v-sign present©

THANATOPHOBIA

Summary:: Percayalah bahwa sesingkat apapun kejadian buruk dimasa lalu akan berkembang dan berubah menjadi trauma mendalam bagi seseorang. Inspired by true story. With Zhang Yixing-Thanatophobia- Kim Joonmyeon-Psychology Student-

Warning :: GENDERSWITCH! .TYPOS(maybe). dont like dont read!

Pair :: SULAY. JOONXING❤

Disclaimer :: character it's not mine. But story is mine. Inspired by true story.

Setting :: AU

Genre :: Romance. Hurt. Family.

Rated :: T+

.

.

.

Seorang gadis tomboy tampak sedang berjalan lunglai menyusuri ruas jalan pertokoan disekitar rumahnya. Kepalanya tertutupi tudung mantelnya. Mantel itu memanjang sampai diatas lutut terlihat kusut di berbagai sisi. Menutupi sebagian celana jeans berwarna biru yang lebih kusut lagi. Wajahnya menunduk memandangi kedua sepatu convers-nya yang talinya tidak terikat dengan benar.

Kepalanya mendongak menatap sekeliling, samar ia mendengar suara pekikan segerombolan gadis-gadis -yang sepertinya murid sekolah tinggi- tampak berjalan beriringan di sisi jalan. Ia mendengus. Memperhatikan penampilan mereka. Pakaian yang terlihat mahal dan modis. Mereka juga cantik dan punya kulit yang bagus. Sepertinya anak orang kaya. Dan hairstyle itu membuat mereka seperti barbie. Sudah sejak lama ia menginginkan gaya rambut seperti itu. Pasti tampak bagus dengan jepit rambut warna-warni.

Gadis itu tersenyum miris sambil memegang rambut sebahu nya yang terlihat kasar.

Ia terdiam terlalu lama sampai tidak menyadari objek pengelihatannya berjalan beriringan memasuki sebuah toko.

Sebuah toko minimalis bercat peach dengan nama 'Teenage' itu terbuka. Terdengar suara alunan lagu dari Girls Generation, Gee. Sedikit tersamarkan dengan suara-suara pekikan gadis - gadis tadi yang tampak heboh masuk kedalam. Karena penasaran ia tertarik untuk masuk. Kakinya terdiam sebentar di depan pintu kaca. Memperhatikan kedua sisi pintu kaca yang bertuliskan, pull dan push. Mengangkat bahu tak peduli, ia memilih untuk mendorong salah satunya.

Bibirnya membulat ketika ia melihat banyak sekali pernak pernik cantik yang berwarna warni dijajar rapi di etalase toko. Toko ini tidak telalu besar dan temboknya dilapisi wallpaper bergambar -terlihat seperti tokoh anime- yang cantik, beserta ornamen girly yang dipajang di langit-langitnya. Berbagai aksesoris beragam jenis tersusun rapi di rak yang tidak terlalu tinggi. Kalung, bros, anting, jepit rambut dan yang lainnya tertata rapi dengan berbagai merk dan model agar menarik minat pengunjung.

Ia merasa memasuki tempat yang salah. Namun saat menolehkan pandangan kesamping, segerombolan gadis-gadis tadi sedang memilih jepit rambut. Yang berambut pendek mengambil salah satunya dan mencoba memasang dirambutnya. Pujian terlempar beberapa saat kemudian.

Pandangannya teralihkan pada salah satu jepit rambut yang tertata manis di atas meja etalase toko itu. Jepit rambut itu tampak berkilau dimatanya. Berbentuk pita berwarna maroon dengan aksen glitter dibagian atasnya. Sebagian dirinya tertarik. Dengan satu tarikan nafas, ia mengambilnya. Menarik turun tudung mantel kusutnya. Kemudian terlihatlah rambut hitam panjangnya yang sedikit berantakan dibagian atas. Ia menatap kaca didepannya yang sengaja dipajang untuk pengunjung yang ingin mencoba beragam aksesoris disini. Merapikan sedikit poni nya yang berantakan. Ia lalu mengambil jepit rambut itu dan menyelipkannya pada rambutnya.

Tersenyum tipis.

Sangat tipis lalu perlahan memudar.

Menyadari bahwa begitu tidak pantasnya ia. Kulitnya begitu kusam. Lingkar mata yang menghitam dan bibir yang kering dan sedikit mengelupas. Belum lagi rambutnya yang berantakan. Menghela nafas. Ia menarik turun jepit rambut yang ia sukai itu dan menaruhnya kembali ketempat semula.

Samar terdengar suara bisik-bisik dan tertawaan dari segerombolan gadis-gadis tadi. Tanpa melihat pun ia tau siapa objek yang sedang mereka tertawakan. Gadis tomboy ini lalu membawa kedua kakinya keluar dari toko. Ia merasa iri dan juga malu pada gadis-gadis tadi. Bersumpah dalam hati jika dia tidak akan pernah kembali kesana.

Mengabaikan suasana hatinya yang terasa akan kembali murung, ia memasukkan kedua tangannya kedalam saku mantelnya dan kembali melangkahkan kedua kakinya menyusuri jalanan pertokoan. Berkali kali ia membungkuk untuk meminta maaf karena tidak sengaja bahunya menabrak orang-orang yang melewatinya. Karena sedari tadi ia berjalan dengan menundukkan kepala. Ia hanya tidak ingin melihat orang-orang memperhatikannya. Memperhatikan penampilannya. Berkomentar buruk tentang dirinya. Yang bahkan belum tentu ada yang memperhatikannya.

Merasa lelah, ia mencari sebuah kursi kosong dan memutuskan untuk duduk disana mengistirahatkan kakinya yang terasa lelah. Bersamaan dengan helaan nafas panjang.

Bukan hanya kakinya yang lelah tapi juga dirinya, pikirannya, dan juga hatinya. Saat menatap lurus kedepan, ia melihat seorang anak kecil yang sedang gembira karena dibelikan ibunya ice cream. Gadis itu tersenyum sambil mengucapkan terimakasih kepada ibunya. Tampak sangat bahagia. Tanpa sadar ia tersenyum tulus, memperlihatkan cekungan dipipinya yang selama ini tertutupi. Hatinya perlahan menghangat melihat pemandangan itu, sudah lama ia tidak merasakan perasaan ini. Menutup diri dari lingkungan adalah hal yang dia lakukan belakangan ini.

Ia tidak ingat sejak kapan ia jadi seperti ini.

Tertutup, menundukkan kepala dan ketakutan sendirian.

Ya.

Dia memang merasakan sesuatu belakangan ini. Ia tidak ingat kapan tepatnya merasa takut pada malam hari. Tidak bisa tidur. Takut kegelapan dan tidak nafsu makan. Dan merasa nyawanya terancam jika ia sendirian.

Satu-satunya hal yang diketahuinya dirinya adalah seseorang gadis yang pelupa. Tidak mengingat dengan yakin saat-saat tertentu yang harusnya diingat. Tapi dia justru masih ingat dengan jelas suatu kejadian yang terjadi beberapa bulan yang lalu. Kejadian yang merubah hidupnya. Masih jelas terangkum dalam otaknya bagaimana paniknya saat itu,

Flashback

Sore itu, ia menaiki bus sendirian untuk pulang kerumahnya setelah bekerja. Saat itu kondisi bus sedang penuh dan ia tidak mendapatkan tempat duduk. Tidak ada pilihan lain selain berdiri. Berpegangan seadanya, ia mengedarkan pandangannya lurus kedepan. Dan dari sana ia dapat melihat berbagai macam kedaraan yang melintas didepan bus.

Beberapa menit kemudian ia mendengar suara mesin kendaraan yang begitu berisik yang berasal dari truk yang lewat disamping bus. Truk itu begitu besar dan dipaksa mengangkut barang yang bahkan lebih besar lagi. Ia bergidik.

Entah kenapa pikirannya seolah menuntunnya ke situasi di berita berita di tv yang menayangkan tentang kecelakaan lalu lintas. Betapa mengerikannya truk itu jika menghantam bus yang ia naiki saat ini.

Dan ia menyesali keputusannya menaiki bus ini sesaat setelah ia merasa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Tangannya gemetar. Wajahnya berubah pucat. Pegangannya pada tiang bus mengerat. Ia tidak tahu mengapa tapi sungguh ia merasa sangat takut saat ini. Tangannya yang bebas meraba dadanya yang terasa begitu sesak. Kakinya nyaris tidak mampu menopang beban tubuhnya jika saja ia tidak mengeratkan pegangannya pada tiang bus. Ia melirik kesamping dan masih melihat truk itu disamping bus yang ia naiki. Truk itu sekarang berusaha mendahului bus ini. Bibirnya terasa kering. Ia sungguh takut sesuatu yang tidak diinginkannya terjadi.

Tidak.

Tidak sekarang.

Masih banyak hal yang harus dia lakukan untuk keluarganya.

Ia lalu berdoa kepada Tuhan. Memohon keselamatan. Ia nyaris saja menangis jika tidak menyadari jika truk yang ia perhatikan sudah berada jauh di depan mendahului busnya. Menghembuskan nafas lega, ia tak menyadari tatapan aneh beberapa orang yang memperhatikannya. Ia hanya berharap dalam hati agar cepat sampai dan meninggalkan jalanan yang mengerikan ini.

Flashback end

Ia masih ingat dengan jelas kejadian itu yang terjadi beberapa bulan yang lalu. Kakinya yang gemetar setelah turun dari bus. Bahkan dia harus membeli air mineral untuk menetralisir degup jantungnya. Ia tahu itu adalah terakhir kalinya ia naik bus -dan terakhir kalinya ada perasaan nyaman yang melingkupi hatinya- sejak hari itu, dan lebih memilih jalan kaki kemanapun ia pergi.

Gadis itu tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Dan kenapa ia tiba - tiba ketakutan tanpa sebab. Meskipun ia menghindari menaiki kendaraan tapi ia masih merasa sangat takut ketika ia berada dekat dengan jalan raya. Saat menyebrang misalnya. Ia selalu memikirkan hal-hal buruk yang bisa saja menimpanya saat berada dijalan raya. Ia yakin sebelumnya tidak se-Paranoid ini.

Dan perlahan ia sadari kejadian pada hari itu mengubah hidupnya, sampai saat ini.

Kesehatannya memburuk. Perasaan takut menginvasi otaknya setiap detik. Tidak nafsu makan, ia hanya minum air putih sebanyak mungkin sejak hari itu untuk mengurangi rasa takutnya. Ia hanya akan makan jika seseorang mengajaknya bicara dan membuatnya sedikit melupakan rasa takutnya. Ibunya.

Ya.

Sampai detik ini ia belum memberi tahu siapapun tentang ketakutannya yang berlebihan ini. Ia bahkan tidak tahu apa yang terjadi padanya. Dan mungkin ia juga tidak sanggup menceritakannya.

Saat menjelang tidur ia akan merasa seseorang akan datang jika ia menutup mata. Mengabaikan sakit di punggungnya yang dari hari ke hari semakin parah. Ia hanya bisa mengatasi ini dengan mensugesti dirinya jika jam melewati angka 12 maka dia tidak akan mati hari ini karena hari itu berubah menjadi hari esok.

Pernah pada suatu pagi memandangi jam dinding. Mendengar denting jam yang ia rasa begitu cepat. Begitu cepat berlalu sampai di kehidupan normalnya yang dulu tidak ia sadari. Ia menyesali begitu banyak waktu yang terbuang sia-sia.

Matanya terasa perih. Tidak menyadari berapa lama ia duduk dibangku ini sedari tadi. Lelah dikakinya sudah hilang meskipun beban berat dipikirannya masih terasa. Memikirkan entah sampai kapan perasaan takut yang mengganjal dihatinya ini akan menghilang membuatnya mual.

Gadis itu berdiri dan memandang keatas. Memandang langit. Lalu menyesalinya dan memutuskan kembali menatap kedua kakinya yang membelah lalu lalang pengguna jalan malam itu. Sejak hari itu ia memang ketakutan memandang langit. Menambah satu lagi daftar ketakutannya.

Siang itu kendaraan masih ramai seperti biasa membuatnya bergidik. Satu lagi ketakutan yang harus ia lewati. Menyebrang jalan. Mendengar suara mesin mobil saja ia merinding.

Tidak.

Dia harus melawan ini.

Harus melawan rasa takutnya.

Ia melamun diujung zebra cross sambil mencengkeram kedua ujung bajunya. Mencoba menetralkan detak jantungnya sendiri sampai tak menyadari lampunya sudah berganti menjadi merah. Ia baru sadar saat ada seseorang yang menabrak bahunya dari belakang. Memandang lurus ke depan. Ia menarik nafas panjang lalu berjalan perlahan kedepan. Menutup mata saat mendengar klakson mobil atau decitan rem. Berbagai kemungkinan terjadi berputar-putar di otaknya seperti kilas balik dalam film. Ia menggigit bibir. Berhenti di tengah-tengah lautan orang yang menyebrang jalan. Kakinya terasa lemas dan gemetar.

Ia hampir terjatuh dari tempatnya berdiri.

Memendam rasa takutnya sendirian membuatnya semakin tersiksa.

Ia bahkan berpikir mungkin ini perasaan seseorang ketika menuju akhir hidupnya.

Dadanya sesak.

'apa yang terjadi padaku' Batinnya

Sama sekali tidak mengetahui bahwa diujung jalan ada seseorang yang memperhatikannya. Kerutan di dahinya tercetak jelas.

Baru menyadari bahwa ia sudah berdiam diri ditengah jalan terlalu lama, saat suara klakson mobil disampingnya menyapa indra pendengarannya. Tangannya terangkat keatas menutup kedua telingannya. Berharap suara paling dibencinya itu akan menghilang saat ia menutup telinga. Lalu dengan panik berlari keseberang jalan. Menghembuskan nafas lega ketika sampai diujung.

Bukan hari ini. Setidaknya.

Ia hampir gila.

Air matanya menetes. Tangannya bergerak menghapusnya.

Ia benci menangis.

Ia benci menunjukkan kelemahannya pada siapapun. Meskipun kenyataannya tidak ada yang peduli padanya sekarang.

Ketakutan ini membuatnya frustasi.

"Kau baik-baik saja?" Bahunya sedikit tersentak saat seseorang dengan sengaja menyentuhnya. Ia mengedarkan pandangan kesebelahnya saat mendengar suara seseorang berbicara. Bertatap langsung dengan seorang pria berwajah malaikat yang memandangnya penasaran sekaligus iba.

Terdiam.

"Apa yang terjadi? Kenapa kau tiba - tiba berhenti saat menyebrang tadi?" Pria itu melanjutkan.

Sungguh. Ia sendiri masih tidak tahu apa yang terjadi kepadanya.

"A..ku tidak.. maaf tadi menghalangi jalan" Menunduk. Sungguh ini adalah kelemahannya. Berbicara dengan seseorang saat sedang panik membuatnya tidak fokus. Sehingga kata-katanya yang keluar terkadang tidak jelas dan juga diluar kesadarannya.

"Bukan begitu.. maksudku kau, kenapa terlihat ketakutan tadi?"

Ia melihatnya.

Benarkah dirinya terlihat seburuk itu.

Bibirnya bergetar, membuka dan menutup secara refleks. Ia tidak punya jawaban yang benar-benar pasti untuk dikatakan saat ini.

"Aku.. sendiri juga tidak tahu." Akunya jujur. Lalu pergi begitu saja mengabaikan pria asing tadi yang memanggilnya.

.

.

Err entah kenapa malah ga mood ngelanjutin ff sebelah. Yah intinya ff ini buat selingan aja sih.