PS: Check my polling! ;)
Warning: OOC, AU, a bit of Mary Sue/Gary Stu, human name used, maybe plot hole, and other warnings. NO FLAME.
Bola melesat kencang. Bukan ke arah gawang, namun ke arah jalan yang cukup sepi. Kirana menggigit bibirnya saat bola itu terus melesat ke arah mobil mewah berwarna biru metalik yang terparkir di depan sebuah restoran Jepang dan menghantam kaca depannya hingga pecah berkeping-keping.
Sesosok pemuda yang baru saja keluar dari restoran Jepang itu memandangi mobilnya dengan kaget.
"Uh oh."
xXx_The Untold Story_xXx
Hetalia Axis Powers © Hidekazu Himaruya
The Untold Story © thisangtjoo
DON'T LIKE DON'T READ
xXx_The Untold Story_xXx
Di siang hari yang cerah di kota New York, tepatnya di borough Manhattan..
Kirana Kusnapaharani tengah berjalan-jalan dengan Razak Wicaksono di kompleks pertokoan yang khusus menjual gadget-gadget terbaru.
"Kak, lihat! Kamera yang itu boleh juga!" Razak menunjuk sebuah kamera DSLR hitam yang terpajang gagah di etalase toko.
Kirana mengikuti Razak yang kini memasuki toko yang dimaksud. Ia mengamati berbagai macam gadget yang dijual dan membanding-bandingkan harganya dengan yang lain sementara Razak melihat kamera yang diinginkannya.
Tiba-tiba matanya tertumbuk pada kamera DSLR yang secara fisik mirip dengan yang diinginkan Razak namun berbeda merek. Ia menunjuk kamera itu dan pegawai toko mengambilkannya.
Kirana akhirnya memutuskan untuk membeli kamera itu setelah memeriksa spesifikasinya. Ia menerima tas karton dengan antusias.
"Wah, Kak Kirana beli kamera juga?" tanya Razak yang sudah menenteng tas karton yang serupa dengan milik Kirana. Kirana mengangguk.
"Aku ingin lebih mendalami fotografi. Kau mau jadi fotografer juga, eh?" tanya Kirana.
Razak mengangguk mantap. "Setelah lulus SMA, aku akan mengambil jurusan fotografi di Limkokwing University."
Kirana menyunggingkan senyum samar. Ia sangat mendukung apapun yang adiknya pilih untuk masa depannya nanti.
"Kenapa kau tidak mau sekolah di tempat yang sama denganku?" tanya Kirana basa-basi.
"New York Institute of Photography? Terlalu jauh dari tempat tinggalku," Ujar Razak sambil mengintip isi tasnya dengan semangat.
Kirana menggumamkan 'oh' pelan. Kemudian mereka berdua melanjutkan acara jalan-jalannya.
"Oh iya, jam berapa kakak kuliah?" tanya Razak tiba-tiba.
Kirana berhenti dan menepuk keningnya dengan keras. "Oh iya! Jam berapa sekarang?"
"Jam sepuluh," Jawab Razak sambil melihat jam tangannya.
"You must be kidding me! Aku terlambat!" Kirana cepat-cepat melambaikan tangannya dan untungnya ada taksi yang berhenti. Kirana menarik Razak masuk dan mengatakan tempat yang ia tuju pada sopir.
"Memangnya jam berapa kakak kuliah?" tanya Razak penasaran.
"Jam setengah sebelas dan aku belum bersiap-siap! Perjalanan dari apartemen ke NYIP memakan waktu limabelas menit!"
"Ah, dasar. Kebiasaan kakak yang sering terlambat itu perlu dihilangkan," Kata Razak sambil menggelengkan kepalanya dan tergelak pelan.
Empatpuluh menit kemudian, Kirana berlari-lari kecil menuju gedung NYIP. Ia melirik jam tangan putih yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah lewat sepuluh menit dari jam masuk.
Pengajar dan para mahasiswa menoleh ke arahnya saat ia mendorong pintu kaca. Kirana membungkuk dan menggumamkan maaf sebelum menduduki kursi kosong yang tersedia.
Razak sedang menendang-nendang bola tanpa minat di lapangan kecil sebelah apartemen saat Kirana muncul dari ujung belokan dengan kamera ditangan.
"Oi! Kak Kirana!" Razak menendang bolanya ke arah Kirana dan gadis itu dengan tangkas menangkapnya dengan satu tangannya yang tidak memegang kamera. Seperti yang diperkirakan Razak, Kirana itu jago main bola. Salah satu diantara keahliannya yang sedikit.
"Ayo main bola, Kak!" ajak Razak.
Tidak butuh waktu lama bagi Kirana untuk menyanggupi ajakan Razak, "Tunggu disana," Ia berlari menuju apartemennya dan kembali ke lapangan dengan kaus kutung warna putih dan celana katun selutut warna abu-abu kebiruan. Rambutnya diikat dengan karet gelang.
Kirana menendang bolanya ke arah Razak, yang langsung ditahannya menggunakan kaki.
"Aku jaga gawang yang itu," Razak menunjuk dua tongkat yang ditancapkan ke tanah dibelakangnya.
"Aku akan jaga gawang yang ini."
Mereka adu suit, yang kemudian dimenangkan oleh Kirana. Kirana segera menendang bolanya melewati Razak.
Razak berlari mengejar Kirana dan berusaha merebut bolanya. Kirana melompat menghindari kaki Razak dan menggiring bolanya ke gawang Razak.
DUK
Razak meluncur dan berhasil merebut bola Kirana. Ia balik menggiring bolanya ke arah gawang Kirana.
Beberapa meter dari gawang Kirana, Razak berhenti. Kirana segera bersiap di depan gawangnya, kali ini menjadi kiper.
"Rasakan tendangan kilatku! Hyaaahh!" Razak menendang bolanya sekuat tenaga. Bola melesat ke gawang Kirana.
Kirana melompat dengan tangan terangkat setinggi-tingginya untuk menjangkau bola. Tapi ia terbelalak saat menyadari bola itu meluncur melewati bawah tubuhnya yang melayang sesaat sebelum jatuh di tanah.
"Gol!" Razak melompat senang. Kirana mengerutkan alisnya kesal. Gadis itu meletakkan bola di dekat kakinya dan menggiring bola itu, berusaha untuk menghindari aksi Razak yang 'berbahaya'.
Sedikit lagi dan ia akan mencapai garis dimana Razak akan berubah posisi menjadi kiper. Sedikit lagi, jika saja Razak tidak merebut bolanya lagi dan menggiringnya ke arah yang berlawanan.
Kirana mengerang dan melompat, kakinya berusaha meraih bola di kaki Razak. Dan berhasil!
Kirana berlari secepat mungkin dan akhirnya ia berhasil mencapai garis yang ditentukan. Ia berhenti menunggu Razak untuk mengambil posisi.
"Oke, Razak. Kau pasti tahu tendangan legendarisku, kan?" satu alis Kirana naik dan senyum menantang tersungging miring di bibirnya. Ia mundur, mengambil ancang-ancang dan menendang. Tapi sesaat kemudian ia membelalak.
Bola melesat kencang. Bukan ke arah gawang, namun ke arah jalan yang cukup sepi. Kirana menggigit bibirnya saat bola itu terus melesat ke arah mobil mewah berwarna biru metalik yang terparkir di depan sebuah restoran Jepang dan menghantam kaca depannya hingga pecah berkeping-keping.
Sesosok pemuda yang baru saja keluar dari restoran Jepang itu memandangi mobilnya dengan kaget.
"Uh oh," Kata Razak dan Kirana bersamaan. Lalu mereka berdua menghampiri pemuda itu.
"Ma...maafkan aku," Kirana menunduk dalam-dalam saat pemuda itu menatapnya dengan garang. "A..aku tidak sengaja memecahkan kaca mobilmu."
"Apa kau tahu berapa biaya penggantian kaca mobil ini? Apa kau sanggup menggantinya, hah?" tanya pemuda berambut hitam itu sambil menunjuk-nunjuk bagian depan mobilnya yang tidak terlindungi.
"Aku yang memecahkannya. Jadi biar aku yang mengganti kerugianmu," Kata Razak tiba-tiba.
Pemuda itu mengalihkan pandangannya pada Razak yang menatapnya dengan tegas. Alisnya terangkat.
"Razak! Aku yang memecahkannya, bukan kau! Jadi kau tidak usah ikut campur!" seru Kirana.
"Aku ingin membantu kakak!"
"Tapi aku yang memecahkannya. Sudahlah, kau tidak usah ikut campur," Kirana mengalihkan perhatiannya pada pemuda yang kaca mobilnya ia pecahkan. "Berapa biayanya?" tanyanya sambil harap-harap cemas dalam hati. Jangan-jangan biayanya mahal sekali.
Pemuda itu menyebutkan merek mobilnya, tempat yang menyediakan suku cadang bagi mobilnya, dan menyebutkan harganya. Kirana melotot dan ternganga.
"Tidak bisa membayar, kan?" pemuda itu menyeringai kecil. "Kalau begitu kau akan kulaporkan pada polisi."
"Eeeh, tidak! Jangan! Kumohon! Aku akan melakukan apa saja untukmu! Apa saja!" kata Kirana takut. Bagaimanapun juga ia baru sebulan tinggal di New York dan masa ia sudah harus berurusan dengan polisi?
"Apa saja?" tanya pemuda itu skeptis. Kirana mengangguk.
Pemuda itu memandangi Kirana lekat-lekat. Senyum penuh arti tersungging di bibirnya.
"Baik, kau dapat mengganti kerugianku dengan menjadi 'pacar'ku selama tiga bulan. Akhir-akhir ini aku sering dikejar wanita-wanita yang ingin menjadi pacarku. Kita hanya pura-pura berpacaran. Kau tahu siapa aku, kan?" tanya pemuda itu.
"Apa-apaan itu!" Razak berusaha protes namun Kirana menggenggam tangannya erat, tanda untuk tidak ikut campur. Kirana memandangi pemuda itu dan ia baru menyadarinya.
"Kiku Honda yang model itu kan?"
"Kak, kau serius mau menjadi 'pacar' Kak Kiku? Kau tidak takut kena skandal?"
Kirana memindahkan ponselnya ke tangan kiri dan menyetop taksi. Setelah masuk dan mengatakan tempat tujuannya pada sopir, ia berkata pada ponselnya, "Habis, mau bagaimana lagi? Aku tidak punya pilihan lain."
"Tapi kalau dia berbuat yang macam-macam kepadamu bagaimana?"
Diam sejenak. "Aku percaya dia tidak akan begitu," sebenarnya ia tidak yakin juga.
Kirana memandangi pemandangan kota New York dari jendela sambil menggumamkan 'iya' berkali-kali pada Razak yang khawatir di seberang telepon.
"Razak, sudah ya? Aku sudah tiba di rumahnya. Mm. Aku akan hati-hati. Sampai jumpa," Kirana menutup ponselnya dan membayar argo taksi lalu keluar.
Setelah itu Kirana menatap kertas kecil yang sedari tadi ia pegang dan mencocokkannya dengan rumah megah yang berada di hadapannya. Ia mengangguk kecil dan menekan bel.
"Siapa?" tanya suara yang terdengar dari interkom. Kirana memandang pemuda berambut cokelat keemasan yang tidak dikenalnya.
"Aku..." Kirana menelan ludah, "Aku teman Kiku Honda."
"Ah, kau pasti Kirana, kan?" pemuda itu menekan sesuatu dan pagar berderit terbuka. "Masuklah."
Kirana berjalan masuk dan menutup pagar kembali. Pemuda yang tadi dilihatnya di interkom membuka pintunya dan mempersilahkan Kirana masuk.
"Kiku belum pulang. Ia masih ada pemotretan untuk majalah fashion. Duduklah dulu. Mau teh atau jus jeruk?" tawar pemuda bertubuh tinggi itu.
"Jus jeruk, terima kasih."
Kirana merutuk dalam hati, katanya jangan terlambat tapi sendirinya belum datang!
Kirana cepat-cepat memasang wajah manis saat pemuda itu datang dengan dua gelas jus jeruk. Ia menggumamkan terima kasih dan meminumnya seteguk.
"Perkenalkan, aku Im Yong Soo, kakak Kiku," Pemuda yang bernama Im Yong Soo itu mengulurkan tangannya.
"Kak Im Yong Soo," Ulang Kirana, menyambut uluran tangan Im Yong Soo.
"Panggil Yong Soo saja. Tidak usah pakai kakak," Yong Soo tersenyum.
"Yong Soo," Kirana balas tersenyum. "Salam kenal juga."
Kirana akhirnya mengenali pemuda itu sebagai artis multitalenta yang terkenal di Korea. Ia berkuliah di University of Columbia jurusan hukum. Ia meninggalkan dunia entertainment untuk sementara dan berkonsentrasi dengan kuliahnya.
Mereka mengobrol santai sampai Kiku membuka pintu dengan wajah lelah. Ia menghempaskan diri di sebelah Kirana dan menyandarkan kepalanya ke pundak Kirana.
"A..apa-apaan kau? Menjauh dariku!" kata Kirana galak.
"Kau ini yang apa-apaan, Kirana. Kau kan sudah resmi jadi 'pacar'ku sekarang," Kiku berkelit.
Kirana tidak berkata apa-apa lagi. Ia melipat tangannya dan memandang ke arah lain dengan wajah kesal dan malu.
Yong Soo yang memandangi mereka tersenyum dan beranjak pergi, memberi adiknya privasi dengan 'pacar' barunya.
"Aku haus," Kiku meraih jus jeruk Kirana dan meminumnya sampai tinggal setengah. Kirana melotot, ingin protes namun ia menahan diri.
"Cepat katakan apa rencanamu selanjutnya. Aku juga punya kerjaan tahu, selain berdiam disini bersamamu," Kata Kirana.
Kiku meletakkan telunjuknya di bibir, "Nanti malam aku harus menghadiri pesta di hotel Ritz. Kau ikut denganku."
"Di hotel?" Kirana ternganga kaget. Jujur saja, kata 'pesta di hotel' memberi makna negatif bagi dirinya.
Kiku rupanya merasakan ketakutan Kirana. "Tenang saja, aku tidak akan tinggal di pesta itu lebih dari satu jam. Selain itu, aku pasti tidak akan meninggalkanmu sendirian disana,"
"Ah, baiklah," Kirana mengangguk.
"Kirana, kita harus latihan memasang posisi saat di luar," Kata Kiku memperingatkan. Kirana menaikkan alisnya.
"Di luar, wanita-wanita itu selalu mengintaiku dimana-mana. Aku tidak tahu dimana persisnya, tapi mereka pasti akan menyerbuku begitu aku sendirian. Jadi kita harus bisa berakting layaknya sepasang kekasih," Kirana mengangguk mengerti.
Yong Soo yang ternyata mengintip mereka terkikik saat Kiku memaksa Kirana untuk memegang tangannya saat berjalan. Tentu saja Kirana menolak dan mereka terlibat pertengkaran kecil yang seru.
"Yang benar saja! Masa sampai harus begitu?" semprot Kirana.
"Tidak! Bukan! Hanya berpose! Aku juga tidak mau melakukan itu padamu, bodoh!" Kiku menggeram marah. Melatih gadis keras kepala itu benar-benar menguras tenaganya.
"Dengar! Kau miringkan kepalamu sedikit dan jangan lupa pejamkan mata seolah kita benar-benar melakukannya," Perintah Kiku.
Kirana memiringkan kepalanya dan Kiku berteriak frustasi.
"Bukan begitu! Kau lihat aku, kan? Seperti ini!" Kiku memiringkan kepalanya dengan sudut tertentu. Kirana pun meniru Kiku.
"Bagus! Tahan!" Kiku mendekatkan wajahnya dan memejamkan matanya. Tak lupa ia miringkan kepalanya sedemikian rupa.
"APA YANG KAU LAKUKAN!"
PLAK!
Tawa Yong Soo meledak dan ia berguling-guling di lantai sambil memegangi perutnya. Seharusnya ia merekam peristiwa itu dan memperlihatkannya pada teman-teman artisnya.
Kiku memegangi pipi kanannya yang terasa panas. Pasti bengkak. Mulutnya terbuka namun tak ada kata-kata yang keluar. Takjub. Ini pertama kalinya ia ditampar sedemikian rupa oleh seorang gadis. Pertama kali dalam sejarah hidupnya.
"Sssh.. Ow! Pelan, Yong Soo-nii!" Kiku mengerang kesakitan saat handuk basah menyentuh permukaan pipinya yang terlihat memerah dengan bekas cap tangan.
Kirana menunduk menatap kedua tangannya yang saling menggenggam di pangkuannya. Ia tidak berani menatap Kiku. Rasa bersalahnya semakin besar setiap mendengar Kiku mengaduh kesakitan.
Kiku melirik Kirana yang tertunduk dan ia sengaja mengerang agar gadis itu semakin merasa bersalah. Dalam hatinya ia tertawa terbahak-bahak melihat wajah Kirana yang menggemaskan.
Yong Soo menyudahi kegiatannya. Ia membereskan baskom dan handuknya lalu menatap Kirana.
"Sudahlah, Kirana. Dia tidak akan mati hanya karena kau tampar," Kiku mendelik ke arah Yong Soo, "Kau gadis pertama yang menampar Kiku. Selamat," Yong Soo tergelak.
"Yong Soo-nii!" Kiku menyikut rusuk kakaknya, kesal.
Kirana menatap jam dinding dan mengambil tasnya, "Sudah jam setengah sepuluh. Aku harus kuliah. Sampai jumpa Yong Soo, Kiku," Ia berdiri.
"Kau kuliah dimana? Aku antar," Kata Yong Soo ikut berdiri.
"Nii-san, aku yang akan mengantarnya. Bukan kau," Kiku menatap Yong Soo tajam. Yong Soo mengalah dan duduk kembali sambil menyeruput jus jeruknya.
"Ayo," Kiku menarik Kirana pergi. Kirana pasrah dan mengikuti pemuda itu.
"Kau kuliah dimana?"
"New York Institute of Photography."
Dua bulan kemudian..
Kirana keluar dari mobil kuning Yong Soo─Kiku meminjam mobil kakaknya sementara mobilnya masih dipasangi kaca baru─dan menutup pintunya. Ia memandangi rumah mewah yang selama dua bulan ini sering sekali ia datangi.
Kiku menghampirinya dan tak lupa Kirana menyelipkan lengannya ke lengan pemuda itu sambil melirik ke belakang, ke arah gerombolan gadis-gadis penggemar Kiku.
BLAM
Setelah pintu rumah ditutup, barulah mereka saling melepaskan diri. Kirana duduk di sofa sementara Kiku mengambil minuman.
"Wah, sepertinya malam tidak membuat mereka takut untuk tetap mengerumuni rumahku," Kiku mengintip melalui tirai jendela yang ia sibak sedikit.
"Lalu apa yang harus kita lakukan? Selama dua bulan kita begini sepertinya tidak ada perubahan yang berarti. Mereka tetap mengejarmu," Sahut Kirana.
Kiku berpikir keras. Matanya memandangi sekeliling ruangan, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk mengusir mereka. Matanya tertumbuk pada saklar lampu kuning yang jika dinyalakan akan membuat ruangan itu menjadi temaram. Ia menjentikkan jarinya.
"Aku tahu!" Kiku membisikkan idenya pada Kirana. Gadis itu nyaris menamparnya lagi jika saja Kiku tidak menahan kedua tangannya.
"Ayolah, kita hanya akan membuat siluetnya saja." Kiku menarik kedua tangan gadis itu, menyuruhnya berdiri.
Kirana berdiri tidak yakin. Namun ia hanya mengangguk.
Kiku menekan saklar dan dalam sekejap ruangan itu diterangi cahaya kuning. Ia berdiri di hadapan Kirana dan memajukan wajahnya ke udara kosong di sisi kiri wajah Kirana. Kirana menelan ludahnya, kedua tangannya menyentuh dadanya yang berdebar-debar.
"Miringkan wajahmu," Perintah Kiku dan Kirana memiringkan wajahnya sehingga dari luar siluet mereka terlihat seperti sedang berciuman.
Mereka terdiam dalam posisi itu beberapa saat. Kiku menghirup aroma rambut Kirana yang menyegarkan dan merasa rileks. Kirana mencium aroma aftershave yang dipakai Kiku, aromanya menenangkan sekali.
Terdengar desahan kecewa dari luar. Kiku menyunggingkan senyum puas.
Setelah yakin para penggemarnya sudah pergi, Kiku mematikan lampu dan mengintip lewat jendela. Kosong. Seperti yang ia harapkan.
"Mereka sudah pergi," Kiku mengacungkan jempol pada Kirana yang kini menghempaskan tubuh ke sofa, "Terima kasih atas kerja samanya."
Kirana mengangguk sekali, "Lalu apakah aku boleh pulang sekarang? Razak pasti uring-uringan sekarang."
"Kalau dia uring-uringan, dia pasti sudah meneleponmu puluhan kali," Kata Kiku, melirik ponsel Kirana yang kesepian tanpa missed call dan pesan singkat.
"Lalu aku tidak boleh pulang, begitu?" Kirana cemberut.
"Tinggallah disini sebentar. Kita baru saja sampai," Kiku mengunci pintu rumahnya. Kirana memandangnya horror.
Great, malam ini dia berada di rumah seorang lelaki bujang, berdua saja dalam ruangan yang minim pencahayaan. Ayah dan ibunya pasti akan jantungan jika tahu.
"Aku tidak akan berbuat macam-macam denganmu, bodoh. Aku tidak tertarik padamu," Ejek Kiku.
"Lalu biarkan aku pulang!" Kirana bersikeras.
"Aku pasti akan mengantarmu. Tunggulah sebentar."
"Aku tidak perlu diantar! Aku kan bisa pulang sendiri!" Kirana berdiri dan berusaha merebut kunci di tangan Kiku.
"Baik, baik, aku tertarik padamu! Sangat! Jadi kumohon jangan pulang!" kata Kiku akhirnya.
Kirana terdiam. Wajahnya memerah namun tidak terlihat karena gelap.
Kiku meraih ponselnya dan menelepon Yong Soo. Matanya terarah pada Kirana yang berdiri diam di belakangnya.
"Annyeong haseyo? Ada apa, Kiku?"
"Onii-san, kau ada dimana? Cepatlah pulang!" Bisik Kiku.
"Aku sedang dalam perjalanan pulang. Tunggu limabelas menit lagi. Dah."
Kiku menatap ponselnya dan Kirana bergantian. Apa ia bisa menahan Kirana selama limabelas menit tanpa terluka?
Tiba-tiba hujan turun. Awalnya gerimis tapi kemudian menjadi sangat deras dengan petir menyambar-nyambar disertai dengan suara memekakkan telinga yang bersahutan.
BUK! BUK!
Kiku terkejut saat Kirana tiba-tiba memukul Kiku dengan tasnya yang berat. Kedua tangannya berusaha melindungi wajahnya dari serangan Kirana.
"Kiku bodoh! Keluarkan aku dari sini!" Kirana berteriak.
"Ah! Tunggu limabelas menit lagi! Aku mohon! Hanya limabelas menit! Setelah itu kau boleh pulang!" Kiku tersudut di pojok ruangan.
"Kenapa harus limabelas menit? Aku ingin pulang sekarang!" Kirana memukuli dada Kiku dan sesekali mencubit lengannya.
Kiku mengerang kesakitan. Pukulan dan cubitan gadis itu sakit sekali.
"Butterfly, terbanglah tinggi... setinggi anganku untuk meraihmu... memeluk─" lagu Butterfly-nya Melly Goeslaw berbunyi, menyelamatkan Kiku dari amukan Kirana.
Kirana membuka ponselnya dengan gusar, suaranya terdengar marah. "Halo?"
"Kakak, kau dimana? Disini hujan deras sekali..."
"Aku tertahan di rumah Kiku. Aku pasti pulang secepatnya."
"Cepat pulang ya, Kak."
"Mm. Kau sudah makan?" suara Kirana berubah normal.
"Iya. Aku sudah masakkan makan malam juga buat kakak."
BLAAR!
Terdengar suara petir yang sangat memekakkan telinga disertai kilat yang membutakan mata Kirana selama sesaat. Setelah matanya terbiasa dengan keadaan, sepasang tangan melingkari pundaknya dengan erat... dan gemetar?
Kirana terpaku. Kedua lengan Kiku yang melingkarinya gemetar hebat dan ia bisa merasakan ketakutan yang memancar dari tubuhnya. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.
Petir menyambar lagi, dengan suara yang lebih keras dari yang tadi. Kiku tersentak dan membenamkan kepalanya ke pundak Kirana.
"Kiku?" tanya Kirana heran. "Razak, nanti aku telepon lagi," Ia memutuskan sambungan dan menoleh menatap Kiku.
"Jangan pergi..." ucap Kiku lirih. Ia membenamkan kepalanya lebih dalam ke pundak Kirana.
Kirana meletakkan tangannya di atas lengan Kiku, bingung harus berbuat apa. Setelah berpikir panjang, akhirnya ia mengelus lengan pemuda itu perlahan sambil membujuk pemuda itu untuk melepas rangkulannya.
Terdengar suara kunci dimasukkan ke lubang pintu. Beberapa saat kemudian pintu menjeblak terbuka dan Yong Soo menghampiri Kiku dengan tergesa-gesa dalam kondisi setengah basah.
"Yong Soo, Kiku..." ucap Kirana sambil menunjuk Kiku. Yong Soo mengangguk mengerti dan menepuk-nepuk pundak Kiku.
"Kiku, aku datang. Kau bisa lepaskan Kirana sekarang," bisik Yong Soo. Kiku melepas rangkulannya dengan lemah. Wajahnya terlihat pucat.
Kirana memandang Kiku prihatin. Pemuda itu nampak sangat rapuh, berbeda sekali dengan yang biasa ia temui.
Yong Soo memekik pelan saat Kiku tiba-tiba jatuh dan tidak sadarkan diri. Kirana terhenyak namun ia sadar dan cepat-cepat membantu Yong Soo menggendong Kiku.
"Kau tunggu saja disini. Setelah aku membawanya ke kamar, aku akan mengantarmu pulang," Cegah Yong Soo saat Kirana hendak membantunya.
"Oh, oke," Kirana mengangguk. Pandangannya terpaku pada Yong Soo yang menggendong Kiku ke kamar.
Ia mulai mengerti mengapa Kiku memintanya untuk tinggal selama limabelas menit.
Pagi yang cerah dan sedikit lembab di Manhattan wilayah Upper East Side. Orang-orang yang jogging saling bertukar sapa. Pengantar susu dan pengantar koran berkeliling mengantarkan barangnya ke setiap rumah dengan sepedanya.
Sinar matahari menembus tirai kamar Kirana, menerpa si empunya kamar yang tergolek di kasurnya.
Kirana mengerjap-ngerjap dan menaungi wajahnya dengan sebelah tangan. Ia mematikan lampu meja dan beringsut bangun membuka jendela.
Lagu Butterfly milik Melly Goeslaw mengalun dan Kirana membuka ponselnya. Dari Yong Soo.
"KIRANA! KIKU MASUK RUMAH SAKIT!"
Yong Soo langsung berteriak sebelum Kirana sempat mengucapkan 'halo'. Kirana mengerenyit dan menjauhkan ponsel dari telinganya.
"Hah?" hanya itu respon Kirana.
"Kiku ditemukan tak sadarkan diri di dapur! Kepalanya terluka, kemungkinan terantuk tepi meja dapur yang tajam. Aku tidak tahu kenapa, tapi semalam ia mengigaukan namamu. Datanglah kesini, Kirana. Kiku membutuhkanmu."
"Di rumah sakit mana? Tunggu sebentar, aku ambil pensil dulu," Kirana menyobek memo yang ia gantung di pintu dan mencari alat tulis. Ia mencatat nama rumah sakit yang disebutkan Yong Soo berikut nomor kamarnya.
"Aku akan segera datang," Kata Kirana sebelum memutuskan sambungan.
Kirana membuka pintu kamarnya setelah menggosok gigi. Di ruang makan, Razak sedang meletakkan sepiring roti panggang di meja, berdampingan dengan susu kaleng, toples meses, dan dua lembar keju yang terbungkus plastik.
"Pagi, kakak," Sapa Razak sambil menyunggingkan senyum. Kirana tersenyum tipis dan duduk di kursi.
"Kiku masuk rumah sakit," Ucap Kirana sambil menuangkan susu di atas rotinya.
"Eh? Kenapa?"
"Entahlah. Kata Yong Soo, ia ditemukan pingsan di dapur dengan kepala terluka," Kirana menaburkan meses dan menutupnya dengan selapis roti.
"Kasihan sekali, aku akan menjenguknya nanti."
"Setelah ini, aku akan pergi menjenguknya. Kau mau ikut?" tanya Kirana.
"Tidak. Aku akan datang sendiri. Setelah ini aku ada keperluan jadi mungkin aku akan berkunjung siang," Geleng Razak.
Kirana menghabiskan sarapannya. Setelah itu ia membereskan piringnya, bersiap mandi dan berpakaian.
Satu jam kemudian ia sudah berada di rumah sakit, mengenakan celana panjang jeans hitam dan kaus warna kuning yang ditutupi kardigan putih. Ia segera menuju kamar rawat Kiku dengan tangan menenteng plastik berisi buah apel dan anggur.
"Selamat pagi," Kirana membuka pintu dan menutupnya lagi. "Aku datang. Bagaimana keadaan Kiku?" tanyanya sambil meletakkan tas plastik yang dibawanya di meja.
"Terima kasih sudah mau menjenguk. Kiku masih belum bangun. Kau jaga dia sebentar, ya? Aku mau sarapan dulu."
Kirana mengangguk lalu memandangi Kiku yang tertidur tenang dengan kepala diperban.
Setelah Yong Soo benar-benar pergi baru ia angkat suara, "Hei, Kiku bodoh. Kenapa kau bisa sampai pingsan, hah?"
Kiku tidak merespon.
"Bangun. Kau itu bukan putri tidur, tahu."
"..."
"Dan aku tidak mau jadi pangeranmu."
"..."
"Kau membuatku cemas saja. Kau itu lebih tua dariku tapi sikapmu seperti anak-anak."
"...ngh..."
Kirana terbelalak. Kiku tadi mengerang!
Mata Kiku bergerak-gerak dan terbuka perlahan. Ia mengerjap-ngerjap membiasakan matanya dengan pencahayaan. Lalu matanya terarah pada Kirana yang cemberut memandanginya.
"Kirana..." ucap Kiku serak.
"Akhirnya kau bangun juga," Balas Kirana sedikit menggerutu. Namun ia bangkit mengambilkan segelas air putih dan mendekatkannya ke mulut Kiku yang kering. Ia meletakkan tangannya di sisi ranjang sebagai tumpuan. Kiku mengubah posisinya menjadi bersandar ke dinding.
"Minumnya pelan-pelan," gerutu Kirana saat Kiku tersedak.
"Kau disini," Kata Kiku dengan suara lebih jelas. Ia memandang Kirana dengan penuh rasa syukur, jelas membuat Kirana terheran-heran.
"Hei, ada apa? Dari semalam, kau jadi aneh," Kirana menempelkan punggung tangannya ke dahi Kiku. Terasa panas.
Kiku memegang tangan Kirana yang menempel di dahinya dan menariknya sehingga Kirana mendekat. Ia meminta gadis itu untuk duduk di sebelahnya. Kirana protes tapi akhirnya ia menurut.
"Aku memimpikanmu semalam," Kirana menatapnya dan Kiku melanjutkan. "Mimpi buruk. Kau meninggal kecelakaan."
Kiku menyandarkan kepalanya ke bahu Kirana sementara Kirana menahan napasnya. Ia mendongak menatap Kirana yang menatap lurus ke depan dan tersenyum tipis, "Tapi aku sangat lega kau disini sekarang."
Kirana menunduk menatapnya dan tersentak menyadari jarak wajah mereka begitu dekat. Mendadak jantungnya berdebar lebih keras seperti yang semalam ia rasakan di rumah Kiku.
Ia cepat-cepat mengalihkan wajahnya ke arah lain sementara Kiku terus menatapnya sambil tersenyum. Kirana gelagapan menahan debaran jantungnya yang semakin menjadi.
Senyum Kiku melebar mendengar suara detak jantung Kirana. Wajah Kirana memerah dan ia berusaha keras untuk mempertahankan ekspresi stoic-nya.
Pemuda itu meraih tangan Kirana dan meletakkannya di dadanya. Kirana merasakan detak jantung Kiku yang cepat, sama seperti miliknya. Ia memberanikan diri untuk menatap Kiku.
"You know, I know," Kiku mendekatkan wajahnya dan Kirana memejamkan matanya.
"It's love."
Di luar pintu, Yong Soo menyandarkan tubuhnya ke dinding dan menyunggingkan senyum getir.
xX_FIN_Xx
Nah! Apa-apaan itu! Totally fail!
Ada typo nggak? #mager
Silakan pikir sendiri Yong Soo itu kenapa :P #digamparreaders
Saya membuka kotak request jalan cerita di Doppelgänger untuk dibikinkan side story-nya ^^
Insyaallah saya akan menyanggupinya kalau saya mampu ^^
Jadi ceritanya ini kayak kumpulan oneshot yang dijadiin satu :D
Anyway, review? NO FLAME!
