"Aku akan berhenti latihan."
Kalimat yang dilontarkan Izuki Shun dengan ringan telah menampar keras indra pendengaran seluruh anggota tim basket Seirin. Hyuga yang sempat mematung pun refleks membuka suaranya, namun tertahan ketika Riko menyelanya.
"Izuki akan mengikuti olimpiade matematika 2 bulan lagi, jadi untuk mempersiapkannya ia akan absen untuk 2 bulan kedepan."
"Tapi, bagaimana dengan interhigh? Izuki-senpai tetap akan ikut kan?"
"Tentu saja," Izuki menghela nafas, tidak mungkin ia akan meninggalkan sepenuhnya posisi point guard pada Furihata yang masih baru belajar untuk perlombaan besar seperti Interhigh. "Aku akan kembali latihan begitu olimpiade selesai."
"…'Olimpiade', Izuki-senpai benar-benar sepintar itu‒?!"
"Jangan samakan otak Izuki dengan otakmu, bakagami!" Habis sudah kesabaran Riko untuk tidak menjitak otak kosong ace Seirin.
"Kau sendiri Riko?" Kiyoshi memutar pertanyaan, "kau peringkat 2 seangkatan, kau juga tidak ikut olimpiade?"
"Ya..., aku juga ditawari sih kemarin, tapi aku tidak tertarik. Lagi pula, aku tidak bisa meninggalkan kalian latihan sendiri, terutama kalian anak kelas 1! Sebentar lagi kalian masuk kelas 2! Kalian harus lebih meningkatkan skill kalian karena kita harus merekrut pemain baru juga nanti!" Titah coach tanpa aba-aba segera diiyakan oleh seluruh pemain kelas 1.
"Tapi kenapa tiba-tiba? Maksudku, erh… kenapa Izuki-senpai mau ikut olimpiade matematika? Rasanya aneh."
Entah bagaimana Kagami masih menolak kenyataan ini. "Apanya yang aneh? Aku tidak sepertimu yang hidupnya hanya makan, tidur dan basket," Izuki tidak bermaksud menyindir sebenarnya. "Selain itu, sebentar lagi kami akan kelas 3, kalau aku bisa menang di olimpiade, ini bisa mempermudahku masuk perguruan tinggi."
"O-oh… begitu ya," ya, pikiran Kagami memang tidak difungsikan untuk berpikir lebih jauh dari batas kegiatan seharinya. Kontras dengan Izuki yang selalu melangkah lebih banyak dalam memprediksikan segala sesuatu‒baik dalam pertandingan maupun kehidupannya.
Namun entah apa yang mengusiknya, Hyuga merasa terggangu dengan keputusan Izuki.
MORE STEPS
Chapter 1: Izuki Steps
'FORMULIR PENDAFTARAN OLIMPIADE'
Bahkan di dalam perjalanan kembali ke rumah, masih terngiang di ingatan Izuki ketika guru matematikanya menyodorkan formulir itu ke hadapannya.
'Bagaimana kau tertarik untuk ikut?'
Izuki hanya terbengong heran saat itu. Seolah sudah memperkirakan reaksi Izuki, gurunya kembali berkomentar, 'bapak tau kamu masuk tim basket dan kalian baru menang kemarin. Tapi apa setelah lulus kamu akan terus main basket?'
Pertanyaan itu cukup untuk menyentak Izuki.
'Dulu juga bapak seperti kamu, suka olahraga, tapi setelah dewasa, suka olahraga saja tidak cukup menghidupimu‒ya, kecuali kamu masuk tim nasional Jepang.' Terdiam sejenak, 'bukannya bapak meragukan kemampuan bermain basketmu, tapi kamu punya sesuatu yang lebih dalam hal lain.'
Lebih dari siapapun, Izukilah yang paling mengenal dirinya, namun gurunya terus bicara, 'nilai kamu yang lainnya memang biasa saja, tapi dari kelas satu, nilai matematika kamu selalu diperingkat 3 besar.'
'Kamu punya bakat alami dalam matematika.'
Selama bermain basket dari kelas 2 SD, tidak ada yang pernah memujinya punya bakat alami‒bahkan juga tidak ada yang penah memujinya punya bakat alami dalam permainan kata. Sejujurnya, ia merasa sangat tersanjung, pertama kalinya seseorang memuji bakat alami yang dimilikinya.
Berita ini pun menjadi perbincangan heboh dalam keluarganya yang tampak berlebihan mendorong Izuki untuk mencoba olimpiade ini. Interhigh yang jarak waktunya dengan olimpiade matematika masih jauh juga seolah memojokkan Izuki yang tidak punya alasan lain untuk tidak ikut.
"Ya…, bukan masalah juga sih…" gumamnya.
Pikirannya telah menyesuaikan diri untuk mudah mengatur strategi dan logika, entah sejak kapan. Jadi, bermain logika dan angka di kertas ujian juga sama saja seperti saat mengatur strategi di tengah lapangan pertandingan baginya.
Hanya saja…
'Tapi apa setelah lulus kamu akan terus main basket?'
Pertanyaan itu terus membekas di pikirannya. Apa ia tidak bisa menggunakan seluruh hidupnya untuk bermain basket?
Tidak pernah terlintas dalam benaknya sekalipun ia akan berhenti bermain basket. Selama ini, ia selalu menikmati saat-saatnya bersentuhan dengan bola oranye tersebut.
"Sudah 2 minggu aku tidak melihat Izuki-senpai."
"Benar," jawab singkat Kuroko pada Kagami.
Pernyataan Izuki 2 minggu lalu memang cukup mengejutkannya juga. Walau baru bersamanya selama setahun, Kuroko dapat membaca pribadi Izuki yang rajin dan bertekad kuat. Ia bukan orang yang cepat belajar atau punya keahlian khusus luar biasa dalam basket seperti Generation of Miracle dan Kagami, karena itu Izuki selalu sulit untuk dibujuk berhenti bila ia mulai belajar teknik baru‒sama seperti yang terjadi saat latihan bersama Kagetora-san saat itu.
Dibalik lelucon tidak berfaedahnya, ia selalu menggunakan kepala dinginnya sebelum mengambil tindakan. Jadi, bila Izuki memberi keputusan seperti itu saat ini,
'aku yakin, Izuki-senpai sudah memperhitungkan hal ini dengan serius.' Itulah yang ada di benak Kuroko.
"Oh, Kagami, Kuroko, pagi."
"Selamat pagi, Kiyoshi-senpai."
"Tumben kalian datang pagi sekali."
"Kami baru selesai latihan tadi."
"Ooh, Kalian rajin sekali ahaha…" perasaan Kiyoshi selalu bahagia seperti biasanya, "sepertinya kalian mulai ketularan Izuki."
"Ngomong-ngomong soal Izuki-senpai, apa Kiyoshi-senpai masih sering melihatnya akhir-akhir ini?"
"Hm, tentu saja, dia sekelas denganku," tawa Kiyoshi. "Semenjak ikut olimpiade, Izuki jadi lebih sering mengerjakan latihan soal. Sedang istirahat saja dia masih sempat mengerjakan soal."
"Wahh…, aku tidak tahu kalau Izuki-senpai seperti itu." Wajah Kagami berubah pucat membayangkannya. Bagi Kagami, itu hal yang membuatnya merinding.
"Aku juga baru tau Izuki bisa seperti itu." Balas Kiyoshi. "Ketika sedang mengerjakan soal-soal itu, ekspresi Izuki sama seperti ia sedang bermain basket. Dia terlihat sangat menikmatinya."
Berbanding terbalik dengan ekspresi Kagami yang merinding mendengarnya, Kuroko justru sedikit kaget mendengarnya.
Karena suatu alasan, mendengar hal itu membuatnya merasa terusik.
"Aku juga jadi jarang mendengar plesetannya," tambah Kiyoshi. "Aku jadi ingin mendengarkannya lagi sekarang ahaha."
Sekarang otak Kiyoshi yang sudah tidak sehat, pikir Kagami.
"Izuki,"
"Ya?"
"Sekarang sudah jam istirahat."
"Oh, iya." Izuki seolah tidak mengindahkan ajakan Kiyoshi. Kiyoshi sendiri hanya heran melihatnya tidak berhenti menorehkan angka-angka di buku latihannya.
Hyuga terlihat muak melihat Izuki dengan buku matematikanya. Jauh lebih muak dibanding melihat Izuki dengan buku leluconnya.
"Senpai."
"Oh, Kuroko, Kagami, kita bertemu lagi." Tegur Kiyoshi pada Kuroko dan Kagami yang berjalan menghampiri mereka di kelas.
"Euh, Izuki-senpai?!" Melihat Izuki asyik mengerjakan soal matematika dengan bola matanya sendiri membuat Kagami sakit perut.
"Izuki-senpai, bisa aku bertanya satu hal?"
Izuki menoleh pada Kuroko
'Apa? Kau mau belajar matematika juga sekarang?' pikir Kagami
"Izuki-senpai, menyukai matematika?"
"Hahhh?! Pertanyaan macam apa itu Kuroko?!" Kagami tidak bisa mencerna pertanyaan Kuroko.
"Hm, iya."
"Hahhh?!" Kagami lebih lagi tidak bisa mencerna jawaban Izuki.
"KUROKO, KAGAMI!" Satu teriakan Hyuga membuat seluruh pandangan menunjuk kepadanya. "Temani aku makan di kantin."
Hanya dengan kalimat itu Hyuga telah berlalu meninggalkan kelas. "A-apaan itu? Ada apa dengan captain?" Tanya Kagami penuh heran.
Kuroko menatap Izuki sejenak sebelum ikut meninggalkan kelas bersama Kagami. Ekspresi Izuki memancarkan kekagetan, namun tidak keheranan. Dengan begini, Kuroko tau bahwa Izuki juga mengerti apa yang membuat Hyuga dan Kuroko merasa terusik.
Hari ini pun, Izuki absen dari latihan. Tidak beranjak dari kelas, sisa waktunya ia habiskan dengan menyelesaikan buku soal matematika lainnya.
Untaian sinar senja melingkupi dirinya dan soal latihannya, mengingatkannya untuk menyempatkan diri menyelesaikan masalahnya dengan Hyuga seusai latihan hari ini.
"Yo, Hyuga," langkah Izuki mengarah pada lantai gym yang hanya terisi oleh dirinya dan Hyuga, "hari ini kau terlihat sangat 'me'rah."
'Kitakore!'
"Kalau kau kesini cuma mau bilang itu, mati saja sana!"
Senyuman kecil mengembang di mulut Izuki sembari menghembuskan nafas lega. Izuki segera mengubah posisi tubuhnya, mengisyaratkan Hyuga untuk melempar bola padanya. Sekejap itu juga, Izuki berlari mendahului Hyuga untuk mencetak angka. Tanpa berkata apapun, permainan one-on-one mereka berlangsung hingga keduanya kekurangan pasokan udara bagi paru-paru mereka.
"Hahh…, kau mau bilang apa?"
"Hahhh?! Kau sendiri yang menghampiriku. Aku yang seharusnya tanya itu bodoh!" Hyuga masih saja punya sisa tenaga untuk berteriak di sela nafasnya.
Izuki menunggu nafasnya kembali normal sebelum akhirnya membalas, "sejak kelas 2 SD, aku tidak pernah berpikir ada hal lain yang lebih membuatku bersemangat dibandingkan basket."
"Sampai sekarang pun, aku masih merasa seperti itu." Lanjutnya.
Hyuga hanya diam tanpa menoleh sedikit pun.
"Hyuga, kau suka sejarah?"
'Apa-apaan itu? Dia cuma mengulang pertanyaan Kuroko!' pikir Hyuga kesal.
"Bagiku, mengerjakan matematika tidak ada bedanya ketika aku memikirkan strategi di lapangan."
Nafas Izuki masih dapat terdengar, "ketika bertanding melawan Rakuzan, aku semakin menyadari satu hal." Hyuga menunggu apa yang akan dikatakannya.
"Aku ini, point guard dengan skill yang paling lemah."
Ada keheningan panjang menyelubungi mereka.
Hyuga tidak mau membalas kalimatnya sedikitpun.
"Di 15 detik terakhir itu, yang bisa aku gunakan hanya kepalaku untuk tau kalau mereka akan berusaha mencetak angka lagi."
Pertandingan itu masih tergambar dengan jelas di mata Hyuga. Tiba-tiba saja Izuki berhasil menghentikan passing Mubichi Reo kepada Nebuya Eikichi dan meneriaki mereka semua untuk kembali berlari mencetak angka. Bila saja keadaannya tidak membalik saat itu, mereka pasti akan pulang dan menjadi bahan olokkan satu sekolah karena 'janji' yang mereka ikrarkan di atap saat tahun ajaran pertama.
Izuki, benar-benar sudah menyelamatkan nyawa mereka. Karena itu…
"Setelah mulai mengikuti olimpiade ini, aku jadi semakin sadar. Satu-satunya yang bisa aku andalkan hanya otakku. Eagle eye ku ini pun ternyata tidak sebanding dengan Takao."
Hyuga berusaha untuk tidak bicara, 'justru karena itu,'
"Skill ku yang sekarang ini, tidak akan mampu membuat kita menang di interhigh. Karena itu…"
Hyuga sudah tidak tahan lagi,
"Aku, akan berhenti‒"
‒!
Hilang sudah kesabaran Hyuga untuk tidak memukul Izuki.
Izuki dapat mendengar jelas udara yang Hyuga hembuskan dengan tidak beraturan, namun, disela suara nafasnya ia masih dapat mendengar Hyuga berucap,
"Daripada," nafasnya tersengal, "daripada kau berhenti main basket, …LEBIH BAIK MATI SAJA SANA!"
Tak ada yang bicara.
Kini hanya suara nafas saling beradu cepat yang mengisi ruangan. Keduanya hanya terdiam tanpa saling berkontak mata, tanpa ada pergerakan berarti.
"Tentu saja." Izuki membuka mulutnya.
"Tidak akan ada gunanya lagi kalau aku berhenti main basket," Hyuga hanya diam menunggu Izuki untuk kembali bicara setelah menegakkan kembali tubuhnya yang terjatuh.
"Untuk memenangkan interhigh, skill ku saja tidak akan berarti untuk tim."
"Selama ini, yang aku lakukan hanya melatih fisik dan skill ku. Nyatanya, hal itu tidak banyak berpengaruh dalam pertandingan‒eagle spear ku bahkan tidak berguna saat melawan Kotaro. Kenyatannya, strategikulah yang membantu untuk menghentikkan lightning dribble Hayama." Lanjutnya.
Kini mereka saling berkontak mata, "karena itu, aku akan berhenti mengandalkan skill ku."
Hyuga hanya terbelalak tanpa tau harus berucap apa lagi, yang ia lakukan hanya mendengarkan. "Mulai sekarang aku akan lebih banyak membagi latihanku untuk strategi kita, dengan begitu kita mungkin bisa memiliki peluang lebih besar untuk memenangkan interhigh."
Hyuga benar-benar kehabisan kata-kata sekarang. Ia benar-benar sudah buta, merasa terusik dengan Izuki yang memilih olimpiade matematika sampai berasumsi ia benar-benar akan meninggalkan basket. Bagaimanapun, mana mungkin ia rela kehilangan tiket untuk memenangkan interhigh hanya karena point guard yang mengundurkan diri.
Namun lebih dalam dari itu, ia telah berucap pada dirinya sendiri, ia tidak ingin ada satupun anggota timnya mengambil langkah yang sama seperti yang ia lakukan tahun lalu.
"Hyuga,"
Sejenak tenggelam dalam lamunan, kini ia kembali fokus dengan Izuki.
"Apa setelah lulus kau akan terus main basket?"
"Hah?"
Izuki kini mengalihkan pandangannya dari Hyuga, pandangannya menatap jauh seolah dapat menembus dinding yang mengelilingi mereka. "pertanyaan itu, terus aku pikirkan akhir-akhir ini. Skill sebatas ini tidak akan sampai membuatku terpilih masuk tim besar seperti tim nasional. Walau bisa masuk ke tim lain, tapi aku tidak bisa membuatnya menjadi pekerjaan utamaku nantinya‒terutama aku ini satu-satunya anak laki-laki di keluarga."
Hyuga tau, Izuki selalu memikirkan segala hal lebih jauh dari siapapun yang ia kenal, tapi ia belum pernah berpikir ia juga harus memikirkan hal yang sama seperti itu. Cepat atau lambat, ia juga harus memutuskan kehidupannya kedepan.
"Jadi aku sudah memutuskannya."
Senyum tampak mengembang dari wajahnya yang sedikit kemerahan karena dipukul. "Aku, akan menjadi pelatih basket."
"Hah?!"
Hyuga tau Izuki memang berpikiran jauh, tapi apa pikirannya ini tidak terlampau jauh? Mana ada pelatih untuk tim besar yang usianya belum kepala tiga. Namun Izuki hanya membalasnya dengan tertawa kecil.
"Tentu saja aku tidak bisa langsung jadi pelatih begitu lulus‒aku juga masih harus banyak belajar dari Riko dan Kagetora-san. Tapi dengan begini, aku akan punya alasan untuk terus bermain basket."
Izuki tampak menarik dan menghembuskan nafasnya cukup dalam, seolah telah bersiap menantang pertandingan yang ada di depan matanya. "Aku akan terus bermain basket dan menambah pengalamanku, sampai aku diakui untuk menjadi seorang pelatih tim basket nasional."
Hyuga Junpei hanya dapat menghela nafas sambil ikut tertawa pelan, ia tidak menyangka telah meragukan kemampuan berpikir Izuki 2 minggu terakhir ini. Melihat Izuki yang sekarang, ia hampir melupakan kenyataan bahwa Izukilah pemain dengan pengalaman basket terlama dalam satu klub basket ini. Ia tidak mungkin menyerah dengan basket semudah itu.
Justru sekarang, Hyugalah yang pikirannya terbuka. Ia tidak menyangka bahwa kelas 3 sudah sampai di depan mata mereka. Tidak perlu menunggu lama lagi, kehidupan pekerjaanlah yang harus mereka hadapi.
"Ngomong-ngomong Hyuga,"
"Hm, apa?"
"Akhir-akhir ini kau memang jadi tempramental. Keringat dan air liurmu jadi terciprat ke wajahku semua saat kau memukulku."
"Ekh!‒Berisik! Tutup mulutmu!"
"Agh! ketiak keringat kering. Kitakore!"
"Tutup mulutmu Izuki! Selain itu, plesetanmu yang itu sangat menjijikan!"
"Eh? Izuki? Kenapa kau kesini‒! tunggu dulu, wajahmu kenapa?!"
"Ah ini, Hyuga memukulku kemarin."
Izuki tampak lebih riang hari ini, sebelum melanjutkan latihan olimpiadenya ia ingin menyempatkan diri melepas rindu bermain basketnya‒ia bahkan tak menghiraukan ekspresi heran yang semua orang tunjukkan pada wajahnya, atau Hyuga yang sekarang jadi bahan omelan coach.
"Kalian ini bodoh ya?! Kalau kalian sampai ketauan berkelahi Izuki bisa dikeluarkan dari olimpiade!" Riko benar-benar tidak habis pikir. "Selain itu, kalian ini memangnya sampai berkelahi karena apa sih?"
"Bukan apa-apa kok," jawabnya santai. Dibalik ekspresei heran yang semua orang pasang, Izuki mengalihkan pandangnnya pada Kuroko, "tenang saja Kuroko. Aku juga masih menyukai basket."
Kuroko refleks tersenyum mendengarnya. "Iya, Izuki-senpai."
"Semuanya jangan berhenti! Lanjutkan latihan! Kau juga Izuki, cepat ganti baju dan ikut latihan!"
Izuki hanya tak bisa menahan senyum yang mengembang di wajahnya. Bagaimana mungkin ia bisa berhenti menyukai basket, terutama dengan anggota tim seperti mereka?
"? Kalian ini benar-benar aneh." Heran Riko.
EPILOGUE
Gym Seirin masih tampak riuh seperti biasanya, namun kali ini bukan karena diawali latihan basket. Ada hal lain yang membuat mereka terpana.
"Woah! Izuki senpai memang benar-benar hebat!"
"Izuki senpai memang jenius!"
"Selamat ya Izuki!"
"Selamat, Izuki senpai!"
Izuki sedang memamerkan piala juara satu olimpiade matematikanya. Kepalanya benar-benar berubah menjadi terangkat tinggi sekarang.
"Oi Izuki, kalau kau terus-terusan pamer akan ku keluarkan kau dari tim inti!"
"Hyuga, jangan iri seperti itu pada Izuki."
"Tutup mulutmu Koga!"
