Musim dingin, musim yang identik dengan salju. Sama seperti malam ini, butir-butir salju turun dari langit dan membuat bumi menjadi putih. Butiran salju yang dinanti oleh orang-orang penyuka musim dingin dan akulah salah satunya.

Malam ini adalah malam dimana salju pertama turun di tahun ini. Aku masih ingat betul kejadian tahun lalu, dimana aku bermain di halaman rumah ketika salju pertama turun. Berlari dan terus berlari di bawah rintikan salju pertama hingga jatuh sakit. Aku tertawa kecil mengingat kejadian itu, tentu saja aku masih ingat seperti apa omelan dari ibuku dan tentu saja ayahku. Aku bahkan masih dapat mendengar di telingaku omelan ibuku tahun lalu.

Ah... aku merindukan saat-saat itu.

Sama seperti tahun lalu, tahun ini pun aku berjalan di bawah rintikan salju pertama. Hanya saja, aku tidak berlari di halaman rumahku, dan tidak ada teriakan dari para maid ataupun butler yang menyuruhku untuk berhenti bermain dengan salju. Tidak ada lagi omelan dari ibu dan ayahku.

Aku terus berjalan di kegelapan malam, tidak ada yang menemaniku kecuali butiran salju yang turun dari langit. Siapapun yang melihatku saat ini, pasti akan menganggap diriku sebagai orang gila. Seorang anak berumur 11 tahun berjalan sendirian di tengah malam tanpa ada orang dewasa yang mendampingi. Berjalan dengan menggunakan mantel tipis dan pakaian tidur.

Aku melihat ke arah langit, aku dapat melihat dan merasakan dinginnya salju yang menerpa tubuhku. Tetapi rasa dingin yang kurasakan di tubuhku tidak seberapa dibandingkan dengan rasa dingin yang terdapat di hatiku.

Aku membuka tanganku untuk menyentuh butiran salju yang turun, aku berharap salju ini dapat membawaku pergi ke tempat orang-orang yang kucintai.

Aku menutup mataku, aku masih dapat melihat dengan jelas wajah dari kedua orangtuaku sebelum mereka menyuruhku untuk pergi. Aku dapat mendengar bisikan terakhir dari ayahku sebelum dia mengusirku.

"Dengarkan ayah baik-baik, mulai sekarang namamu adalah Kirana."


Hetalia © Hidekazu Himaruya

Dear, My Girl © Lena Lofiel

Dear, My Girls © KIM Hee Eun

Kuroshitsuji © Yana Toboso

Warning: AU, Human Name, OOC, OC, typo, sudut pandang berbeda-beda, deskripsi kurang, membosankan, dan masih banyak lagi.

Cerita ini adalah cerita yang terinsiprasi oleh manhwa Dear, My Girls dan manga Kuroshitsuji, jadi ada beberapa bagian atau mungkin banyak bagian yang mirip dengan cerita aslinya. Silahkan kembali jika Anda tidak berkenan membacanya.

Happy reading :D


London, 22 Juli 1856

"Nona, tidak baik tidur di tempat terbuka seperti ini."

Seorang perempuan yang saat ini sedang tertidur di bawah pohon besar, membuka kelopak matanya dan menampilkan bola mata yang berwarna coklat mudanya. Gadis itu berdiri dari duduknya, rambut hitam panjang bergelombangnya bergerak searah dengan arah angin. Sinar matahari yang bersinar dengan teriknya membuat gadis itu tidak dapat melihat dengan jelas seperti apa wajah dari orang yang membangunkannya.

"Nona, ini surat untuk Anda," kata seorang pria berumur 40-an yang membawa tas selempang berwarna coklat tua. Pria itu memberikan beberapa buah amplop berwarna putih setelah sang gadis berdiri dari tempatnya.

"Terima kasih," kata gadis yang baru saja bangun dari tidur siangnya. Pria itu melepas sebentar topi hitam yang dia gunakan lalu meletakkannya kembali dan setelah itu dia pergi dari taman yang terletak di depan rumah gadis itu.

Gadis itu melihat-lihat amplop yang ada di tangannya, membaca setiap kata yang ada di beberapa amplop putih yang baru saja diterimanya. Gerakan tangan dari gadis itu berhenti ketika matanya membaca tulisan yang ada di amplop putih itu.

Miss Kirana Jones.

Melihat namanya tertera pada amplop putih maka gadis itu membuka amplop putih itu dan mengeluarkan isinya. Gadis itu menemukan selembar kertas di dalam amplop itu. Gadis yang memiliki rambut hitam bergelombang membaca isi dari selembar kertas yang ada di dalam amplop putih. Setelah membaca tulisan yang ada di kertas, gadis itu merobek kertas itu lalu membuangnya di atas tanah.

Gadis itu masuk ke dalam rumahnya seakan-akan tidak pernah menerima surat itu. Lagipula surat itu ditujukan padanya, jadi dia berhak menyobek bahkan membuang surat itu, itu adalah haknya.

"Kak, ini suratnya," kata gadis berbaju coklat muda yang baru saja memasuki ruang santai rumahnya. Gadis itu lalu meletakkan beberapa buah amplop putih di atas meja bundar yang terletak di depan perapian.

"Apa ada surat dari Hetalia Academy?" tanya satu-satunya pria di ruang santai kediaman keluarga Jones.

"Kalau aku diterima pasti suratnya sudah sampai sekarang," kata sang penerima surat lalu mulai mengepang salah satu sisi rambutnya.

"Ini aneh," kata seorang gadis yang duduk di dekat perapian sambil membaca amplop putih yang diletakan oleh adik perempuannya.

Gadis itu meletakkan suratnya, "Seharusnya Kirana diterima."

"Mungkin mereka terlambat mengirimkan suratnya," suara dari gadis kecil. Gadis kecil yang baru saja bersuara itu sedang menyisiri rambut salah satu boneka kesayangannya.

"Maya benar. Kita tunggu saja," kata pria berkaca mata yang baru saja selesai membersihkan salah satu pedang tipis kepunyaannya lalu meletakkan di balik perisai yang tertempel di dinding creamdekat dengan si penerima surat.

"Mungkin aku tak diterima di sana," lirih Kirana.

"Itu tidak mungkin, Kirana. Kamu pasti di terima," kata sang pria sambil mengacak pelan rambut Kirana dan dibalas sebuah omelan dari Kirana.

"Kalian tahu, aku tidak sama seperti kalian," lirih Kirana lalu membetulkan rambutnya –lagi.

Tidak ada seorangpun yang ada di ruangan itu menjawab perkataan Kirana. Elizabeta, kakak tertua, terlalu sibuk dengan surat-surat di tangannya. Alfred, kakak ke dua, sibuk dengan pedang tipisnya yang lain. Lalu Maya, anak terkecil di keluarga Jones, yang mungkin mendengar perkataan Kirana –mengingat jarak mereka berdua cukup dekat, kembali bermain bersama boneka kesayangannya.

Sebuah ketukan pintu –yang membatasi ruang santai dengan koridor rumah, terdengar, di balik pintu itu muncullah pemuda dengan tinggi 175 cm, berkulit coklat muda, memiliki rambut coklat yang sedikit ikal di ujungnya, dan bermata hijau terang muncul dari balik pintu.

"Bukan seorang gentleman sejati jika tidak bisa membuat wajah para gadis bahagia," kata pemuda yang menggunakan jas berwarna coklat yang senada dengan warna rambutnya.

"Selamat datang Antonio," kata Kirana yang sudah selesai mengepang rambutnya di dua sisi.

Antonio berjalan masuk, "Aku paling tidak suka melihat gadis cantik bersedih. Karena itu aku akan memberikan tiga benda yang akan mengembalikan senyuman nona-nona yang ada di sini."

"Yang pertama-" Antonio memasukkan jari-jarinya ke dalam saku yang terletak di jas coklatnya.

"Sapu tangan untuk menghapus air mata," kata Antonio sambil menaikkan sapu tangan berwarna putihnya.

"Yang kedua-" Antonio membungkus tangan kirinya dengan sapu tangan putih.

"Mawar merah," kata Antonio sambil mengeluarkan mawar merah dari dalam sapu tangan putih yang menutupi tangan kirinya.

"Belajar trik sulap baru lagi?" tanya Elizabeta yang melihat tingkah dari Antonio.

"Tentu saja, dan yang terakhir aku yakin akan membuat kalian tersenyum," kata Antonio dengan senyuman menawannya.

Dia, Antonio, melipat sapu tangan putihnya menjadi enam lipatan lalu memegang salah satu ujungnya dan melemparkan sapu tangan putih itu.

"Sebuah surat dari Hetalia Academy untuk Kirana," kata Antonio yang memegang kertas yang mirip seperti susunan puzzle.

Para gadis terkejut melihat kertas–atau lebih tepatnya potongan kertas yang digabungkan jadi satu- yang terketak di antara ibu jari dan jari telunjuk Antonio.

"Kenapa bisa ditempatmu?" tanya Elizabeta sambil menutup mulutnya dengan keempat jari tangannya yang terbungkus dengan kain putih.

"Dan kondisi suratnya..." Maya menambahkan perkataan dari kakak pertamanya.

"Hahahaha.." Antonio tertawa garing.

"Sepertinya tukang pos salah mengirimkannya ke tempatku dan aku terlalu bersemangat membukanya, jadi yaah..." kata Antonio sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

"You, barmpot!" kata Kirana sambil mengambil paksa kertas yang ada di tangan Antonio.

"Astaga, itu bukan bahasa seorang lady, Kirana," tegur Elizabeta yang terkejutmendengar kata yang keluar dari mulut Kirana.

Kirana menarik nafas, "Maafkan aku."

"Setidaknya kita bersekolah di tempat yang sama," kata Maya lalu berlari ke arah Kirana dan memeluknya.

Kirana hanya tersenyum kecil yang melihat reaksi Maya dan melepaskan pelukan Maya dengan lembut, "Aku ingin berjalan-jalan."

Setelah berpamitan dengan saudara-saudarinya, Kirana keluar dari ruang santai keluarga Jones. Melihat Kirana memisahkan diri dari saudara-saudarinya, Antonio berjalan mengekori Kirana seperti anak ayam yang mengikuti induknya.

"Kir, Kirana," panggil Antonio tetapi Kirana menghiraukan panggilan dari Antonio dan berjalan menuju kebun bunga yang terletak di bagian barat kediaman Jones.

"Astaga, berhentilah berjalan Kirana."

"Kirana. Oi, Kirana!"

"Aku bilang berhenti berjalan!" suara Antonio semakin keras. Karena kesal tidak di dengarkan oleh Kirana, Antonio menarik rambut hitam Kirana dan membuat Kirana berhenti berjalan.

"Gezz.. Kau ini keras kepala sekali," kata Antonio yang masih menarik rambut hitam panjang milik Kirana.

Kirana memutar badannya. "Sudah kukatakan berkali-kali jangan menarik rambutku! Sakit tahu!" bentak Kirana.

"Oke. Aku minta maaf. Itu satu-satunya cara agar kau mau berhenti berlari," kata Antonio sambil melepaskan rambut hitam Kirana.

"Katakan padaku, kenapa kau melakukannya?" tanya Antonio sambil melipat ke dua tangannya.

"Melakukan apa?" tanya Kirana sambil membetulkan ikatan rambutnya yang ditarik oleh Antonio.

"Merobek surat penerimaanmu," kata Antonio dengan tatapan menyelidik.

"Bukan urusanmu," jawab Kirana sambil berkacak pinggang.

"Apa gara-gara saudari-saudarimu?"

Tubuh Kirana terdiam sebentar ketika mendengar pertanyaan dari Antonio. Kirana menarik nafas pelan dan menutup matanya. "Bukan, bukan karena mereka," kata Kirana pelan.

"Lalu karena apa?"

Kirana membuka matanya dan menatap tajam Antonio. "Bukan. Urusanmu!" desis Kirana lalu berjalan menjauhi Antonio.


Cambridge, 20 Agustus 1856

Cambridge, sebuah kota yang baru saja diresmikan oleh Ratu Victoria pada tahun 1851. Kota yang dinamakan sesuai dengan nama mendiang adik kesayangannya. Di kota inilah berdiri sebuah Academy yang didirikan langsung oleh ratu Victoria. Academy yang didirikan khusus untuk mengenang mendiang adik kesayangannya. Academy yang dinamakan dari gabungan nama mendiang adiknya dan mendiang suami adiknya. Academy yang dikhususkan untuk keluarga bangsawan dan kalangan atas. Academy yang menjunjung tinggi tradisi. Nama Academy itu adalah Hetalia Academy.

Halaman depan dari Hetalia Academy terlihat dipadati oleh banyak siswa maupun siswi. Mereka menanti kedatangan ketiga putri dan seorang putra dari keluarga Jones, keluarga yang cukup berpengaruh di bidang perdangaan di Kerajaan Inggris ini. Sebuah kereta kuda bercat hitam berhenti di halaman depan Hetalia Academy. Dari kereta kuda itu, turunlah ketiga putri dan seorang putra dari keluarga Jones. Putri dan putra yang terkenal dengan wajah menawan dan kepintaran mereka.

"Selamat datang, MissElizabeta," kata salah satu siswi dari Hetalia Academy yang memakai pita putih di rambutnya. Elizabeta tersenyum lembut sambil menatap siswi yang menyapanya.

Begitu Elizabeta berjalan melewati sang siswi, siswi berpita putih berkata pada teman sebelahnya, "Miss Elizabeta benar-benar menunjukkan wibawanya sebagai anak pertama, di tambah dengan kepandaiannya dan kecantikannya. Aku ingin memiliki kakak perempuan sepertinya."

Siswi berambut pendek yang berdiri di samping siswi berpita putih berkata, "Aku lebih ingin mempunyai adik seperti, Maya. Dia memiliki wajah seperti boneka dan selain itu aku juga menyukai setiap lukisan yang di lukisnya, ketika melihat lukisannya aku seperti melihat aslinya. Jika adikku seperti dia, aku akan benar-benar memanjakannya."

"Kalau aku ingin memiliki saudara seperti Alfred. Aku bisa bermain anggar setiap hari dengannya dan aku bisa belajar caranya meluluhkan hati seorang lady," kata seorang siswa yang ikut bergosip dengan 2 orang siswi yang berdiri di depannya.

"Lalu siapa dia?" tanya siswi berambut pendek sambil menunjuk Kirana.

"Putri ketiga keluarga Jones, dia tidak begitu terkenal dan dia berbeda dari saudara-saudarinya, dia tidak punya keahlian seperti saudara-saudari lainnya. Kurasa namanya Kirana dan oh, dari gosip yang kudengar katanya dia anak angkat," kata siswi berpita putih.

"Pantas saja dia tidak berbakat seperti saudara-saudari lainnya," balas siswi yang di sebelahnya.

"Ladies, jangan bergosip yang tidak-tidak ya. Aku tak suka dengan perbuatan kalian," kata Alfred dengan senyuman mautnya, mata biru terangnya semakin bersinar karena terkena sinar matahari pagi.

"Seorang ladytidak boleh berkata hal yang jelek, iya kan kak Ki-" perkataan Maya terputus saat tidak melihat obyek yang dipanggilnya menghilang entah kemana.

"Dimana anak satu itu berada?" kata Alfred sambil melihat sekelilingnya.

Obyek yang dicari oleh Alfred sudah berada di tempat yang lain. Saat ini, Kirana sedang berada di taman utama Hetalia Academy. Taman yang terletak di depan gedung utama Hetalia Academy, setiap tahun –di taman ini- diadakan pesta taman yang di hadiri oleh para bangsawan dan keluarga dari kalangan utama ditumbuhi dengan bunga mawar dengan berbagai warna, di pusat taman ini terdapat sebuah kolam dengan patung sepasang manusia dan seorang anak kecil yang terletak di tengah-tengah kolam.

Kini Kirana berada di tengah-tengah taman, Kirana berdiri dengan melihat ke arah patung yang terletak di tengah kolam. Kirana terdiam dan menatap patung laki-laki dan wanita tanpa berkedip.

"Kau, yang berdiri di sana!"

Kirana mengalihkan pandangannya. Kirana melihat sepasang mata hijau cerah dan sorot matanya memancarkan kewibawaan yang kuat. Rambut pirang terang yang tidak lagi tertata rapi akibat sentuhan angin, kulit putih bersih yang diinginkan oleh setiap gadis di Inggris, rahang yang menunjukkan ketegasan sang empunya, dan alis pirang –sangat- tebal yang senada dengan warna rambutnya.

"Bawakan tasku ke asrama dan kamarku nomor 3," kata sang pemilik alis -yang sangat- tebal. Di samping kanan dan kiri kaki pemilik alis tebal berdiri 2 buah koper coklat yang memiliki bentuk persegi panjang. Koper coklat setinggi lutut Kirana di tinggalkan di hadapan Kirana, sementara sang pemilik berlalu dari hadapan Kirana sambil membawa walking canes berwarna hitam yang memiliki ujung -bagian pegangannya- yang terbuat dari perak.

Kirana mengambil batu kecil yang tergeletak di bawah kakinya lalu melemparkan batu itu tepat mengenai ubun-ubun si kepala pirang.

"Apa yang kau lakukan?" bentak si pirang sambil memegang bagian kepalanya yang sakit.

"Aku hanya ingin memberitahumu bahwa aku bukan maid jadi bawa sendiri koper-kopermu ini," kata Kirana sembari melipat kedua tangannya di dadanya.

"Tapi tak perlu melemparku dengan batu, git" balas si kepala pirang lalu menghentakan walking canes-nya.

"Dengar ya, tuan alis tebal. Pertama, aku tidak tahu siapa namamu jadi aku memutuskan untuk melemparkan batu ke kepalamu, lagipula ini hanya batu kecil seharusnya reaksi tak perlu sampai seperti itu. Dan yang kedua, kata-katamu barusan, oh~ not-so-gentleman~" kata Kirana, sudut kiri bibir Kirana terangkat sedikit.

"Jangan memanggilku dengan tuan alis tebal! Dan aku punya nama, gadis kurang ajar," kata si pirang yang menatap Kirana tajam.

"Oh, aku tidak peduli dengan namamu tuan not-so-gentleman. Aku pergi," kata Kirana kemudian berjalan menjauhi si pemilik pirang.

"Kau!" geram si pirang lalu menarik bahu Kirana yang membuat Kirana memutar tubuhnya agar tidak terjatuh.

"Beraninya kau dengan keturunan Kirkland!" bentak si pirang, tangan kanan milik si pirang yang terbalut kain putih masih berada di pundak kiri Kirana. Mata Kirana terbuka lebar mendengar kata Kirkland yang keluar dari mulut si pirang.

"Kenapa? Terkejut?" suara dengan nada meremehkan keluar dari mulut si pirang.

"Tch. Seharusnya aku sadar saat melihat alis tebalmu itu," kata Kirana yang melirik ke arah bunga mawar putih dari sudut matanya.

"Baiklah, aku permisi, tuan Kirkland," kata Kirana sambil menepuk pelan kedua tangannya yang dibungkus kain berenda lalu memutar tubuhnya dan mulai melangkahkan kakinya. Hanya saja, baru melangkah beberapa langkah sebuah suara dari Kirkland mengharuskan Kirana berhenti dan kembali menghadap sang Kirkland.

"Kali ini apa?" tanya Kirana yang mulai jengkel.

"Sudah kukatakan bawa ko-"

Angin kencang yang berhembus di antara mereka membawa kabur topi pantai berwarna krem dengan hiasan mawar biru tua dengan pita berwarna putih. Topi itu tampak sesuai dengan gaun biru tua dengan renda putih yang menbentang dari sepanjang dada sampai perut Kirana dan rok bertumbuk yang panjangnya menyentuh mata kaki Kirana. Di bagian pinggang Kirana terdapat sebuah kain berwarna biru muda yang melintang dari pinggang kanan ke kiri dan di bagian kiri -tempat pertemuan kain biru muda- terdapat bunga mawar putih sebagai hiasan gaun yang digunakan oleh Kirana.

"Topiku," kata Kirana kemudian mengangkat tangannya untuk meraih topi yang dibawa pergi oleh angin tetapi usahanya gagal, topi milik Kirana sudah terbang menjauh. "Padahal aku baru membelinya."

Si Kirkland terdiam ketika melihat wajah Kirana, wajah yang sebelumnya tidak begitu terlihat karena bagian lebar topi yang menutup matanya, kini terlihat dengan jelas di mata hijau Kirkland. Wajah yang terasa begitu familiar untuk si pemilik mata hijau.

Hijau bertemu dengan coklat muda.

"Kau-" perkataan sang Kirkland terhenti ketika seseorang memanggil namanya. Mau tidak mau Kirkland menoleh untuk melihat siapa yang memanggil namanya.

Seorang pemuda berkaca mata berjalan mendekati si Kirkland. Pemuda yang memiliki rambut hitam kelam dan sebuah tahi lalat yang terletak di bawah bibir sebelah kiri.

"Apa yang sedang kau lakukan di sini sendirian, Art?" tanya pemilik mata amethyst. Mendengar kata sendirian yang keluar dari mulut pemilik tahi lalat, Kirkland menoleh ke tempat terakhir kalinya sang gadis berbaju biru tua berdiri.

"Tidak ada," kata Kirkland ketika menoleh ke samping. Gadis berambut hitam yang memanggilnya dengan tuan alis tebal sudah menghilang.

Pemilik mata amethyst menaikkan mata kirinya dan bertanya, "Siapa?"

"Bukan siapa-siapa," Kirkland menggelengkan kepalanya, "Kita pergi, Rod," kata Kirkland lalu melangkah menjauh dari taman utama. Pemilik mata amethyst mengikuti jejak Kirkland sambil membawa dua buah koper coklat milik Kirkland.


"Apa yang kau lakukan di sana?" teriak Arthur panik.

Siapapun yang berada di posisi Arthur Kirkland pasti akan bertindak serupa, jika kalian melihat seorang gadis yang duduk di atas pohon dengan santainya. Mungkin jika kalian berada di halaman, kejadian ini bisa dikatakan normal –untuk para gentleman ini bukan hal normal, tetapi lain cerita jika kalian menemukan seorang gadis yang berada di atas pohon dan kalian melihat gadis itu dari jendela kamar mandi kalian di saat kalian sedang membuka pakaian kalian dan bersiap untuk mandi.

"Mengambil topiku, tentu saja," kata sang gadis santai yang sedang memegang topi biru tuanya kemudian memakainya.

"Kau itu manusia atau monyet sih?" bentak Arthur.

"Tentu saja manusia, i-"

Ucapan sang gadis terputus ketika posisi duduknya sedikit bergeser.

"Hei, awas!" kata Arthur yang semakin panik ketika melihat sang gadis akan terjatuh. Refleks dia mengulurkan tangannya untuk menangkap sang gadis. Gerakan tangan Arthur terhenti ketika sang gadis duduk kembali di salah satu dahan pohon dengan santai seakan kejadian tadi tidak pernah terjadi.

"Hati-hati, kamu bisa terjatuh," kata sang gadis yang melihat posisi Arthur.

"KATAKAN ITU PADA DIRIMU SENDIRI!"

Arthur menarik nafas lalu membuangnya, menarik nafas membuangnya, tarik buang, tarik buang sampai emosinya mereda. Setelah mereda, Arthur menjulurkan kedua tangannya, dan berkata, "Lompatlah kemari lalu aku akan menangkapmu."

Mata gadis itu menyipit ketika memandang mata hijau Arthur, sebuah pandangan yang mengartikan bahwa sang gadis mencurigai niat baik dari si pemuda gentleman.

"Tidak mau. Aku tidak percaya pada pria yang setengah telanjang. Aku masih ingin menjaga kesucianku."

TAS!

Urat kesabaran Arthur putus saudara-saudara.

"KAU! KUBILANG LOMPAT YA LOMPAT!"

"TIDAK MAU! Kau pasti mau berbuat yang tidak-tidak padaku," bentak sang gadis sembari mendekap erat tubuhnya sendiri.

"Aku tidak akan berbuat yang aneh-aneh, percayalah," kata Arthur berusaha meyakinkan sang gadis.

"Kau tahu, aku semakin tak percaya padamu," mata sang gadis menyipit -lagi, memandang Arthur dengan penuh kecurigaan -lagi.

"Dengar ya nona monyet, aku tidak tertarik pada tubuhmu yang datar itu," ejek Arthur lalu menaruh tangan kanannya di pinggangnya.

"You, bloody idiot! Tubuhku ini tidak datar!" teriak sang gadis.

"Sudah bertubuh datar, mulutnya pun kotor, pasti tidak akan ada yang mau menikah denganmu," ejek Arthur.

"Tentu saja ada!" suara sang gadis semakin keras.

"Dengar, meskipun kau adalah gadis terakhir di dunia, aku tidak akan pernah mau menikah denganmu."

Sang gadis menggeser pantatnya agar dia bisa mendekati Arthur, melihat sang gadis sudah berada di jangkauannya, Arthur segera menarik sang gadis sehingga sang gadis jatuh ke pelukannya.

"Arthur, apa ka-" suara itu terhenti sebentar, "Silahkan lanjutkan lagi."

Begitu pintu kamar mandi tertutup, suara tamparan dari balik pintu yang tertutup terdengar sangat keras.

'Pasti sakit,' pikir sang penutup pintu.

.

.

"Jadi, siapa namamu, nona?" tanya Rod, pemuda berkacama yang memiliki tahi lalat di bawah bibirnya, yang sedang menuangkan rosebud tea ke dalam cangkir porselin yang terletak di depan Kirana.

"Kirana, Kirana Jones," jawab Kirana.

"Aku Rod, tahun kedua, salam kenal nona Kirana," kata Rod sesudah dia mendudukkan dirinya di kursi yang terletak di depan Kirana.

"Kau boleh memakan kuenya," kata Rod yang menawarkan kue yang tersaji di atas meja.

Kirana mengambil sepotong kue coklat lalu memakannya dalam potongan kecil. Rod hanya memperhatikan Kirana yang sedang asyik memakan roti coklatnya. Merasa diperhatikan, Kirana menatap wajah Rod.

"Ada apa?" tanya Kirana, garpu peraknya masih melekat di bibir Kirana.

"Tidak, aku hanya berpikir bahwa kau tidak mirip dengan Miss Elizabeta," kata Rod dengan senyuman yang bertengger manis di wajahnya.

Kirana menghela nafas lalu meletakkan garpu peraknya, "Tentu saja tidak, warna rambut dan mata kita tidak sama."

Rod tertawa kecil, "Tetapi caramu memandang makanan manis sama seperti Miss Elizabeta sewaktu melihat buku baru."

"Senior akrab dengan kakakku?"

Kiranamemakan potongan terakhir kue coklatnya. Pada saat kue coklat itu masuk ke mulut Kirana, Rod berkata, "Aku adalah pengurus perpustakaan, terkadang aku bertemu dan membantu Miss Elizabeta di sana."

"Kenapa kau masih di sini, monyet?" suara khas dari bangsawan Kirkland menyapa telinga Kirana.

"Aku yang memintanya, Art. Lagipula dia putri dari keluarga Jones," kata Rod yang sedang memegang cangkir yang memiliki corak yang sama seperti milik Kirana.

"Aku tidak peduli dia dari keluarga mana. Gadis seperti dia tidak pantas berada di academy ini, menjadi maid saja tidak pantas apalagi siswi academy ini. Dasar gadis bar-bar," suara rendah milik Arthur membekukan suasana di ruangan itu.

Kirana berdiri dari tempat duduknya, dia menatap Rod dan tersenyum lembut, "Terima kasih atas jamuannya."

Kemudian Kirana mengambil topi biru tua miliknya dan memakainya, setelah memakai topi biru tuanya dia berjalan menuju pintu keluar. Ketika Kirana berada di depan Arthur, dia melirik Arthur tajam lalu berlalu begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Setelah kepergian Kirana dari tempatnya, Arthur duduk di sofa yang terletak di dekat jendela.

"Gadis yang aneh," dengus Arthur.

"Art, tadi kamu keterlaluan."

"Kurasa tidak. Akuhanya ingin tahu sisi mana yang asli dan mana yang pura-pura," kata Arthur lalu melirik jendela yang terletak di belakangnya.

"Apa maksudmu?"

Arthur tidak menjawab, dia hanya menumpangkan dagunya sambil melihat ke arah jendela. Arthur tersenyum kecil ketika melihat Kirana berjalan sambil menghentak-hentakan kakinya dari balik jendelanya.


"Darimana saja kau?" suara keras dari Alfred langsung menyapa telinga Kirana ketika dia menginjakkan kakinya untuk pertama kali di asrama khusus keluarga Jones.

"Habis dari taman," jawab Kirana sambil melepas topinya dan meletakan di tempatnya.

"Taman? Taman mana?" tanya Alfred yang memasang pose marah –sebenarnya dia benar-benar marah.

"Kenapa kau di sini, Al?" bukannya menjawab pertanyaan Alfred, Kirana justru mengubah topik pembicaraan.

"Jangan mengalihkan pembicaraan, Kirana Jones!" bentak Alfred. Kirana tersentak mendengar teriakan yang keluar dari mulut Alfred.

"Sebenarnya-"

Kirana pun menceritakan semua kejadian yang dialaminya pagi ini, tentang taman dan topinya. Tetapi tidak semuanya diceritakan oleh Kirana menghilangkan bagian pertemuannya dengan Arthur dan Rod. Jika kakak-kakaknya tahu tentang kejadian di kamar mandi maka dia tidak akan mendapatkan belahan hatinya -roti dan kue manis.

"Kau memanjat pohon? Berhentilah bertindak konyol Kirana!" kali ini suara lantang dari Elizabeta menusuk telinga Kirana.

Berbeda dengan Elizabeta, Alfred justru sangat bangga dengan prilaku dari Kirana. Alfred menepuk pelan pundak Kirana sambil berkata, "Itu baru adikku."

"Bersikaplah seperti seorang ladysesungguhnya Kirana. Contohlah Maya," kata Elizabeta, matanya masih melekat pada tulisan yang tertulis di buku yang ada di tangannya.

Alfred memberhentikan tepukannya pada pundak Kirana ketika melihat Kirana menundukkan kepalanya. Genggaman tangan Kirana pada kuat gaun biru tuanya melonggar dan berkata, "Aku akan bersiap-siap."

"Kau keterlaluan, kak," kata Alfred ketika Kirana sudah memasuki kamar mandi.

"Aku hanya ingin dia berubah, Al. Umurnya sudah 16 tahun, dia tidak bisa bertindak seperti anak-anak lagi," kata Eizabeta lalu menutup buku yang dibacanya. Setelah meletakkan bukunya di atas meja, Elizabeta berjalan menuju pintu keluar.

"Mau kemana?"

"Aula, sebentar lagi acara pembukaan akan dimulai. Jangan terlambat," kata Elizabeta lalu menutup pintu keluar asrama mereka.

Alfred menghembuskan nafasnya pelan, dia membuka kancing lengan kirinya lalu menggulung lengannya sebatas siku kemudian ia memperlakukan lengan kanannya sama seperti lengan kirinya. Lalu dia membuka 3 kancing teratas dan duduk di kursi-jendela, dari kursi itu Alfred dapat melihat sekumpulan siswi yang akan masuk atau keluar asrama putri. Dari balik kaca mata framelessnya, Alfred melihat 3 orang siswi yang sedang bercanda gurau. Alfred tersenyum melihatnya.

'Seandainya saudariku seperti mereka,' pikir Alfred yang melihat keakraban dari ketiga siswi yang dilihatnya di bawah sana.

"Dimana kak Eliz?" tanya Maya yang baru saja keluar dari kamarnya.

"Dia sudah berangkat duluan," jawab Alfred tanpa mengalihkan pandangannya, dia masih menatap ketiga siswi di bawah sana yang berjalan menjauh.

"Kau sedang melihat apa kak?" tanya Maya lalu melihat apa yang kakak laki-lakinya lihat.

"Tahun ini pun banyak yang cantik," kata Alfred dengan cengiran lebarnya.

Sebuah bantal berwarna emas mendarat di kepala pirang milik Alfred.

"Dasar playboy," komentar dari sang pelempar bantal.

"Kakakmu yang tampan ini bukanlah seorang playboy, Maya. Aku hanya bersikap seperti seharusnya, seorang gentleman."

"Tch," Maya mendecih pelan, tetapi Alfred dapat mendengar decihan dari Maya.

"Ahahahahaha. Kalau seperti ini kau mirip dengan Kirana."

"Jangan samakan aku dengannya!" bentak Maya yang bersiap untuk melempar sebuah bantal ke kepala kakaknya.

"Lucunya adikku yang satu ini, apalagi jika sedang tersipu seperti ini," goda Alfred sambil mencubit pelan kedua pipi Maya.

"Apa yang kau lakukan, idiot?" suara dari Kirana yang membuat Alfred melepaskan tangannya dari pipi Maya.

"Oh, Kiranaaa~" kata Alfred lalu berlari menuju ke tempat Kirana dan memeluknya.

"Adikku sayang,"Alfred mengelus, lebih tepatnya mengacak, pelan rambut Kirana yang sudah tertata rapi.

"Lepaskan aku, Al!"perintah Kirana sambil mendorong pelan dada Alfred yang sedikit terbuka.

Alfred menggelengkan kepalanya sebagai tanda bahwa dia tidak mau melepaskan pelukannya. Kirana memang tidak melihat gelengan kepala Alfred tetapi Kirana bisa merasakan gelengkan kepala Alfred di puncak kepalanya.

"Aku pergi duluan. Aku tidak ingin terlambat gara-gara tindakan konyol kalian," begitu selesai berkata seperti itu, Maya menutup pintu keluar asrama mereka.

"Kak, nanti kita terlambat," kata Kirana, beberapa saat setelah kepergian Maya.

"Kau benar."

Alfred melepas pelukannya dan mulai membenarkan kemeja putihnya. Setelah semua kancing yang dia buka tadi dikancingkan kembali, Alfred mengambil dasi berwarna hitam dan mengikatnya di lehernya. Kemudian Alfred memakai rompi hitamnya dan jas berwarna biru tua yang merupakan seragam untuk para siswa di Hetalia Academy.

"Ayo," kata Alfred begitu selesai berpakaian. Alfred segera menggandeng tangan Kirana dan berjalan beriringan menuju gedung utama, kampus Hetalia Academy.

Mereka, Alfred dan Kirana, keluar dari Ivy Cottage yang merupakan asrama putri. Asrama yang menghadap ke arah selatan ini terletak di sebelah timur Hetalia Academy. Pada bagian timur juga, di sebelah timur Ivy Cottage, berdiri Notthingham Cottage, lalu beberapa meter di depan Notthingham Cottage terdapat sebuah paviliun taman yang digunakan untuk acara minum teh. Kemudian ada sebuah gereja yang bernama All Saints Church yang berdiri beberapa meter di belakang Ivy Cottage dan Notthingham Cottage. Bagian barat Hetalia Academy, dikhususkan untuk kegiatan di lapangan, seperti berkuda, polo, dan berbagai kegiatan lainnya. Gedung Hetalia Academy sendiri berdiri menghadap ke arah selatan. Di jalan utama yang menghubungkan antara gedung utama dan pintu gerbang berdiri sebuah patung ratu Victoria, sebuah hadiah dari adik perempuannya yang sudah tiada.

Di seberang jalan Broad Way, jalan utama menuju area Hetalia Academy, terdapat sebuah taman seluas 51 hekar. Taman ini memiliki kolam seluas 3,5 hektar, seluruh taman ini ditumbuhi dengan rumput hijau, beberapa bunga mawar dan pohon diberbagai titik di taman ini. Di bagian selatan taman ini terdapat sebuah kastil kecil yang bernama Cambridge Castle, tempat peristirahatan terakhir dari pasangan Duke and Duchess of Cambridge. Taman yang indah ini hanya bisa dinikmati oleh para siswa dan siswi dari Hetalia Academy hanya seluas 24 hektar saja, sisanya adalah daerah terlarang.

Setelah Alfred dan Kirana sampai di depan pintu utama dari gedung utama, Kirana memberhentikan langkahnya, dia memandangi dua buah pintu yang terbuka lebar. Pintu yang terbuka itu memperlihatkan sebuah ruangan yang tidak terlalu besar, di sisi kanan dan kiri ruangan itu terdapat lorong. Lorong di sebelah barat digunakan untuk kegiatan belajar dan mengajar dan di sebelah timur adalah daerah terlarang. Di depan lorong sebelah timur terdapat sebuah jeruji yang terbuat dari besi, jeruji perak itu hanya bisa dibuka oleh anggota kerajaan saja. Kemudian di tengah ruangan, terdapat dua buah tangga yang menghubungkan ruangan depan dengan aula utama. Di dinding ruangan itu terpajang sebuah lukisan yang beraliran realisme, lukisan dengan obyek Cambridge Castle.

"Kenapa diam saja? Ayo masuk," kata Alfred yang melihat Kirana yang terdiam sambil melihat apa yang di dalam ruangan itu.

Alfred menghampiri Kirana, "Ada waktu untuk mengagumi sekolah barumu, tetapi bukan sekarang karena kita sudah terlambat."

Seusai berkata seperti itu, Alfred segera menyeret adiknya satu-satunya yang memiliki bola mata berwarna coklat muda untuk segera menaiki tangga dan memasuki aula utama. Kirana sedikit tersentak ketika Alfred menarik lengannya.


Kirana pikir, dia sudah siap menghadapi ini semua, tetapi dia salah. Ketika dia berdiri di depan dua buah pintu yang terbuka dan melihat apa yang dibalik pintu itu, ingatan yang dia pendam selama ini muncul kembali. Ingatan yang paling tidak ingin Kirana ingat lagi.

Saat ini, Kirana sedang berada di tempat yang sama tetapi di tahun yang berbeda. Bukan siswa siswi Hetalia Academy yang dilihatnya, melainkan pria dan wanita dewasa yang sedang tertawa sambil menaiki tangga. Bukan suasana di pagi hari yang Kirana lihat tetapi suasana di malam hari, malam dimana tragedi itu terjadi. Tragedi dimana dunia Kirana berubah 180 derajat. Tragedi yang menewaskan semua orang yang hadir dalam pesta itu dan menyisakan dirinya dan beberapa pelayan. Tragedi yang terjadi 5 tahun yang lalu.

Sebuah tarikan dari tangan Alfred mengembalikan Kirana pada dunianya, Kirana menyamakan langkahnya dengan langkah milik Alfred. Mereka berdua tergesa-gesa ketika menaiki tangga.

"Kami ucapkan selamat datang kepada murid baru Hetalia Academy yang akan mempelajari tradisi dan sejarah dari kerajaan Inggris."

Alfred dan Kirana masuk tepat ketika kepala sekolah mulai berpidato. Mereka berdua berpisah karena tempat duduk mereka berada di tempat berbeda. Tempat duduk Kirana berada di balkon pertama di sebelah timur dan tempat dudukAlfred berada di balkon kedua di sebelah barat.

"Pada tahun ini, kita kedatangan murid istimewa yaitu, Arthur Kirkland."

Ketika Kirana sudah duduk di tempatnya, hal yang pertama kali Kirana lihat adalah sepasang alis tebal yang berwarna pirang. Tidak, bukan seorang Arthur Kirkland –si pemilik alis tebal- yang saat ini berdiri di atas podium, melainkan sebuah bendera berwarna biru tua yang terletak di belakang Arthur.

"Sebagai anak dari keluarga Kirkland, salah satu pendiri Hetalia Academy. Saya merasa bangga bisa memasuki academy ini."

Bendera itu terukir sebuah lambang, lambang dari Hetalia Academy. Lambang itu memiliki perisai dan di sisi kanan dan kiri perisai itu terdapat dua ekor singa yang saling berhadapan. Singa berwarna perak berada di sisi kanan perisai dan singa berwarna emas berada di sisi kiri perisai. Di atas perisai terdapat sebuah mahkota kecil berwarna emas dan di atas mahkota itu terdapat dua ekor merpati putih. Di bawah perisai dan kaki kedua ekor singa terdapat sebuah ukiran mawar yang berjumlah 3 buah. Dan di dalam perisai terdapat inisial ER.

"Ethan Cambridge and Alexandrina Rosalia Cambridge," sebuah kalimat yang meluncur mulus dari mulut Kirana ketika membaca tulisan ER besar yang terdapat di bendera itu.

Bagaikan sebuah mantra sihir, Kirana dapat melihat sepasang manusia yang berdiri di depan podium. Seorang wanita yang menggunakan gaun berwarna putih dan memiliki wajah yang mirip dengan Kirana. Di samping wanita itu berdiri seorang pria yang memiliki wajah yang tegas sekaligus lembut, pria yang memiliki warna bola mata dan rambut yang sama seperti Kirana.

"Apa yang membuat saya bangga adalah saya bisa bersekolah di tempat yang didirikan untuk mengenang sahabat baik ayah saya, Duke dan Duchess of Cambridge."

Kirana dapat mendengar sepasang manusia itu memanggil namanya. Sang wanita membuka lebar tangannya seakan bersiap untuk memeluk diri Kirana. Sang pria, memeluk pinggang sang wanita dan tersenyum lembut ke arahnya.

"Selain hal itu, ada hal lainnya yang membuat saya bangga. Saya dapat melihat secara langsung keindahan dan elegansi dari kalian semua yang saya temui."

Kirana tidak peduli saat ini dia berada dimana dan dengan siapa, yang Kirana inginkan saat ini adalah memeluk sepasang manusia yang berdiri di depan podium. Sepasang manusia yang sangat dia rindukan.

"KYAAAAAAA"

Suara teriakan yang berasal dari seorang gadis, suara yang berasal dari atas Kirana. Teriakan itu membuat Kirana sadar akan posisinya saat ini. Berada di udara dan tanpa pengaman.

"Kenapa lantainya bisa hilang?" suara Kirana yang terdengat panik dan terkejut karena tiba-tiba tanah yang dia pijak menghilang. Refleks tangan Kirana bergelantungan di tiang kecil berwarna hitam yang menancap di balkon, tiang yang digunakan untuk memasang bendera.

"KIRANA!" Alfred berteriak lalu segera turun menuju balkon satu, balkon tempat Kirana duduk.

Kirana melirik ke bawah untuk memastikan bahwa akan ada seseorang berdiri di bawahnya untuk menangkap dirinya ketika jatuh. Tetapi harapan tinggalah harapan, tidak ada satupun orang yang bersedia untuk menangkap dirinya. Alfred sendiri masih turun dari balkon 2 ke balkon 1.

Entah karena tidak kuat menahan berat tubuhnya atau karena kecerobohannya, tangan Kirana terlepas sehingga dia terjun bebas ke lantai satu. Tetapi, untungnya Kirana adalah memiliki refleks yang bagus, sehingga dia mendarat di lantai dengan mulus dengan kedua tangannya direntangkan di udara.

"Kau tidak apa-apa kan?" tanya Rod yang berlari menghampiri Kirana, di belakang Rod ada Antonio yang terlihat kawatir.

"Aku tidak apa-apa senior," kata Kirana sambil mengibas-ngibaskan tangannya di udara.

"Tapi kita tetap harus memeriksa keadaanmu."

Bukannya menanggapi perkataan Rod, Kirana justru memutar badannya sehingga tubuhnya menghadap ke arah podium.

"Tidak ada," kata Kirana pelan saat melihat sepasang manusia yang Kirana rindukan.

Melihat sepasang manusia itu menghilang dari hadapan Kirana, lutut Kirana melemas menyebabkan dia jatuh terduduk. Tetapi mata Kirana masih memandang bendera yang bertuliskan AR, berharap sepasang manusia itu muncul di hadapannya sekali lagi.


TBC


Walking canes: sebuah tongkat yang biasanya digunakan untuk berjalan. Pada victorian era, tongkat ini digunakan sebagai pengganti pedang, tongkat ini hanyalah sebuah aksesoris semata.

Bangunan Hetalia Academy berdasarkan pada istana Keningston. Istana Keningston adalah tempat tinggal keluarga kerajaan Inggris.

Duke (pria) dan duchess (wanita) adalah gelar kebangsawanan tertinggi di Inggris, mereka berada di bawah ratu dan biasanya adalah keluarga kerajaan. Pemegang gelar Duke of Cambridge saat ini adalah pangeran Williams.


Cerita ini terinspirasi ketika Lena sedang membaca manhwa dear my girls, sebenarnya sudah lama ide cerita ini muncul tetapi terus lupa dan tiba-tiba Lena ingat lagi. Akhirnya Lena memutuskan untuk menulisnya. Jujur saja, sewaktu Lena mau mempublikasi ini cerita Lena ragu karena mungkin cerita ini jelek, ini adalah chapter teaser, jika kalian tidak suka maka Lena dengan senang hati menghapusnya. Maaf kalau Lena jadi plin-plan, bukannya Lena haus sama review atau tetek bengeknya tetapi Lena bener-bener ga pede sama cerita ini, rasanya masih banyak kekurangan di cerita ini apalagi ini bukan cerita yang murni dari pemikiran Lena. Semoga kalian senang membacanya, dan maaf kalau ada banyak bagian yang mirip dengan cerita aslinya. Semoga kalian tidak bosan dan suka sama ini cerita.

Sankyuu~~