Chaptered fanfiction of Kaisoo
I do not remember what thing that Inspired me to make this ff, hahaha.
Kim Jongsoo's production, June - July 2015.
2nd gift for Little LadyWu's birthday.
Hey, LadyAlia, my promise is already done, ya? :))
Hari pertama musim dingin sudah tiba. Seperti yang sudah diberitakan di televisi beberapa hari lalu, hari ini cuaca akan mendung dan suhu cenderung cukup dingin. Tapi peringatan televisi tak membuat beberapa orang mengurungkan niat mereka untuk berjalan-jalan atau sekedar menikmati bagaimana dinginnya hari ini.
Tak terkecuali Jongin, seorang pemuda yang memilih keluar dari rumah dan mengunjungi minimarket yang berjarak sekitar 7km dari tempat tinggalnya demi mencari beberapa bungkus ramyun kesukaannya yang belakangan sudah sulit didapat. Tapi saat sedang asik fokus pada rak-rak berisi mie instan, Jongin harus terganggu dengan tabrakan kecilnya dengan pengunjung lain.
"M-maaf, Tuan. Aku tidak sengaja. Maafkan aku," ucap gadis yang menabrak Jongin itu sambil berulang kali membungkukkan badan.
Jongin hanya menatap datar gadis itu dan kembali fokus dengan pencariannya meski gadis itu masih membungkuk beberapa kali sebelum akhirnya ia pergi dari minimarket itu.
"Noona, apa ramyunku belum ada juga?"
Jongin sedikit berteriak pada penjaga minimarket ini saat kedua mata tajamnya tak juga menemukan bungkus ramyun yang ia cari.
"Ramyunmu masih belum datang, Jongin. Nanti jika sudah datang, akan kusimpan satu kardus penuh hanya untukmu." Jawab sang penjaga kasir.
Jongin memang akan selalu datang kemari untuk membeli ramyun, dan hanya untuk membeli ramyun. Berhubung usianya yang masih dibawah 20 tahun, Jongin tak bisa membeli barang-barang dewasa seperti bir, atau lainnya.
"Baiklah kalau begitu. Kabari aku ya, noona. Gomawo!" ucap Jongin final sambil melangkahkan kakinya keluar minimarket. Ia berniat segera masuk ke mobilnya dan pulang karena udara malam di Seoul ternyata semakin dingin tiap menitnya. Tapi belum sampai ia membelokkan arahnya, telinga tajam Jongin mendengar teriakan minta tolong. Dan saat ia menoleh ke kiri, ia mendapati gadis dengan sweater putih-hitam sedang diganggu oleh beberapa preman jalanan.
"Ya. Menjauh darinya!" teriak Jongin sambil mendekati kawanan itu dengan santai.
"Anak kecil. Mau apa kau?"
"Kalian mau apa? Uang?" tanya Jongin sembari mengeluarkan dompet dari saku celananya dan melemparkannya persis ke wajah pemuda yang mungkin adalah ketua kawanan itu. "Ambil itu dan pergi,"
Diluar dugaan, pemuda yang baru saja terkena lemparan dompet itu marah dan mendekati Jongin untuk memukulnya. Beruntung ia pernah latihan beladiri, jadi sebelum pemuda itu mendekat, sebuah tendangan sudah ia layangkan dan berhenti tepat di depan wajah sang pemuda.
"Aku bilang pergi. Kenapa malah mendekat? Mau mati?"
Jongin menatap kawanan itu satu persatu dengan perasaan bangga karena setelahnya mereka pergi begitu saja dengan dompet Jongin.
"Ikut aku," titah Jongin sambil menarik tangan mungil gadis di belakangnya menuju mobilnya. Setelah memastikan gadis itu sudah masuk ke dalam mobilnya, Jongin pun mulai menyalakan tunggangannya itu untuk segera melaju menuju kediamannya.
Tak banyak pertukaran kata yang terjadi selama perjalanan. Selain karena Jongin memang tak suka banyak bicara, gadis kecil ini juga tak tahu harus menegur Jongin dengan cara apa. Apakah ia harus mengucapkan terima kasih begitu saja, atau bagaimana?
Tak terasa, perjalanan mereka akhirnya terhenti. Mobil Jongin sudah masuk garasi dan pemuda itu sudah mengisyaratkan pada sang gadis untuk mengikutinya ke dalam rumah.
"Baba!" teriak Jongin saat ia baru masuk ke rumah. Tak lama, seorang pria dengan prakiraan umur empat puluhan muncul dari pintu belakang.
"Ya, Nak Jongin?"
"Tolong penuhi semua kebutuhannya, ya. Aku ke atas dulu, selamat malam Baba."
Pria yang dipanggil Baba itu pun mengangguk patuh dan mempersilahkan gadis cantik di depannya untuk ikut dengannya ke kamar tamu.
"Apa kau teman Tuan Muda?"
Gadis itu menggeleng cepat. "A-aku tidak mengenalnya, Paman."
Baba tersenyum kecil seraya membukakan pintu kamar tamu untuk sang gadis. "Namanya Tuan Jongin. Dia tinggal sendirian disini, hanya ditemani kami para maid yang sejak kecil mengurusnya. Apa kau butuh sesuatu, Nona?"
"A-ah, namaku Kyungsoo, Paman. Maaf, lancang sekali aku."
"Pasti ada sesuatu yang terjadi padamu tadi sampai-sampai Tuan Muda membawamu kemari? Apa kau tadi dalam bahaya?"
"I-iya," jawab gadis itu malu-malu.
"Pantas saja. Tuan Muda tak pernah membawa satu orang gadis pun ke rumah ini. Jika ada teman-temannya berkunjung, ia akan alihkan ke paviliun. Tapi kau? Kau dipersilahkan tinggal disini. Pasti Tuan Muda punya alasan."
"A-apa itu berarti buruk?" tanya Kyungsoo takut. Ia baru tiba di Seoul, jadi jika di hari pertamanya ini ia harus mendapat kesialan, maka ia mungkin akan segera pulang kembali ke rumahnya.
Baba tertawa kecil sambil menata tempat tidur Kyungsoo. "Tentu tidak, Nona. Tuan Muda bukan sosok yang perlu ditakuti. Yah, walau raut wajahnya sering sekali tertekuk, tapi dia sangat baik dan ramah. Aku jamin kau akan menyukainya jika kalian sempat berbincang untuk beberapa waktu ke depan,"
Kyungsoo mengalihkan pandangannya. Ia tidak setuju dengan pendapat Baba. Bagaimana ia bisa menyukai pemuda itu—Jongin, setelah berbincang untuk beberapa waktu ke depan jika untuk menegurnya saja, Kyungsoo sudah bingung?
"Tuan Muda sedang libur sekolah. Tapi ia tidak punya acara pergi kemana pun. Dan Tuan Besar juga Tuan Muda Joon tidak pulang. Jadi mungkin, Tuan Muda akan tetap di rumah untuk bermain bersama teman-temannya atau membereskan kebun."
"Kebun?"
"Ya, Tuan Muda sangat suka mengubah tatanan kebun. Ia mewarisi bakat arsitektur dari Nyonya Besar. Jika Nyonya Besar masih ada, pasti ia akan sangat bangga dengan bakat Tuan Jongin."
Kyungsoo mengerjapkan kedua matanya lucu. "M-maaf, Paman. Aku tidak tahu jika Ibu Jongin sudah—"
"Tidak masalah, Nona Kyungsoo. Aku yang sudah terlalu banyak bicara. Jja, istirahatlah. Ada baju ganti di lemari jika kau ingin mengganti baju. Jika tidak suka, besok pagi kau bisa bertemu dengan Yoonshi untuk membicarakan baju apa yang ingin kau pakai selama kau tinggal disini. Karena Tuan Muda sudah menyerahkan tugas untuk mengurusmu padaku, maka aku bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhanmu selama kau ada disini." Jelas Baba panjang lebar. "Selamat malam, Nona Kyungsoo. Selamat istirahat,"
Kyungsoo mengangguk kikuk lalu kembali memandangi kamar tamu yang akan jadi kamar tidurnya malam ini. Berdasarkan kata-kata Baba, mungkinkah ini adalah tanda bahwa ia akan lama tinggal disini? Lalu bagaimana dengan misi utamanya datang ke Seoul? Apa ia harus menundanya sampai ia bisa membalas budi pada Jongin? Atau ia harus jadi tamu yang tidak sopan dengan kabur dari rumah dan nekat menjalankan misi utamanya?
"Tidur dulu sajalah, siapa tahu besok ternyata ini hanya mimpi?"
.
.
Ternyata dugaan Kyungsoo benar. Ia tak hanya semalam tinggal di rumah Jongin. Tapi sampai entah kapan, ia akan tetap tinggal disini. Satu hari setelah kedatangannya ke rumah ini, ternyata Baba benar-benar memanggil Yoonshi untuk bertemu Kyungsoo dan memaksa gadis itu untuk memilih pakaian apa saja yang kiranya akan ia pakai selama disini. Dan dengan perasaan tidak enak, Kyungsoo memilih beberapa pakaian yang cukup sederhana namun tetap cantik, dan Yoonshi membawakan versi nyatanya keesokan harinya dalam jumlah banyak dan juga beberapa tambahan model baju yang sebenarnya tidak Kyungsoo pilih. Dengan tugasnya untuk memenuhi kebutuhan Kyungsoo, maka Yoonshi punya kartu untuk membuat Kyungsoo pasrah.
"Selamat pagi, Nona Kyungsoo."
Sudah hari kelima Kyungsoo ada di rumah Jongin. Dan selama itu, Jongin tidak pernah sekalipun menemuinya. Ketika Kyungsoo bangun, Jongin sudah pergi entah kemana kata Baba. Dan akhirnya, Kyungsoo akan menghabiskan waktu di dapur untuk belajar memasak dan belajar berkebun di kebun bersama Baba hingga tiba waktunya makan malam. Saat Jongin pulang, artinya sudah waktunya makan malam. Tapi sayangnya, pemuda itu selalu beralasan dia sudah makan di rumah Chanyeol, salah satu sahabatnya. Atau sudah baru saja makan malam bersama Chanyeol dan Sehun, dua sahabatnya sejak SMP. Walau sepele, tapi kadang, Kyungsoo merasa Jongin tidak sepenuhnya menginginkan Kyungsoo ada disini.
"Paman, sudah lima hari aku ada disini. Tapi, Jongin tak pernah sekalipun menemuiku. Apa dia menjauhiku, ya? Kami bahkan belum saling kenal," ucap Kyungsoo sedih sambil menyirami tanaman di kebun.
"Tuan Jongin memang begitu, Nona. Ia bukan pribadi yang terbuka dan mudah bergaul. Di sekolah saja, ia hanya punya dua teman sekaligus dua sahabat. Ya Tuan Chanyeol dan Tuan Sehun itu." Jelas Baba. "Nona tidak perlu khawatir. Lusa, bisa saya pastikan bahwa Tuan Jongin akan ada di kebun ini seharian untuk mengatur letak tanaman dan menyirami juga menanam tanaman baru. Itu sudah jadi rutinitasnya setiap Sabtu sejak Nyonya Besar masih ada,"
Kyungsoo masih tertunduk lesu. Ada sesak yang muncul di dadanya setiap kali ia menatap Jongin yang mengabaikannya. Bahkan walau sekali, Jongin tak pernah menatapnya. Pemuda itu akan selalu menganggapnya tidak ada dan hanya berpamitan pada Baba jika ingin pergi. Mungkin memang salahnya karena ia belum secara resmi berkenalan dengan Jongin. Tapi, bukankah pemuda itu sendiri yang membawanya ke rumahnya? Kenapa ia malah memperlakukannya seperti ini? Apa tidak ada keinginan Jongin untuk mengenalnya, atau setidaknya bertegur sapa dengannya? Sedikit saja?
"Aku harap Jongin memang tidak membenciku, Baba."
.
You haven't laughed out loud yet
Are we that awkward with each other?
We did so many things together
But you haven't given me a single look or touch
The whole world is looking at you
But just like always, you're so dark
I only have one person in my heart
So I'm only looking at your turned back again
.
"Pagi, Baba!"
"Oh, selamat pagi, Nak. Apa tidurmu nyenyak tadi malam?"
"Tidak terlalu. Jadi apa sarapan pagi ini?"
Dan tiba-tiba muncul Yoonshi serta Kyungsoo dari dapur dengan membawa beberapa piring berisi makanan kesukaan Jongin.
"Untuk hari ini, kami memasak makanan kesukaan Tuan Muda! Nona Kyungsoo juga membantu kami memasak! Percayalah, Tuan Muda. Masakan Nona Kyungsoo tidak kalah lezat dengan masakan Baba!" seru Yoonshi semangat.
Jongin sedikit kaget melihat keberadaan Kyungsoo yang tiba-tiba muncul dari dapur bersama dua maid kepercayaannya. Lalu ia ingat bahwa gadis itu masih ada disini dan sudah ia serahkan pada Baba.
"Benarkah? Aku kira hanya eomma yang mampu mengalahkan rasa masakan Baba." Balas Jongin sembari menata peralatan makannya sendiri.
"Kau bahkan belum berkenalan dengan tamumu, Nak." Ingat Baba sambil menatap Jongin dengan intens. "Ayo sana, tegur dia dan berkenalanlah."
Jongin menoleh pada Baba dan lalu menatap Kyungsoo yang baru saja tertawa dengan manisnya dalam perjalanannya dari dapur ke ruang makan bersama Yoonshi.
"Haruskah, Baba?"
"Kau mau jadi lelaki pengecut? Baba tidak pernah mengajari Tuan Muda untuk jadi pengecut, kan?"
Ini dia yang Jongin hindari. Jika Baba sudah memintanya melakukan sesuatu, maka tak ada yang bisa ia lakukan kecuali menurutinya. Sejak kecil, memang hanya Baba dan Ibunya yang jadi poros panutan Jongin. Ayahnya yang cukup sibuk dan kakak kandungnya yang sudah hidup terpisah dengannya sejak ia berumur lima tahun membuatnya jarang sekali bisa menuruti perkataan orang lain kecuali Ibunya dan Babanya.
"Kau memang selalu menang, Baba." Desah Jongin sambil memundurkan kursinya dan mendekati Yoonshi juga Kyungsoo di dapur. Yoonshi yang sudah mendapat sinyal dari Baba pun akhirnya menyingkir perlahan dan membiarkan Jongin juga Kyungsoo untuk mendapat waktu berdua saja.
"H-hai,"
Jongin setengah mati berusaha menyingkirkan perasaan gugupnya hanya demi menyapa Kyungsoo. Ia berjanji, setelah ini, ia akan memprotes Baba atas permintaannya ini.
"H-hai, Jongin."
Pemuda dengan surai cepak warna coklat gelap itu sedikit terkejut karena lawan bicaranya sudah tahu namanya.
"Pasti Baba sudah banyak cerita, ya?"
Kyungsoo mengangguk gugup. "Begitulah, Jongin."
"Tipikal Baba. Jadi, apa yang perlu aku tahu darimu?" tanya Jongin seraya berusaha mengendalikan dirinya sendiri dan suasana disekitarnya. "Namamu?"
"Do Kyungsoo," sahut Kyungsoo cepat. "Namaku Do Kyungsoo, Jongin."
"Baiklah, Kyungsoo. Aku rasa, Baba dan Yoonshi noona menyukai keberadaanmu disini. Itu bagus karena selama ini, hanya ada aku di rumah ini. Dan mungkin aku akan membiarkanmu tinggal disini selama yang kau mau,"
Kyungsoo menatap Jongin dengan sejuta pertanyaan. Kenapa pemuda ini bersikap begitu baik padanya? Apa yang ia mau? Apa alasan Jongin bisa semudah itu mengijinkannya tinggal di rumah sebesar dan semewah ini sementara tak ada satu pun teman gadisnya yang pernah menginjakkan kakinya disini?
"B-benarkah?"
"Aku hanya ingin melihat Baba dan noona tidak kesepian. Jika aku sedang sibuk bermain, pasti mereka kesepian. Jadi kupikir, jika ada kau, mereka akan lebih senang." Jelas Jongin singkat. "Baiklah, ayo kita makan. Aku sudah terlalu lapar, tadi malam aku belum makan."
Kyungsoo tersenyum dan mengangguk. Dadanya sedikit menghangat ketika pemuda ini begitu tulus mengatakan ia ingin membuat dua sosok penolongnya disini itu merasa senang. Walau bukan secara langsung, tapi Kyungsoo sudah merasa ia membantu Jongin mengabulkan keinginannya.
Tapi, Jongin yang hangat nyatanya tidak bisa Kyungsoo rasakan selamanya. Beberapa hari setelah keakraban kecil mereka di kebun, dimana mereka dengan puas membicarakan tentang berbagai filosofi bunga dan tata letak tanaman, Jongin kembali ke sifat awalnya; mengabaikan Kyungsoo. Awalnya, Kyungsoo membiarkan kejadian itu berlangsung dan berlanjut. Ia tidak banyak ambil pusing karena perlahan ia mulai paham bagaimana sifat tertutup Jongin. Tapi belakangan, ada sesak yang semakin kencang mendesak dada Kyungsoo. Tepatnya sejak dua hari lalu, sejak secara tidak sengaja Kyungsoo menggores jari manisnya saat sedang memasak bersama Jongin dan Yoonshi juga Baba. Pada saat yang sama, Jongin langsung menarik tangan Kyungsoo dan memasukkan jari manis Kyungsoo yang terluka ke dalam bibirnya. Kyungsoo bisa merasakan bagaimana bibir Jongin menghisap darah di jari Kyungsoo dan memuntahkannya di wastafel. Lalu bagaimana teriakannya meminta Yoonshi menyiapkan air hangat dan juga obat merah untuk mengobati luka Kyungsoo. Hal kecil memang, tapi kejadian itu punya efek cukup besar bagi pikiran dan jantung Kyungsoo.
Sejak kemarin lusa, Kyungsoo tak lagi bisa tidur nyenyak tanpa memimpikan Jongin. Sejak kemarin lusa, Kyungsoo tak bisa menolak untuk tersenyum saat kedua mata bulatnya menatap sosok Jongin walau dari kejauhan. Dan sejak kemarin lusa, Kyungsoo mulai merindukan Jongin secara diam-diam.
All of a sudden, on days I miss you
All of a sudden, when I can't do as my heart wants
All of a sudden, tears fall down
All day, I hold onto you
.
.
.
Detakan jantung Kyungsoo yang kadang berantakan jika ada Jongin, nyatanya tidak begitu saja kembali jadi normal walau hari sudah berganti minggu. Ini sudah hampir satu bulan sejak awal kedatangannya ke rumah ini dan ia hanya bisa menyapa Jongin sekali-dua kali. Mereka memang sering menghabiskan waktu bersama walau tidak berdua. Seperti ikut membereskan rumah, kembali menata dan merapikan kebun, dan memasak untuk sarapan, makan siang serta makan malam mereka. Ya, Jongin memang hobi keluar rumah, tapi ia akan kembali tepat sebelum jam makan, sehingga ia tetap bisa mengikuti kegiatan rutin yang baru-baru ini jadi kebiasaannya. Tapi walau begitu, Kyungsoo tetap tidak banyak berbincang dengan Jongin. Baba memang sudah membantunya untuk mulai berbicara pada Jongin, tapi pemuda itu pada akhirnya hanya tersenyum atau menggeleng. Jika ia menjawab dengan kata-kata pun hanya beberapa kata singkat yang kadang semakin membuat dada Kyungsoo sesak.
Kyungsoo mulai bingung apa yang harus ia lakukan. Misi utamanya terbengkalai karena ia ada di rumah Jongin. Misi utamanya tertunda karena hatinya tak bisa meninggalkan rumah ini begitu saja. Kyungsoo perlahan mulai nyaman dengan lingkungan barunya. Dan Kyungsoo mulai lupa bagaimana kehidupannya tanpa Jongin, karena eksistensi pemuda itu selama satu bulan ini di hidupnya terasa lebih nyata dan membekas daripada kehidupannya sebelum ia bertemu Jongin. Belakangan, gadis ini sering melamun memikirkan bagaimana seharusnya ia bersikap sekarang.
"Melamun lagi, Nona?" tanya Baba yang baru saja selesai membereskan rumah. Hari ini Jongin sudah pergi dari pagi, jadi Kyungsoo tak punya banyak kesempatan untuk melihat Jongin.
"Baba," jawab Kyungsoo setengah berbisik. "Aku hanya bingung apa yang harus aku lakukan sekarang, Baba."
"Mulai sayang pada Tuan Muda, ya?"
Baba menemukan raut malu-malu diperlihatkan Kyungsoo di wajahnya. Ia tahu betul sebenarnya tabiat Jongin tentang percintaan yang sama sekali belum pemuda itu kuasai. Sikap acuh tak acuh yang Jongin kembangkan sejak kepergian Ibunya membuat pemuda itu memang jarang sekali memperlihatkan sifat aslinya yang ramah dan menyenangkan pada banyak orang. Sifat yang sebenarnya bisa membuat ia mudah dicintai banyak orang tapi sayang ia memilih untuk menyembunyikannya dan hanya menunjukkannya pada orang-orang tertentu saja.
"Apa begitu terlihat, ya, Baba?"
"Kan Baba sudah pernah bilang pada Nona? Jatuh cinta pada Tuan Muda itu mudah sekali jika ia sudah menunjukkan sifat aslinya. Beberapa kali, Tuan Muda bahkan sudah seperti sedang bersama Nyonya Besar ketika Nona berbincang dengannya. Itu artinya, sebenarnya Tuan Muda sudah mulai nyaman dengan Nona Kyungsoo," jelas Baba sambil mencoba meyakinkan Kyungsoo bahwa mencintai Jongin itu bukan hal buruk.
"Dia kadang baik sekali, Baba. Aku takut jika kehadiranku disini malah jadi penghalangnya untuk melakukan rutinitasnya dirumah. Baba tahu sendiri Jongin jadi sering keluar, kan?"
"Tuan Muda hanya ke paviliun, Kyungsoo. Selama ini, Tuan Muda hanya akan benar-benar pergi ke luar rumah jika Tuan Chanyeol atau Tuan Sehun menjemputnya terlebih dahulu. Jika tidak, ya dia berarti hanya ke paviliun. Entah berpindah tidur, main games, atau apapun." Sela Yoonshi.
Kyungsoo menunduk malu. Ia tak tahu perangainya begitu kentara sampai Yoonshi saja tahu bahwa ia menyimpan perasaan khusus pada Jongin. Tapi, apa Jongin juga tahu?
"Benar kata Yoonshi, Nona. Hari ini, Tuan Muda memang benar-benar pergi karena tadi pagi, saya melihat mobil Tuan Chanyeol terparkir rapi di halaman."
"Entahlah, Baba. Aku hanya ingin kembali ke tujuan utamaku datang ke Seoul. Mencari appa," lirih Kyungsoo. "Aku sudah menunda tujuanku sampai hari ini, dan malah merepotkan kalian dengan kedatanganku yang tiba-tiba ke rumah ini. Mungkin sudah saatnya aku benar-benar kembali ke tujuanku."
Yoonshi mengangguk paham. "Kau bisa tinggal di apartemenku jika kau mau, Kyungsoo. Setidaknya, selama kau mencari ayahmu, kau punya tempat tinggal yang pasti dan layak jika kau merasa rumah ini terlalu besar dan tidak membuatmu nyaman." Tutur Yoonshi. "Walau kecil, apartemenku cukup bersih dan nyaman, kok."
"Tapi jika Nona pergi, Tuan Muda pasti akan kebingungan mencari Nona."
Kyungsoo kembali bingung. Ia benar-benar tidak ingin menunda tujuannya lagi karena ia tahu, semakin lama ia menunda, maka nasib Ibunya juga semakin ia pertaruhkan.
"Mencariku? Untuk apa mencariku, Baba? Jongin bahkan jarang sekali berbincang denganku?" jawab Kyungsoo dengan senyum pahitnya. "Aku akan pergi sore ini, Baba. Keputusanku sudah bulat. Dan Yoonshi, kau tidak perlu meminjamkan apartemenmu. Aku tidak ingin merepotkan keluarga ini lagi. Sudah terlalu banyak hutang budi yang menumpuk pada kalian," final Kyungsoo.
"Nona yakin?"
"Seyakin perasaanku pada Jongin, Baba." Tutupnya dengan senyum manis terkembang.
All of a sudden, with my falling tears
All of a sudden, I comfort myself, saying it's okay
I know that you won't come now
So I'll deal with it on my own
Goodbye
.
.
.
"Aku pulang,"
Jongin memasuki rumahnya dengan wajah lelah dan kusut.
"Selamat datang, Tuan Muda."
"Ah, noona. Kemana Kyungsoo?"
Yoonshi mengerjap kaget dan menunduk secepat yang ia bisa. Menghindari tatapan marah Jongin yang selalu ia takuti sejak dulu walau Jongin lebih muda darinya.
"Noona? Kenapa malah menunduk? Kyungsoo kemana? Bukannya biasanya dia akan sibuk di rumah seharian?"
Yoonshi masih menunduk. Ia tadi sudah diwanti-wanti Baba untuk tidak mengatakan apapun perihal kepergian Kyungsoo yang tiba-tiba. Pasalnya, Baba sangat paham bagaimana temper Jongin. Dan jika dalam kondisi lelah begini, ia akan sangat mudah marah. Jadi Baba meminta Yoonshi untuk diam, setidaknya sampai Baba kembali dari perjalanannya mengantar Kyungsoo.
"A-anu, Tuan Muda... K-kyungsoo..."
Jongin mulai menangkap sesuatu yang aneh. Biasanya jika ia baru pulang dan dia bertanya dimana Kyungsoo, Yoonshi akan langsung menjawab 'di dapur', atau 'di kebun' atau bahkan 'di perpustakaan'.
"Kemana gadis itu pergi, noona? Apa dia keluar dari rumah?" tanya Jongin dengan nada yang semakin naik. "Noona!"
"Jongin!"
Jongin menoleh cepat dan menemukan Baba berdiri dengan tenang di pintu dapur. "Apa Baba pernah mengajarimu membentak orang yang lebih tua darimu?" tanya Baba sembari mendekati Yoonshi yang mulai bergetar bahunya.
"Aku hanya bertanya kemana Kyungsoo. Dan noona tidak menjawab. Malah menunduk. Aku hanya menanyakan pertanyaan yang biasa ku tanyakan, Baba. Kenapa noona tidak bisa menjawab?" tanya Jongin lagi. "Kemana dia, Baba? Apa dia pergi?"
Baba menghela nafasnya lalu menyuruh Yoonshi kembali ke belakang. "Kau istirahatlah dulu. Bersihkan badanmu, dan bersiaplah makan malam. Aku dan Kyungsoo sudah memasakkan makanan kesukaanmu,"
Tatapan Jongin meredup. "Jadi Kyungsoo ada di dapur? Kenapa noona tidak bilang dari tadi? Aku hanya ingin tahu dimana gadis itu berada,"
"Cepatlah mandi, dasar pemalas."
Jongin melukis senyum tulusnya pada Baba dan segera naik ke kamarnya untuk mandi dan berganti baju. Melihat itu, Baba merasa sedikit bersalah karena ia belum memberitahu Jongin hal yang sebenarnya. Bahwa Kyungsoo tidak lagi tinggal di rumah ini. Dan bahwa gadis cantik itu akhirnya pergi setelah perdebatan panjang mereka; Baba, Yoonshi dan Kyungsoo, dimenangkan oleh Kyungsoo.
Selama Jongin di kamar, Baba sibuk menata meja makan dan menenangkan Yoonshi yang terlihat masih shock dengan bentakan Jongin. Seumur hidupnya bekerja disini, ia baru merasakan kemarahan Jongin satu kali, ketika ia membohongi Jongin perihal Ibunya yang dibawa ke rumah sakit karena baru saja anfal. Itu pun ia rasakan dari Jongin yang baru berumur sepuluh tahun. Dan dengan delapan tahun berlalu, nyatanya Yoonshi masih belum bisa terbiasa dengan amarah Jongin yang jarang terkontrol itu.
"Baba, aku lapar."
Itu suara Jongin. Pemuda delapan belas tahun itu sudah duduk manis di tempat duduknya dan mulai mengambil piring, nasi lalu beberapa lauk yang menggugah selera makannya malam ini. Setelah seharian menghabiskan waktu dengan bermain di rumah Chanyeol dan hanya makan masakan Chanyeol yang terbilang lumayan untuk masakan anak seusianya, Jongin nyatanya masih kelaparan.
"Makanlah itu, habiskan jika kau sanggup."
"Kemana Kyungsoo? Kenapa dia tidak ikut makan?"
Baba menghela nafasnya lagi. "Maafkan Baba, Jongin. Kyungsoo sudah pergi dari rumah sejak siang. Ia bilang ia mau mencari ayahnya dan tidak lagi mau merepotkan kau ataupun aku dan juga Yoonshi. Dia memintaku untuk tidak memberitahumu, tapi aku sendiri tidak sepenuhnya berjanji tentang itu, jadi, ya—"
"Kenapa Baba tidak menahannya? Kenapa Baba membiarkannya pergi?!" tanya Jongin dengan nada suara yang naik dan raut wajah yang kembali berubah penuh amarah seolah pria di depannya ini telah melepaskan salah satu hartanya yang berharga.
"Aku sudah menahannya, Jongin. Dia keras kepala sama sepertimu. Lagi pula, apa untungnya dia ada disini jika kau tidak pernah mengajaknya bicara? Kau tidak pernah menegurnya, menyapanya bahkan kau tidak pernah mengajaknya pergi keluar rumah untuk jalan-jalan. Bukankah kau sendiri yang membawanya ke rumah ini?"
Baba menatap Jongin dengan tatapan khas seorang ayah yang sedang menasehati anak laki-lakinya.
"A-aku..."
"Apa kau tahu bahwa kalian bisa saja punya masa depan yang lebih baik jika saja kau mau menurunkan egomu?"
Jongin menatap Baba penuh tanya. "Maksud Baba?"
"Kau pikir aku tidak tahu bahwa kau menyukai Kyungsoo? Kalau kau menginginkan sesuatu atau seseorang untuk jadi milikmu, Jongin, maka perjuangkanlah ia sampai kau tidak mampu lagi berjuang. Jangan hanya duduk diam dan membiarkan kesempatan emas yang kau punya hilang hanya karena ego dan ketakutanmu. Kau laki-laki, kan? Maka berjuanglah layaknya laki-laki."
Jongin tertegun mendengar jawaban Baba. Ia tidak menyangka usahanya menyembunyikan perasaannya ternyata gagal. Ya, Jongin sebenarnya menyukai Kyungsoo. Awalnya ia membawa Kyungsoo ke rumah memang hanya karena faktor iba. Tapi semenjak hari itu, Jongin sering sekali diam-diam memandangi Kyungsoo dari jauh. Merekam bagaimana cantik dan manisnya ketika Kyungsoo tertawa dan tersenyum lepas, mencatat bagaimana indahnya ketika dua mata bulat Kyungsoo menghilang sejenak ketika ia tertawa, dan melukiskan dalam ingatannya bagaimana namanya terdengar begitu berbeda saat Kyungsoo memanggilnya. Kyungsoo amat berbeda dari gadis-gadis cantik di sekolah Jongin yang terlalu sibuk mementingkan pakaian mereka atau make up mereka. Kyungsoo sederhana, dan Jongin menyukai itu. Entah kenapa, sejak perkenalan resmi mereka, Jongin jadi tak pernah berhenti untuk memimpikan Kyungsoo. Jantungnya tak pernah berdetak normal saat ia ada di dekat Kyungsoo, itu kenapa ia lebih memilih untuk pergi ke paviliun setiap hari dan mengawasi Kyungsoo dari ruangan CCTV yang ada di paviliun yang hanya bisa dibuka olehnya dan Baba.
"Apa aku pantas berjuang untuk Kyungsoo, Baba?" tanya Jongin polos.
"Kau akan jadi tidak pantas jika kau memperjuangkannya dengan ogah-ogahan. Kau akan jadi tidak pantas jika kau memperjuangkannya hanya untuk main-main. Dan kau akan jadi sangat tidak layak jika niatmu memperjuangkannya hanya untuk mendapatkannya dan bukan untuk mendampingimu bertumbuh dewasa."
Jongin meletakkan sendok dan garpunya di atas piring lalu segera berdiri. "Aku akan membawa kembali Kyungsoo kemari, Baba. Aku janji," final Jongin.
Baba tersenyum senang dengan keputusan Jongin. Akhirnya ia berhasil meyakinkan Jongin tentang perasaannya sendiri. "Dia ada di sungai Han. Jika dia sudah tidak disana, maka kau harus menepati janjimu dengan usaha lebih keras."
Jongin langsung berlari ke kamarnya dan menyambar jaket kesayangannya juga kunci mobilnya. Ia lalu kembali berlari menuju garasi dan segera mengendarai mobilnya dengan kecepatan cukup menuju sungai Han.
"Tunggu aku, Kyungsoo-ya."
.
Jongin akhirnya sampai di sungai Han. Ia sudah memarkir mobilnya di tempat yang menurutnya aman dan kini ia sedang disibukkan dengan usaha mencari Kyungsoo yang semoga saja masih ada di sekitar sungai Han.
"Kau dimana, Kyungsoo?" lirih Jongin sambil berusaha tetap memantau sekitarnya. Siapa tahu, gadis itu lewat dan luput dari pandangannya.
"Apa kau sudah pergi dari sini?" gumam Jongin sambil tetap berjalan perlahan dan menoleh kanan-kiri mencari gadis manis itu.
Dan ketika sedang fokus mencari, Jongin dikagetkan oleh sebuah teriakan tertahan. Ketika pandangannya ia arahkan pada sumber suara, ingatannya memberinya kejutan dengan hadirnya bayang-bayang Kyungsoo di kepalanya. Jongin mendekati sumber suara dengan perlahan, dan ketika maniknya yang tajam itu mencari sosok yang berteriak, akhirnya ia menemukannya. Seseorang yang sedang berlutut dan mengenakan sweater putih-hitam.
"Kyungsoo!" panggil Jongin sambil berlari kecil mendekati sosok yang sedang dikerumuni beberapa pemuda itu.
"Oh ayolah. Kau lagi?"
Jongin menajamkan pandangannya dan menemukan beberapa pemuda yang terlihat familiar.
"Ah, kalian yang di minimarket waktu itu. Mau apa lagi? Senang sekali, sih, menggoda gadis-gadis?"
"Itu urusan kami. Sekarang, harusnya kau pergi saja. Jumlah kami terlalu banyak untuk kau handle sendirian, Tuan Sok Kaya."
Jongin menyeringai kecil menatap mereka. "Hanya lima orang. Memangnya kalian sehebat apa, sih?"
Pemuda-pemuda jalanan berjumlah lima orang itu pun masing-masing mendekati Jongin dan melancarkan beberapa pukulan dan tendangan yang berhasil Jongin hindari. Ketika lawannya lengah, Jongin berbalik memberikan perlawanan yang tepat sasaran dan agak membuat mereka kewalahan.
"Kalian ini, kapan bisa jera, huh?"
"Kau ini cerewet sekali, sih?"
Hantaman demi hantaman dilancarkan dua belah pihak. Bedanya, pihak yang banyak jumlah malah dibuat pusing dengan Jongin. Rupanya beladiri yang ia pelajari dulu benar-benar berguna. Terlihat dari lawannya yang sudah mulai menjauh kecuali sang ketua yang masih setia berdiri menanggapi perlawanan Jongin.
"Masih belum menyerah? Baiklah, akan aku—"
"JONGIN!"
"Itu akibat kau banyak bicara, Bung."
Jongin baru saja mendapat hantaman botol kaca di kepala bagian belakangnya. Ia sempat terhuyung-huyung sejenak tapi kembali bisa menguasai diri dan menyelesaikan pertarungannya dengan telak dengan memukul K.O ketua kawanan itu.
"Jika aku melihat kalian lagi lain hari, kalian tidak akan bisa melihat matahari pagi lagi. Kupastikan itu." Ujar Jongin sembari mendorong tubuh ketua kawanan yang sudah tak sadarkan diri itu ke arah gerombolannya dan menjauhi mereka lalu mendekati Kyungsoo.
"Kau tidak apa-apa?"
Bukannya menjawab, Kyungsoo malah langsung memeluk Jongin yang sedang dalam posisi setengah duduk itu.
"Harusnya aku yang bertanya! Apa kepalamu tidak apa-apa?" tanya Kyungsoo cemas.
Jongin menarik tangan kanannya dari kepala belakangnya dan mendapati telapak tangannya sudah penuh darah.
"Oh God. Aku baik-baik saja, Kyung. Hanya sedikit berdarah." Jawab Jongin seraya menggeleng-gelengkan kepalanya menepis rasa pusing yang tiba-tiba menderanya. "Ayo ikut aku pulang, Kyung."
Jongin membantu Kyungsoo berdiri dan menariknya menuju mobil. Sesampainya di mobil, Kyungsoo langsung membuka laci dashboard mobil Jongin dan mengambil gunting yang ada disana. Jongin yang baru masuk, memilih duduk dan menyandarkan kepalanya ke sandaran mobil dengan bantalan tangan kanannya. Darah di kepalanya belum juga berhenti, mungkin itu penyebab rasa pening mulai menyerang kepalanya.
"Kemari," pinta Kyungsoo lembut. Jongin menoleh dan memilih menuruti permintaan Kyungsoo. Jongin mendekatkan kepalanya ke arah pangkuan Kyungsoo dan membiarkan gadis itu membebat kepalanya dengan sebuah kain putih.
"A-apa kau memotong bajumu?" tanya Jongin sambil menahan pusingnya.
"Tidak apa. Aku kan pakai sweater. Nah, sudah selesai."
Jongin menjauhkan kepalanya dari pangkuan Kyungsoo namun terhenti pergerakannya ketika ia menatap kedua mata Kyungsoo. Dalam posisi ini, wajah mereka hanya berjarak sepuluh centi dan dalam suasana seperti ini, Jongin hanya mampu menatap dalam kedua mata itu tanpa mampu berbuat banyak.
"J-jongin, " sela Kyungsoo.
"Y-ya. M-maafkan aku, Kyung. Baiklah, mari kita pulang." Putus Jongin sambil menyalakan mesin mobilnya dan memacu tunggangannya itu dengan kecepatan sedang menuju rumahnya.
Selama perjalanan, Jongin masih diam. Tapi kemudian, ia akhirnya memilih bersuara.
"Jangan pergi lagi, ya?" lirih Jongin sambil menatap Kyungsoo sesekali, bergantian dengan jalanan di depannya.
Kyungsoo sedikit gugup mendengar permintaan Jongin. Tapi kemudian ia memberanikan diri untuk bertanya. "Kenapa kau melarangku pergi?"
Jongin diam dan tidak menjawab pertanyaan Kyungsoo hingga mereka tiba di garasi rumahnya.
"Karena aku tidak ingin kau pergi," lirih Jongin yang kemudian membuka pintu mobilnya dan berjalan menuju pintu rumahnya disusul oleh Kyungsoo yang setengah berlari, mengantisipasi jika tiba-tiba Jongin rubuh.
"B-baba, aku pulang."
Jongin berusaha bersuara meski kepalanya semakin nyeri setiap kali ia berusaha berbicara.
"Oh Ya Tuhan! Apa yang terjadi, Nona?"
"Panjang ceritanya, Baba. Bisakah aku minta kotak obat dan air hangat untuk mengobati Jongin?" pinta Kyungsoo sambil memapah Jongin menuju kamarnya dibantu Baba.
"Yoonshi! Cepat ambilkan air hangat dan kotak obat untuk Tuan Muda!"
Dengan perlahan, Kyungsoo dan Baba meletakkan tubuh Jongin di tempat tidurnya dengan posisi telungkup. Jongin memiringkan kepalanya ke kanan agar ia bisa bernafas dengan leluasa dan Kyungsoo bisa mengobatinya dengan baik.
"Apa yang terjadi, Nona?" tanya Baba lagi seraya menerima sodoran kotak obat dan air hangat dari Yoonshi.
"Tadi ada kumpulan preman yang dulu pernah menggangguku. Jongin menemukanku dan melawan mereka untuk melindungiku. Tapi, salah satu dari mereka memukul Jongin dengan botol kaca."
"Tuan Muda memang senang sekali berkelahi. Dulu waktu SMP, ia pernah pulang dalam keadaan babak belur. Alasannya sama, ia membantu orang." Sela Yoonshi.
"Dasar anak ini. Suka sekali mengorbankan dirinya sendiri. Ya sudah kalau begitu, Nona. Aku akan meninggalkan kalian. Jika ada perlu apa-apa, kau tahu dimana bisa menemukanku."
Kyungsoo mengangguk paham dan mempersilahkan Baba juga Yoonshi keluar dari kamar Jongin sementara ia masih berkutat dengan luka di kepala pemuda tampan itu.
"Apa kau sudah selesai?" tanya Jongin tiba-tiba.
"Ah, kau masih sadar? Kukira kau sudah tidur."
"Aku sesak nafas. Apa kau sudah selesai?"
Kyungsoo menahan tawanya. "Iya, aku sudah selesai. Duduklah, aku akan membidai kepalamu."
Jongin pun menuruti Kyungsoo dan duduk seperti yang diminta gadis itu. "Apa harus dibidai? Tidak bisa hanya diperban?"
"Nanti bisa lepas jika hanya diperban. Memangnya aku tak tahu bagaimana kau itu tak bisa diam?" tutur Kyungsoo sambil mulai membidai kepala Jongin. "Nanti jangan tidur hadap kanan. Hadap kiri saja,"
Jongin lagi-lagi hanya diam dan mengangguk lemah.
"Nah sudah, Jja, berbaringlah."
"Kyung," lirih Jongin saat Kyungsoo membereskan peralatan P3K milik Jongin.
"Ya?"
"Aku pusing. Nafasku... sesak..."
Kyungsoo menatap Jongin sejenak. "Kemarikan tanganmu," titah Kyungsoo sambil langsung mengecek denyut nadi Jongin yang mulai melemah seiring pandangan Jongin yang perlahan kabur.
"Cepat berbaring di lantai!" titah Kyungsoo seraya membantu Jongin untuk berbaring di lantai dengan posisi kepala yang agak miring karena lukanya. Dan sesaat setelah berbaring, Jongin benar-benar tidak sadarkan diri. Kyungsoo yang cukup paham dengan urusan seperti ini, kembali mengecek nadi Jongin yang masih lemah. Ia juga mengecek pola nafas Jongin yang makin lama makin lambat dan berhenti. Tak mau kehilangan pemuda yang sudah menolongnya, Kyungsoo segera melakukan CPR pada Jongin seperti yang sempat ia pelajari saat ia jadi salah satu petugas kesehatan sekolah menengah atas satu tahun lalu.
Saat hendak melakukan Airway, Kyungsoo terlihat berfikir sejenak sebelum akhirnya membiarkan bibirnya bersentuhan secara langsung dengan bibir Jongin untuk penyaluran udara dari paru-parunya menuju paru-paru Jongin. Untungnya, cukup dengan satu siklus CPR, kesadaran Jongin sudah mulai membaik.
"Kyungsoo,"
"Ya, Jongin?" sahut Kyungsoo lembut sambil mengatur nafasnya secara perlahan.
"Terima kasih,"
Dan itulah ucapan terakhir Jongin sebelum akhirnya benar-benar tertidur di lantai. Kyungsoo terpaksa meminta bantuan Baba untuk memindahkan Jongin ke kasur agar pemuda itu tidak kesakitan saat bangun esok pagi.
"Terima kasih, Baba." Ujar Kyungsoo sambil membenahi selimut yang menyelimuti Jongin. "Selamat tidur, Jongin."
.
.
.
Hello again, fellas!
Hai LadyWu, how about this? do you like it too? hahaha
tbh, this is the first ff that I wrote (typed for real cause I didnt write, I type it on my laptop) before "Promise" made.
As I said before, karena "Promise" lebih pendek dan lebih dapet feelnya, maka itu yang dipost duluan walau ff ini udah lama ditulis. aslinya mau one shot tapi karena gak kelar2 nulisnya yaudah Jongsoo bikin chaptered aja, hahaha.
Jadi, karena Promise adalah tentang Hunhan, maka ini adalah tentang my fave OTP yang udah jarang bareng2 sekarang gegara ada yang sibuk banget sama film barunya pake potong rambut sagala.
Happy reading, eh? Do not forget to leave your post/review below ya! I'm glad that you fave and follow my story, but I'll be more more glad if you leave some reviews for me.
See ya on the next chap, my dear readers! :))
