Anak itu terbangun ketika mendengar suara berisik dari luar kamarnya, ia turun dari tempat tidurnya dan berjalan keluar dari kamar. Ini baru pukul dua dini hari dan tidak wajar jika dirumahnya terdengar teriakan dan umpatan-umpatan yang sangat tidak ia sukai itu. Kakinya melangkah perlahan mendekati pagar pembatas tangga. Dari sana ia bisa melihat dua orang yang paling disayanginya saling membalas makian dan umpatan kasar. Ini bukan yang pertama kali baginya. Tapi tetap saja terasa begitu sakit saat melihat semuanya.

Sebuah koper hitam tergeletak begitu saja di samping ayahnya yang sedang berdiri tegang, ibunya berdiri di hadapan ayahnya dengan air mata yang telah membasahi pipinya.

"Maaf.." satu kata dari mulut sang ayah.

"Terserah apa yang ingin kau lakukan, aku tidak menghalangi hubunganmu dengan wanita itu. Mungkin aku memiliki banyak kekurangan sehingga kau mencari wanita lain sebagai gantinya. Tapi tidakkah kau mengingat anak kita? dia masih membutuhkan kasih sayangmu. Kasih sayang dari kita." Tangan wanita itu bergerak mengambil koper yang berada di samping suaminya. "Kita selesaikan dulu semua ini, setelah itu kau boleh pergi."

DEG

Apa yang dikatakan ibunya? Anak itu mulai melangkah menyusuri anak tangga dengan perlahan. Ingin rasanya ia berlari dan berteriak kepada dua orang yang tidak lain adalah orang tuanya itu untuk tidak bertengkar. Tapi ia tak bisa, kakinya terasa lelah melangkah, mulutnya terkunci rapat. Ia berusaha untuk tidak mencampuri urusan orang tuanya. Biarlah mereka menyelesaikannya. Ia hanya anak kecil yang tak akan di dengar.

"EommaAppa.." Panggilnya dengan suara serak, ia berusaha menahan airmatanya. Dia anak laki-laki dan tidak sepantasnya menangis. Itu yang selalu ayahnya katakan.

"Kyu Hyun-ah …"

Anak itu, Kyu Hyun berlari ketika ibunya melafalkan namanya dengan lembut. Sang ibu langsung menyambut pelukan dari anak sematawayangnya itu.

"Siapa yang akan pergi?" Tanya Kyu Hyun. Masih dalam pelukan ibunya. Airmatanya sudah tumpah, tangannya bergerak kasar mencoba menghentikan air yang terus keluar dari matanya itu. "Aku tidak mau menangis, tapi airmatanya tidak mau berhenti keluar," keluhnya, ketika menyadari usahanya –menghentikan airmata- sia-sia sudah. Dia tetap menangis, bahkan terisak pelan.

"Tidak apa-apa sayang," ujar sang ibu, menenangkan Kyu Hyun dengan mengusap lembut kepalanya. "Tidak ada yang pergi, kau tidur lagi ya.. eommatemani."

Kyu Hyun menggeleng, mana mungkin dia dapat terlelap sedangkan kedua orangtuanya sibuk beradu mulut? "Appa.." Mata Kyu Hyun beralih menatap ayahnya. "Kyu mau tidur dengan Appa." Kyu Hyun menatap ayahnya dengan penuh harap, ia tahu ada yang tidak beres dengan ayahnya yang masih berdiri mematung itu. Ia tak mau ayahnya pergi, ia ingin keluarganya tetap utuh. Appa, Eomma, dan dia.

Kim Ha Na, ibunya melakukan hal yang sama dengan Kyu Hyun, menatap suaminya dengan penuh harap. Tapi suaminya tetap bergeming, tak beranjak sedikitpun dari tempatnya bahkan sama sekali tidak mau mengangkat kepalanya yang masih tertunduk.

"Maafkan aku Ha Na-ya." Ucap laki-laki itu singkat seraya beranjak dengan mendorong koper hitam yang sejak tadi tergeletak di dekatnya. Ia menghampiri istrinya yang tengah menggendong Kyu Hyun, mengecup puncak kepala anak itu kemudian melangkah mantap menggapai pintu keluar.

"Appa! Khajima Appa!"

Kyu Hyun berontak. Tangis histerispun terdengar sangat nyaring malam itu.


Empty Heart


Cast:


Cho Kyu Hyun,

Lee Dong Hae,

Kim Ki Bum,

Lee Hyuk Jae,

Park Jung Soo.


By:


Khy13


"Kyu Hyun-ah.."

Kyu Hyun bergeming. Dia sama sekali tak mau walau untuk sekedar menatap laki-laki paruh baya yang berdiri di belakangnya.

"Ayah merindukanmu…"

Kyu Hyun tetap diam, bahkan ia tak peduli dengan suara laki-laki itu yang sedikit bergetar. Hatinya sakit mendengar suara itu sedikit bergetar, menahan tangis. Tapi keegoisannya mengalahkan semuanya, memorinya seakan berputar, mengulang kembali masa dimana laki-laki itu menyakiti ibunya. Ia membencinya.

"Bagaimana… keadaanmu?" dalam keraguan, laki-laki itu tetap melanjutkan kalimatnya.

"Kukira kau tidak akan pernah kembali," ujar Kyu Hyun tiba-tiba. Dengan nada dingin, khas seorang Cho Kyu Hyun. "Aku bahakan berharap agar tidak pernah melihat wajahmu lagi, Tuan."

Laki-laki itu tertegun, "Kyu Hyun-ah maafkan aku."

Kyu Hyun berbalik, menatap wajah sang ayah dengan amarah. Matanya memerah dan sedikit sembab, ayahnya tahu kalau Kyu Hyun telah menangis.

"Apa yang kau pikirkan selama ini hmm? kau meninggalkan aku dan ibu hanya demi wanita itu. Dan sekarang kau datang lagi? cih menjijikan!" Kyu Hyun, terdiam sesaat. Helaan napas terdengar diantara keduanya. "Saat itu aku masih berusia 4 tahun, aku begitu mengagumi ayahku, seoarang laki-laki tegas berwibawa yang sangat menyayangiku. Ternyata aku salah, saat itu aku hanya seorang anak kecil yang mudah dibodohi oleh seorang laki-laki yang semua orang bilang dia adalah ayahku dan ternyata dia hanya seorang laki-laki berengsek yang tak mempunyai otak!"

"Jaga bicaramu Cho Kyu Hyun! siapa yang mengajarkanmu bersikap seperti itu!" bentak sang ayah. Kyu Hyun tersenyum sinis.

"Kau tahu, Tuan? aku bahkan tidak pernah mendapat pengajaran sikap yang baik dari ayahku." Desis Kyu Hyun tajam.

Keheningan menguasai mereka sesaat sebelum Kyu Hyun melanjutkan kalimatnya. "Aku akan memaafkanmu jika kau bisa mengembalikan ibuku. Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk mengganggu ketenanganku disini." Kemudian Kyu Hyun pergi dari tempat itu, meninggalkan ayahnya yang berdiam diri dengan air mata yang telah membasahi pipinya.

"Maafkan aku Ha Na-ya.."

Tubuh itu terjatuh, berlutut di hadapan sebuah gundukan tanah bertabur bunga. Dia meraba batu yang tertancap di sisi lain tanah itu dengan tangan bergetar, perlahan menyusuri deretan huruf yang terukir pada batu itu yang bertuliskan nama isteri tercintanya.


Kyu Hyun membuka pintu dan menutupnya kembali dengan sebuah bantingan. Ia berjalan cepat menuju kamarnya yang terletak di ujung ruangan.

Rumah sederhana itu terlihat sangat sepi, hanya ada seorang laki-laki yang sedang menata beberapa makanan di meja makan, laki-laki itu hanya berdecak melihat tingkah Kyu Hyun, kemudian menghampiri pintu kamar Kyu Hyun yang telah tertutup sempurna.

"Kyu Hyun-ie, sebaiknya kau makan malam dulu," teriak laki-laki itu sambil mengetuk pintu kayu itu beberapa kali.

"Aku tak lapar Hyung!" teriak Kyu Hyun dari dalam kamarnya.

"Kau kira perutmu itu apa huh? Dia harus diisi makanan, kau tahu?!" teriak pria yang dipanggil Hyung ini, tak mau kalah dengan teriakan Kyu Hyun.

Pintu terbuka. Menampakan wajah Kyu Hyun yang terlihat lesu dengan mata yang masih terlihat sembab.

"Kau dari mana bocah!"

Laki-laki itu mendaratkan sebuah jitakan di kepala Kyu Hyun. Walaupun pelan, Kyu Hyun tetap meringis.

"Mana makanannya. Aku lapar." Kyu Hyun tak mengindahkan perkataan Hyung-nya itu dan segera berjalan menuju meja makan.

"Siapa yang tadi bilang tidak lapar," sindir laki-laki itu sambil berjalan mengikuti langkah Kyu Hyun dan duduk dihadapan Kyu Hyun yang sudah mengisi mangkuknya dengan nasi.

"Aku hanya malas, tapi kau terus mengetuk pintu. Aku tak ingin pintu itu rusak."

Laki-laki itu hanya terkekeh. Memerhatikan tingkah adiknya yang benar-benar tak dapat di tebak itu. siapa yang tidak khawatir jika melihat adiknya pulang dengan membanting pintu dan kemudian mengurung diri di kamar? Tentu saja laki-laki bernama Lee Dong Hae itu khawatir dan akan berusaha membujuk Kyu Hyun keluar dari kamarnya.

"Kau dari mana saja, hm?" tanya Dog Hae setelah menelan sesendok nasi.

"Bukankah tadi sebelum berangkat aku sudah bilang, aku akan ke makam eomma."

"Kukira mengunjungi makam eomma-mu tidak akan selama ini."

"Hanya jalan-jalan dengan Ki Bum."

"Kim Ki Bum?"

"Ye."

"Aku tak suka kau bergaul dengannya."

Kyu Hyun mengernyit mendengar kalimat tersebut keluar dari mulut Dong Hae. Selama ini Hyung-nya itu memang terlihat tak suka jika ia bersama Ki Bum. Dan ini adalah kali pertama Dong Hae mengungkapkan ketidaksukaannya.

"Apa yang salah dengan Ki Bum, Hyung?"

"Aku tak suka, dia bukan anak yang baik, Kyu," jelas Dong Hae. Tangannya terulur menuangkan air putih ke gelas Kyu Hyun dan gelas miliknya. Kemudian meminumnya. "Masih banyak orang yang ingin menjadi temanmu."

Kyu Hyun berdecak. Kembali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Dia sama sekali tak ingin melanjutkan perbincangan ini. Apa yang harus dikatakannya kepada Dong Hae mengingat eksistensinya dimata teman-teman dan para guru di sekolah adalah dalam sisi negatif.

"Hyung menemukan surat panggilan orang tua di kamarmu tadi pagi."

"Kau masuk ke kamarku tanpa izin!" bentak Kyu Hyun tiba-tiba sambil menyimpan sendoknya dengan kasar di atas meja.

"Terlalu banyak yang kau sembunyikan dari Hyung, Kyu! Hyung harus tahu segala hal tentangmu!"

"Aku tak suka! Kenapa kau terlalu mempedulikanku?"

"Aku sudah berjanji kepada ib—"

"Arraseo! Kau menjagaku, mengurusku, dan selalu memperdulikanku karena kau sudah berjanji kepada ibuku, kan?!" kali ini Kyu Hyun benar-benar berteriak. Ia berdiri tiba-tiba hingga terdengar suara kursi yang berdecit akibat gerakan Kyu Hyun. "Aku selesai!" ditegukanya separuh dari isi gelas dan Kyu Hyun segera berlari menuju pintu keluar.

"Ya Tuhan. Apa aku salah bicara lagi?! Kenapa dia jadi semarah itu!" teriak Dong Hae, entah kepada siapa. Ia terlalu jengah dengan sikap Kyu Hyun yang terlalu kekanakan itu.


Dentuman musik yang memekakan telinga itu tidak membuat Kyu Hyun terganggu. Namja itu bahkan terlihat menikmati alunan musik dengan sebuah gelas bertungkai tinggi di tangannya, tubuhnya bergerak mengikuti alunan musik yang terdengar indah di telinga orang-oarang yang tengah melakukan hal yang sama dengan Kyu Hyun itu.

"Ya! Cho Kyu Hyun, kau datang lagi!" teriak seseorang sambil merebut gelas di tangan Kyu Hyun dan meminumnya seteguk.

"Aku bosan di rumah, Ki Bum-ah." Kyu Hyun menghentikan gerak tubuhnya, tangannya menarik pergelangan tangan Ki Bum untuk menepi ke sisi ruangan.

"Mana minumanku, Hyuk Jae Hyung?" tanya Kyu Hyun kepada seorang laki-laki yang tak lain adalah bartender tempat tersebut. Kyu Hyun mendudukan dirinya di sebuah kursi tinggi, menumpukan kepalanya di atas meja dan mulai berceloteh tak jelas.

"Panggil aku Eun Hyuk jika aku disini, Cho Kyu Hyun bodoh!" gerutu Eun Hyuk. Laki-laki dengan nama asli Lee Hyuk Jae itu tak ingin dipanggil dengan nama asli ketika sedang bekerja.

"Berapa botol dia minum? Tidak biasanya sampai mabuk seperti ini, Hyung?"

Hyuk Jae terlihat berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan Ki Bum, "Lima, Mungkin?" Hyuk Jae terlihat gamang, entahlah, dia juga tak menghitung berapa botol yang Kyu Hyun pesan tadi. Yang jelas, laki-laki yang tengah meracau tak jelas itu minum sangat banyak. "Sebaiknya kau bawa dia ke rumah sakit atau klinik setelah ini, Ki Bum-ah. Aku takut dia keracunan alkohol."

"Aku datang ke sini juga untuk mengikuti jejaknya," ujar Ki Bum sambil tersenyum miring.

Hyuk Jae menggelengkan kepala. "Tidak, Ki Bum-ah. Salah satu di antara kalian harus tetap sadar atau aku akan di depak dari tempat ini karena bocah itu mengamuk di jalan lagi." Tangan Hyuk Jae menunjuk Kyu Hyun yang telah beranjak dari tempatnya. Mulai melangkah sempoyongan ke arah toilet.

"Astaga, bocah itu benar-benar menyusahkan!" gerutu Ki Bum sambil berlari pelan mengikuti Kyu Hyun.


Tangan Ki Bum memijat pelan tengkuk Kyu Hyun. Wajahnya dipalingkan karena tak ingin melihat Kyu Hyun yang sedang memuntahkan seluruh isi perutnya.

"Kau ini gila atau apa, kau tahu kan hyung-mu itu tak suka kepadaku. Dan sekarang kau datang kesini tanpaku, lalu aku akan mendapat kebencian berkali-kali lipat lagi dari Dong Hae hyung karena mengantarmu pulang dalam keadaan mabuk seperti ini."

Ki Bum masih saja menggerutu, tidak memperhatikan Kyu Hyun yang sudah lemas. Kyu Hyun mencuci mulutnya dengan air yang terasa sangat dingin itu. tangannya tertumpu di bahu Ki Bum, meremas sedikit keras bahu itu membuat Ki Bum menoleh kearahnya.

"Kau lihat wajahmu itu?" Ki Bum menunjuk wajah Kyu Hyun yang terlihat sangat tirus pada cermin di hadapan mereka. "Sekarang kau lebih buruk dariku, Kyu," lanjutnya. Tangannya mengalungkan sebelah tangan Kyu Hyun di pundaknya. Membantu Kyu Hyun berjalan keluar dari tempat itu.

Hyuk Jae Segera membantu Ki Bum ketika melihat laki-laki itu sedikit kesulitan membawa tubuh Kyu Hyun yang sudah benar-benar lemas.

"Pelajar macam apa kalian ini. Seharusnya sekarang kalian berada di kamar masing-masing untuk tidur agar esok hari tak terlambat datang ke sekolah."

Hyuk Jae mulai berceloteh. Ki Bum hanya tersenyum. Hyuk Jae selalu saja begitu, memarahi mereka habis-habisan dan pada akhirnya tetap membantu mereka jika sedang kesulitan.

"Kau malah tersenyum, Ki Bum-ah. Kau seharusnya sering belajar agar—"

"Stop, Hyung. Kau tahu kan aku selalu menduduki peringkat sepuluh besar walaupun aku tidak belajar."

"Itu karena Kyu Hyun yang selalu memberikan contekan?"

"Aniyeo! Sebenarnya aku lebih pintar daripada Kyu Hyun. Hanya saja dia lebih sering belajar, Hyung," celoteh Ki Bum berbangga diri.

Hyuk Jae terkekeh, "kalau begitu, kau harus belajar lebih giat kalau ingin mengalahkannya."

Ki Bum menggelengkan kepalanya. "Aku tak pernah ingin mengalahkan Kyu Hyun. Mengalahkan diri sendiri saja sulit bagiku, Hyung."

Hyuk Jae hendak mengutarakan pertanyaan, tapi diurungkannya ketika Ki Bum menumpukan tubuh Kyu Hyun sepenuhnya padanya. Ki Bum sedikit berlari ke tepi jalan dan menghentikan taksi.

"Kau bisa memalakai motor Kyu Hyun ke kampus besok, Hyung." Ki Bum terlihat meraba-raba tubuh Kyu Hyun, kemudian senyum terukir di bibirnya ketika menemukan sebuah dompet dan kunci di saku belakang celana Kyu Hyun.

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Hyuk Jae, bingung dengan tingkah Ki Bum yang sedang melihat-lihat isi dompet Kyu Hyun.

"Tak ada uang disini, Hyung. Tapi ada ini, kau simpan saja untuk membayar apa yang tadi Kyu Hyun minum, ya." Ki Bum menyerahkan sebuah credit card yang ia temukan di dompet Kyu Hyun kepada Hyuk Jae. Tapi Hyuk Jae malah merebut dompet Kyu Hyun dan memasukan kembali benda itu ke dalamnya.

"Dia membayar di muka. Dia memang berencana mabuk, tadi. Bahkan dia menitipkan ongkos taksi untuk dia pulang."

"Astaga, ada-ada saja anak ini. Aku baru menemukan orang mabuk yang mempersiapkan segalanya."

"Sudahlah, mana kunci motor Kyu Hyun, besok aku akan mengantarkannya kepada Dong Hae."

Ki Bum memberikan Kunci motor Kyu Hyun dan segera membantu Kyu Hyun masuk ke dalam taksi.

Setelah menerima alamat dari Ki Bum, supir taksi itu segera melajukan mobilnya.

"Kau tak mengantarnya?" tanya Hyuk Jae.

Ki Bum tertawa keras. "Namanya bunuh diri kalau akau mengantarnya, Hyung. Dong Hae hyung tak suka padaku."

"Itu karena kau mengajarkan yang tidak-tidak kepada adiknya, babo!"

Jitakan keras mendarat di kepala Ki Bum membuatnya meringis kesakitan. "Dia sendiri yang mengikutiku, aku tak pernah melibatkannya dalam hidupku ini, Hyung."

"Dan kau lihat dia sekarang. Sangat buruk."

"Ya, dan aku menyesalkan hal itu."


Hyuk Jae berjalan santai sambil sesekali bersiul riang, tangannya memainkan sebuah kunci yang akan dia serahkan kepada teman sefakultasnya, Lee Dong Hae.

Ya, Lee Dong Hae adalah temannya. Dan laki-laki itu selalu marah-marah kepadanya karena adiknya yang selalu berkunjung ke tempatnya bekerja yang tidak seharusnya dikunjungi para pelajar.

Dong Hae adalah salah satu mahasiswa berprestasi di fakultas kedokteran yang saat ini mereka tekuni. Sekarang Dong Hae bekerja sebagai asisten dokter di rumah sakit di universitanya. Sedangkan Hyuk Jae tidak sepintar Dong Hae dan memilih menjadi pengelola sebuah bar karena tempat yang menjadi ladang mata pencahariannya itu adalah milik ayahnya yang telah meninggal.

"Annyeong Park ssaem," sapanya ketika memasuki sebuah ruangan. Diasa ada seorang laki-laki dengan jubah putih kebanggaannya tengah memerikasa beberapa file di sudut ruangan.

"Dong Hae sedang memeriksa pasien, Hyuk Jae-ya," kata laki-laki itu tanpa menoleh ke arah Hyuk Jae.

Hyuk Jae mengangguk dan mendudukan dirinya di hadapan meja yang diatasnya terdapat tulisan Park Jung Soo terbuat dari kaca. Tangan Hyuk Jae memainkan benda itu, jarinya menelusuri setiap tulisan yang terukir disana.

"Apa aku bisa sepertimu, Lee Teuk Hyung?" Hyuk Jae sedikit bergumam.

Laki-laki yang biasa di panggul Lee Teuk oleh orang terdekatnya itu menghentikan kegiatannya. Ia menghampiri Hyuk Jae yang masih asik memainkan ukiran namanya di atas meja.

"Jangan sampai benda ini pecah, Hyuk!" Lee Teuk mengambil benda itu dari tangan Hyuk Jae dan menyimpannya kembali di atas meja dengan posisi yang benar. "Berhentila mengelola bar itu dan bekerjalah disini dengan Dong Hae. Departemen bedah anak akan menerimamu magang disana."

Hyuk Jae terdiam sesaat, memikirkan apa yang diucapkan Lee Teuk. "Aku tak bisa Hyung, appa tidak akan senang kalau aku membiarkan jalan usahanya itu."

"Appamu akan senang kalau kau hidup sesuai apa yang kau inginkan, tempat itu bisa kau jadikan sebuah cafe atau apalah selain tempat tak berguna seperti itu."

"Yang kau sebut tempat tak berguna itu adalah tempat yang membiayaiku kuliah, Hyung."

"Ya, mianhae, bukan maksudku menjelekan tempat itu, tapi—"

Kalimat Lee Teuk terpotong ketika pintu ruangannya terbuka dan dia mendapati Dong Hae dengan wajah kusut.

"Kau kenapa Hae-ya?" Hyuk Jae buka mulut.

Dong Hae menghela napas. "Kyu Hyun baru saja diantar Ki Bum dalam keadaan pingsan. Semalam dia bersamamu Hyuk Jae? Dia pulang dalam keadaan mabuk dan meracau tak jelas. Astaga, ada apa dengan anak itu?!"

Hyuk Jae hanya diam, memperhatikan Dong Hae yang membanting sebuah catatan ke atas mejanya yang berada di sisi lain ruangan. Laki-laki itu membanting tubuhnya ke atas kursi dan tangannya mengusap wajah dengan kasar.

Lee Teuk beranjak, mengambil catatan yang baru saja di simpan Dong Hae. Membaca catatan itu sebentar dan kembali menyimpannya di atas meja. Itu adalah catatan kesehatan Kyu Hyun yang baru saja diperiksa Dong Hae.

"Berapa banyak dia minum, Hyuk?" tanya Lee Teuk pelan, laki-laki itu memang jelmaan malaikat, tak pernah bersikap gegabah atau berbicara sembarangan.

"Bahkan aku tak berani menghitung, Hyung. Mianhae Hae-ya, aku sudah berusaha melarangnya minum."

"Ini salahku, sebelum itu Kyu Hyun marah-marah di rumah, mungkin aku salah bicara dan menyebabkannya marah besar dan kemudian pergi minum."

"Sudahlah Hae-ya, Hyuk-ah. Sebaikanya kalian temani Kyu Hyun. Aku akan mengarsipkan catatan kesehatan Kyu Hyun dan segera membuatkannya resep obat."

Dong Hae mengannguk dan meninggalkan ruangan itu, diikuti Hyuk Jae.


Warna putih mendominasi ruangan itu. Kyu Hyun mengerjapkan matanya, mencari fokus penglihatanya.

"Akhirnya kau bangun, Kyu. Kau mau minum?"

Kyu Hyun menolehkan kepalnya ke samping kanan dan mendapati Ki Bum tengah membawa segelas air putih. Ia mengangguk dan Ki Bum segera membantunya duduk dan meminum air itu hingga habis setengah.

"Kenapa kau mebawaku kesini, Ki Bum-ah?" tanya Kyu Hyun dengan suara parau.

"Kau ingin aku bawa kemana? Tadi kau muntah-muntah dan kemudian pingsan dengan demam tinggimu itu."

Kyu Hyun berdecak. "Kau bisa membawaku pulang saja, kan. Sekarang aku ingin pulang."

"Kau harus tetap disini beberapa hari, bodoh!"

Kyu Hyun mebelalakan matanya melihat Dong Hae masuk dengan seragam dokternya. "Kau membawaku ke rumah sakit tempat Hae Hyung bekerja? Ish Ki Bum bodoh!"

"Ini rumah sakit terdekat, Kyu," bela Ki Bum

"Lepaskan jarum ini, Hyung. Aku mau pulang!"

Dong Hae tidak mengindahkan permintaan Kyu Hyun. Ia malah duduk di sisi lain ranjang tempat Kyu Hyun berbaring dan kemudian menempelkan punggung tangannya di kening Kyu Hyun.

"Annyeong, Kyu!"

Pintu terbuka lagi, Kyu Hyun menoleh dan otomatis tangan Dong Hae terlepas dari kepala Kyu Hyun yang masih terasa panas itu.

"Kenapa kau ada disini Eun Hyuk Hyung?"

"Panggil aku Hyuk Jae, Kyu Hyun! Dan kenapa kau menanyakan keberadaanku? Aku disini tentu saja untuk menjengukmu."

Dong Hae mengernyit, menyadari sesuatu. "Oh ya, Hyuk. Untuk apa kau menemuiku?" tanyanya, tadi Hyuk Jae datang untuk menemuinya, bukan?

"Ah, ya. Ini aku mau mengembalikan motor Kyu Hyun." Hyuk Jae melemparkan kunci motor milik Kyu Hyun dan Dong Hae segera menangkapnya.

"Aku akan menyimpan Kunci ini. Kau tidak boleh menggunakannya selama satu bulan, Kyu. Ini hukuman dari Hyung," ucap Dong Hae tegas sambil memasukan kunci itu kedalam saku kemejanya.

"Ck! Lalu aku harus menggunakan apa ke sekolah, Hyung?"

"Kau bisa bersamaku, Kyu." Ki Bum menimpali.

"Tidak ada bersama-bersama, kau akan aku antar jemput ke sekolah dan tidak ada acara ke luar rumah selain untuk sekolah."

"Kau kira aku anak kecil, Hae Hyung! Kau keterlaluan. Argghh!"

Kyu Hyun meringis dan memegangi perutnya yang terasa sakit ketika berteriak.

"Jangan berteriak, kau masih sakit!" Dong Hae berteriak panik dan segera menangani Kyu Hyun yang masih mengaduh kesakitan sambil memegangi perutnya.


"Berapa lama lagi aku disini, ssaem? Aku ingin pulang."

Kyu Hyun terus saja merajuk ingin pulang ketika Lee Teuk datang untuk memeriksa kesehatanya.

"Perutmu masih terasa sakit tidak, hm?" tanya Lee Teuk sambil memeriksa tubuh Kyu Hyun dan mencatat beberapa hal penting.

"Sesekali saja," jawab Kyu Hyun seadanya.

"Masih sering muntah dan merasa mual?"

"Hampir setiap saat aku mual, tapi tak pernah benar-benar muntah."

Lee Teuk mengangguk, dan kembali menulis.

"Biasanya perawat yang akan memeriksa jika pemeriksaannya ringan seperti ini, atau Dong Hae Hyung akan datang jika aku kesakitan. Tapi sekarang kenapa ssaem langsung turun tangan? Apa aku sakit parah?" tanya Kyu Hyun dengan wajah polosnya. Lee Teuk tersenyum, kemudian duduk di sisi ranjang Kyu Hyun.

"Kau itu pasiennya Dong Hae, seharusnya Dong Hae yang memeriksamu. Tapi kali ini aku yang datang karena pertama, aku ingin bertemu denganmu, dan alasan lainnya adalah karena Dong Hae sedang ke kampus hari ini dan kau menjadi tanggungjawabku."

Kyu Hyun hanya mengangguk mengiyakan, membuat Lee Teuk bingung. "Kau tak ingin tahu kenapa aku ingin bertemu dengamu?"

Kyu Hyun hanya mengangkat bahu. "Aku tak peduli, itu sudah biasa. Aku kan terkenal."

Sontak Lee Teuk tertawa mendengar jawaban Kyu Hyun yang diluar dugaan. Kyu Hyun memang terkenal, tapi Lee Teuk tak menyangka kalau Kyu Hyun akan berbicara sepercaya diri itu.

"Kau terkenal karena suaramu yang indah dan otakmu yang pintar, Kyu Hyun-ah. Tapi dua hal itu tak akan membuatmu terkenal lagi jika kau memiliki hobi minum-minuman beralkohol. Itu sangat tidak baik untuk tubuhmu."

"Aku masih hidup walaupun dengan kebiasaan buruk itu."

"Ya, kau bilang 'masih' kan. Tapi segala sesuatu pasti ada titik jenuhnya. Kau tahu tidak, 2,5 juta orang di dunia meninggal dunia karena minum alkohol berlebih."

"Aku tak tahu, dan aku tak mau mendengar kelanjutnya. Kau ingin menakutiku agar aku berhenti minum, kan?"

"Dengar, Kyu. Lapisan Epitel yang melindungi perutmu itu sudah rusak sebagian besarnya, karena kau terlalu banyak mengkonsumsi alkohol. Apalagi kau masih di bawah umur."

"Aku sudah jutuh belas tahun! Aku sudah dewasa."

"Sudah dewasakah orang yang menyia-nyiakan hidupnya seperti ini, hm?"

Kyu Hyun terdiam kali ini.

"Kyu Hyun-ah, epitel bersifat permeabel selektif dan memainkan peran penting dalam penyerapan nutrisi serta melindungi jaringan lambung dari asam lambung. Kerusakan pada epitel ini akan menyebabkan autoimunitas dan peradangan sehingga memicu sakit perut dan kram. Kau tahu sendiri kan bagaimana rasanya sakit perut dan kram itu? sangat sakit, bukan? Kau tidak akan bisa mencapai nada-nada tinggi dalam bernyanyi jika sakit itu datang, dan kau tidak bisa berpikir jenius lagi jika sedang sakit, kan? Jadi, berhentilah menyiksa dirimu seperti ini."

Lee Teuk mengusap pelan rambut Kyu Hyun, membuat anak itu mengantuk, mungkin karena tadi dia telah minum obat yang pasti menyebabkan kantuk.

Kyu Hyun hanya diam, mungkin memikirkan setiap perkataan yang terlontar dari mulut Lee teuk. Matanya kemudian melirik nametag tang terdapat pada bagian kanan baju Lee Teuk.

"Park ssaem," gumamnya pelan.

"Ye?"

"Apa kau sudah menikah?"

"Tentu saja, usiaku berada di akhir 30."

"Kau sudah punya anak?"

Kali ini Lee Teuk yang diam, untuk apa anak ini menanyakan hal itu? "Ya, aku memiliki seorang putra berusia sepuluh tahun dan seorang putri berusia lima tahun."

"Aku iri pada mereka," gumam Kyu Hyun sebelum matanya benar-benar tertutup untuk tidur.


Ki Bum melempar tasnya sembarang, kemudian berbaring di atas kasurnya yang empuk. Hari ini sangat melelahkan, ia harus sedikit bermain kejar-kejaran dengan penjaga sekolah karena merusak tanaman yang baru tadi pagi di tanam murid-murid pecinta lingkungan.

Ketukan pintu terdengar ketika matanya hendak terpejam.

"Ki Bum-ie, eomma akan pergi. Makanan sudah disiapkan, sayang."

Ki Bum melirik jam berjenis digital yang masih melingkar di pergelangan tangannya, 16.35. helaan napas terdengar setelahnya, "Pergi saja, eomma," teriaknya. Tak berniat sama sekali untuk membuka pintu supaya bisa melihat wajah ibunya barang sebentar.

Selalu seperti ini, Ki Bum menghela napas dan membuangnya kasar. Ia bangkit berdiri di atas kasurnya dan kemudian melompat turun dan berjalan pelan menuju meja belajar. Mengeluarkan sesuatu yang membuat bibirnya mengukir sebuah senyum yang teramat manis. Sebuah foto keluarga.

Bunyi ketukan pintu terdengar lagi, ia hendak meneriaki si pelaku pengetukan pintu jika saja orang itu tak berteriak terlebih dahulu. "Ki Bum-ah, ada telepon untukmu!"

Ki Bum mengernyit heran, dia tak punya teman yang akan menghubunginya melalui telepon, kecuali Kyu Hyun. Tapi anak itu sedang sakit. Jadi Ki Bum memutuskan untuk membuka pintu, menatap seorang laki-laki paruh baya yang tadi mengganggu acara "menatap foto"-nya.

"Kau sudah pulang, Appa?" tanyanya. Laki-laki itu hanya menganggukan kepala.

"Siapa yang menelepon? Dan kemana bibi Shin, biasanya dia yang memanggilku."

Laki-laki yang Ki Bum panggil Appa itu mengangkat bahu. "Appa tak menanyakan namanya. dia langsung meneriakan namamu ketika Appa menjawab panggilan."

Ki Bum menganggukan kepalanya.

"Ah, ya. Bibi Shin membawa adikmu jalan-jalan. Appa akan mencari mereka. Ini sudah sore."

Ki Bum hanya bisa mengangguk lagi dan menatap ayahnya yang pergi begitu saja. Ia menghela napas dan melenggang menuruni tangga.


"Yak! Kim Ki Bum, kau kemana saja huh? Kau tahu tidak panggilan ke telepon rumah sangat mahal?!"

Ki Bum sedikit menjauhkan gagang telepon dari telinganya. sipenelepon ini sungguh tidak sopan, ia bahkan belum tuntas melafalkan kata"yeoboseyo".

"Yak! kau mendengarkan aku atau kau mendadak tuli Ki Bum-ah?"

"Aku akan tuli kalau kau terus berteriak, Kyu," sahut Ki Bum tenang. Terdengar Kyu Hyun yang menghembuskan napas dengan kasar. "Ada perlu apa kau meneleponku, hm? Dan kenapa tidak melalui ponselku saja?"

"Lihat ponselmu, bodoh! noona operator yang terus menjawab panggilanku."

Tangan Ki Bum bergerak merogoh saku celananya. Ternyata ponselanya mati, ia tersenyum geli membayangkan Kyu Hyun yang kesal karena panggilannya tak kunjung sampai.

"Mianhae, aku tak tahu ponselku mati."

"Ya, buang saja ponselmu kalau tak kau gunakan! cepatlah ke rumah sakit, aku akan pulang dan kau harus menemaniku."

Kyu Hyun memainkan kakinya yang tergantung di sisi ranjang. Dia memang tinggi, tapi ranjang pemeriksaan itu tetap saja membuat kakinya tergantung ketika duduk. Ia menatap Dong Hae yang sedang melihat-lihat hasil pemeriksaan Kyu Hyun. Sesekali namja tampan dengan seragam dokter itu mengernyitkan dahi, membuat Kyu Hyun was-was.

"Apa ada yang salah dengan tubuhku? Kau terlihat bingung dan cemas, Hyung."

Dong Hae mendongak, menatap Kyu Hyun yang sekarang telah melipat kedua kakinya di atas ranjang, anak itu terlihat sangat bosan.

"Tidak, yang salah adalah otakmu. Apa yang kau pikirkan dengan minum-minum seperti itu?" Tanya Dong Hae tajam.

Kyu Hyun mengangkat bahu dan turun dari ranjang, berjalan dengan sangat pelan karena tubuhnya memang masih agak lemas.

"Kau mau kemana?" Dong Hae menahan tangan Kyu Hyun yang hendak membuka pintu.

Kyu Hyun memicingkan matanya. "Tentu saja pulang. Kau lama, dan aku bosan."

"Tunggu sebentar, Kyu," Dong Hae membiarkan Kyu Hyun keluar terlebih dahulu. Ia menggantungkan seragam dokternya di sandaran kursi, mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas meja, dan segera menemui Kyu Hyun yang rupanya masih menunggu di depan pintu.

"Tunggu saja di mobil, aku akan mengambil barang milikmu di ruang inap. Kau kuat berjalan sendiri sampai ke mobilku, kan?"

Kyu Hyun merebut kunci mobil yang masih di pegang Dong Hae, "Kau terlalu khawatir, Hyung," gumamnya sambil berlalu meninggalkan Dong Hae.

Dong Hae hanya menggelengkan kepala dan kemudian berjalan menuju deretan ruang rawat inap, mencari kamar yang beberapa hari ini ditempati Kyu Hyun.

Senyum terukir di bibirnya ketika ia telah berada di dalam kamar itu. Sebuah ransel yang mengembung tergeletak begitu saja di atas kasur. Anak itu, Kyu Hyun adalah anak yang bertanggung jawab, bahkan Kyu Hyun membereskan barang-barangnya sendiri dan sekarang Dong Hae hanya harus mengambilnya.

Dong Hae segera mengambil ransel itu dan hendak pergi, namun seseorang yang memasuki ruangan itu mengehentikan langkahnya. Seseorang itu adalah orang yang tidak disukainya. Kim Ki Bum.

"Hyung?" Ki Bum yang baru saja masuk itu terlihat kaget. Matanya menjelajahi seisi ruangan dan kemudian menatap Dong Hae dengan tatapan sulit diartikan. "Kyu Hyun, pulang?" tanyanya dengan agak canggung. Dong Hae hanya mengangguk, membuat Ki Bum semakin merasa canggung. "Aku hanya ingin menjenguk," lanjutnya.

Dong Hae hanya diam, ingatannya berputar ke beberapa menit yang lalu ketika Kyu Hyun mengatakan kalau ia sedang bosan. Diambilnya napas dalam-dalam dan berkata, "Ikutlah pulang bersama Kyu Hyun."

Anak remaja yang seusia dengan Kyu Hyun itu membelalakan matanya, Dong Hae tahu anak itu akan kaget mendengar pernyataannya barusan.

"Cepat, atau kutinggalkan."

Ki Bum mengangguk dan segera mengikuti Dong Hae yang telah meninggalkan tempat itu.


"Hey Ki Bum!" Kyu Hyun berseru senang ketika melihat sahabatnya mengekor di belakang Dong Hae. Tentu saja dia senang karena dia akan segera mendapat partner bermain game di rumahnya, itupun jika Dong Hae mengizinkan.

"Halo Kyu, kau sembuh?" tanyanya, ini bukan berbasa-basi tapi namja itu memang sedang mengkhawatirkan Kyu Hyun yang masih terlihat pucat.

Kyu Hyun menganggukan kepalanya. "Duduklah disebelahku, Kim." Kyu Hyun membuka pintu mobil dari dalam dan menggeser posisi duduknya, membiarkan Ki Bum masuk dan duduk di sebelahnya.

"Aku jadi seperti supir pribadi," keluh Dong Hae sambil menyimpan ransel milik Kyu Hyun ke dalam bagasi dan segera masuk ke dalam mobil. Mengambil posisi di belakang kemudi.

"Jalankan mobilnya dengan cepat, Hyung. Aku ingin segera sampai di rumah dan bermain game."

"Tidak ada game, Kyu. Kau masih harus istirahat."

Dan Kyu Hyun-pun diam. Seharusnya ia tak bicara karena Dong Hae pasti melarang.

"Kita akan bermain dalam diam di kamarku, Bum," bisiknya di telinga Ki Bum.

"Apa yang kau rencanakan, huh?" benatak Dong hae.

Kyu Hyun hanya menampilkan deretan gigi putihnya, "Tidak ada, Hyung."


Kyu Hyun berteriak kesal ketika Ki Bum berhasil mengalahkannya dalam permainan ke empat ini. Ia berdecak kemudian merebahkan tubuhnya di atas karpet berbulu yang didudukinya. Matanya terpejam, merasakan betapa lemas seluruh persendian di tubuhnya.

"Lelah?" Ki Bum bertanya sambil membereskan kaset-kaset game yang berserakan di hadapannya. Kyu Hyun hanya bergumam tanpa membuka mata. "Kau baru pulang dari rumah sakit setelah opname beberapa hari dan langsung menantangku main game?" Ki Bum tertawa renyah, menertawakan tingkah sahabatnya yang tidak terduga.

Kyu Hyun bangkit, duduk dengan kaki bersila. "Main game kurasa tidak berpengaruh dengan semua hal itu, Ki Bum-ah."

Ki Bum mengangguk, "Memang, tapi bagaimana dengan kau yang berteriak setiap kali kalah atau menang, hm? itu melelahkan, kurasa."

Tak ada balasan atas ucapan Ki Bum, Kyu Hyun memilih beranjak pindah ke atas tempat tidurnya dan merebahkan diri. "Kau benar, aku sangat lelah. Aku ingin tidur. Kau disini saja menemaniku, mau tidak?"

"Baiklah, aku akan menemanimu sampai kau tidur saja."

Kyu Hyun mulai memejamkan matanya ketika Ki Bum kembali memanggil namanya. Ia menatap Ki Bum yang telah selesai membereskan perlengkapan game miliknya.

"Ada apa Ki Bum?"

"Dong Hae Hyung itu.." mata Ki Bum menatap pintu, takut-takut Dong Hae masuk tiba-tiba. "Dong Hae Hyung itu, siapamu?"

"Tumben kau bertanya tentang keluargaku," Kyu Hyun tersenyum. "Dong Hae hyung itu adik sepupu eomma."

Ki Bum tertegun sesaat sebelum mengangguk paham. "Dia terlihat sangat menyayangimu," ucapnya sambil menghampiri Kyu Hyun dan menyelimuti tubuh anak itu hingga ke dada.

"Dong Hae hyung tak suka padaku. Seharusnya kau tidak berteman denganku," gumam Ki Bum setengah berbisik.

Kyu Hyun bangkit seketika. Mata anak itu memerah, mungkin karena mengantuk. "Aku bisa berteman dengan siapapun yang aku ingin, Ki Bum-ah," tegasnya.

TBC~~~~

Anyeonghaseyo~~ Saya Author baru, mohon bantuannya dengan review ya^^ Kritik dan saran sangat saya terima. Gomao!