.

Warning : AU, OOC, miss typo, etc

Genre : Friendship/ Romance

Rate : T

Pairing : SasoSaku

Disclaimer :

Naruto © Masashi Kishimoto

Emotionless © Sky no Raven

.

-Emotionless-

.

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Kemarin ia masih merasakan sebagai murid menengah pertama, tapi tidak untuk sekarang. Hari ini, untuk pertama kalinya ia akan menginjakkan kaki sebagai murid menengah atas. Diambilnya ransel cokelat tua yang tergeletak di meja belajar, ia sudah mempersiapkan apa saja yang akan dibawa tadi malam. Ya, sudah menjadi kebiasaannya, mempersiapkan segala hal dengan baik, agar tak ada yang kurang nanti.

Kembali ia menatap satu satunya cermin di kamar bercat putih gading itu. Kemeja putih lengan pendek, celana panjang hitam sewarna dengan dasi dan sepatu, kaos kaki putih, blazer lengan panjang berwarna biru, kontras sekali dengan rambut sedikit acaknya yang sewarna merah bata, tak lupa dengan rajutan bordir lambang sekolah barunya pada blazer bagian dada sebelah kiri, serta nametag di sebelah kanan. Tatapannya terlihat sayu dan meneduhkan di waktu yang sama. Wajah baby face-nya yang tampan menampilkan senyum tipis. Setelah semua persiapan dirasa cukup, pemuda itu keluar dari kamar.

Kini sampailah ia di ruang makan. "Ohayou gozaimasu, Obaa-san," ujarnya pelan, menyapa keluarga satu-satunya yang ia miliki.

Seorang nenek berusia 70 tahun. Terlihat dari warna rambutnya yang sudah memutih sempurna, wajah tuanya berkeriput, tapi tidak menurunkan semangat hidup sang nenek. Karena ia tahu, masih ada seseorang yang membutuhkan kasih sayangnya. Cucu tercinta. Ya, setidaknya sampai Kami-sama memanggilnya.

Nenek Chiyo memberikan senyum cerah pada cucu yang baru saja memasuki ruang makan. "Aa, selamat pagi Saso-chan, duduklah. Nenek sudah menyiapkan sarapan untuk pagi yang istimewa ini."

Istimewa? Tentu, bagaimana tidak, ini hari pertama Sasori memasuki sekolah barunya. Mirai Senior High School. Salah satu sekolah favorit yang terletak di Konoha. Dan Sasori beruntung dapat masuk ke sekolah itu dengan beasiswa penuh, pencapaian dari prestasi akademik yang ia sandang.

"Hai, itadakimasu," ucapnya pelan sebelum ia menyantap sarapan yang telah berpindah ke mangkuk, tak lupa ia menyesap terlebih dulu ocha-nya. Sepertinya berbicara dengan suara pelan telah menjadi kebiasaanya pula. Aneh, tapi tidak untuk pemuda bermata hazel itu.

Sasori menyantap sup toriniku buatan sang nenek, kalau pagi memang cocok makan sup, pikirnya. Ia tak terbiasa makan nasi di pagi hari, oleh karena itu ia memilih mengganti asupan karbohidratnya dengan ubi. Di belakang rumah mereka terdapat pekarangan kecil untuk berkebun, dan hasilnya mereka gunakan sebagai tambahan bahan pangan. Nenek Chiyo pun merupakan istri dari mantan Anbu, sebuah organisasi keamanan di Konoha, dimana setiap anggota yang pensiun akan mendapat tunjangan hidup, didapat sebulan sekali, dan bahkan jika anggota tersebut telah meninggal, tunjangan itu tetap berlaku. Ya, itu sebagai bentuk penghargaan kepada mereka yang telah mengabdi pada Konoha, dengan keberanian mereka menjalankan tugas, jika perlu mengorbankan nyawa sekalipun, itu adalah hal yang biasa bagi mereka.

.

-Emotionless-

.

Sasori melangkahkan kakinya ke halaman sekolah. Akhirnya ia menginjakkan kaki di sini. Mirai Senior High School. Tampak banyak murid yang berdatangan memasuki sekolah. Perlahan ia hembuskan napas, pagi ini begitu sejuk, udara segar menyapa penciumannya, senyum tipis pun tercetak. Tanpa ia sadari beberapa pasang mata memandangnya intens, kagum, terpesona, bahkan sampai bersemu. Aura pemuda baby face ini begitu menarik perhatian, terutama para siswi, meskipun baru di hari pertama.

"Hontou ni, kawaii ne..." tampak seorang siswi menatapnya dengan mata berbinar.

"Ah, dia seperti pangeran!" seru siswi lain.

"Blazer biru? Berarti dia kouhai kita ya," ujar yang lain. Blazer sekolah ini memang dibedakan tiap tingkatan, biru untuk tingkat pertama, merah untuk tingkat kedua, dan hitam untuk tingkat ketiga.

"Ne, benar juga."

"Wah, aku tak sabar berkenalan dengannya."

"Lihat wajahnya yang manis itu, ingin sekali aku mencubit pipinya!" seru yang lain tak kalah antusias.

"Memang kau berani?" tanya siswi di sampingnya.

"Hehe, tidak sih," jawabnya tanpa dosa, yang lain hanya sweatdrop.

"Aa, dia memang menawan. Apa kalian benar tidak mau berkenalan dengannya? Dia kan kouhai, kita senpai-nya di sini," tutur seorang siswi berambut pirang pucat yang diikat ponytail.

"Benar juga, aku ikut kau, Ino!"

"Aku juga!"

Dan seketika para siswi tersebut mendekati sang pemuda baby face. Sasori yang tak tahu apa-apa hanya bisa diam di tempat.

"Hei, kau anak baru ya?" Ino sedikit berbasa-basi.

"Hai. Hajimemashite, Senpai," jawab Sasori pelan seperti biasa. Seketika alunan suara itu membuat para siswi blushing, tak terkecuali gadis aquamarine, sang penanya.

"Waa, bahkan suaranya sangat lembut!" seru siswi di samping Ino terpana. Tak hanya rupa, suaranya pun begitu memikat.

Dan sesi tanya jawab pun berlangsung. Ya, bukan keinginan Sasori untuk melakukan hal itu, ia hanya merasa tak enak hati jika menolak. Dari pertanyaan yang menayakan nama, di mana ia tinggal, berapa nomer handphone-nya, dan beberapa pertanyaan yang menurut Sasori sebenarnya tak perlu ditanyakan, bahkan ada yang mengucapkan secara terang-terangan, 'Jadilah pacarku!'. Sekarang kau jadi Pangeran eh, Sasori?

Mari tinggalkan sejenak Sasori bersama fansgirl-nya, dan berbalik ke halaman sekolah. Keadaan MSHS kini semakin ramai, dengan adanya kedatangan para junior baru. Memberikan semarak hari baru, semangat baru, dan harapan baru untuk kedepan. Semua pasang mata tampak antusias satu sama lain. Saling bercengkerama, membagi rentetan pengalaman yang mereka torehkan saat masih di tingkat menengah pertama. Setiap perpisahan pasti ada pertemuan, dan begitu sebaliknya, waktu terus bergulir dan tak akan pernah berbalik mundur.

Sepasang murid tengah berjalan memasuki halaman. Tingkatan mereka berbeda, terlihat dari blazer yang dikenakan, merah dan hitam, tingkat dua dan tingkat tiga. Kedua sosok itu berbeda gender, satu perempuan dan satu laki-laki. Memiliki warna iris yang sama, emerald, sedangkan warna rambut mereka kontras, pink sebahu dan pirang pucat setengah punggung, untuk warna terakhir kalau dilihat mungkin hampir sama dengan gadis bernama Ino tadi.

"Mau kuantar Saku-chan?" tanya pemuda yang lebih tinggi dari sosok siswi di sampingnya, ia tersenyum simpul.

"Tidak. Terimakasih..." jawab siswi itu datar, hanya menoleh sedikit pada lawan bicara. "Nii-san," lanjutnya.

Pemuda yang dipanggil sebagai 'kakak' itu pun menghela napas. "Baiklah, kalau begitu. Aku ke kelas dulu, jaga dirimu. Jaa ne, Saku-chan," ucapnya lembut sambil mengusap pelan kepala adiknya.

Tampak beberapa pasang mata memperhatikan mereka. Keakraban sepasang kakak-adik itu cukup membuat mereka iri, terutama perhatian pemuda itu pada sang adik bersurai permen kapas. Keduanya berpisah, kakaknya adalah siswa tingkat tiga, letak kelasnya berlawanan arah dengan adiknya yang masih di tingkat dua. Gadis itu pun kembali melangkahkan kaki jenjangnya, sambil memanggul tas selempang dan membawa beberapa buku di tangan. Tatapannya lurus ke depan, tak terlihat emosi di sana, tetap datar.

.

-Emotionless-

.

Kembali ke tempat di mana pemuda hazel itu berada. Bukanya berkurang, gerombolan siswi itu kian bertambah. Sasori yang mulai kewalahan sebenarnya ingin segera pergi dari sana. Sangat tidak nyaman berada di posisi seperti itu. Siswi-siswi yang semakin ingin tahu soal Sasori kembali berusaha mencari perhatiannya. Dan karena semakin terdesak, Sasori pun melangkah mundur. Dan...

BRUUK!

Suara jatuh yang baru saja terdengar seperti mengomando semua pasang mata untuk mengunci mulut mereka, dengan napas serasa tertahan di tenggorokan. Tak ada yang berani bergerak atau berbicara. Sasori yang sadar akan kesalahannya pun berjongkok, berniat membantu sosok yang tak sengaja telah ditabraknya.

"Gomennasal, Senpai," ucap Sasori pelan sambil mengambil satu buku yang tergeletak di lantai.

Sebuah tangan menepisnya kasar. "Tak perlu," ujar sosok itu datar, aura dingin menguar dari dalam dirinya. Ia berdiri dan segera meninggalkan Sasori yang masih terpaku di posisinya. Sosok itu berbelok di koridor sekolah.

Hening yang sebelumnya tercipta mulai berangsur menghilang, terganti dengan celoteh para murid yang sempat sirna. Sasori kini berdiri, memperhatikan posisi terakhir di mana ia melihat senpai-nya itu.

"Hiii, aku tak kuat dengan atmosfir tadi," seorang siswi terlihat ketakutan.

"Rasanya seperti mati beku," timpal yang lain.

"Memang kau pernah tau rasanya mati beku?"

"Tidak," jawab siswi itu tanpa dosa, ingin sekali yang lain menjitak kepalanya.

"Senpai itu ... siapa?" suara pelan mengiterupsi gerombolan siswi, Sasori menoleh ke arah mereka.

Mereka yang sadar akan sumber suara, memandang heran satu sama lain. Tapi tak ada salahnya memberitahu junior mereka. "Ehem," seorang siswi dengan rambut cokelat bercepol dua berdehem, sedikit menelan saliva-nya guna mengembalikan kerongkongan yang sempat kering. "Dia ... Haruno Sakura, siswi seangkatan kami, dia juga tingkat dua." sambung gadis itu.

"Dia selalu menduduki peringkat pertama di sekolah ini,"

"Bukan hanya pintar, dia jenius!" tambah yang lain.

"Tak hanya itu, perawakannya juga menarik, wajahnya pun manis," siswi itu diam sejenak, sebelum kembali berucap. "Tapi sayang, sifatnya yang penyendiri dan dingin membuat semua orang enggan mendekat. Daripada menyapanya, kami memilih untuk tetap diam, itu lebih baik. Dan itu juga berlaku untukmu, Sasori-kun, ya ... jika kau tak ingin punya masalah dengannya."

"Biar begitu, banyak yang diam-diam menyukai Haruno-san, wataknya yang seperti itu malah menjadi tantangan bagi para murid laki-laki. Yah, meskipun akhirnya hanya sebatas menjadi secret admirer," siswi itu merasa iba dengan para siswa yang memuja sang Putri Es, harapan hampa menurutnya.

"Haruno Sakura. Dia siswi yang aneh ... seperti tak punya emosi," Ino ikut bersuara.

Sasori menoleh ke koridor tempat gadis cherry itu berbelok dengan pandangan yang sulit diartikan. "Haruno Sakura," gumamnya pelan, hingga tak terdengar oleh para siswi di dekatnya.

KRING! KRING! KRING!

Bel masuk pun berbunyi, menandakan setiap pasang kaki itu untuk memenuhi tugasnya memasuki kelas masing-masing.

.

-Emotionless-

.

Tampak di sebuah aula, para murid mendapat sosialisasi tentang MSHS. Dan sekarang bel istirahat baru saja berdering. Senang rasanya, karena ini hari pertama, maka baru diisi dengan pengenalan sekolah dan strukturnya. Setelah istirahat nanti, para murid yang telah dibagi menjadi beberapa grup bisa memasuki kelas mereka.

"Hei, salam kenal! Namaku Uzumaki Naruto!" seru seorang siswa berambut blonde jabrik, sambil menarik tangan kanan Sasori, salaman paksa maksudmu?

"Hai. Hajimemashite Uzumaki-san. Watashi wa Akasuna no Sasori desu, douzo yoroshiku," balas Sasori pelan.

Pemuda bermata sapphire itu hanya melongo, mulutnya terbuka lebar tanpa mau menutup.

"Berhentilah bersikap bodoh, baka Naruto!" yang kemudian disusul dengan erangan tak terima.

"APA YANG KAU LAKUKAN, DOGMAN?! Kau ingin membuatku gegar otak ya!" teriak Naruto uring-uringan. Ternyata ia baru saja mendapat jitakan di kepala.

"Apa?! Dogman?! Beraninya kau memanggilku seperti itu! Salahkan wajah bodohmu yang merayuku untuk olahraga tangan!" seru siswa yang diketahui bernama Kiba Inuzuka, tampak dari nametag blazer di bagian sebelah kanan atas.

Sasori yang memperhatikan keduanya hanya terdiam. Namun secuil perasaan muncul, Ia merasa beruntung, sepertinya menarik, meskipun sangat berisik. Karena kedua siswa tadi akan menjadi teman sekelasnya.

BUAK!

Suara pukulan yang disusul erangan terdengar lagi.

"Diamlah! Kalian berisik!" dengan tiba-tiba dua buku bersamaan memukul tepat kepala Naruto dan Kiba. Ya, seorang siswa lagi datang, dengan kedua tangan membawa masing-masing sebuah buku.

"Apa yang kau lakukan?! Kau menambah PENDERITAANKU, NEJI!" Naruto tak terima, untuk kedua kali, di hari pertamanya sekolah, ia sudah mendapat dua 'salam perkenalan' di kepala. Sedangkan Kiba mendecih kesal. 'Salam perkenalan' yang 'menyenangkan' bukan?

"Jika seperti itu, kalian jadi terlihat lebih bodoh dari kebodohan kalian yang sebenarnya sudah bodoh," ujar seseorang lancar.

Seketika muncul siku-siku di dahi keduanya. Coba lihat sekarang, siapa pelakunya. Seorang pemuda putih pucat, sedang tersenyum dengan wajah tanpa dosa. Membuat aura hitam pekat menguar kentara disekitar Naruto dan Kiba.

Neji menghela napas, "Sudahlah, kalian mau istirahat atau tidak? Karena setelah itu kita akan masuk kelas."

Krucuk...

Terdengar bunyi perut yang meminta jatah. Dua sejoli itu hanya menyengir. "Ehehe ... baiklah, ayo ke kantin!" serunya bersemangat. "Sasori, kau ikut juga kan?"

"Hai, Uzumaki-san," Sasori mengangguk pelan.

Naruto merangkulnya, "Hei, kau tak perlu se-formal itu. Kau jadi terlihat aneh kalau begitu. Cukup panggil aku Naruto, oke!"

"Baik, Naruto," ucap Sasori pelan dengan senyum tipisnya.

Naruto mengerutkan kening, "Hei, apa cara bicaramu memang begitu?" aneh sekali baginya mendengar kalimat yang diucapkan secara perlahan, seperti takut jika ada kata yang salah.

"Ya,"

.

-Emotionless-

.

Terlihat rombongan siswa tingkat satu berjalan bersamaan. Naruto, Kiba, Neji dan Sai. Hei ... tunggu, apa ada yang terlewat? Ya, pemuda bersurai merah bata tak bersama mereka.

"Ah, kenyangnya. Ramen di kantin ini enak sekali!" Naruto menepuk-nepuk perutnya yang telah terisi.

Kiba baru menyadari sesuatu yang janggal. "Eh, di mana bocah merah tadi?"

"Hei, benar di mana Sasori?" pemuda blonde itu pun ikut heran. "Bukannya tadi di sebelahmu, Sai?"

"Aku tidak tahu, Naruto," jawab Sai santai dengan senyum seperti biasa.

"Argh! Kau ini tak bisa diandalkan!" uring Naruto kesal, bagaimana bisa sosok ini tak tahu jika orang yang jelas-jelas di sampingnya sudah tak ada.

"Ya, begitulah," masih dengan senyumnya.

Dan tak terelakkan, apa yang terjadi selanjutnya? Sudah jelas perseteruan antara Naruto dan Sai, lebih tepatnya Naruto yang uring-uringan, hanya dibalas dengan jawaban seadanya dan senyum khas seorang Sai.

'Kau tak perlu tahu hal menarik ini,' batin salah satu diantara mereka.

.

-Emotionless-

.

Langkah Sasori kini berjalan entah kemana, asal mengikuti instingnya. Ia tak mungkin salah lihat, sosok dengan warna surai yang unik, saat keluar dari kantin bersama teman-teman barunya, ia menangkap sekelebat sosok itu, yang sempat menyita perhatiannya tadi pagi. Dan inilah yang sedang ia lakukan, mengikutinya, meski tadi kehilangan arah, karena tertinggal. Akhirnya sampailah pada tujuannya. Dan ternyata...

Taman belakang sekolah?

Dengan segera Sasori mencari-cari sosok yang ia ikuti. Entah itu salah atau memang benar, ia sedikit menahan napas, meski raut wajahnya tetap sayu seperti biasa. Pandangannya terpaku pada apa yang ia lihat secara langsung, di depan matanya sendiri, saat ini.

'Sakura ... -senpai?'

.

-Emotionless-

.

To be Continued


Doumo arigatou sudah menyempatkan berkunjung. Mohon Read & Review-nya Minna, jika berkenan, arigatou...