No Spacing
Genre : Romance/Crime
Rating : M for Language
Pairing : Sasu (Fem) Naru
WARNING : OOC, GS, Typos, GAK JELAS, AU, NO BASH CHARA, ALUR CEPAT!
Disclaimer : All Chara Belong To Masashi Kishimoto (c)
Summary :
Naruto seorang jurnalis yang bekerja di salah satu percetakan terkenal di Konoha dan harus menghidupi kedua adiknya. Namun suatu hari nyawanya terancam karena menjadi saksi pembunuhan.
.
.
.
Troublesome!
Naruto menghela napas pelan. Apartment sederhananya memang akan selalu ramai suara cempreng Nagato, atau omelan-omelan bibi Willis (asisten rumah tangga mereka) yang terus memarahi Nagato untuk berhenti bernyanyi dan segera menghabiskan makanannya
Ini memang akan selalu terjadi nyaris setiap hari. Untung saja bibi Willis adalah wanita yang penyabar dan hanya sesekali mengomel. Beda lagi dengan Deidara, adik perempuannya yang sudah berusia 17 tahun dan duduk di kelas 2 SMA. Dia anak yang pendiam sebenarnya, hanya saja kerap kali membuat kepala pusing saat gadis berperawakan jangkung itu menghajar teman laki-lakinya atau teman wanitanya yang berani mengganggu hidupnya.
Ia dan bibi Willis menjadi keranjingan saat mengurus adik-adiknya yang terkadang sulit sekali diatur. Setiap hari bibi Willis akan menasihati Naruto untuk bersabar—atau pulang saja ke rumah besar neneknya yang kaya raya itu. Tapi Naruto pikir, tidak perlulah ia pulang dan memohon pada Nenek Uzumaki untuk mengurus mereka. Mengingat pernikahan kedua orangtuanya saja juga tidak direstui oleh keluarga sang ibu.
"kenapa kau tak memakannya?" tanya Naruto. Melihat Deidara yang sedari tadi hanya mengaduk-aduk oatmeal-nya tanpa ada niat untuk menghabiskannya.
Gadis 17 tahun itu mendengus, meletakan sendok di atas meja. "Apa setiap hari aku harus menghabiskan makanan seperti ini? Aku bukan orang sakit!"
Bibi Willis yang sedang menyuapi Nagato berhenti. Ia mengusap bahu Naruto yang tengah menahan amarahnya. "kau harus bersabar, itulah cobaan" kata bibi Willis. Nagato dengan mata bulat rubby-nya menatap polos sang kakak.
Deidara sudah beranjak pergi tanpa memakai blazer-nya. Dia memang begitu, sering seenaknya, dan bertingkah seolah neneknya lah yang punya sekolah. Entah mau jadi apa anak itu.
Naruto mengangguk dengan senyum di wajahnya. Dia memang kelihatan cantik dalam balutan blus pastelnya yang dibalut cardigan tanpa lengan. Matanya yang biru langit serta rambut pirangnya yang tebal dan ikal. Tak perlu diragukan lagi. Ia bahkan sudah seperti Yamanaka Ino, artis papan atas yang digadang-gadang tengah dekat dengan seorang pewaris tunggal pemilik galeri lukisan di kota mereka.
"Kak Dei menyebalkan" kata Nagato. Bocah 5 tahun itu cemberut masam. Naruto mengacak pelan rambut red wine Nagato yang diturunkan oleh mendiang ibu mereka. "kak Nalu halus sabal! Olang sabal kan disayang Tuhan"
"nah, habiskan sarapanmu! Kakak harus pergi, kau juga jangan nakal ya!" ujarnya. Seraya mengecup kening sang adik. "kakak akan menjemputmu pulang sekolah nanti"
...
Usianya sudah 27 tahun. Tapi masih belum juga ia menikah. Saat ditanya pun dia juga hanya tersenyum. Apalagi mengingat Nagato yang baru berusia 5 tahun. Well, ibunya memang melahirkan Nagato kecil saat usia Naruto 22 tahun dengan usia ibunya yang saat itu sudah 42 tahun. Kemudian meninggal seusai melahirkan adik kecil mereka.
Satu tahun kemudian ayahnya menyusul. Laki-laki itu meninggal saat hendak pergi berbisnis. Kecelakaan pesawat katanya—bahkan sampai saat ini jasadnya pun masih belum juga ditemukan. Ia pernah sekali berpikir jika kematian ayahnya adalah sabotase, tapi tak berani mengusutnya karena tak ada bukti yang jelas.
Kalau boleh bercerita, sebenarnya pekerjaan yang ia dapatkan bisa dibilang keberuntungan. Saat SMA dia pernah menjadi juara satu menulis berita di sebuah blog ternama—kemudian saat baru lulus kuliah dia langsung ditawari pekerjaan setelah wawancaranya dengan seorang atasan The Konoha Globe Magazine.
Dia sungguh beruntung. Gajinya lumayan cukup untuk membiayai kebutuhan kedua adiknya, sewa apartment, dan juga membayar bibi Willis. Lagipula Deidara anak yang pintar, dia bahkan mendapatkan beasiswa sebagai siswi unggulan di sekolah bergengsinya. Terlepas dari sifatnya yang tertutup dan seolah tak mau bergaul.
Sebagai seorang jurnalis—apalagi di bagian pemberitaan kasus-kasus tertutup, Naruto memang tidak boleh memperkenalkan dirinya sebagai seorang jurnalis. Ia kerap kali menyamar dan sebuah liontin berbandul prisma biru yang dilengkapi alat perekam mini yang diberikan oleh atasannya untuk memperlancar tugasnya.
Hasilnya memang terbukti lebih dramatis dari yang pernah ia harapkan. Ia bahkan sudah lebih dari 5x merekam pembicaraan orang yang merencanakan tindak kejahatan. Tanpa ia sadari, selain sebagai seorang jurnalis, dia juga detektif amatir terbaik yang pernah dimiliki The Konoha Globe—sebelumnya adalah Yugito, yang tewas terbunuh dalam insiden penembakan di sebuah bank. Ini adalah pekerjaan yang sulit, teramat sulit dan menyangkut keselamatannya.
Bisa saja ia terbunuh saat hendak makan di restoran ramen kesukaannya atau diculik, kemudian dibunuh, dan dimutilasi—seperti kasus-kasus yang marak beredar.
"Naruto"
Ia menoleh, itu adalah Tenten. Salah satu temannya yang bekerja sebagai seorang editor dan sudah menikah dengan seorang pengusaha terkenal bermarga Hyuuga.
"Ah, Tenten" ia tersenyum. "mana oleh-olehnya? Kau bilang mau memberikan aku oleh-oleh"
Tenten tertawa. Dia baru ingat kalau ia berjanji akan memberikan teman terbaiknya oleh-oleh sepulang dari bulan madunya di Maladewa. Naruto merasa senang, karena Tenten memberikannya sebuah gelang mutiara laut yang indah—dan tentu saja harganya sangat mahal.
"wah, cantik sekali" puji Naruto. Ia mengusap permukaan mutiara yang bersinar dan nampak mahal.
Tenten adalah gadis yang beruntung bisa menikahi pewaris tunggal Hyuuga. Tak hanya tampan, tapi juga kaya raya dan amat perhatian padanya.
"sepertinya ini mahal" kata Naruto. Harganya mungin diatas 40 juta dolar, tapi Naruto tak mau bertanya soal harga. Bisa jadi nanti Tenten tersinggung dengan pertanyaan seputar harga.
Tenten tertawa kecil. Mereka berjalan beriringan menuju lift. "ini akan memudahkan dirimu saat mengumpulkan informasi" ujarnya. Ia menunjuk sebuah tombol kecil yang tersemat di bawah hiasan bunga matahari di gelang itu.
"Astaga, Tenten" Naruto terkejut. "ini indah sekali, terimakasih banyak ya" ucapnya, seraya memeluk erat teman dekatnya itu. Itu adalah alat perekam mini termahal yang pernah ia miliki.
.
.
.
Shizune senpai, seorang kepala editor yang paling bertanggung jawab dengan seluruh jurnalis di bagianinforman.
Rambut pendeknya terlihat berantakan dan wajahnya yang pucat serta kantung mata panda yang membuat Naruto menautkan alisnya. Ada apa lagi ini? Tanyanya dalam hati. Pasalnya Shizune tak pernah terlihat seperti ini selama nyaris 6 tahun Naruto bekerja di sini.
"senpai" sapa Naruto. Ia meletakan berkas-berkas miliknya di atas meja kerjanya.
Shizune mendongak. Ia menghela napas pelan, mengucapkan puji syukur saat melihat Naruto berada di ruangan mereka. Perempuan 35 tahun itu menepuk lengan Naruto dengan senyumnya yang ramah. "untung kau datang" katanya.
Ya, pikir Naruto sambil menatap perempuan yang beberapa centi ` lebih tinggi darinya itu. "aku harus mengantar beberapa berkas deadline yang bos berikan padaku" sahut Naruto.
"ya..ya..ya, seharusnya kau di rumah saja dan nikmati liburanmu" ujar Shizune. "kau baru menyelesaikan missi-mu dalam mengumpulkan berita. Bos memang keterlaluan"
Naruto tersenyum simpul. "Aku sudah memberikan datanya. Ku pikir berada di rumah terus bisa membuatku bosan"
Shizune bergumam, "kau ini".
Mengingat missi dua bulan yang lalu. Ia bahkan telah memberikan berkas-berkas kejahatan seperti rekaman perselingkuhan pejabat dengan seorang wanita malam di klub—meskipun konsekuensinya dia harus pergi ke klub dan membiarkan bokong sintalnya di remas oleh seorang bapak-bapak tua mesum. Sial, kalau mengingat itu rasanya dia ingin sekali melempar wajah mesum itu dengan heels lancipnya yang tinggi.
"Bagaimana kalau kau bekerja lagi?" Shizune bertanya.
"Komisinya besar?"
Shizune tertawa pelan. "tentu saja" katanya.
Semua orang nekad bekerja demi uang kan? Itulah yang Naruto pikirkan. Tak ada rasa takut, bersalah, atau pun gengsi. Dia butuh uang, kedua adiknya pun juga harus makan dan sekolah.
"Apa?"
Shizune mendekatkan bibirnya ke telinga Naruto. "mewawancarai Kapten Anbu Konoha" bisiknya.
"APA?" Naruto memekik kaget.
"aish, jangan kencang-kencang! Kau membuatku kaget saja"
Naruto menggeleng.
Ya Tuhan..
Masak iya dia harus mewawancarai seorang kapten Anbu yang—err, terkenal dengan privasinya dan amat sangat tertutup. Bahkan Naruto saja juga tidak tahu siapa kapten Anbu Konoha yang sedang menjabat saat ini.
"iya, itu sih kalau kau mau" kata Shizune. Dia sok pura-pura tak peduli, padahal keranjingan.
"Berapa komisinya?"
Shizune tersenyum. Ia senang sekali kalau mau tahu.
"50 juta dolar?"
"Kau serius?" tanya Naruto.
Shizune mengangguk.
"serius! Serius sekali"
.
.
.
Sangat tidak ramah, pikir Naruto saat membaca profil sempurna seorang kapten anbu bernama Uchiha Sasuke. Rambutnya yang dark blue serta kulitnya yang pucat membuat orang itu lebih nampak seperti seorang artis dibandingkan seorang anbu.
Lift berhenti di lantai 34 ketika Naruto mulai mengingat kembali potongan-potongan informasi mengenai keluarga Uchiha yang mayoritas adalah petinggi-petinggi keamanan negara yang sangat dihormati.
Dia putra bungsu dari Uchiha Fugaku, Letnan Jenderal kepolisian anbu yang akan pensiun dua tahun ke depan. Naruto pikir semua keluarga Uchiha adalah orang-orang prodigy yang sialnya berwajah tampan dan semakin membuat orang merasa kagum sekaligus iri dengan mereka.
"Mr Uchiha Sasuke, Kapten team anbu 88" kata Naruto, kepada seorang laki-laki tampan di depan pintu apartment mewahnya.
Laki-laki itu mengernyitkan keningnya. "Aku tak memesan asisten rumah tangga hari ini" timpalnya. Yang membuat Naruto kesal, dan niat sekali ingin memukul laki-laki sok tampan itu.
"Aku Namikaze Naruto, Jurnalis dari The Konoha Globe—"
"Ah, Percetakan berita-berita kontroversi itu ya" Dia langsung memotong ucapan Naruto.
Siapapun pasti mengetahui jika berita-berita yang disajikan The Konoha Globe itu jauh lebih berani dibandingkan dengan percetakan-percetakan lainnya. Entah hanya demi pamor atau alasan apapun, Naruto juga tidak tahu. Dia pun juga tak mau tahu untuk itu.
Sasuke tampak jengkel. "mau apa datang kemari?" tanyanya. Wajahnya sudah sedatar tembok apartment yang putih tanpa noda.
"kami ingin membuat sedikit liputan tentang anda untuk dimuat di halaman majalah kami" kata Naruto, dengan senyum—walau sedikit memaksa.
Tidak pernah ada yang menolak. Bahkan saat Naruto harus mewawancari seorang narapidana di kota Otto yang terkenal dengan kesadisannya membunuh. Mau tau kenapa? Karena gadis cantik bertubuh sintal seperti Naruto memang jarang sekali ada yang menolak.
"kami tidak memuat wajah kami di halaman majalah apapun"
"Tapi—Mr Uchiha, kami butuh sekali untuk deadline kami" Naruto menunjukan tanda pengenalnya. Dengan dua kancing yang sengaja ia buka saat di lift tadi.
Sasuke berdehem pelan. Heol, siapa yang bisa menahan jika melihat dua buah gundukan montok seperti itu? Tapi ia menggeleng. "Tidak!" ketusnya, kemudian menutup kasar apartment-nya.
Naruto menghentakan kedua kakinya. Wajar kan dia kesal? Tapi jika ia menggedor pintu apartment Sasuke, atau mengganggu laki-laki itu pasti dia akan dikira stalker yang membahayakan dan berakhir di kantor polisi. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang dan mungkin akan mencobanya esok siang.
...
Sasuke membuka pintu apartmentnya. Mendapati sosok Naruto yang sudah menghilang di balik pintu lift yang tertutup. Matanya tak sengaja melihat sebuah gelang mutiara. Iya yakin ini pasti gelang mahal dan sangat berharga. Jadi ia memutuskan untuk memungut gelang itu dan menyusul Naruto selama gadis itu belum terlalu jauh dari apartment-nya.
Sementara itu Naruto memukul pelan kemudi mobilnya—kesal. Bagaimana bisa laki-laki itu menolaknya? Padahal belum ada laki-laki yang menolak diwawancarai olehnya.
"Arggghhh, menyebalkan" teriaknya kesal.
Tak disangka-sangka pandangannya tertuju pada dua orang yang sedang berjalan. Si wanita yang terlihat mabuk, membiarkan tubuhnya dikecupi oleh laki-laki bersurai merah maroon yang dia sendiri tak tahu siapa. Tapi ia kenal si wanita, karena akhir-akhir ini wajahnya memang sering diberitakan di TV-TV maupun surat kabar lainnya. Tidak salah lagi, Itu Ino Yamanaka!
Naruto menyipitkan kedua matanya. Shimura Sai rambutnya hitam. Bukan merah maroon seperti itu. tapi kemudian ia menyeringai. Kalau ia bisa mendapatkan berita penuh kontroversi pasti pak Bos akan menaikan gajinya.
Ia segera turun dari mobilnya, bersembunyi diam-diam, dan membiarkan kedua orang itu menjauh. Kemudian barulah ia pergi mengikuti kemana dua orang itu pergi. Yah, insting mata-matanya memang jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.
"apa yang hendak ia lakukan?" tanya Sasuke, saat melihat gadis manis itu berjalan dengan sembunyi-sembunyi dari mobil satu ke mobil lainnya.
.
.
TBC
.
.
.
A/N :
Hallo Readers..
Perkenalkan saya Joy. Newbie for This Fandom. Sebenarnya sih udah sering baca fanfic Sasunaru dari beberapa tahun yang lalu. Dan baru mencoba berani membuat fic di fandom ini. Berhubung ini fic pertama yang bertema GS (gender Switch). Menurut kalian dilanjut gak? (ada syaratnya! Kamu semua harus review dulu*Plaked) eheheheh..
.
.
.
Review?
