Sasuke frustasi.
Akhir-akhir ini istrinya—Uchiha Sakura—berubah.
Menurutnya.
Hal ini terjadi semenjak ia baru pulang dari misi kemarin.
Mungkinkah Sakura marah padanya karena sering keluar desa untuk menjalankan misi daripada menghabiskan waktu di rumah dengan ia dan putri mereka tercinta?
.
SARIAWAN
Naruto © Masashi Kishimoto
Story by Imee-chan Uchiha
.
Chapter 1
.
"Tadaima."
Sasuke mengucapkan salam ketika sudah sampai di depan pintu rumahnya. Ia meletakkan sandal ninjanya di rak sepatu di dekat pintu.
Pria tampan yang kini sudah menjadi seorang ayah itu mengernyitkan dahinya. Pasalnya, biasanya ketika ia baru saja pulang dari misi istrinya itu selalu menyambutnya dengan ucapan selamat datang dan tak lupa senyuman di wajah cantiknya yang membuat rasa lelah yang dirasakannya langsung menguap begitu saja.
Namun yang ia dapati adalah suasana hening. Padahal ia yakin istrinya sedang ada di rumah karena pintu depan tidak terkunci. Apa mungkin suaranya sangat pelan sehingga wanita itu tidak mendengarnya? Ah, tidak. Biasanya Sakura selalu menyadari kedatangannya. Lalu kemana Sarada? Biasanya juga putri kecilnya itu akan datang menyambutnya setelah Sakura dan langsung minta ia gendong. Apa mereka sudah tidur?
Sasuke melirik jam yang tergantung di sebelah bingkai foto keluarga kecil mereka. Pukul tujuh malam. Tidak. Mereka tidak biasanya tidur secepat ini.
"Sakura."
Sasuke melangkahkan kakinya menuju dapur. Biasanya istrinya itu sedang memasak untuk makan malam mereka.
Namun ia kembali mengernyitkan dahinya. Sakura tak ada di dapur. Namun di atas meja makan sudah tersedia berbagai macam hidangan yang menggugah selera. Di atas meja berukuran besar dan berkaki pendek itu sudah terdapat nasi, chicken teriyaki, ebi tempura, sup tomat dan ocha yang masih panas—terlihat dari uapnya yang masih mengepul.
Siapapun yang melihatnya, pasti akan langsung tergoda untuk menyantapnya. Apalagi keadaan Sasuke yang baru saja pulang dari misi berhari-hari dan tentu saja dalam keadaan lapar. Mengingat ia tidak cukup makan dengan baik disana. Ia lebih suka memakan masakan istrinya. Namun tidak untuk saat ini. Ia lebih khawatir dengan keberadaan istri dan anaknya sekarang. Tidak biasanya Sakura begini.
Mungkinkah Sakura berada di kamar mereka? Jika memang begitu, pantas saja wanita itu tidak mendengar salamnya. Apa istrinya itu sedang sakit sehingga sudah tidur secepat ini?
"Sakura," panggilnya lagi.
Ia melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju kamar mereka yang terletak di lantai dua.
Sasuke membuka pintu kamarnya dengan pelan. Takut membuat istrinya terbangun jika memang ia sedang tidur. Mungkin ia kelelahan setelah seharian bekerja di rumah sakit. Akhir-akhir ini memang banyak sekali korban yang berjatuhan dan pastinya memerlukan banyak bantuan tenaga medis.
Dan ia menghela nafas lega.
Rasa cemas yang tadi melingkupi hatinya menguap sudah tatkala melihat istrinya memang sedang berada di kamar mereka. Namun ia tidak sedang tidur seperti yang ia perkirakan melainkan sedang berdiri di pagar balkon kamar mereka. Kepala merah mudanya terlihat mendongak menatap langit.
Sasuke tidak dapat melihat ekspresi Sakura dikarenakan posisi wanita itu yang membelakanginya. Ia berjalan perlahan menuju wanitanya—sedikit mengendap-endap. Sakura masih tetap diam di posisinya semula. Sama sekali tidak menyadari seringai pria tampan di belakangnya.
Wanita itu melonjak kaget ketika mendapati dua buah lengan kokoh melingkari pinggangnya dari belakang. Sakura tersenyum simpul. Tidak perlu menengok pun ia sudah tau tangan siapa yang sedang memeluknya dengan sangat erat ini. Siapa lagi kalau bukan suaminya tercinta?
"Aku kira kau kemana…" lirih Sasuke. Ia semakin mengeratkan pelukannya sambil kepalanya bersandar pada pundak wanita itu.
Sakura tak menjawab. Lebih tepatnya sedang tidak bisa menjawab.
"Dimana Sarada?" tanya pria itu. Ia menenggelamkan wajahnya di lekukan leher istrinya. Menghirup aroma istrinya yang manis dan menenangkan.
"Ia sedang menginhap dhi rhumah kaah-san dan thou-san."
Sasuke mengangkat kepalanya dari leher Sakura. Sepertinya ia memang tidak salah dengar. Cara bicara istrinya sedikit—ah, tidak—sangat aneh. Seperti cadel. Ia membalikkan tubuh Sakura menghadapnya. "Kau kenapa, Sakura?"
Sakura menggeleng.
"Kau sakit?" tanya pria itu lagi.
Sakura kembali menggeleng.
Sasuke merasa tak puas dengan tingkah istrinya. Namun beberapa saat kemudian ia menghela nafas dan kembali memeluk wanitanya. "Aku rindu padamu," ujarnya.
Sakura tersenyum. Ia membalas pelukan Sasuke tak kalah erat.
Selama beberapa menit mereka terus berpelukan sampai akhirnya Sasuke melepaskan pelukannya. Ia memandangi wajah istrinya sebentar lalu mengusap pelan pipi istrinya, kemudian beralih ke tengkuk.
Sakura memejamkan mata saat suaminya menarik kepalanya mendekat dan menempelkan kening lebarnya dengan kening pria itu. Sasuke menyentuhkan hidung mancungnya dengan hidung Sakura lalu mengecup bibir merah istrinya secara perlahan.
Awalnya hanya kecupan biasa, namun lama-kelamaan kecupan itu berubah menjadi lumatan lembut. Sasuke melumat bibir istrinya dengan penuh perasaan sambil sedikit menggigit-gigit kecil. Namun ketika ia berusaha memasukkan lidahnya ke dalam mulut Sakura, wanita itu malah meringis kecil dan langsung mendorong Sasuke.
Sasuke mundur beberapa langkah. Sakura mendorongnya dengan chakra. Jika ia adalah manusia biasa, dapat dipastikan ia akan terjatuh ke bawah balkon. Atau minimal terbentur pagar balkon.
Pria itu menatap Sakura dengan kesal. Baru saja ia ingin bermesraan dengan istrinya, ia malah didorong cukup keras. Ditolak rasanya sesakit ini ya?
Huh! Sasuke, coba bayangkan bagaimana perasaan Sakura saat kau tolak dan kau tinggalkan dulu?
"Kenapa kau ini?" Sasuke sedikit meringis memegangi perutnya. Hantaman Sakura sepertinya memang cukup kuat sehingga perutnya seperti ditimpa sebuah batu besar. Tapi bukan Uchiha namanya kalau ia lemah.
Sakura menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menutup mulutnya dengan tangan kanan. Rautnya seperti menahan kesakitan. Matanya memerah dan terdapat sedikit air mata yang keluar dari emerald indahnya. Kepalanya sama sekali tidak berhenti menggeleng.
Melihat raut istrinya yang seperti menahan kesakitan membuat Sasuke luluh juga. Ia menghampiri Sakura dan langsung membawa wanita itu ke dalam pelukannya. "Ada apa? Hn?" bisiknya pelan di telinga wanitanya.
Sakura kembali menggeleng. Tangannya masih setia menutupi mulutnya dan sama sekali tidak mau membukanya.
Sasuke melepaskan pegangannya dan memegang lengan wanita itu. "Ada apa denganmu, Sakura?"
Sakura lagi-lagi tak menjawab. Namun ia sudah tidak menutupi mulutnya dengan tangan. Matanya juga sudah tidak lagi merah dan berair. Wanita itu melepaskan pegangan Sasuke dan melangkah masuk ke dalam kamar mereka.
Sasuke terus mengamati tingkah istrinya saat wanita itu mengambil secarik kertas dari dalam laci kemudian menuliskan sesuatu di kertas itu lalu memberikannya pada Sasuke.
Aku sedang tidak sehat, Sasuke-kun. Aku ingin tidur.
Ps : Makanlah. Aku sudah memasak makanan kesukaanmu. Oyasumi.
Begitulah isi yang tertera di kertas tersebut saat pria itu membacanya.
Sakura berjinjit sedikit—karena tingginya sedikit lebih pendek daripada Sasuke—lalu mengecup pipi suaminya. Kemudian wanita itu segera beranjak ke arah ranjang mereka lalu langsung merebahkan diri disana, membelakangi Sasuke.
Sasuke menatap punggung Sakura cukup lama. Istrinya sedikit aneh hari ini dan terkesan mengabaikannya. Namun akhirnya ia menghela nafas. Mungkin memang Sakura sedang tidak sehat saat ini.
Padahal terus terang saja ia rindu pada istrinya itu dan ingin sekali menghabiskan waktu berdua di atas ranjang malam ini. Apalagi putri mereka sedang tidak berada di rumah karena menginap di rumah mertuanya. Jadi setidaknya ia bebas melakukan apapun dengan istrinya tanpa takut dilihat oleh Sarada.
Sasuke menggelengkan kepalanya berusaha menepis pikiran-pikiran mesum dari otak jeniusnya. Ia bahkan terkesan tidak menyukai kehadiran anaknya. Padahal tentu saja tidak begitu. Oh, ayolah. Sarada masih terlalu kecil untuk mengetahui kegilaan orangtuanya terutama ayahnya saat sedang berdua dengan istrinya. Dan tentu saja ia menyayangi Sarada melebihi apapun. Sarada adalah malaikat kecilnya. Satu-satunya keluarga yang ia punya saat ini—tentu saja pengecualian untuk Sakura. Dan ia tak mau lagi merasakan rasa kehilangan hal yang berharga lagi dalam hidupnya. Keluarga.
Sasuke beranjak menuju tempat Sakura berbaring. Sepertinya istrinya itu sudah terlelap, terlihat dari pernafasannya yang teratur. Ia bahkan sampai lupa menyelimuti tubuhnya. Padahal pintu kaca penghubung antara balkon dan kamarnya masih terbuka lebar. Angin malam bisa masuk kapan saja, Sakura bisa bertambah sakit jika begini. Sasuke menarik selimut menutupi tubuh istrinya sampai lehernya, mengusap kening wanita itu lalu mengecup kening lebarnya cukup lama.
Pria itu melangkah dan menutup pintu kaca agar angin malam tidak dapat masuk, kemudian mengambil handuk di gantungan lemari pakaian dan berjalan ke kamar mandi. Badannya terasa lengket sehabis menjalankan misi dan dalam perjalanan pulang ia tidak beristirahat atau mampir ke tempat pemandian air panas karena ingin cepat sampai di rumah dan bertemu dengan istri dan putrinya.
_oOo_
Greek!
"Tadaima."
Sasuke baru saja menuangkan sup tomat kedalam mangkuk kecil ketika mendengar suara gadis kecilnya dari pintu depan rumah mereka. Sepertinya ia baru saja pulang dari rumah neneknya. Pria itu tersenyum. Ia sudah meninggalkan putrinya itu selama hampir sebulan penuh. Apakah Sarada merindukannya?
"Mama."
Sarada mencium aroma masakan dari arah dapur. Pasti ibunya sedang memasak makan malam. Kaki kecilnya segera berlari mendekati dapur yang terletak di samping ruang tengah. Padahal di rumah neneknya tadi ia sudah makan malam, namun mencium aroma masakan ibunya membuat ia merasakan rasa lapar lagi.
Namun langkahnya terhenti di depan pintu dapur. Senyumnya seketika menghilang. Bukan ibunya yang sedang tersenyum sambil memegang spatula yang ia lihat saat ini. Melainkan wajah tampan seorang pria yang sudah tak ia lihat selama hampir sebulan lamanya. Pria itu tersenyum sambil menatapnya lembut.
"Kenapa diam disitu?" tanya Sasuke. "Kau tidak rindu pada papa? Hn?"
Menyadari putrinya tetap diam di tempat dan sama sekali tidak berkedip melihatnya, Sasuke meletakkan sumpit yang dipegangnya lalu beranjak mendekati Sarada. Ia setengah berlutut di depan gadis itu, menyamakan tingginya dengan tinggi putrinya. Onyx hitam sewarna batu obsidian yang sangat persis dengan miliknya itu berkedip sekali lalu mulai berkaca-kaca. "Papa…" lirihnya. Gadis kecil itu lalu menangis.
Sasuke sedikit terdorong kebelakang ketika Sarada memeluknya sambil sesenggukan hebat. Bahunya bergetar. Tangan mungilnya melingkari leher Sasuke dengan sangat erat. Seperti tidak ingin melepaskannya lagi.
"Hiks… aku rindu… hiks… papa…" katanya sambil masih sesenggukan.
Sasuke membelai rambut hitam anaknya. Ia bangkit berdiri sambil mengangkat tubuh Sarada. Pria itu tersenyum tipis.
"Papa juga rindu padamu, sayang. Kau sudah makan?" tanya Sasuke, ia mengecup kening anaknya.
Sarada mengangguk. Sedetik kemudian menggeleng. Tangisannya langsung berhenti mendengar pertanyaan Sasuke. Tadi ia mengira bahwa ia sedang bermimpi melihat ayahnya ada di rumah, ternyata tidak.
Sasuke terkekeh pelan. Ia tidak mengerti apa maksud putrinya itu—mengangguk lalu menggeleng. "Baiklah. Ayo, kita makan. Papa kira kau tidak bertambah berat saat terakhir kali papa gendong."
Sarada kembali mengangguk. Sungguh ia sangat senang saat ini, orang yang sangat ia rindukan akhirnya pulang.
Sasuke mendudukkan gadis kecilnya di pangkuannya. "Apa saja yang kau lakukan di rumah nenek?"
"Nenek sedang mencoba resep masakan baru dan aku disuruh mencicipinya," ucapnya polos dengan wajah yang sangat lucu.
Sasuke menyumpit nasi dan menyodorkannya kedalam mulut Sarada. "Hn." Ia bergumam rendah. "Mama bilang bahwa kau akan menginap."
Sarada mengunyah makanannya perlahan lalu mengambil ocha hangat dan meminumnya. "Tidak jadi. Mama pulang cepat hari ini."
Sasuke menjadi semakin bersalah pada putrinya ini. Kalau ia sedang pergi misi dan Sakura harus kerja lembur di rumah sakit, maka Sarada selalu dititipkan di rumah neneknya—putrinya pasti kesepian. Mungkin ia harus memberikan adik untuk Sarada. Sasuke menyeringai senang ketika memikirkan hal yang terakhir. Wah, sepertinya kau sudah tak ada bedanya dengan Kakashi dan Naruto, Sasuke.
"Kapan papa pulang?" tanya Sarada tiba-tiba, membuyarkan lamunan ayahnya yang sudah melayang terlalu jauh.
Sasuke berdehem pelan. "Belum lama," ujarnya, berusaha agar terkesan biasa.
Sarada menolehkan kepalanya ke sekeliling dapur sampai pintu dapur—mengintip ke arah ruang tengah. "Dimana mama?" tanyanya bingung. Ia baru teringat bahwa ia sama sekali belum melihat ibunya sejak tadi. Ia terlalu terkejut dan senang melihat kedatangan ayahnya.
"Mama sudah tidur, ia sedang tidak sehat hari ini."
Sarada mengambil sesendok sup tomat lalu menyuapi ayahnya, membuat Sasuke kembali terkekeh.
Acara suap-suapan itu akhirnya berlangsung dan selesai tak lama kemudian. Sasuke mendudukkan Sarada di sebelahnya, lalu mengangkat piring kotor ke tempat cucian. Ia menoleh dan melihat putri kecilnya itu masih sibuk dengan sup tomatnya.
Pria itu menyandarkan tubuhnya pada tempat pencucian piring dan memperhatikan tingkah anaknya. Selama ini ia tidak terlalu memerhatikan Sarada secara langsung. Dan ia baru menyadarinya sekarang, sepertinya gennya memang lebih dominan pada Sarada—seperti yang sering dikatakan orang bahwa putrinya ini memang sangat mirip sekali dengannya.
Lihat saja. Bola mata hitam miliknya. Rambut hitam miliknya. Otak jenius miliknya—mungkin sekaligus turunan ibunya yang juga pintar. Irit bicara sama sepertinya. Terkadang suka menampilkan wajah yang jutek dan angkuh sama sepertinya. Ia bahkan terkesan tidak menyukai kelakuan Boruto—anak Naruto—sama sepertinya yang tidak suka dengan kelakuan Naruto dulu. Sampai pada kesukaannya pada tomat. Yang membuatnya mirip dengan Sakura adalah dahinya yang sedikit lebar dan bentuk mata. Dan ia juga tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik seperti ibunya.
Ia juga suka sekali memakai kacamata. Ketika di tanya, Sarada selalu menjawab bahwa ia tidak suka dengan tatapan para lelaki di dekatnya. Sehingga ia lebih suka menutupi wajah cantiknya dengan kacamata. Merepotkan, menurutnya. Ia tidak suka menjadi bahan pembicaraan atau pusat perhatian. Benar-benar tak ada bedanya dengan Sasuke. Dan baik Sasuke maupun Sakura tak ada yang bisa berkomentar apapun mengenai hal ini.
"Ada apa papa? Kenapa memandangiku terus?"
Sasuke sedikit tersentak kaget. Sepertinya ia baru saja melamun. Bahkan Sarada sudah menyelesaikan sup tomatnya. Kaki kecilnya berjalan ke arah Sasuke dan menaruh piring yang kotor di tempat pencucian.
"Aku mengantuk," ujarnya sambil menguap. Sepertinya ia kelelahan. Semenjak ia pulang dari akademi tadi siang, ia langsung ke rumah sakit untuk meminta izin pada ibunya karena neneknya meminta ia datang berkunjung. Dan ia baru pulang ke rumah pukul sembilan malam tadi. Awalnya neneknya menyuruhnya untuk menginap saja—apalagi sudah larut malam, namun di urungkannya karena mengetahui bahwa ibunya pulang cepat hari ini.
Sasuke terkekeh melihat raut lucu putrinya yang sedang mengantuk. Matanya terlihat sayu dan tangan mungilnya mengucek-ngucek pelan matanya. Pria itu lalu mengangkat tubuh Sarada dan membawanya ke kamarnya.
_oOo_
Sasuke meraba-raba sisi tempat tidur di sampingnya. Ia mengernyitkan dahinya ketika tidak dapat merasakan tubuh istrinya disana. Pria itu membuka matanya dan mendapati suasana kamarnya sudah cukup terang, sudah pagi sepertinya. Ia menggeliat sebentar lalu bangun dan melangkah ke kamar mandi.
Tak butuh waktu lama bagi Sasuke untuk membersihkan tubuhnya dan setelah merasakan badannya segar, pria itu melangkah keluar kamar dan menuruni tangga menuju dapur. Aroma masakan langsung tercium menggoda. Namun ia tidak mendapati Sakura di dapur melainkan putrinya yang sedang memakan natto.
"Ohayou, papa," sapanya sambil tersenyum ketika melihat kedatangan ayahnya di pintu dapur.
"Dimana mama?" Sasuke duduk di sebelah putrinya.
"Sudah berangkat pagi-pagi sekali." Sarada meminum ocha hangatnya. "Mama ada operasi mendadak hari ini."
Sasuke bergumam pelan. Ia kembali merasakan ada yang tak beres dengan istrinya itu sejak kemarin. Pria itu mendengus kesal. Ia sudah meninggalkan keluarganya selama sebulan dan sekarang giliran Sakura yang menelantarkannya. Apa istrinya marah padanya karena ia sering pergi misi? Sakura bahkan terang-terangan menolak ciumannya kemarin.
"Papa, aku berangkat." Sarada mengambil kotak bento yang sudah disiapkan ibunya, memasukkannya ke dalam tas ransel dan memakainya. Ia menunduk sedikit lalu mencium pipi ayahnya dan segera berlari keluar.
Ini yang paling tidak Sasuke sukai sejak dulu. Sendiri. Walau ia sudah terbiasa sendiri sejak ia masih kecil, namun tetap saja rasanya menyakitkan. Apalagi saat ini ia sudah sangat terbiasa dengan kehadiran anak dan istrinya.
.
To be continued…
.
Author's note :
Saya bingung mulai dari mana. Tadinya ide cerita ini mau saya buat untuk sekuel Come Back nanti. Tapi itu masih lama banget sedangkan Come Back-nya aja belum selesai dan baru tiga chapter. Jadi nggak apa-apa ya saya bikin sekuelnya dulu. Wakakakak… :D Lagian tangan saya gatel pengen cepet-cepet munculin Sarada.
Dan karena saya lagi sariawan, saya berencana buat fic tentang Sakura yang lagi sariawan dan jadilah fic aneh bin nggak jelas ini. (Gila! Rasanya sakit banget men sariawan di ujung lidah. Ngomong aja susahnya minta ampun—kebentur sama gigi. *curcol) Terus tadinya cerita ini mau saya buat oneshoot aja, eh ternyata eh ternyata ceritanya malah meluber kemana-mana.
Oke, deh. Kayaknya saya kepanjangan ini. Gimana dengan cerita yang ini? Masih mau di lanjutin? Feelnya kurang? Alurnya? Dan kekurangan lainnya? Kelebihan juga boleh. :D
.
Kritik dan saran. Review, please?
Jakarta, 10 Desember 2014
