." Junghan berpesan dan ikut melambai. Vernon dan Dokyeom juga tak lupa melambai dan tersenyum lebar.
"Dah...!"
Mingyu menatap sosok itu sebentar sebelum akhirnya berlari keluar dari pintu setelah memakai sepatunya. Senyumnya ia tebar dan terus melambai sampai ia berdiri bersama yang lainnya, siap keluar dari pagar dan pergi ke sekolah.
"... masih merasa sendirian sehingga ia tak bisa melupakan masa lalunya?—
.
.
.
—Itu sama saja dengan kalian tak menerimanya, tahu..."
Tak dapat terlupa begitu saja.
"Wonwoo hyung, selamat pagi!"
Sorakan Dino terdengar keras-keras. Senyumnya terpatri lebar sehingga matanya menipis. Ia melambai dengan kedua tangan tanda dirinya bersemangat sekali.
"Iya..." Wonwoo tak bisa berhenti speechless melihat sosok-sosok bergerombol itu tampak terbiasa dengan dirinya yang notabene orang asing. "annyeong."
Bibirnya berucap membalas sapaan, tangannya terangkat membalas lambaian, dan senyumnya terkembang membalas senyuman mereka. Sebuah perasaan asing menelusup dalam relung dadanya.
.
.
.
Junghan berujar dari balik punggung Seungcheol yang berjalan di depannya.
"Memang benar, sepertinya tidak buruk menerimanya."
"Tentu saja," Seungcheol mengangguk bangga dengan keputusannya.
"Karena sebenarnya, mungkin saja ia juga bernasib sama dengan kita, kan?"
.
.
.
Ketika kerumunan itu menjauh, Wonwoo tetap berdiri di ambang pintu hingga mereka hilang di tikungan. Suasana pagi yang masih dingin, di tempat asing yang ia sendiri belum yakin dimana ini, dan awal dimana sebuah perasaan yang begitu asing menelusup dalam hatinya.
Menyisakan dirinya bersama dengan kehangatan yang selama ini telah sirna dari sisinya.
Jeon Wonwoo sadar, perasaan ini terasa hangat entah kenapa.
.
.
.
.
.
.
To be continued
A/N:
Woaaah...! Halo, saya kembali :)))
Berdasarkan FF sebelumnya, banyak yang nyaranin bikin chaptered Meanie atau kopel lainnya. Dan sekarang saya kambek dengan mencoba membuat chaptered seperti yang diminta :D
Mungkin chap-nya juga tidak akan banyak-banyak dan plotnya terkesan sederhana. Kedepannya juga akan diusahakan banyak moment untuk tiap kopel yang memungkinkan untuk muncul. Di cerita ini juga ada unsur mystery nya ya... akan terkuak di chapter-chapter selanjutnya!
FF ini juga akan dilanjutkan semampunya jika banyak waktu luang. Karena sebentar lagi minggu-minggu UAS, jadi ya... waktunya akan terbagi-bagi. Saya sebagai newbie juga masih belajar banyak, harap memaklumi :)
Terima kasih yaaaa untuk readers dan reviewers ff SOMEHOW sebelumnya.
Yang belum baca, bisa mengintipnya sedikit, boleh kok, hehehe!
And... last,
Reviews please?
-Hime
