proudly present :
An EXO Fanfiction
Ugly Love
Main Cast : Oh Sehun, Kim Jongin
Remake dari novel yang berjudul sama karya Colleen Hoover
Alih Bahasa : Shandy Tan
Credit : bacanovelonline
.
Happy Reading!
.
Kim Jongin.
"Seseorang pernah menusuk lehermu, Nona."
Aku membelalak, lalu dengan perlahan berbalik ke arah laki-laki tua yang berdiri di sebelahku. Dia menekan tombol naik di samping lift sambil menghadapku. Laki-laki itu tersenyum dan menunjuk leherku.
"Tanda lahirmu," katanya.
Secara naluriah, kunaikkan tangan ke leher, menyentuh tanda lahir seukuran koin sepuluh sen yang letaknya tak jauh di bawah telingaku.
"Kakekku dulu bilang, letak tanda lahir seseorang menyimpan kisah tentang bagaimana mereka kalah dalam pergulatan hidup mereka pada masa lalu. Kutebak kau terkena tusukan di leher pada kehidupan lampaumu. Tapi aku yakin kematianmu cepat."
Aku tersenyum, tapi tak yakin harus merasa takut atau terhibur. Terlepas dari kalimat pembuka percakapannya yang agak tidak wajar, laki-laki ini tidak mungkin berbahaya. Tubuhnya yang agak bungkuk dan berdirinya yang goyah menunjukkan usianya tak kurang dari delapan puluh tahun. Dia lambat-lambat berjalan beberapa langkah menuju satu dari dua kursi beludru merah yang diletakkan di dinding dekat lift. Dia menggerutu ketika mengenyakkan tubuh ke kursi, lalu kembali menaikkan tatapan padaku.
"Kau mau naik ke lantai delapan belas?"
Aku menyipit ketika mencerna pertanyaan laki-laki tua itu. Entah bagaimana dia tahu lantai yang kutuju, padahal ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di kompleks apartemen ini, dan pastinya ini pertama kali aku melihat dia.
"Ya, Sir," sahutku dengan hati-hati. "Kau bekerja di sini?"
"Sebenarnya, ya."
Laki-laki itu mengangguk ke arah lift, dan aku menggeser tatapan ke angka-angka menyala di atas kepalaku. Sebelas lantai lagi sebelum lift terbuka. Aku berdoa semoga lift cepat terbuka.
"Aku bertugas menekan tombol lift," kata laki-laki tua itu lagi. "Kurasa tidak ada nama jabatan yang resmi untuk pekerjaanku, tapi aku suka menyamakan diri dengan pilot pesawat, karena kalau dipikir-pikir, aku mengantar orang-orang naik hingga setinggi dua puluh lantai ke angkasa."
Aku tersenyum mendengar kata katanya, sebab kakak dan ayahku pilot. "Sudah berapa lama kau menjadi pilot lift ini?" tanyaku sambil menunggu lift. Sumpah, ini lift yang jalannya paling lama yang pernah kutemui.
"Sejak aku terlalu tua untuk mengurus perawatan gedung ini. Sudah 32 tahun aku bekerja di sini sebelum menjadi pilotnya. Dan hingga hari ini, sudah lima belas tahun aku mengantar orang-orang ke angkasa. Pemilik apartemen memberiku pekerjaan remeh ini supaya aku tetap punya kesibukan sampai ajal menjemputku." Dia tersenyum sendiri. "Satu hal yang tidak di sadarinya, Tuhan memberiku begitu banyak perkara hebat untuk kucapai dalam hidup, dan saat ini, pencapaianku masih jauh dari selesai sehingga aku takkan pernah meninggal."
Aku tertawa tanpa sadar ketika pintu lift akhirnya terbuka. Kuraih gagang koper dan menoleh sekali lagi pada laki-laki tua itu sebelum masuk lift. "Siapa namamu?"
"Suho, tapi panggil saja aku Cap," sahutnya. "Seperti yang lain."
"Kau punya tanda lahir, Cap?"
Dia menyeringai. "Tentu saja. Sepertinya pada kehidupan lampau aku terkena tembakan di bokong dan tewas gara-gara kehabisan darah."
Aku tersenyum dan mengangkat tangan ke depan kening, memberinya hormat ala pilot. Aku masuk ke lift dan berbalik menghadap pintu yang terbuka, mengagumi kemewahan lobi. Gedung ini lebih mirip hotel bersejarah daripada kompleks apartemen, karena pilar-pilarnya besar dan lantainya terbuat dari pualam.
Ketika Chanyeol bilang aku boleh tinggal bersamanya sampai dapat pekerjaan, aku tidak tahu sama sekali ternyata hidupnya benar-benar mirip orang dewasa. Kupikir keadaannya pasti seperti terakhir kali aku mengunjunginya segera setelah aku lulus SMA, ketika Chanyeol pertama kali melakoni pekerjaan yang membutuhkan izin menerbangkan pesawat. Itu empat tahun dan satu kompleks apartemen kumuh dua lantai yang lalu. Seperti itulah bayanganku.
Tentu saja, aku tidak menyangka akan menjejakkan kaki di sepetak kompleks apartemen berlantai banyak di tengah kota San Fransisco.
Aku mengulurkan tangan ke panel lift dan menekan tombol yang membawaku ke lantai delapan belas, setelah itu menatap dinding cermin yang melapisi lift. Aku menghabiskan seharian kemarin dan sebagian besar pagi ini mengemas semua harta benda dari apartemen lamaku di San Diego. Untunglah tidak banyak. Tapi, setelah hari ini menyetir sendirian sejauh delapan ratus kilometer, ekspresi kelelahan terlihat cukup jelas di pantulan wajahku. Rambutku kuikat menjadi sanggul longgar di puncak kepala dan kutahan dengan pensil karena aku tak bisa menemukan karet rambut ketika menyetir. Mataku yang biasanya berwarna cokelat hazelnut, sewarna rambutku, saat ini kelihatan sepuluh kali lipat lebih gelap gara-gara kantong mata.
Aku merogoh tas tangan dan menemukan ChapStick, berharap dapat menghidupkan rona bibirku sebelum kelihatan selelah bagian tubuhku yang lain. Pintu lift yang mulai menutup tahu tahu terbuka lagi. Seorang laki-laki berlari menuju lift, dan bersiap masuk sembari menoleh ke laki-laki tua itu. "Thanks, Cap," katanya.
Aku tidak bisa melihat Cap dari dalam lift, tapi kudengar dia membalas dengan menggeramkan sesuatu. Dia tidak terkesan ingin bercakap-cakap ringan dengan laki-laki ini seperti yang dilakukannya padaku. Laki-laki yang bersamaku di lift usianya paling tua akhir dua puluhan. Dia tersenyum lebar padaku, dan aku tahu apa yang terlintas di benaknya, mengingat dia baru saja menyusupkan tangan kiri ke saku.
Tangan yang di jemarinya tersemat cincin kawin.
"Lantai sepuluh," katanya tanpa mengalihkan tatapan. Matanya turun ke belahan dadaku yang mengintip sedikit dari potongan leher blus, setelah itu dia melihat koper di sebelahku. Aku menekan tombol untuk lantai sepuluh. Seharusnya aku pakai sweater.
"Pindahan?" tanyanya, terang-terangan menatap blusku lagi.
Aku mengangguk, meskipun tak yakin laki-laki itu melihat anggukanku, karena matanya tidak tertuju ke area di dekat wajahku.
"Lantai berapa?"
Oh, tidak. Aku mengulurkan tangan ke samping dan menutup semua angka di panel dengan dua tangan untuk menyembunyikan angka delapan belas yang menyala, setelah itu menekan semua tombol di antara angka sepuluh dan delapan belas. Laki-laki itu menatap panel dengan bingung.
"Bukan urusanmu," sahutku.
Dia tertawa.
Dia mengira aku bercanda.
Dia melengkungkan alis hitamnya yang lebat. Alis yang indah. Alis indah yang menempel di wajah indah, yang menempel di kepala indah, dan menempel di tubuh yang indah.
Tubuh laki-laki yang sudah menikah.
Ah, sial.
Laki-laki itu menyunggingkan senyum lebar menggoda setelah melihatku mengamatinya—meskipun alasanku mengamatinya tidak sama dengan alasan yang ada di pikirannya. Aku bertanya-tanya, sudah berapa kali tubuh itu menindih tubuh perempuan lain yang bukan istrinya.
Aku jadi kasihan pada istrinya.
Dia menatap belahan dadaku lagi ketika lift tiba di lantai sepuluh. "Aku bisa membantumu membawakan itu," katanya sambil mengangguk ke arah koperku.
Suaranya bagus. Aku bertanya-tanya berapa banyak gadis yang terpukau dengan suaranya. Dia berjalan ke arahku dan mengulurkan tangan ke panel angka, dengan berani menekan tombol untuk menutup pintu.
Aku membalas tatapannya sambil menekan tombol buka. "Aku menahannya untukmu."
Dia mengangguk seolah mengerti, tapi di matanya masih terlihat kilatan nakal yang menguatkan rasa tidak sukaku padanya. Dia keluar dari lift dan berbalik menghadapku sebelum berjalan menjauh.
"Sampai bertemu nanti," katanya, bersamaan dengan pintu lift menutup.
Aku mengernyit, tak nyaman mendapati dua orang yang berinteraksi denganku sejak memasuki gedung apartemen ini sudah tahu siapa aku.
Aku tetap sendirian ketika lift berhenti di tiap-tiap lantai hingga akhirnya tiba di lantai delapan belas. Aku keluar, mengambil ponsel dari saku, lalu membuka pesan pesanku dengan Chanyeol, sebab aku tidak ingat nomor apartemennya. Entah itu 1816 atau 1814.
Atau malah 1826?
Aku berhenti di nomor 1814. Ada orang pingsan di lantai lorong, dan orang itu bersandar ke pintu nomor 1816.
Kumohon, jangan 1816.
Aku menemukan pesan yang kucari di ponselku, dan meringis. Nomor 1816.
Tentu saja 1816.
Aku berjalan lambat-lambat ke pintu, berharap tidak membangunkan laki-laki itu. Dia pingsan dengan kaki terkangkang, punggungnya bersandar ke pintu apartemen Chanyeol. Dagunya menempel ke dada, dan dia mengorok.
"Permisi," kataku, suaraku hanya sedikit lebih kuat daripada bisikan.
Laki-laki itu bergeming.
Aku mengangkat kaki dan menyodok bahunya. "Aku mau masuk ke apartemen ini."
Laki-laki itu bergerak, perlahan membuka mata dan menatap langsung ke kakiku.
Matanya sejajar lututku, dan alisnya bertaut ketika dia perlahan mencondongkan tubuh dengan wajah berkerut dalam. Dia mengangkat satu tangan dan menusuk lututku dengan jemari, seperti orang yang belum pernah melihat lutut. Kemudian dia menurunkan tangan, memejamkan mata, dan kembali tidur bersandar di pintu.
Bagus.
Chanyeol baru pulang besok, jadi kutekan nomor teleponnya untuk mencari tahu apakah laki-laki di pintu ini seseorang yang perlu kukhawatirkan.
"Jongin?" sapa Chanyeol, menjawab panggilan tanpa mengucap kan halo.
"Yap," sahutku. "Aku tiba di apartemenmu dengan selamat, tapi tidak bisa masuk karena ada laki-laki mabuk yang pingsan di pintumu. Ada saran?"
"Delapan belas enam belas?" tanya Chanyeol. "Kau yakin apartemennya benar?"
"Yakin sekali."
"Kau yakin laki-laki itu mabuk?"
"Yakin sekali."
"Aneh," kata Chanyeol. "Dia pakai baju apa?"
"Untuk apa kau ingin tahu dia pakai baju apa?"
"Kalau dia pakai seragam pilot, kemungkinan dia tinggal di gedung itu. Kompleks apartemen itu bekerja sama dengan maskapai kami."
Laki-laki di pintu ini tidak memakai seragam apa pun, tapi mau tak mau aku memperhatikan bagaimana celana jins dan kaus hitamnya melekat pas di tubuh.
"Tidak pakai seragam," sahutku.
"Bisa tidak kau melewati dia tanpa membangunkannya.?"
"Harus kugeser dulu. Kalau langsung kubuka pintunya, nanti dia tertelentang ke dalam."
Chanyeol terdiam beberapa detik ketika berpikir. "Turunlah dan minta bantuan Cap," katanya. "Aku sudah memberitahunya kau akan datang malam ini. Cap bisa menemanimu menunggu sampai kau masuk apartemen."
Aku menghela napas. Aku sudah menyetir selama enam jam, dan turun lagi ke lantai dasar bukan sesuatu yang rasanya ingin kulakukan saat ini. Aku juga menghela napas karena Cap orang terakhir yang kemungkinan bisa menolongku mengatasi situasi ini.
"Jangan tutup teleponnya sampai aku masuk apartemenmu."
Aku lebih menyukai rencanaku. Kukepit ponselku di antara telinga dan bahu, lalu kurogoh tas tangan untuk mengambil kunci yang dikirimkan Chanyeol padaku. Kumasukkan kunci itu ke lubang dan mulai membuka pintu, laki-laki mabuk itu ikut jatuh sesenti demi sesenti seiring pintu terbuka. Dia mengerang, tapi matanya tetap terpejam.
"Sayang sekali dia mabuk," kataku pada Chanyeol. "Wajahnya lumayan."
"Jongin, masuk sajalah dan kunci pintu supaya teleponnya bisa kututup."
Aku memutar bola mata. Chanyeol masih kakakku yang suka memerintah, seperti biasanya. Aku tahu pindah ke apartemennya takkan bagus untuk hubungan kami mengingat bagaimana sikapnya yang seperti ayah padaku ketika usia kami lebih muda. Tapi, aku tak sempat mencari pekerjaan, menemukan apartemen sendiri, dan hidup mandiri sebelum kuliah baruku dimulai, jadi aku hanya punya sedikit pilihan.
Meskipun begitu, aku berharap hubunganku dan Chanyeol sekarang akan berbeda. Dia kini 25 tahun, aku 23, jadi jika hubungan kami tak bisa lebih akur daripada ketika masa kecil, banyak sekali yang harus kami bereskan sebagai orang dewasa.
Kurasa sebagian besar hasilnya tergantung pada Chanyeol dan apakah sifatnya sudah berubah sejak terakhir kali kami tinggal serumah. Chanyeol keberatan dengan semua cowok yang kukencani, semua temanku, semua pilihan yang kuambil—bahkan kampus yang ingin kumasuki. Bukan berarti aku pernah ambil pusing pada pendapatnya. Terpisah jarak dan waktu sepertinya berhasil membuat kakakku itu berhenti merecoki hidupku selama beberapa tahun terakhir, tapi pindah ke apartemennya akan menjadi ujian paling berat bagi kesabaran kami berdua.
Aku menyelempangkan tas tangan ke bahu, tapi malah tersangkut di gagang koper, jadi kubiarkan tas itu terjatuh ke lantai. Tangan kiriku terus memegang erat kenop sambil menahan pintu tetap tertutup supaya laki-laki itu tidak terbanting ke dalam apartemen. Aku menggunakan kaki untuk menahan bahunya, mendorongnya menjauh dari tengah pintu.
Laki-laki itu bergeming.
"Chanyeol, dia sangat berat. Aku terpaksa menutup telepon dulu supaya bisa menggunakan dua tangan."
"Jangan ditutup. Masukkan saja ponselmu ke saku, tapi jangan tutup."
Aku menurunkan tatapan ke blus kedodoran dan celana ketat yang kupakai. "Bajuku tidak ada sakunya. Kalau begitu, ke dalam bra saja."
Chanyeol mengeluarkan suara tersedak ketika aku menjauhkan ponsel dari telinga dan menyelipkannya ke balik bra. Setelah itu aku mencabut kunci dari lubang dan menjatuhkannya ke tas, tapi meleset dan kuncinya malah jatuh ke lantai. Aku mengulurkan tangan ke bawah untuk mencengkeram laki-laki itu supaya bisa menyingkirkannya dari depan pintu.
"Baiklah, Sobat," kataku, berjuang keras menariknya menjauh dari pintu. "Aku menyesal mengganggu tidur siangmu, tapi aku harus masuk apartemen ini."
Akhirnya aku berhasil menyandarkan dia ke bingkai pintu supaya tidak terjerembap lagi ke dalam apartemen, setelah itu, kudorong daun pintu lebih lebar dan berbalik mengambil barang barangku.
Kemudian ada yang mencengkeram pergelangan kakiku.
Aku langsung membeku.
Aku menurunkan tatapan.
"Lepaskan aku!" seruku sambil menendang tangan yang mencengkeram pergelangan kakiku dengan begitu kuat sampai-sampai aku cukup yakin kulitku akan memar. Laki-laki mabuk itu mendongak padaku, cengkeramannya yang kuat membuatku terjatuh ke belakang ketika mencoba menarik kaki.
"Aku harus masuk ke sana," gumam laki-laki itu bersamaan dengan bokongku mencium lantai. Dia berusaha mendorong pintu apartemen dengan tangan satu lagi, dan perbuatannya itu seketika membuatku panik. Aku menarik kaki sambil berjuang masuk, dan tangan laki-laki itu ikut terseret ke dalam. Kugunakan kakiku yang bebas untuk menendang pintu agar tertutup, membuat daun pintu terbanting keras dan menjepit pergelangan tangan laki-laki itu.
"Berengsek!" tukasnya. Dia mencoba menarik kembali tangannya ke lorong, tapi kakiku masih menekan pintu. Aku mengendurkan tekanan secukupnya agar dia bisa menarik tangan, setelah itu aku langsung menendang pintu hingga tertutup sepenuhnya. Aku bangkit dan mengunci pintu, mengunci deadbolt, lalu memasang rantai pintu, secepat yang kubisa.
Begitu debaran jantungku mereda, jantungku mulai berteriak-teriak padaku.
Benar-benar berteriak.
Dengan suara berat laki-laki.
Jantungku seperti berteriak, "Jongin! Jongin!"
Chanyeol.
Aku segera menurunkan tatapan ke dada dan menarik ponselku dari bra, lalu mengangkatnya ke telinga.
"Jongin! Jawab aku!"
Aku meringis, lalu menjauhkan ponsel beberapa sentimeter dari telinga. "Aku baik-baik saja," ucapku, terengah-engah. "Aku sudah di dalam. Pintu sudah kukunci."
"Ya Tuhan!" seru Chanyeol, terdengar lega. "Kau hampir membuatku mati ketakutan. Apa yang terjadi?"
"Dia mencoba ikut masuk. Tapi aku sudah mengunci pintu." Aku menyalakan lampu ruang tamu dan berjalan belum sampai tiga langkah ketika tiba-tiba terhenti.
Bagus sekali, Jongin.
Aku berbalik dengan gerakan lambat ke pintu setelah menyadari apa yang kulakukan.
"Hmm, Chanyeol?" aku terdiam sesaat. "Sepertinya aku meninggalkan beberapa barang yang kubutuhkan di luar. Aku mau saja mengambilnya, tapi entah kenapa laki-laki mabuk itu berpikir dia harus masuk apartemenmu, jadi tidak mungkin pintunya kubuka lagi. Ada saran?"
Chanyeol diam selama beberapa detik. "Barang apa yang ketinggalan di lorong?"
Aku tidak ingin menjawab pertanyaan Chanyeol, tapi tetap kulakukan. "Koperku."
"Astaga, Jongim," gerutu Chanyeol.
"Dan… tasku."
"Kenapa tasmu bisa ada di luar?"
"Sepertinya aku juga meninggalkan kunci apartemenmu di lantai lorong."
Chanyeol tidak mengomentari pemberitahuanku yang terakhir. Dia hanya mengerang. "Aku akan menelepon Sehun untuk mengecek apakah dia sudah pulang. Beri aku waktu dua menit."
"Tunggu. Siapa Sehun?"
"Dia tinggal di seberang lorong. Apa pun yang kaulakukan, jangan buka pintu sampai aku menelepon kembali."
Chanyeol mengakhiri percakapan, dan aku bersandar di pintunya.
Aku tinggal di San Fransisco baru tiga puluh menit, tapi sudah membuat Chanyeol kesal. Yah, itu tebakanku. Aku beruntung jika Chanyeol masih mengizinkanku tinggal di apartemennya sampai aku dapat pekerjaan. Semoga saja tidak lama lagi, mengingat aku sudah mengajukan tiga lamaran untuk posisi perawat berijazah di rumah sakit terdekat. Itu bisa berarti aku harus bekerja pada malam hari, akhir pekan, atau keduanya, tapi akan kuterima pekerjaan apa pun yang bisa kudapat jika itu membuatku tidak perlu mengorbankan tabungan untuk melanjutkan kuliah.
Ponselku berdering. Aku menyapukan ibu jari ke layar, lalu menjawab. "Hei."
"Jongin?"
"Yap," sahutku, dalam hati penasaran mengapa Chanyeol selalu bertanya dulu apakah yang menjawab aku. Diakan meneleponku, memangnya siapa lagi yang akan menjawab dan punya suara persis seperti aku?
"Aku berhasil menghubungi Sehun."
"Bagus. Apa dia akan membantuku mengambil barang?"
"Tidak persis begitu," sahut Chanyeol. "Justru aku yang butuh bantuan besar darimu."
Aku kembali menyandarkan kepala ke pintu. Aku punya firasat beberapa bulan ke depan akan penuh dengan permintaan tolong yang tidak menyenangkan, karena Chanyeol tahu dia memberiku bantuan penting dengan mengizinkanku tinggal di sini. Mencuci piring? Tentu saja. Mencuci pakaiannya? Sudah pasti. Berbelanja bahan-bahan makanan? Sudah jelas.
"Kau butuh apa?" tanyaku.
"Sebenarnya Sehun yang butuh bantuanmu."
"Tetanggamu?" Aku terdiam ketika mengerti apa permintaan Chanyeol, kemudian memejamkan mata. "Chanyeol, tolong jangan bilang orang yang kau hubungi untuk melindungiku dari laki-laki mabuk di luar justru laki-laki mabuk itu sendiri."
Chanyeol mendesah lelah. "Bukalah kuncinya dan biarkan Sehun masuk. Biarkan dia tidur di sofa. Aku pulang pagi-pagi besok. Setelah mabuknya hilang, Sehun pasti tahu dia ada di mana, dan dia akan langsung pulang."
Aku menggeleng-geleng. "Kompleks apartemen macam apa yang kau tinggali ini? Apa aku perlu menyiapkan diri diraba-raba orang mabuk setiap kali pulang kemari?"
Terjadi jeda panjang. "Sehun merabamu?"
"Meraba mungkin terlalu pedas. Tapi yang jelas dia sempat mencengkeram pergelangan kakiku."
Chanyeol menghela napas. "Lakukan ini untukku, Jongin. Telepon aku setelah kau membawa masuk dia dan barang-barangmu."
"Baik." Aku mengerang, tapi menangkap kekhawatiran dalam nada suara kakakku.
Aku memutus percakapan dengan Chanyeol, lalu membuka pintu. Laki-laki mabuk itu terjerembap dengan menindih bahu, ponselnya terlepas dari pegangan dan mendarat ke lantai di dekat kepalanya. Aku membalik laki-laki itu hingga telentang dan menatapnya. Dia membuka mata sedikit dan mencoba menatapku, tapi kelopak matanya segera menutup lagi.
"Kau bukan Chanyeol," gumamnya.
"Bukan. Memang bukan. Aku tetangga barumu, dan sepertinya kau bakal berutang gula sedikitnya lima puluh cangkir takar padaku."
Aku mengangkat laki-laki itu dengan menarik bahunya, mencoba membantunya duduk, tapi gagal. Menurutku dia tidak bisa duduk. Bagaimana mungkin ada orang yang bisa sampai semabuk ini?
Kupegang kedua tangannya dan kuseret dia ke apartemen sesenti demi sesenti, aku berhenti setelah tubuhnya masuk cukup jauh sehingga aku bisa menutup pintu. Aku mengambil semua barangku yang tertinggal di luar apartemen, lalu menutup dan mengunci pintunya. Aku mengambil bantal sofa, mengangkat kepala laki-laki itu, dan menggulingkannya hingga berbaring miring untuk mengantisipasi kalau-kalau dia muntah ketika tidur.
Hanya sejauh itu bantuan yang didapatkannya dariku.
Setelah laki-laki itu tidur pulas di tengah lantai ruang tamu, aku meninggalkan dia dan melihat-lihat apartemen.
Ukuran ruang tamunya saja cukup untuk memuat tiga ruang tamu apartemen terakhir Chanyeol. Ruang makannya membuka ke ruang tamu tapi dapurnya dipisahkan dari ruang tamu dengan sekat separuh tembok. Ada beberapa lukisan modern di sana; sofa-sofa mewah empuk berwarna cokelat muda serasi dengan lukisan-lukisan berwarna cerahnya. Terakhir kali kami serumah, kakakku itu hanya memiliki bangku futon, kursi beanbag, dan dindingnya ditempeli poster-poster model.
Kurasa, akhirnya kakakku dewasa juga.
"Sungguh mengesankan, Chanyeol," kataku keras-keras ketika berjalan dari satu ruangan ke ruangan lain sambil menyalakan semua lampu, memeriksa tempat yang baru saja resmi menjadi rumah sementaraku. Aku agak benci apartemen ini bagus, karena itu akan membuatku lebih sulit memiliki keinginan mencari tempat tinggal sendiri setelah uang tabunganku cukup.
Aku berjalan ke dapur dan membuka kulkas. Ada sederet bumbu dapur di rak pintunya, sekotak pizza yang tidak habis di rak tengah, dan galon susu kosong mendekam di rak paling atas.
Tentu saja Chanyeol tidak punya bahan makanan. Aku tidak bisa mengharapkannya berubah seratus persen.
Aku mengambil air botolan dan keluar dari dapur untuk melanjutkan mencari kamar yang akan kutempati hingga beberapa bulan ke depan. Ada dua kamar tidur, jadi aku memilih yang bukan kamar Chanyeol dan meletakkan koperku di ranjang. Aku punya kira-kira tiga koper lagi dan paling sedikit enam kardus barang di mobil, belum ditambah pakaian yang digantung, tapi aku tidak berniat mengambil semua itu malam ini. Kata Chanyeol, dia pulang besok pagi, jadi biar saja itu menjadi tugasnya.
Aku mengganti pakaian dengan celana olahraga panjang dan tank top, setelah itu menyikat gigi dan bersiap tidur. Biasanya, aku akan gugup jika ada orang tidak dikenal di apartemen yang kutempati, tapi aku punya firasat kali ini tidak perlu khawatir. Chanyeol takkan pernah memintaku menolong orang yang menurutnya akan menjadi ancaman bagiku dalam cara apa pun. Tapi itu membuatku bingung, sebab jika Sehun punya kebiasaan mabuk, kenapa Chanyeol memintaku membawa laki-laki itu masuk.
Kakakku itu tidak pernah memercayaiku berdekatan dengan laki-laki, dan aku menyalahkan Kris untuk itu. Kris pacar seriusku yang pertama ketika umurku lima belas tahun, dan dia sahabat Chanyeol. Saat itu umur Kris tujuh belas, dan aku naksir berat padanya sejak lama. Tentu saja, aku dan teman-temanku naksir berat pada sebagian besar teman Chanyeol, semata-mata karena usia mereka lebih tua daripada kami.
Kris berkunjung hampir setiap akhir pekan untuk menginap di tempat Chanyeol, dan kami selalu berhasil mencari cara untuk menghabiskan waktu berduaan setiap kali Chanyeol tidak memperhatikan. Satu aksi berlanjut ke aksi lain, dan setelah beberapa kali akhir pekan berhubungan secara diam-diam, Kris memberitahuku dia ingin meresmikan hubungan kami. Masalah yang tidak bisa diterawang Kris adalah seperti apa reaksi Chanyeol ketika dia membuatku patah hati.
Dan, yah, Kris memang membuatku patah hati, patah sejadi-jadinya yang dapat dialami hati gadis lima belas tahun setelah berpacaran diam-diam selama dua minggu. Ternyata, ketika dua minggu berkencan denganku, Kris juga resmi mengencani beberapa gadis lain. Saat Chanyeol tahu, persahabatan mereka berakhir, dan semua teman Chanyeol mendapat peringatan untuk tidak boleh mendekatiku. Aku hampir mustahil berkencan sewaktu di SMA, hingga akhirnya Chanyeol lulus. Tetapi bahkan setelah itu, cowok-cowok sudah mendengar cerita mengerikan tersebut dan berusaha jauh-jauh dari adik Chanyeol.
Meskipun aku benci perlakuan Chanyeol saat itu, kali ini aku akan menerimanya dengan senang hati. Sejak SMA, sudah cukup banyak aku menjalin hubungan asmara yang keliru. Aku tinggal serumah dengan pacar terakhirku selama lebih dari setahun sebelum kami menyadari kami menginginkan dua hal yang berbeda dalam hidup ini. Dia ingin aku di rumah saja, sedangkan aku ingin berkarier.
Sekarang, di sinilah aku—mengejar gelar S2 keperawatan dan berusaha semampuku untuk tidak menjalin asmara. Barangkali tinggal bersama Chanyeol bukan keputusan buruk.
Aku kembali ke ruang tamu untuk mematikan lampu, tapi ketika membelok di sudut, langkahku seketika terhenti.
Sehun bukan saja sudah bangkit dari lantai, sekarang dia ada di dapur, kepalanya menindih tangannya yang dilipat di permukaan konter. Pemuda itu duduk di pinggiran bangku tinggi, tampak bisa jatuh sewaktu waktu. Aku tidak tahu apakah dia tidur lagi atau sekadar mencoba memulihkan kesadaran.
"Sehun?"
Dia tidak bergerak ketika kupanggil, jadi aku menghampirinya dan dengan lembut mengguncang bahunya agar dia bangun. Begitu jemariku meremas bahunya, Sehun terkesiap dan langsung duduk tegak seolah aku membangunkannya di tengah-tengah mimpi.
Barangkali mimpi buruk.
Sehun seketika meluncur turun dari bangku dan berdiri dengan kaki goyah. Tubuhnya mulai berayun ayun, jadi aku melingkarkan tangannya di bahuku dan mencoba membawanya berjalan meninggalkan dapur.
"Kita ke sofa, Sobat."
Sehun menjatuhkan kepala di sisi kepalaku dan berjalan terhuyung bersamaku, membuatku semakin sulit menopangnya agar tetap tegak. "Namaku bukan Sobat," katanya dengan suara melantur. "Namaku Sehun."
Kami berhasil tiba di depan sofa, dan aku melepaskan tangan Sehun dari bahuku. "Oke, Sehun. Atau siapa pun namamu. Tidurlah"
Sehun ambruk ke sofa, tapi tanpa melepaskan bahuku. Aku terjatuh bersamanya dan buru-buru berusaha melepaskan diri.
"Luhan, jangan," kata Sehun dengan suara memohon sambil memegang tanganku, mencoba menarikku ke sofa bersamanya.
"Namaku bukan Luhan," kataku sambil berusaha membebaskan tangan dari cengkeramannya yang sekuat besi. "Namaku Jongin." Entah untuk apa aku menjelaskan siapa namaku, karena tidak mungkin Sehun masih ingat percakapan ini besok. Aku berjalan ke tempat bantal sofa tergeletak di lantai dan memungutnya.
Aku berhenti sebelum menyerahkan bantal pada Sehun, karena sekarang dia berbaring miring dengan menekan wajah ke dudukan sofa. Dia mencengkeram sofa begitu kuat hingga buku jemarinya memutih. Awalnya, aku mengira Sehun akan muntah, ternyata dugaanku salah besar.
Dia bukan mau muntah.
Dia menangis.
Menangis tersedu sedu.
Begitu tersedu sedunya hingga bahkan tidak mengeluarkan suara.
Aku tidak mengenal laki-laki ini, tapi keterpurukannya yang begitu nyata menjadi pemandangan yang berat untuk kusaksikan. Aku menatap lorong, lalu kembali menatap Sehun, dalam hati bertanya apakah sebaiknya kubiarkan saja dia sendirian dan memberinya privasi. Aku sama sekali tidak ingin terbelit masalah hidup orang lain. Sejauh ini aku berhasil menghindari sebagian besar bentuk drama yang terjadi di lingkaran pertemananku, dan aku yakin sekali tak ingin terlibat dalam drama apa pun sekarang. Naluri awalku adalah menjauh saja, tapi entah mengapa aku merasakan simpati yang ganjil pada Sehun. Kesakitannya kelihatan tidak dibuat-buat dan bukan sekadar karena terlalu banyak mengonsumsi alkohol.
Aku menurunkan tubuh hingga berlutut di depan Sehun, kemudian menyentuh bahunya. "Sehun?"
Sehun menghela napas dalam-dalam, lalu perlahan mengangkat wajah untuk menatapku. Matanya terbuka hanya segaris dan warnanya sangat merah. Entah karena menangis atau pengaruh alkohol. "Aku menyesal, Luhan," katanya sambil mengangkat satu tangan padaku. Tangannya memegang tengkukku dan dia menarikku ke arahnya, membenamkan wajah ke ceruk antara leher dan bahuku. "Aku sungguh menyesal."
Aku tidak tahu siapa Luhan atau apa yang dilakukan Sehun terhadapnya, tapi jika Sehun terluka sedalam ini, aku bergidik membayangkan seperti apa perasaan perempuan itu. Aku sempat tergoda untuk mencari ponsel Sehun dan menelepon Luhan supaya dia bisa datang untuk memperbaiki keadaan ini. Tapi aku malah mendorong Sehun dengan lembut supaya kembali berbaring di sofa. Aku meletakkan bantal dan memaksanya merebahkan kepala. "Tidurlah, Sehun," kataku lembut.
Mata Sehun sarat ekspresi terluka ketika dia merebahkan kepala ke bantal. "Kau sangat membenciku," katanya saat meraih tanganku. Matanya memejam lagi, lalu dia mengembuskan napas berat.
Aku menatap Sehun tanpa bicara, membiarkannya memegang tanganku hingga dia tenang, tidak bergerak, dan air matanya tak lagi menetes. Setelah itu aku melepaskan tangan darinya, tapi tetap di sebelahnya beberapa menit lagi.
Meskipun tertidur, entah bagaimana dia masih tampak sedih. Alisnya bertaut, napasnya tidak teratur, tidak kunjung berganti menjadi pola yang tenang.
Untuk pertama kalinya aku melihat bekas luka samar yang tidak rata, sepanjang kira-kira sepuluh sentimeter, yang melintang tanpa terputus di sepanjang sisi kanan rahangnya. Bekas luka itu berhenti lima sentimeter sebelum mencapai bibir. Aku merasakan dorongan ganjil untuk menyentuh bekas luka itu dan menyusurinya dengan jemari, alih-alih melakukan itu, tanganku naik ke rambut Sehun. Rambutnya pendek di kiri dan kanan, agak panjang di puncak kepala, warnanya campuran sempurna antara cokelat dan pirang. Aku membelai rambut Sehun, menenteramkannya, meskipun siapa tahu dia tidak layak mendapatkannya.
Laki-laki ini mungkin saja pantas merasakan semua penyesalan atas apa pun perbuatannya pada Luhan, tapi setidaknya dia menyesal. Dan aku menghargainya untuk itu.
Apa pun yang dilakukannya terhadap Luhan, setidaknya dia cukup mencintai perempuan itu hingga dapat menyesal.
.
End for This Chapter
