title Stuck
pairing rinlen
disclaimer i don't own vocaloid
rated T
warning bahasa gaul, alur kecepetan, berpotensi meracuni pikiran, yang masih innocent harap pencet tanda X dipojok kanan, dan some profanities aka bahasa kasar plus typo yang bermekaran dimana-mana.
summary Macet itu mirip cinta satu pihak. Gak bisa kemana-mana. Move back gak bisa, move on apalagi. Stuck in love dan pada saat itu.. BAM! "WOY LU BISA NYETIR GAK SIH?" —; kita butuh kesibukan.
.
.
Prolog
Pandangan Rin Kagami mengarah lurus kedepan.
Dia keki berat.
Satu tangan di setir mobil. Satu lagi di konsol mobil. Mulut sibuk komat-kamit antara merapal mantra dan doa supaya lebih manjur sementara matanya sibuk melirik jam mobil.
Macet lagi.
Padahal baru jam 7.. pagi. Semuanya kesambet apa sampe pada bangun pagi jam segini padahal biasanya, Rin baru bangun kalau dibangunin. Itu pun paling cuma melek bentar abis itu tidur lagi. Tapi itu mah weekend doang. Kalo weekday, begitu dibangunin, Rin langsung bangun dan mandi sekenanya.
Yang penting mandi. Itu adalah salah satu prinsip yang dipegang Rin.
Tetapi pagi ini beda. Rin bangun sendiri, mandi sendiri, dan berangkat dari rumah memakai baju yang udah disetrika rapi sendiri padahal dia lagi nggak mood. Baru diputusin pacar, kata adeknya—Lola, jadi semuanya dilakuin sendiri, bukan berdua lagi. Sang kakak sulung—Rinto, sampai nangis bahagia karena Rin berubah jadi makhluk mandiri. Dalam hati, Rinto berharap adik keduanya jadi jomblo ngenes selamanya.
Okay, balik lagi ke penderitaan Rin ditengah-tengah kerumunan mobil.
Mobilnya belum jalan juga. Tetap stay on the spot selama sepuluh menit lebih berturut-turut tanpa jeda. Rin bisa gila—belum lagi ancaman ia bakal telat sampai untuk interview kerja. Seperti kata pepatah, First impression is everything dan jika ia telat, bisa-bisa lamaran kerjanya ditolak.
Rin mencuri pandang ke arah ponselnya yang tergeletak di jok penumpang. Mau tidak mau, ia merasa tergoda untuk memainkannya, meski sebentar. Setidaknya bisa digunakan untuk membunuh waktu dan menghapus foto-foto mantan pacarnya dan dirinya di sosial media.
Dengar-dengar, mantan pacarnya sudah mendapat pacar baru. Padahal mereka baru putus kemaren di pagar depan rumah Rin, deket got. Katanya mereka udah gak cocok lagi. Ia butuh ruang. Alasan-alasan tidak masuk akal yang pastinya memiliki artian aku udah ketemu cewe baru and she is sexier than you. Rin mengerti, ia langsung menangkap maksud dari sang (mantan) pacar dan menyetujui.
Malamnya, ia curhat didalam pelukan Rinto-nii.
Mengabaikan larangan memainkan hape dari ibunya dan Rinto-nii, tangannya terulur untuk menggapai ponselnya dan ia mengetik password untuk mengakses hapenya. Wallpaper foto Rin dan si pacar berambut biru terpampang di layar seketika. Bego. Kaito bodoh. Seharusnya ia tidak pernah pacaran jika tahu sakitnya tuh bukan di sini tetapi di suatu tempat yang dekat tetapi tidak bisa dijangkau.
Jujur saja, ia masih, well, sayang sama dia. Si biru itu tapi ah.. lupakan. Cinta itu memang rumit. Seiring berjalannya waktu, ia akan move on.. mungkin.
Tetapi bagaimana ia bisa move on jika kenangan-kenangan akan waktu-waktu bittersweet yang mereka bagi bersama itu mengimpitnya dari sana-sini?
Macet itu emang kayak cinta satu pihak. Mobil warna-warni seperti kenangan mereka yang penuh warna berada di sekelilingnya terlalu dekat. Rin enggak bisa move on. Caught in the spur of moment.
Cliche banget, pikir Rin. Tapi patah-hati selalu bikin orang jadi rada-rada cliche.
Ia mematikan hapenya dan membawanya ke jok penumpang ketika hapenya yang unyu-unyu dengan gantungan buah jeruk terbang melesat didepan matanya.
Tubuh Rin terdorong kedepan.
Ia kehilangan kendali terhadap setirnya. Mata birunya melebar sementara pupil matanya mengecil. Dalam kepanikannya, ia menginjak rem. Apa saja yang penting dia selamat dan bunyi mobil direm tidak pernah terdengar sekeras itu sebelumnya.
Ia tidak pernah merasa sedekat itu dengan kematian.
Maafin Rin, Rinto-nii, mama. Rin janji gak bakal main hp pas lagi nyetir.
Rin memejamkan matanya didetik terakhir tanpa dikomando. Tubuhnya terbanting kembali ke belakang dan mobilnya berhenti. Semua guncangan itu berhenti.
Yang terdengar hanya detak jantung Rin yang tidak stabil dan napasnya yang memburu.
Perlahan ia membuka matanya. Syukurlah. Demi tuhan. Ia masih hidup. Tangan-tangannya bergerak bebas, meraba-raba bagian tubuhnya dan syukurlah, ia tidak menemukan luka serius. Hanya luka kecil di pipi. Tidak masalah, lagipula tidak sakit. Terima kasih Sabuk Pengaman, jasamu tidak akan pernah dilupakan.
Barulah ia mengecek keadaan sekeliling. Semuanya baik-baik saj—tunggu sebentar, hape unyu-unyu kesayangannya rusak. Screennya retak di bagian tengah—kayak hatinya, retak cuma lebih parah. Hatinya serasa remuk, karena diputusin pacarnya maupun fakta bahwa hape unyu-unyunya rusak. Gantungan orange kesayangannya bahkan sudah tidak terlihat.
Dan Rin perlahan-lahan mulai menyadari apa yang telah terjadi. Sebuah mobil telah menabraknya dari belakang. Apa orang itu gak bisa lihat mobil gede gini? Ha? GAK BISA LIAT?! LU BUTA? Untung dia nggak kenapa-napa, masih banyak dosa yang belum ditebus soalnya.
Rin bersumpah ia tidak akan pernah memaafkan orang bego yang telah menabraknya.
Ia melirik kaca spion.
Mobil sialan.
Kaki mulus milik Rin yang memakai high heels keluar dari mobil diikuti kaki lainnya dan akhirnya Rin sudah berada di luar—di tengah jalan tol memakai baju formal yang kelihatan casual karena penampilannya yang terlalu berantakan.
Matanya bergerak mengamati sekeliling dan terhenti pada mobil porsche—Rin gak peduli, mau yang nabrak porsche kek, mercedes kek, pokoknya dia nggak terima mobilnya diperlakukan semena-mena—yang penyok di bagian depan. Tanpa banyak omong, Rin dengan deathglare yang sanggup membuat kucing garong lari terbirit-birit, berjalan menuju mobil porsche goblok yang gak bisa nyetir itu.
Nah lo, gak bisa larikan, pikir Rin. Yah jelas, macetnya parah begini.
Rin mengetuk kaca mobil dengan keras dan perlahan, kaca mobil menurun, memperlihatkan seorang lelaki—oke, ehem, dia ganteng tapi camkan baik-baik, Rin tidak tertarik—di usia 20-an dengan senyum menawan yang mampu membuat hati seorang gadis yang terbuat dari baja sekalipun meleleh. Oke, author mulai melenceng dari tujuan awal.
"Woy," Rin mendelik ke arahnya disertai dengan nada suara mematikan yang diwarisi para Kagami turun-temurun, bodo amat tentang tata-krama. "Lu—" Iye, mampus lu, "—bisa nyetir gak sih?!" hajar terus.
Seorang Rin Kagami tidak akan kalah dengan orang kaya tengik—sekaligus ganteng —ini.
Laki-laki berambut blonde itu hanya menatap Rin, "Bisa." Katanya kalem.
Rin diam-diam mempunyai hasrat tersembunyi untuk membunuh siapa-pun-ini-yang-punya-senyum-me—stop, cukup sampai disitu.
"Gue gak mau tahu, pokoknya tuh mobil yang lu udah rusakin dan penyokin harus diganti." Desis Rin dengan kemarahan yang membara. First impression tidaklah penting sekarang.
Si blonde itu hanya tersenyum, "Ok." Lalu dia mengambil tasnya dan membuka risletingnya.
Rin hanya bisa mengerjapkan mata. Seperti pikiran orang pada umumnya, ia hanya bisa mikir, 'Gitu doang? Tidak ada bantahan?'
Ketika tangannya kembali dari tas itu, terdapat uang kertas berwarna pink yang cukup tebal didalam genggamannya. "Segini cukup?" tanya si blonde.
The table has been turned. Rin nelan ludah lalu kepalanya mengangguk sedikit. Kenapa situasinya berubah drastis? Seharusnya Rin yang marah-marah dan si blonde ini yang ketakukan, kenapa justru si blonde tolol ini yang tenang-tenang saja? Jujur saja, lidah Rin terlalu kelu untuk berbicara.
"Nih, lain kali jangan marah-marah ya, Dek." Ujar si pemuda sembari menyodorkan uang yang menguarkan bau khas uang baru keluar dari atm.
Tunggu sebentar, Dek katanya?! Emang dia kelihatan kayak anak kecil? Sori ya, Rin itu udah 20 tahun, bukan anak kecil lagi. Memang penampilan fisik Rin mirip anak 16 tahun tapi Rin berani jamin, dia itu 20. Sumpah demi apapun. Rin bertambah kesal. Senyum paksa langsung terbentuk di wajahnya, "Maaf ya, kak, tapi aku itu udah umur 20 tahun jadi bukan adek lagi. Ngerti?"
"Tapi adek, kakak tuh udah umur 24." Si cowo blonde menyeringai ke arahnya. Rin ingin menggampar wajahnya. Lho, tetapi semenjak kapan mereka jadi kakak adik?
(Rinto-nii di belahan kota lain moodnya langsung down, maklum, sister complex.)
"Oh gitu ya," ucap Rin dengan keramahan yang dipaksakan sementara dark aura di sekelilingnya bertambah pekat, "Lain kali, kalau nyetir yang bener ya supaya gak nabrak-nabrak?"
"Iya, adek. Akan kakak ingat." Si cowo blonde menggenggam erat tangan Rin yang entah sejak kapan dipegang dan meletakkan uang yang bernilai sekitar 2 juta di telapak tangan nya. Tak lupa, tangannya ditepok-tepok sama si cowo blonde dengan senyum yang sama pekatnya dengan Rin.
"Iya, thanks." Sebenarnya, kalau mau jujur, Rin belum puas marahin si cowo blonde namun mau bagaimana lagi, si cowo punya EQ yang melampaui EQ Rin, kalo bisa Rin mau adu EQ sama si cowo blonde.
Mobil di belakang si cowo blonde membunyikan klakson mobil.
"Oke, um." Rin memindahkan berat tubuhnya dari kaki kiri ke kanan, "Tidak ada kata maaf?"
"Maaf." Kata si cowo blonde lalu ia nyengir—ohmygod, dia cute banget, "Sepertinya aku lupa karena kamu terlalu cantik. You take my breathe away, babe." Lalu ia mengedipkan sebelah mata. Bagus, dia sedang flirting sekarang, tapi camkan baik-baik sekali lagi, Rin tidak tertarik. Sama sekali.
Namun sepertinya reaksi Rin terhadap godaan itu membuktikan hal sebaliknya. Bukti rona merah di kedua pipi Rin sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa ia sebenarnya, jauh jauh di dalam lubuk hatinya yang terdalam, tertarik terhadap si cowo blonde tanpa nama. "Tersera—"
Bunyi klakson mobil terdengar sekali lagi.
Rupanya mereka telah menyebabkan kemacetan. Tanpa sempat berkata lebih banyak, Rin segera berlari menuju mobil honda jazznya yang menunggu dengan sabar tetapi malang nasib Rin, hak sepatunya patah di tengah jalan. Ia bersumpah ia mendengar tawa tertahan si cowo blonde dari kejauhan.
Ia segera bangkit setelah memungut hak sepatunya dan berlari dengan pincang ke arah mobil silvernya yang tersayang tanpa peduli pendapat orang-orang apalagi si cowo blonde mengenai dirinya yang berantakan, jalannya pincang, dan oh well, whatever.
Mesin mobil langsung dinyalakan tanpa sempat memastikan keadaan kendaraan tersebut, yang penting ia segera bebas dari hujanan klakson-klakson yang terdengar menuduh karena telah flirting—maksudnya berdebat di tengah jalan tol dengan lelaki tidak dikenal. Baru saja gadis bersurai pirang itu meletakkan kedua tangannya di atas setir, mobil porsche putih itu sudah melaju melewatinya di lajur kiri.
"Kurang ajar."
Gedung perusahaan Kagamine yang besar membuat Rin merasa kecil seperti semut rangrang yang sering ia jaili bersama Lola dirumah. Ditambah lagi dengan penampilan berantakan serta satu sepatu high heel dan satunya lagi yang sudah bertransformasi menjadi flat shoe, Rin sama sekali tidak pede.
Rin sudah tidak peduli lagi terhadap First Impression. Paling juga dia tidak diterima bekerja. Rapi? nggak. Sexy? apalagi. Cakep? Kayaknya nggak deh.. Ia terpikir untuk pulang saja dan nonton spongebob bersama adiknya tetapi ia sudah datang sejauh ini, masa mau mundur sekarang?
Ah, paling tidak ia bisa mengganti sepatu high heels 15 inchnya dengan sepatu kets agar lebih nyaman. Semoga tidak ada yang sadar lagipula ia sudah tidak punya harapan tersisa. Ia mencopot kedua sepatunya dari kakinya dan seperti yang ia duga, kakinya lecet parah.
Setelah sepatu ketsnya yang berwarna putih biru kayak seragam anak smp terpasang dengan benar, Rin meletakkan tangannya diatas gagang pintu. Tarik napas dalem-dalem, lalu ia melangkah masuk.
"Nyari Kagamine-san." Ucap gadis berambut pirang itu lirih. Kedua matanya sibuk mengamati cewe meja resepsionis yang sedang mencari file-file entah apa dikomputer. Bulu mata yang lentik, make-up tebal, baju rapi. Rin kalah telak.
"Udah buat janji bertemu sama Kagamine-sannya, mbak?" tanya si cewe meja resepsionis tanpa menatap Rin.
"Udah. Atas nama Rin Kagami." Jawabnya sambil menggigit bibir. Serius, dia pengen mundur saja sekarang. Kegalauan hatinya saat ini tiada bandingannya dengan penderitaan orang baru putus, tapi mungkin si Rin cuma lagi lebay aja saking galaunya.
"Oh iya," ia mengangguk, "mari saya antar ke ruangan Kagamine-san." Lalu si cewe meja resepsionis memberikan tatapan sinis alias bitch stare. Tatapan yang menghakimi dari atas ke bawah dengan satu alis terangkat. Tatapannya terhenti pada sepatu ketsnya yang tampak kontras dengan penampilan formalnya tetapi ia tidak berkomentar apa-apa. Paling nanti pas jam istirahat kantor, ia akan bergossip ria sama rekan kerjanya.
Rin pengen coba ikutan ngasih dia bitch stare ala film mean girls juga, tapi saking malunya, dia cuma bisa memaksakan seulas senyum. Lagian Rin itu emang dasarnya punya mata besar biru ala lolita jadi susah ngasih tatapan sinis. Pasti malah dikira bercanda. Apalagi pas masih pacaran sama si Kaito, dia stres melulu abis pacarnya gak bisa ngertiin dia:
"Kaito," ujar Rin duarius, "Aku lebih cinta sama jeruk daripada kamu."
Padahal si Rin serius, infintirius malah, tapi si Kaito malah nanggepin dia dengan candaan, "Pasti jeruk itu nama samaran buat akukan, sayang?"
Rin facepalmed. Idih, jeruk sama dia disamain? Jangan mimpi, Kaito.
"Ini ruang Kagamine-san," Gadis berambut biru itu nyeletuk tiba-tiba. Dari sudut matanya, Rin menangkap nama yang tertulis di tagnamenya. Ring Suzune.
"Ah um." Gagap Rin, "makasih Suzune-san—." Tadinya ia ingin menambahkan, temenin masuk dong, saya nggak berani. Tapi takut dikirain cupu dan setiap tanggal 21 April di lapangan sekolah, Rin sudah berjanji di depan tiang bendera dan saksinya adalah seluruh murid serta guru disekolahnya, bahwa ia tidak akan mengecewakan Kartini dan menurunkan martabat perempuan. Ia berjanji akan menjunjung tinggi kaumnya dan membuktikan kepada para pria bahwa wanita juga bisa koprol dan b-boy—ok, sisanya tidak penting. Abaikan.
Sekarang Rin sebatang kara di koridor dingin yang tidak berpenghuni. Ring sudah lama meninggalkannya namun Rin tidak sadar lantaran asik berpidato mental kepada dirinya sendiri, itung-itung pep talk sebelum masuk ke sarang ular. Gimana kalo Kagamine-san itu pedofil umur 99 tahun? Terus Rin diapa-apain? Siapa yang mau tanggung jawab? Tetapi sebagai perempuan yang menjunjung tinggi persamaan derajat antara kaum adam dan hawa, Rin akan apa-apain balik kalo dia diapa-apain. Bring it on.
Kepalan tangannya mengetuk pintu lebar dihadapannya sementara mulutnya sibuk memanjatkan doa. Semoga manjur, amin. Semoga bukan pedofil yang berada di balik pintu ini, amin.
"Masuk." Dari suaranya sih, kedengeran ganteng.
Rin mendorong gagang pintu ke arah bawah dengan napas tertahan—semoga pintunya karatan, amin—lagu dramatis versi sinetron memenuhi udara yang diselipi dengan doa-doa absurd Rin.
Siapakah pria beruntung yang berada dibalik pintu ini?
Mata Rin membelalak lebar.
Mari kita sambut, Len Kagamine, CEO perusahan Kagamine yang tengah berkembang pesat! Atau dalam bahasa Rin Kagami:
"—LU KAN COWO BLONDE BEGO YANG GAK BISA NYETIR DENGAN SENYUM MENAWAN YANG BISA MEMBUAT HATI GADIS-GADIS MUDA MELELEH KECUALI GUE!"
Terkadang realita adalah ironi.
Cowo blonde bego sekalipun bisa menjadi CEO perusahaan.
Rin menepuk telapak tangannya diatas mulut, oh sial. Dia seorang CEO, Rin! Jaga ucapanmu.
"Maap, maksud gue, eh maksud aku, eh saya maksudnya, anda tidak bego. Hari ini hari kebalikan, seperti kata spongebob dalam episode terakhir —" ketahuan deh suka nonton spongebob, gak elit banget, "dan um, bego itu artinya jenius. Maksud saya bodoh bukan bego,"
Kagamine-san menatapnya dengan kilat nakal di matanya. Kacamatanya memantulkan sinar matahari dari jendela layaknya film-film dimana seorang boss berdiri membelakangi matahari. Sekarang cowo blonde itu telah berubah menjadi Kagamine-san. Dia kelihatan... kayak cowo playboy di film-film mafia.
Kagamine-san berdeham sebelum berbicara, "Begitu, jadi—" nada TOP SECRET gaya agen-agen FBI dan CIA terdengar, "ada urusan apa anda kemari?" ia berjalan kearah Rin. Bahkan langkah kakinya yang beradu dengan lantai kayu ruangan tersebut terdengar resmi.
Otak Rin sudah membunyikan alarm warning; dia mau ngerape gue, dia bakal ngerape gue, mampus gue, nanti gue rape balik dia kalo dia berani macem-macem. Otaknya yang kebanyakan nonton film mulai replay kasus-kasus pelecehan oleh para bos dikantor.
"Uh Interview?" gumam Rin. Buku-buku tangannya memutih lantaran mencengkeram rok hitamnya terlalu erat. Keringat dingin mengalir turun dari pelipisnya.
Kagamine-san menghentikan langkahnya dihadapan Rin, tangannya terangkat—Rin menundukkan kepalanya—dan pintu dibelakangnya menutup.
Gitu doang.
Dikirain.
"Kalo pintu udah dibuka, ditutup kembali ya."
Gadis dengan mata biru dan berambut honey blonde itu menghembuskan nafas lega.
"Iya,"
"Saya sudah tahu keahlian kamu jadi sudah tidak perlu dijelaskan lagi." Lha, tau darimana? Jangan main sembarangan nge-stalk orang dong, pikir Rin sementara Kagamine-san melanjutkan ucapannya, "Berhubung kamu bilang saya bego dalam menyetir, pasti keahlian kamu itu nyetirkan?"
Jangan bilang.
"Dan berhubung saya gak bisa nyetir seperti yang kau katakan, " tambah Kagamine-san, "kamu mau jadi supir pribadi saya?"
Sudah Rin duga, emang dia kualat gara-gara gak sopan sama orang yang lebih tua.
Rin mengangkat kepalanya dan mata mereka berdua bertemu disertai dengan lagu-lagu lebay di background serta bunga-bunga mawar yang muncul entah darimana. Muka close up cowo blonde ternyata ganteng banget. Mirip playboy di film Spice.
"Jadi?" Kagamine-san mengangkat sebelah alisnya.
"Jadi um.." Ekonomi keluarga sedang susah. Harga cabai melonjak tinggi sementara lapangan kerja yang tersedia tidak luas. Kuliah belum tentu menjamin masa depan. Tapi supir? Seriously? Buat apa pendidikan tinggi-tinggi kalau dia bakal berprofesi sebagai supir?
Kenapa Rin ditawarin jadi supir kalau dia bisa jadi sekretaris?
Jawaban, cowo blonde lagi balas dendam.
"Tenang, gajinya lumayan kok. Uang makan juga dapet."
Gaji lumayan, uang makan juga dapet. Kalo sehari gak makan berarti dia bisa nabung.
"Jadi supir itu enak lho, apalagi kalo majikannya ganteng kayak gue." Dia bilang 'gue'.
"Busana juga bebas, yang penting sopan."
Oke juga sih, bisa pakai sepatu kets dan kaos kelebaran punya Rinto-nii plus jeans robek-robek.
"Jadi gimana?" Senyum cowo blonde dari detik ke detik, semakin menawan. Ia meletakkan lengannya di samping kanan Rin, membatasi ruang gerak Rin namun tampaknya ia tidak menyadari hal itu.
Satu detik. Dua detik. Rin akhirnya terpancing.
"Aku mau!" serunya dengan semangat 2014.
"Yakin?"
"Yakin!"
"Oke, peraturan pertama."
Rin mengangguk dengan mata berbinar-binar.
Si lawan bicara tersenyum nakal.
"Panggil aku Master Len."
Hari yang melelahkan.
Rin merosot diatas sofa ruang tengah.
Lola muncul entah darimana sambil membawa sepiring jeruk goreng, "Gimana nee-san?"
"Lancar." senyum Rin terlihat sangat kinclong.
"Gak ada hambatan apapun?"
"Banyak, tapi bukan Rin-nee namanya kalo gak bisa mengatasi masalah." Rin memamerkan senyum deretan gigi putih bersih bersinar tanpa cahaya lampu lalu ia membusungkan dadanya yang tidak bisa dibanggakan itu dengan bangga.
Lola ngelirik mobil honda jazz silver yang bempernya udah penyok parah yang sedang istirahat ditempat parkir rumah mereka, "Okay.. Um.. Rin-nee diterima jadi apa?"
"Supir CEO perusahaan Kagamine."
Tawa Lola meledak tanpa bisa dicegah.
.
.
.
"RINTO-NII, MASA RIN-NEE JADI SUPIR!"
.
.
a/n terinspirasi dari cici saya yang suka nyari gara-gara di jalanan. Biasanya dia bakal sibuk ngomel-ngomel sementara saya diem-diem aja di bangku penumpang.
Saya tidak melakukan research apapun tentang jabatan-jabatan dalam perusahaan, maapin saya ya, saya juga, kalo mau jujur, gak tau CEO itu apa, yang jelas saya cuma tau Bill Gates itu CEO microsoft hehehe#plak dan plus, saya gak tau gimana cara bicara formal. Sumpah. Itu aja ngasal bukan berarti ceritanya ngasal lho cuma saya bingung aja gimana cara bicara formal.
EQ : Emotional Quotation kalo gak salah. IQ itu untuk kemampuan otak sementara EQ itu untuk mengatur emosi. Biasanya orang yang memiliki EQ tinggi lebih sukses? Kalo gak salah.
Cliche : Kayaknya mirip sama lebay atau mainstream.
Pep talk : semacam briefing? Semacam kata-kata sebelum memulai pekerjaan agar lebih semangat?
Flirting : Gombal
Ok, thanks yang udah membaca sampe akhir dan yah, um, ada yang bersedia untuk review? Maaf, alur ceritanya kecepatan apalagi pas tabrak scenenya. Itu jelek banget. Saya jarang baca cerita soalnya tapi kadang saya baca kok:3
