HUNjustforHAN
.
Present
.
.
.
.
.
.
BLACK PIANO
.
.
Special request by HunHan Indonesia.
Bahagialah di chapter awal, karena untuk chapter selanjutnya tidak ada yang tau. Kekekeke
.
.
.
.
.
Chapter 1
.
.
.
.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan panti asuhan dimana Luhan dibesarkan. Bibi Kim merawatnya penuh kasih sayang sejak Luhan berumur satu bulan, itu yang Luhan dengar dari kisah masa kecilnya yang di buang di depan gerbang panti asuhan. Sampai usia enam belas dan mendapatkan ijazah Senior High School hasil beasiswa, Luhan memutuskan memulai hidupnya sendiri, bersama Kyungsoo, teman satu kamarnya yang memutuskan ikut bersama Luhan pindah ke Seoul. Mencari harapan ada penghidupan lebih layak disana, meninggalkan Busan dan Bibi Kim yang selalu merindukan kehadiran mereka.
Besyukurlah Luhan dan Kyungsoo dalam jumlah melimpah pada Tuhan, karena telah murah hati memberikan otak secemerlang berlian hingga mereka berhasil menginjakkan kaki di salah satu Universitas di Seoul. Mereka menangis di hari pertama masuk kelas karena Luhan memilih kelas musik sedangkan Kyungsoo tidak tau kenapa malah terdampar di kelas perhotelan, yang berarti mereka harus beda jurusan.
Luhan selalu iri pada baju seragam Kyungsoo; jas hitam, rok sempit, rambut digulung ke atas dan make up menarik dengan tulang pipi tinggi akibat sapuan blush on coklatnya yang sempurna. Kyungsoo bilang penampilan juga salah satu poin yang dinilai dalam kelasnya. Sama halnya dengan Luhan, Kyungsoo sendiri selalu mendesis dengki melihat bagaimana jari-jari Luhan bergerak lincah di atas tuts piano setiap kali dia menjemput Luhan di kelas musik. Bahkan terkadang Kyungsoo masuk untuk menyenandungkan lagu-lagu tentang cinta dan patah hati. Luhan punya kesenangan tersendiri menjadi pengiring bagi nyanyian Kyungsoo. Seperti itulah persahabatan mereka.
Flat kecil berjarak lima ratus meter dari kampus cukup untuk menampung kehidupan Luhan dan Kyungsoo, setidaknya itu tidak menghabiskan terlalu banyak biaya karena hidup di Seoul tidak seindah wajah member boygroup. Luhan menjadi guru les piano, sedangkan Kyungsoo bekerja sebagai waitress di coffee shop perempatan jalan. Kerja paruh waktu.
Hidup memang tidak bisa ditebak. Luhan pikir dia sudah cukup bersyukur atas hidup yang dijalaninya, menyelesaikan kuliah, mendapatkan pekerjaan yang bagus lalu menikah dengan seseorang yang cukup. Diberkahi lelaki kaya tidak pernah sekalipun terlintas dalam benak Luhan. Baginya, setiap orang harus mendapatkan pendamping sesuai dengan derajat kehidupan mereka agar terjadi suatu keseimbangan yang pas. Tapi nyatanya tidak selalu begitu, karena sewaktu di semester ke tujuh Luhan dipertemukan dengan mahasiswa fakultas ekonomi yang hampir menabraknya dengan La Ferrari di halaman kampus.
Oh Sehun.
'Sedang apa ?' Luhan membaca sebuah pesan di ponselnya dan tersenyum simpul. Sudah sepuluh menit dia mengabaikan pesan ini karena jam mengajar les pianonya baru selesai beberapa detik lalu. Belum sempat Luhan mengetukkan balasan, pesan baru masuk lagi; dari pengirim yang sama. 'Ini aku, Luhan. Oh Sehun. Pacarmu jika kau lupa'
Luhan terkikik, menyentuh tanda panggilan kemudian menempelkan ponselnya di telinga, menunduk beberapa kali saat pengajar yang lain melintas. Cukup menghitung nada tunggu dua kali dan panggilannya terjawab.
"Hallo pacar…" sapanya nakal, mengambil kunci dari saku celana jeans panjangnya lalu mengorek loker.
"Berani sekali mengabaikan pesanku. Lupa kalau masih punya pacar ?"
Ada bunyi 'clek' dua kali saat Luhan mengunci loker setelah mengeluarkan tasnya, "Maaf. Jam mengajarku baru selesai beberapa menit lalu."
"Apa susahnya sih mengetik balasan. Suka sekali membuat orang khawatir."
Ketuk higheel Luhan dimulai, "Dilarang keras menggunakan ponsel saat bekerja. Dan aku bukan seorang CEO seperti penelpon ini yang bisa menggunakan ponsel sesuka hatinya."
Sehun mendengus, pertanda dia kalah. "Sudah makan ?" tanyanya dan Luhan dapat mendengar suara pintu mobil tertutup diseberang. Sehun pasti baru pulang kerja.
Dia menggeleng tanpa sadar, "Belum. Kau baru pulang ? Sudah jam berapa ini ?" Luhan melirik jam kepala rusa dipergelangan tangannya, "Jam delapan. Lembur ya ?"
Suara mesin mobil dinyalakan, "Hm. Ada beberapa hal yang harus kuperiksa sebelum pulang dan…."
"Dan ?"
"Aku lapar. Tunggu disana, kujemput sekarang."
.
.
.
.
Satu helaan napas Luhan keluarkan saat Sehun menuntun tangannya duduk di salah satu kursi restoran. Dahi Sehun berkerut, "Kenapa ?" tanyanya.
Selesai memperhatikan lingkungan sekitar, Luhan mendengus, "Saat gadis lain memakai dress dan pita cantik dirambut mereka, aku malah menggunakan celana jeans panjang," pandangan Luhan turun ke bawah, merasa tidak puas karena hanya kemeja putih yang dia pilih sebagai atasan, "dan kau," dia menunjuk Sehun, "Pakaianmu membuatku benar-benar terlihat seperti gadis tepi jalan," rajuknya pada setelahn kantor Sehun yang memukau.
Laki-laki itu terkekeh, "Kau punya tungkai panjang dan langsing, pantatmu juga oke, dapat nilai 100 dariku. Jadi jangan khawatir."
Luhan memberikan cibiran sebagai jawaban sebelum mereka memesan makan malam sambil menikmati denting piano dari panggung kecil di belakang. Kukunya yang bercat biru langit membuat irama ketukan di permukaan meja. Sehun hanya memperhatikannya, suka setiap kali Luhan menggerakkan kepala hanya demi mengkoreksi nada-nada yang tembus dalam pendengarannya, lalu saat ketukannya berhenti,
"Dia salah,"
sifat komentator Luhan akan keluar.
"Apa yang salah ?"
"Sulit menjelaskannya denganmu, tapi pianis itu melakukan sedikit kesalahan dalam nadanya."
Sehun mengangguk kecil, "Ya, aku percaya. Karena aku memacari seorang pianis wanita yang hebat luar biasa," katanya dengan wajah menjengkelkan.
Luhan mengibas sedikit rambutnya, "Bukan berniat sombong tuan Oh Sehun, tapi aku bahkan bisa memainkan piano dengan mata terpejam," katanya pamer dan mendapatkan cubitan gemas dipipinya.
Ketika telapak tangan Sehun terulur di atas meja, alis Luhan mengkerut.
"Tanganmu," pinta si lelaki dan Luhan hanya mengikutinya, menyerahkan tangan dalam jemari kokoh Sehun. Kemudian Sehun mendekatkan wajah ke tautan jemari mereka, "Jari pacarku, kalian terlalu sering memanjakan tuts piano, sengaja melupakan ada seorang lelaki disini yang seharusnya lebih banyak kalian sentuh," sindirnya melirik ke arah Luhan yang tersenyum.
.
.
.
.
Lampu depan rumah adalah satu-satunya yang hidup ketika Luhan sampai disana, bersama Sehun yang berkata masih belum berniat pulang ke apartemennya. Tiga tahun mereka menjalin cinta membuat Luhan menyerah begitu Sehun memaksa bahwa dia dan Kyungsoo harus pindah ke rumah yang lebih layak huni. Sehun memberikannya secara cuma-cuma setelah sebelumnya Luhan setengah mati melarang laki-laki itu membelikannya sebuah apartemen mewah. Itu sedikit…. berlebihan.
"Kyungsoo belum pulang ?" Sehun menyampirkan jasnya di sofa tengah sedangkan Luhan menekan saklar lampu satu persatu.
"Dia dapat shift sore hari ini, biasanya pulang jam 12 malam," jawabnya menuju Sehun lalu melerai simpul dasi pacarnya. "Mau mandi?"
Sehun mengangguk, "Apa pakaianku ada ?" tanyanya mendapat jawaban berupa anggukan balik.
"Ada. Di lemari."
"Mau menemaniku mandi ?"
.
.
.
.
Seoul bukan tempat yang cocok bagi gadis-gadis lugu yang memiliki pendapat bahwa seks harus dilakukan setelah menikah. Budaya barat telah merenggut sebagian adat istiadat timur sehingga perzinahan adalah sesuatu yang dilegalkan. Dan Luhan menyerap sebagiannya. Jadi ketika Sehun memintanya untuk terlentang dan mempersiapkan diri di ranjang, Luhan dengan senang hati melakukannya. Selama itu Sehun.
Rambut hitam lembabnya mulai mengkusut seiring dengan lumatan Sehun dibibirnya. Lelaki itu pencium yang handal, Luhan selalu mabuk saat Sehun menggilirkan bibir atas dan bawahnya ataupun saat rongga mulutnya penuh oleh jilatan lidah Sehun. Semua ini membuatnya gila.
Leher jenjang Luhan merupakan area dimana Sehun akan bermain dengan hisapan-hisapannya yang akan meninggalkan bekas kepunyaan besok pagi. Luhan selalu memberenggut setiap kali melilitkan syal di lehernya pada musim panas tapi dia tidak pernah melarang Sehun agar berhenti.
Lalu kedua payudara sintalnya yang putih dan kencang menampar wajah Sehun hingga lelaki itu selalu kehilangan kewarasannya. Sehun suka melihat wajah merintih Luhan saat dia memijat sebelah payudaranya dengan gerakan pelan sedangkan payudara yang lain di hisap dalam mulut. Kenyal dagingnya merobek kebejatan Sehun.
Semakin larut, permainan akan semakin turun ke bawah dan tempat pemberhentian bibir Sehun yang menggantung nyawa Luhan adalah di selangkangannya. Hembusan napas Sehun menggoda bibir vaginanya hingga Luhan merasa tubuhnya menyusut setiap detik.
Tidak ada hal lain yang sanggup Luhan lakukan selain meremas sprei putihnya dengan wajah merintih ketika mulut Sehun meraup kewanitaannya seperti menggigit permen kapas. Akal sehatnya akan terbang ke langit dan menertawakannya dari atas. Mengatakan bahwa besok dia harus sedikit rajin mencuci lalu mengganti sprei miliknya dengan yang baru.
Sehun terkekeh melihat wajah Luhan memberenggut dihalau nafsu ketika dia sibuk memasang karet pengaman di kejantanannya, seolah Luhan akan mati jika Sehun mengambil waktu terlalu lama. Itu membuat nafsu Sehun meloncak naik. Tanpa basa basi, di angsurnya kaki Luhan menekuk dan membukanya lebar-lebar hingga wanitanya meringis. Lalu dia merangkak ke atas tubuh Luhan sambil menggoda diri bawah Luhan dengan ujung kelelakiannya sampai tubuh Luhan bergetar.
"Berhenti menggodaku," kata Luhan berantakan diantara desahannya. Kemudian Luhan tidak tau harus menyesal atau tidak saat Sehun melesakkan kelelakiannya masuk dalam tiga kali hentakan, keras dan kuat hingga Luhan rasa vaginanya bisa roboh.
Mereka mengerang dalam kenikmatan yang telah diputar berkali-kali oleh khayalan. Bergerak sesuai keinginan birahi dan tersenyum menunjukkan bahwa persetubuhan ini mereka berdua yang menginginkannya, bukan orang lain.
Luhan akan mengalungkan kakinya disekitar pinggang Sehun agar lelaki itu lebih bebas mengacau kewanitaanya dengan cara biadap. Napas keduanya dipertaruhkan untuk sebuah kepuasan atas persetebuhan. Dan ketika nafsu sudah tak sanggup dibendung, keduanya lepas dengan tubuh saling melengkung. Jatuh melorot memeluk satu sama lain.
"Kau nikmat," bisik Sehun berupa pujian disela sensasi luar biasa orgasme mereka.
"Caramu melakukannya yang membuat seks kita nikmat," balas Luhan dan dihadiahi satu kecupan di dahinya. Mereka terdiam sejenak meresapi kedutan yang meremas gairah sebelum Sehun berhasil mengumpulkan kembali kekuatannya.
"Boleh sekali lagi ?" tanyanya langsung ke mata Luhan dan mendapati pipi wanita itu bersemu seiring kepalanya mengangguk.
Percintaan dimulai lagi. Kaki kanan Luhan tersampir di bahu Sehun sedangkan pihak atas mulai menggerakkan tubuh. Seks memang melelahkan, tapi rasa lelah akan kalah oleh rasa nikmat. Luhan tidak pernah bersetubuh dengan lelaki lain, namun dia yakin bahwa Sehun cukup perkasa dalam urusan ranjang.
Ketika birahi mereka mulai menggulung dan sulit dihentikan, keduanya terperanjat mendengar suara pintu depan terbuka.
"Luhan… Aku Pulang."
Seperti yang dikatakannya, Kyungsoo sudah pulang.
Luhan harus membulatkan matanya saat dia menyuruh Sehun berhenti sebentar tetapi lelaki itu malah mengguncah tubuhnya lebih gila. Mulutnya dibekap oleh Sehun sedangkan Sehun malah terlihat senang dengan perbuatannya, seolah ini adalah permainan paling mengasikkan.
Langkah Kyungsoo terdengar mendekat. Saat Kyungsoo bertanya, "Luhan, kau sudah tidur ?" maka Luhan paham betul apa yang akan dilakukan sahabatnya.
Clek!
Membuka kamar dan….
"OH SHIT! KEPARAT KALIAN BERDUA!" umpatnya sambil menahan bola mata agar tidak jatuh memantul di lantai. Melempar Sehun dengan sandal rumahan ketika Sehun memberikan satu kerlingan menggoda seiring dengan gerakan tubuhnya yang mengguncang Luhan lebih brutal. "OH SHIT!"
BLAM!
.
.
.
.
Pukul 5 pagi. Sistem bawah sadar Luhan sepertinya sudah menghapal jam bangun tidurnya sehingga tanpa alaram pun Luhan akan terbangun. Mengumpulkan sedikit energi, pelan-pelan dia melepaskan rengkuhan Sehun dari pinggangnya, duduk dan menyepol rambut asal ke atas. Diliriknya Sehun yang masih terlelap sebelum memutuskan bangkit.
"Mau kemana ?" suara serak membuat Luhan yang baru saja menjuntaikan kakinya ke lantai melirik ke belakang. Ada Sehun yang berusaha membuka mata namun nyatanya gagal.
Luhan tersenyum, mendekati wajah lelaki itu sebelum mendaratkan sebuah kecupan manis dipipinya. "Tidur saja lagi. Ini masih terlalu pagi. Akan kubangunkan saat sarapan sudah siap," beritahunya pada Sehun yang langsung mengangguk; melanjutkan mimpinya bertemu para bidadari agar Luhan cemburu.
Dan Luhan memilih segera mempersiapkan dirinya sebersih mungkin lalu membuat apapun yang bisa dia hasilkan dari bahan-bahan di kulkas. Akhir bulan biasanya isi kulkas akan merenggang, tapi setidaknya Luhan masih bisa menemukan sosis sebagai campuran nasi gorengnya pagi ini.
Dia bergegas ke kamar setelah selesai menaruh dua porsi nasi goring di meja makan sedangkan satu porsi yang lain Luhan simpan di lemari dapur. Kyungsoo pasti lebih memilih tidur daripada sarapan jika mendapat shift sore.
Sehun masih bergelung selimut, hanya satu helaan napas yang sanggup Luhan keluarkan saat ingat jika pacarnya itu sulit sekali bangun pagi. Terkadang Luhan harus menghubunginya sebanyak sepuluh panggilan hanya untuk mendengar Sehun meleguh.
"Hun..bangun.." bujuknya sambil mengusap pipi si-payah-bangun-pagi. "Sarapannya sudah siap," bujuknya sekali lagi dan hanya mendapat sebuah leguhan dari Sehun. "Hun, bangun." Ditepuknya pipi lelaki itu beberapa kali namun Sehun masih melanjutkan mimpinya. "Oh Sehun!" geram Luhan dan tidak membuahkan hasil.
Sehun masih lelap seperti tidak ada hal lain yang dia inginkan di dunia selain mendapatkan tidur beberapa jam lebih lama di pagi hari.
Luhan bersedekap dada, "Oh Sehun!" dia mengumpulkan napas, "Bangun dalam hitungan ketiga atau kau akan kehilangan morning kissmu pagi ini! Satu!"
"Aku bangun," sahut Sehun menyaingi kecepatan cahaya, membuat Luhan terkesiap akan kecupan singkat dibibirnya sebelum terkikik melihat Sehun bergegas ke kamar mandi.
Terkadang lelaki perkasa punya sifat manja yang menggemaskan.
.
.
.
.
Sabtu malam semangat Luhan berkumpul begitu mengagumkan seperti cepolan tinggi dikepalanya. Ada jepitan kecil berbentuk mahkota di sisi sebelah kanan yang membuatnya terlihat manis dibalik balutan dress biru shapire selutut. Bahu sempitnya terbuka dan dia menumpukan segala kepercayaan dirinya disana.
Kemarin Sehun bilang bahwa dia akan menjemput Luhan untuk makan malam, memperingati hari jadi mereka yang entah ke- empat puluh bulan?. Jadi Luhan meluangkan waktu dalam jumlah lumayan hanya demi mematut dirinya tampil sebaik mungkin. Tapi sudah dua jam dirinya selesai dengan kuas-kuas make up, Sehun bahkan belum menghubunginya meski sebatas mengkonfirmasi apa Luhan sudah bisa dijemput ataukah masih dalam proses.
Si gadis biru shapire mengusap dressnya agar tidak kusut saat dia berlabuh di sisi ranjang dan meraih ponselnya yang tergeletak dilipatan selimut.
To: Oh Sehun
'Dimana ? Kenapa belum datang ?' ketiknya di layar ponsel lalu mengirim pada kontak Sehun. Beberapa belas menit terlewati dan Luhan tidak mendapati tanda-tanda pesannya terbalaskan. Dia mengetik lagi.
To: Oh Sehun
'Oh Sehun. Masih hidup kan ?Jangan mengabaikan pesanku!'dan Luhan berharap Sehun paham nada kesal yang diselipkan dalam tanda seru dibelakang pesannya. Lima menit terabaikan, Sehun memang membutuhkan sedikit omelan setelah ini.
Pilihan lain, Luhan menghubungi pacarnya yang dijawab suara wanita operator; mengatakan bahwa pacarnya yang sialan itu sedang sibuk. Shit! Memangnya siapa yang Sehun hubungi ?
Luhan geram.
To: Oh Sehun
'Tolong lelaki yang membaca pesan ini, balas pesanku atau kau akan melihat tanduk keluar dari kepala pacarmu!'
Lima detik kemudian ada balasan.
From: Oh Sehun
'Ada apa Lu ?'
Luhan melotot membaca tiga kata dari Sehun.
To: Oh Sehun
'Dimana ?'
From: Oh Sehun
'Dirumah'
To: Oh Sehun
'Sebenarnya niat atau tidak sih?!'
From: Oh Sehun
'Apa ?'
To: Oh Sehun
'Katanya mau makan malam.'
From: Oh Sehun
'Kapan?'
Oh Tuhan! Sejak kapan Oh Sehun semenyebalkan ini.
To: Oh Sehun
'Kemarin mulutmu yang membuat janji, malam ini pukul 9, Oh Sehun!'
From: Oh Sehun
'Aku mengatakannya ?'
To: Oh Sehun
'Berhenti berlagak amnesia atau kepalamu akan ku lemparkan ke tembok! Memang kemana saja sih ? Susah sekali dihubungi'
From: Oh Sehun
'Ketiduran. Capek.'
Maklumi saja saat Luhan menggigit pinggir ponselnya. Sungguh, dia kesal bukan main sekarang. Setelah berjam-jamnya yang berharga Luhan habiskan hanya demi memberikan penampilan terbaik untuk Sehun, dan lelaki itu dengan santai berkata bahwa 'aku ketiduran'. Benar-benar, cukup ada satu jenis lelaki seperti Sehun di dunia ini.
To: Oh Sehun
'Jadi, batal atau tidak ? Beri keputusan sekarang agar aku bisa mencuci wajah dan menyumpahimu beberapa kutukan!'
From: Oh Sehun
'Bagaimana kalau diganti besok ?'
Lelaki paling menjengkelkan adalah spesies pengubah jadwal seperti Sehun. Seharusnya dia tau jika mood wanita tidak bisa ditunda sampai besok atau kapanpun itu. Sekarang ya sekarang!
To: Oh Sehun
'T.E.R.S.E.R.A.H!'
Dengan wajah berantakan di derajat ke 80%, Luhan menghempaskan diri di sofa samping Kyungsoo, membiarkan sumpit ramyun yang hampir masuk ke dalam mulut Kyungsoo malah menabrak hidungnya. Gadis itu merenggut parah.
"Terjadi sesuatu ? Apa raja lalat menabrak wajahmu hingga retak sepuluh ribu seperti itu ?" Katanya sesekali beralih pada serial drama di televisi ruang tengah.
Luhan melirik sekilas ke arahnya hanya untuk membuang sebuah dengusan.
"Ada apa sih, Lu ? Make up jatuh cintamu tidak cocok dipadankan dengan ekspresi patah hati begitu."
"Salahkan si tengik Sehun dan sejuta sifat menyebalkan di celana dalamnya!"
"Memangnya kenapa ?"
Saat Luhan memberikan perhatian penuh padanya, Kyungsoo dapat merasakan uap panas mengepul dari celah hidung Luhan. Mengepul kelam seperti asap dari corong pabrik rokok.
"Sehun mengubah janji makan malam kami seenak hati. Dua jam yang kuhabiskan demi menjadi Cinderellanya terbuang percuma dan dia hanya memberikan alasan 'aku ketiduran' lalu menganggap masalah selesai. Satu lagi! Dia benar-benar lupa meminta maaf untuk kesalahan fatalnya karena telah membuat moodku pecah berantakan!"
Belum sempat Kyungsoo menyela, ponsel Luhan yang berada di antara jarak mereka bergetar lalu mengatakan bahwa ada satu panggilan masuk dari seseorang yang menjadi bahan baku omelannya.
Oh Sehun's calling…
Apa peduliku ?! jerit Luhan dalam hati lalu mengabaikannya.
"Tidak dijawab ?" tanya Kyungsoo dan Luhan menggeleng dengan kepercayaan diri sebagus lekukan eyeliner dimata anak rusanya malam ini.
"Tidak penting," katanya acuh, begitu sampai ketika dia melirik sesekali pada ponsel dengan notif lima panggilan tidak terjawab dari Sehun, dia benci harus mengakui bahwa suara Sehun adalah satu-satunya nada yang telinganya inginkan.
Kemudian satu pesan baru masuk dan tangan Luhan terlalu gatal untuk tidak meraih ponselnya.
From: Oh Sehun
'Marah ya ?'
Sudah tau malah bertanya!
From: Oh Sehun
'Maaf.'
Cuma satu kata ?
From: Oh Sehun
'Belum tidurkan ? Jawab panggilanku, tolong.'
Masa bodoh!
From: Oh Sehun
'Beibh…'
To: Oh Sehun
'Lanjutkan saja tidurmu dan jangan hubungi aku!'
From: Oh Sehun
'Masih marah ?'
To: Oh Sehun
'Masih punya otak buat berpikirkan ?'
Satu hentakan kaki Luhan membuat Kyungsoo terperanjat, sempat bersyukur bahwa mangkuk ramyun dalam tangannya tidak menjilat lantai. Itu bungkus ramyun terakhir di kulkas dan Kyungsoo terlalu malas mengganti piyama tidurnya hanya demi berkunjung ke minimarket terdekat. Alasan terakhir, bulan mulai berada di angka tua dan gaji masih seminggu lagi baru bisa dicairkan.
Satu pesan balasan masuk lagi.
From: Oh Sehun
'Jadi sekarang maunya apa ? Mau aku jemput ?'
To: Oh Sehun
'It's too late! I don't need you anymore!'
From: Oh Sehun.
'Really?'
To: Oh Sehun
'YES!'
From: Oh Sehun
'Jangan lupa bawa sweater. Diluar dingin.'
To: Oh Sehun
'Apa sih?'
From: Oh Sehun
'Aku dibawah.'
Hah ?
Kaki kuda mungkin belum bisa menandingi kecepatan Luhan melabrak pintu depan; melupakan Kyungsoo yang menyerah pada mangkuk ramyunnya karena diganggu terlalu sering. Lalu saat pintu dihadapannya terbuka dan menampakan seorang pria dengan sebuket bunga lily raksasa ditangannya, Luhan memberenggut. Bukan jenis renggutan pada umumnya, melainkan renggutan yang membawanya berjalan tanpa alas kaki menuju Sehun lalu memberikan dahi pacarnya sebuah jitakan kecil.
"Sok romantis!" celanya namun berakhir masuk ke dalam dada bidang Sehun."Siapa yang mengajarimu seperti ini ? Norak sekali!"
"Kau yang norak. Cara seperti ini sedang populer."
"Pasaran."
"Dasar gadis norak!"
"Apa ?! Sekali lagi kau bilang apa ?!"
"Aku mencintamu, Luhan."
.
.
.
.
Sehun mungkin harus berpikir ulang tentang kejadian malam itu, malam yang dia janjikan sebagai makan malam bersama Luhan namun ternyata dia malah membawa Luhan ke pesta reunian teman kampusnya. Tempat anak-anak orang kaya bangsa ini berkumpul. Nyali Luhan menciut, tapi saat Sehun berkata 'aku ingin mengenalkanmu pada teman-temanku,' kepercayaan diri Luhan seolah dijinjing oleh Sehun ke tempat yang lebih tinggi. Dia mengangguk, namun rasa khawatir tentang latar belakangnya sebagai seorang anak panti asuhan akan melukai martabat Sehun terus mencetak lubang dihatinya.
Bukan karena Luhan tidak tau cara menikmati pesta dengan benar—dia bahkan bisa berdansa dengan baik di atas stiletto 15cm-, namun pesta dalam artian Sehun tidak pernah masuk dalam artian Luhan. Mereka berbeda. Jelas. Saat Sehun menikmati pestanya di ruangan penuh pencahayaan, Luhan dan dunianya sibuk berpesta di kebun belakang rumah bersama nyamuk-nyamuk dan juga sekarung jagung.
Pendingin ruangan ternyata tidak cukup membuat kelenjar keringat Luhan berhenti bekerja, dia menggigil namun dengan suhu tubuh normal. Luhan benci saat Sehun ditarik teman-temannya lalu dia akan tersesat di antara lautan manusia. Dunia Sehun adalah bola dimana makhluk-makhluk kelas atas berkerumun, sedangkan Luhan hanyalah rumput padang pasir yang tidak pernah berhasil menemukan celahnya untuk masuk.
Dia tidak pernah menghabiskan ratusan juta won hanya demi mengunjungi eropa setiap libur natal, ataupun melumat coklat-coklat di sepanjang jalan kota Paris yang harganya cukup untuk kehidupannya selama sebulan. Walaupun Luhan punya Sehun, bukan berarti dia bisa mengunyah dompet lelaki itu di dalam mulutnya.
"Aku kebelakang sebentar. Tunggu disini." Adalah kalimat kedua yang Luhan tidak sukai dari pesta sejenis ini. Itu memiliki arti bahwa dia harus terdiam sendirian, menikmati pesta tanpa tau apa yang bisa dinikmati selain makanan dan segelas anggur. Sayangnya, Luhan bukan pengkonsumsi minuman berat.
Sehun punya cara sendiri yang dia pikir dalam otak egoisnya dapat membuat Luhan membaur dalam dunianya. Dia akan menciptakan waktu dimana Luhan bisa belajar membiasakan diri menerima semua ini. Menerima Sehun dan segala konsekuensinya.
Tapi sepertinya Sehun harus berpikir ulang kali ini, membuang separuh harapannya agar Luhan mampu beradaptasi. Karena begitu keluar dari restroom, Sehun harus puas mendapati Luhan menyiramkan air pada wajah Nicholas –teman kuliahnya- tanpa tau alasan kenapa pacarnya melakukan itu.
Kemudian hal selanjutnya yang harus Sehun sesali adalah Luhan membungkus rapi seluruh kalimatnya terkatup dalam mulut sepanjang perjalanan pulang.
Sesuatu yang tidak beres terjadi.
"Aku mau pulang." Cepol tinggi Luhan jatuh begitu Sehun menyentak tangannya. "Kerumah! Bukan apartemenmu," ketusnya berhasil menjalin kerutan di dahi Sehun.
"Ada apa ?" kilah lelaki itu mengabaikan raut wajah buruk pacarnya. "Menyiram orang lain dengan air, hal konyol seperti apa itu, Luhan ? Bukan begitu cara seorang wanita bersikap," komentarnya berniat baik namun disambut dengan maksud yang berbeda oleh telinga wanitanya.
"Persetan dengan tatakrama orang kaya seperti kalian," eyeliner sempurnya rusak ketika Luhan mengusap air mata kasar. "Tolong jangan membawaku masuk ke dalam pesta omong kosong yang teman-temanmu ciptakan! Ini yang terakhir kali dan jangan pernah memintaku untuk datang lagi ! Kalian menjijikkan!"
"Jaga ucapanmu!"
Bukan sejenis bentakan, namun ketika Sehun mengucapkannya dengan wajah terlampau serius, Luhan benar-benar merasa terlukai. Dia menundukkan wajah, melihat ujung kakinya yang mulai terasa pegal, berkata bahwa semua amarah yang terpumpun dalam dadanya hanya boleh dikeluarkan dalam kamar; tidak di depan Sehun.
"Aku mau pulang," ujar Luhan lemah bahkan nyaris tidak terdengar. Tenggorokannya terlalu perih karena tangisannya seolah meminta untuk meledak sekarang juga namun dia melarangnya.
"Sudah terlalu malam."
Luhan menggeleng kecil, "Tidak masalah," balasnya kemudian berbalik tanpa niat melihat wajah lelakinya untuk diingat. "Aku bias pulang sendiri."
"Bukan masalahmu, tapi masalahku. Biar kuantar."
Lalu saat Sehun terus meremas jemarinya selama perjalanan pulang dengan tidak banyak bersuara, Luhan tau betul dimana kondisi seperti ini mereka butuh waktu untuk memaafkan satu sama lain.
.
.
.
.
Luhan bukanlah spesies gadis kekanakkan yang sering dijumpai pada abad ke 20, pikirannya matang seperti buah apel siap panen. Namun seberapa dewasa pun seorang wanita, akan ada saat dimana kontrol atas dirinya sendiri hancur hanya karena masalah sepele. Beruntungnya, Sehun adalah tipe lelaki yang lebih memilih diam daripada meneriaki pacarnya apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh. Dia sangat mengenal Luhan. Selama tiga tahun menjalin hubungan dengan wanita itu mengajarkan Sehun bahwa Luhan tidak suka dibentak, hanya berikan waktu yang tenang baginya dan Luhan akan menyadari kesalahannya sendiri.
Seberapa kesalpun Sehun pada pacarnya, namun dia tetap membukakan pintu mobil untuk Luhan segera setelah mobil terparkir di halaman rumah.
Wanita itu terus menunduk, seolah takut stiletto tingginya akan membuat dia terjengkal di tangga teras.
"Ganti pakaianmu sebelum tidur," pesan Sehun ditelinganya terdengar lelah, sedangkan Luhan hanya bisa mengangguk kecil dengan mata lurus ke kaki. "Maaf untuk apapun yang terjadi hari ini." Saat Sehun melabuhkan satu kecupan dikeningnya, Luhan bertanya pada dirinya sendiri dimana lagi dia bisa mendapatkan lelaki yang meminta maaf tanpa tau kesalahan apa yang telah dia lakukan. Sehun memang segalanya, sesuatu yang membuat Luhan bahagia karena menjadi sinting.
Luhan tau Sehun masih berdiri disamping mobil saat dia beranjak masuk ke rumah tanpa berani menatap mata lelaki itu. Kata maaf terus terngiang-ngiang dalam otaknya seperti dengung nyamuk hutan, berisik dan mengesalkan. Tapi bodohnya adalah Luhan malah berlari meninggalkan Sehun, menyisakan satu dentuman pintu yang dia sesali mengapa bisa sekeras itu.
Lampu mati, stilettonya tergeletak dan tangisnya menyusul pecah dibalik pintu. Suasana terlalu hening hingga Luhan mengigit lengannya sendiri agar tidak menimbulkan suara rintihan yang menyedihkan. Dia terlihat seperti gadis miskin patah hati yang baru saja dibuang oleh lelaki kaya.
Hidung Luhan berair setelah tangisnya berakhir. Ada rasa perih setiap kali dia menarik napas sedikit keras pada hidungnya, benci cairan lendir yang berpotensi mengering lalu mengganggu pernapasan serta tidur nyenyaknya malam ini.
Saklar lampu dihidupkan. Aroma kuah ramyun milik kyungsoo masih tercium. Luhan menilik sedikit ke dapur, panci mie masih kotor di bak pencucian serta gelas-gelas plastik tumpang tindih. Jika sedang malas, Kyungsoo sangat tidak sudi menyentuh spoon dan sabun cuci piring.
Mungkin Luhan terlalu focus pada masalah pegal dipergelangan kaki ataupun hidungnya yang berair hingga dia melewatkan satu bagian rumah yang menyempit. Baru saat dia mendongak, melewati ruang kecil renggang dipojok tempat dia menaruh pot-pot bunga geranium, tas ditangannya lepas demi membekap mulutnya mendapati sebuah piano hitam dengan pita raksaa berwarna pink magenta tersampir diatasnya.
Berkilau misterius dan mewah.
Langkah Luhan mulai gemetar. Lalu ketika dia mendapati memo kecil berisikan 'Happy 40 Months, Nyonya Lu. Jangan terlalu pemarah :*' bertulis rangkai rumit terselip diantar pitanya, tanpa sadar Luhan bergegas mengatur langkahnya menuju teras rumah.
Sehun masih disana, duduk di kap depan mobil dengan senyuman paling damai. "Suka ?" tanyanya menaikkan sebelah alis dan merentangkan tangan, bersiap menerima Luhan seberapa kasarpun wanita itu menerjangnya. Meskipun mereka harus berguling-guling di atas kap mobil sampai penyok, Sehun tidak masalah. Tapi apa yang malah dilakukan wanita itu tidak sesuai ekpektasi; hanya melangkah kecil-kecil tanpa sedikitpun raut kebahagiaan tersampir diujung lipsticknya.
Sehun mulai mengkhawatirkan kekecewaan yang tergambar berantakan di mimik wajah Luhan. Dia mulai belajar tidak berharap terlalu banyak, memikirkan akan segera pulang setelah ini untuk berendam air hangat sampai pori-pori tubuhnya mengkerut. Tapi begitu Luhan tiba dihadapannya masih dengan mimik wajah sedatar telapak sepatu, bulu kuduk Sehun meremang terkena dingin telapak tangan Luhan dikedua rahangnya, "Brengsek. Kenapa aku harus jatuh cinta pada lelaki brengsek sepertimu," dan Sehun mulai bertingkah memalukan dengan cara menggigil hanya karena mendapatkan ciuman yang menggairahkan. Dalam kesunyian tengah malam, perdebatan mereka yang belum terselesaikan, Sehun mendapati ciuman mereka terasa segar dan semua masalah selesai.
Tubuh Sehun jatuh perlahan menerima dorongan kecil namun menuntut yang dikehendaki jemari Luhan, membiarkan ciuman mereka berkembang menjadi sebuah lumatan yang saling mengejar satu sama lain sampai diambang batas finish. Lalu saat dirasa jari-jari Sehun mulai mencari sesuatu dipunggung belakangnya, Luhan melepaskan pagutan mereka.
"Haruskah disini ?" tanyanya dengan kening berkerut, melirik ke lingkungan sekitar, berkomentar dalam hati bahwa suhu terlalu dingin untuk telanjang di ruang terbuka.
Sehun tersenyum, menggoda saat dia menggigit sedikit ujung bibirnya. "Pindah ke mobil," perintahnya menarik Luhan masuk untuk dinikmati sampai kenikmatan dan kepuasan mengepul sama besar di atas kepala. Luhan sendiri merasa begitu murahan namun menikmati dirinya digumuli oleh Sehun. Setiap ciuman yang mereka bagi, pijatan Sehun yang sensual dipayudaranya, ataupun gerakan lincah Sehun yang selalu berhasil membuat tubuh Luhan melengkung; menggapai surga yang hanya bisa didapatkan dengan Sehun menguasai tubuhnya.
Mereka tepar seolah tidak memikirkan hari esok dunia masih berputar, uang masih dicari dan perut masih membutuhkan makanan. Seks merupakan salah satu jalan meleraikan perdebatan, mereka membuktikan teorinya.
Luhan bersandar di dada bidang Sehun, membiarkan keringat di tubuh bugil mereka kering karena sapuan angin malam. Lelaki itu sendiri sibuk bermain pada jemari pacarnya.
"Jari manismu kosong," katanya mengangkat tangan Luhan ke udara; mengusap bagian yang dimaksud dengan ibu jari sampai wanitanya merasa nyaman.
Wanita dipelukannya mengangguk. " Cincinku patah," jawabnya.
"Mau kubelikan yang baru ?" Luhan menoleh kebelakang, menemukan Sehun menatapnya tanpa niat bercanda. "Tapi syaratnya, menikah denganku."
"Apa ?"
"Ayo menikah."
"Ini lamaran ?"
"Yap."
"Lamaran seperti apa yang dilakukan setelah seks dan dalam keadaan bugil? Demi neraka Sehun, adakah cara yang lebih romantis daripada ini ?"
Sehun menggigit ujung hidung pacarnya yang frustasi.
"Sebenarnya lamaran ini telintas begitu saja beberapa detik lalu. Entahlah, aku hanya tidak ingin terlambat. Hanya ingin memilikimu secara utuh. Melihatmu disetiap pagi, sarapan berdua lalu memilik aktivitas menyenangkan di ranjang sebelum tidur."
"Apa yang baru saja kita lakukan bukan aktivitas menyenangkan sebelum tidur ?"
"Tapi aku mengingkan jangka waktu yang lebih lama serta cara yang lebih gila."
Luhan mendengus. "Pikiranmu brilian sekali," ejek Luhan dengan kalimat positif pada Sehun sebelum membalikkan tubuh. Rambut hitam legam Sehun Luhan mainkan, sedangkan tangan lelaki itu sibuk menjelajah ditubuh bagian belakangnya. "Tunggu sampai aku menyelesaikan laguku."
"Lagu ?"
"Ya. Lagu yang akan kunyanyikan saat pernikahan berlangsung."
"Oh. Jadi sebenarnya yang punya rencana menikah dulu itu kau ?"
"Memangnya siapa wanita di dunia ini yang tidak mau menikah ?!" solot Luhan sebelum memekik kecil ketika Sehun meremas daging kenyal di belakangnya.
"Oh Sehun tanganmu!"
"Seperti tidak pernah kuremas saja," cibirnya mendapatkan satu cubitan menyenangkan dari pacarnya. Pasti membekas selama tiga hari. "Jadi, bagaimana ?"
"Apa ?"
"Menikah."
Luhan mau, tentu saja. Bahkan usianya sudah mengatakan bahwa Luhan berada dalam waktu emas untuk memberlangsungkan sebuah pernikahan sacral. Semua itu terdengar mudah, tinggal bersumpah satu sama lain lalu mengatakan 'ya' dan pernikahan selesai. Tapi nyatanya tidak akan semudah itu. Tidak akan berhasil selama ketakutan Luhan masih mengambang di udara.
"Bagaimana dengan…..ayahmu ?"
Iya. Ayah Oh Sehun.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
TBC
.
.
.
.
.
Hallo semua. HUNjustforHAN Comeback with new fanfic (Requested by Oohrere HHI). Cuma mau bilang, di chapter awal gue bakalan bikin kalian melayang, namun di chapter selanjutnya siapin parasut buat terjun bebas. Wkwkwkwk
Setelah keberhasilan DESIRE (jiaelaaa, belum mup on-_-) yang bagi gue responnya lumayan bagus (gak mau sombong nyet, padahal udah sombong dari awal. Kekekekeke), gue malah punya ketakutan sendiri. Ketakutan kalo ff ini gak bakalan sebagus Desire, gak akan semesyum Desire dan gak akan seromantis desire. Ini kan genrenya hurt ya, jadi maklumin aja jika hal2 yg disebutkan diatas terjadi.
.
Ini lagi kompakan mau publish dan update FF bareng Silvievienoy96 dan temen-temen yang lain. Gak ada acara khusus sih, Cuma pengen apdet bareng aja, biar seru. :D
.
.
Sekarang lagi kontroversi FF HunHan GS sama Yaoi, kan ? TL bertaburan saling menghujat satu sama lain. Apapunlah yang bikin kalian seneng. Yang jelas ini akun pribadi milik gue, gue yang buka, gue yang mainin, gue yang publish, jadi terserah dong ya gue mau masukin ff hunhan jenis apapun juga.
Kalo dibilang gegara BIG HHI EVENT ff hunhan yaoi berkurang, ya mungkin bukan berkurang, Cuma ff gs nya aja yang nambah. Boahahahahaha. Tenang aja kok, ff yaoi masih merajai dunia ff hunhan . author gs kayak gue dan teman-teman yang lain Cuma segede upil kebo -_- kalo dibandingin sama author hunhan yaoi. Jadi stop saling salah-salahan lah ya. Sama-sama salah kok. Tidak ada manusia yang luput dari kesalahan. *eaaakkkkkk /cebokan bon cabe/
Oke. Silahkan ditunggu chapter depan ^^
AI LOP YU :* :* :*
