Bicara pada Bintang
Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi
PART 1 : AKASHI SEIJUUROU
Kenyataan dan hayalan terkadang hanya dibatas tipis dengan seutas tali yang lebih pipih dari benang jahit.
Bintang bertabur dikelam kanvas malam. Menggelora bangga dengan sepuhan cahaya mereka yang kerap kali membuat manusia tenggelam akan keindahannya. Si pirang yang sedang bersandar pada pembatas kayu di balkon lantai dua bukanlah pengecualian.
Sepasang topaz dalam matanya membulat sempurna penuh ketakjuban pada wujud malam yang penuh bintang.
"Mitte yo! Hoshi da!" Pemuda itu berseru semangat tanpa mengalihkan sedikit pun fokus yang sedang ditumpu matanya.
Bintang di atas langit terlihat berkali-kali lebih menawan di atas bukit tempat vila megah yang sedang dijadikannya persinggahan bersama sang kekasih, kalau dibandingkan dengan bintang yang biasa dilihatnya dari jendela apartement-nya yang di Kanagawa.
"Seicchi! Lihat ke atas!" Sekali lagi pemuda pirang itu berseru ketika ucapannya sama sekali tidak ditanggapi. Ia menengok ke samping; dengan bibir agak menekuk maju. Dilihatnya dua manik merah ruby milik si kepala merah megarah lurus pada almond miliknya.
Dengan gelengan kecil, pemuda bernama lengkap Akashi Seijuuro itu menjawab. "Aku tidak mau."
Si pirang mendengus tidak setuju. "Yah! Bintang di atas bagus! Seicchi harus lihat!" Sekali lagi, ia berujar mengaggumi sosok benderang di angkasa.
Tuntutan, atau rengakan, dengan suara yang naik setengah oktaf itu membuat Akashi tertawa kecil. Dia menangkup permukaan halus pipi di depannya. "Kalau bintang-bintang di atas sana bisa punya keberuntungan sedikit saja untuk bisa lebih menawan darimu, mungkin aku akan agak peduli."
Si pirang lekas menangkis sorot lembut namun tegas dan penuh kesungguhan dari mata Akashi. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain ketika rona merah yang ia rasa timbul di pipi membuatnya terlihat menyala di tengah gelap.
"Ugh- jangan menggombaliku, tidak cocok." Ujarnya setangah merajuk. Akashi terkekeh sekali lagi dan mengelus perlahan rona merah yang menghiasi pipi si pirang.
Bintang adalah perwujudan harapan, menisfestasi dari keajaiban, bentuk dari doa kerinduan untuk disampaikan.
Bintang yang untuk sekali, jadi perekat hati mereka.
Ada sebuah pernyataan yang ia jerat abadi dalam kepala, tentang malam. Ketika matahari tenggelam di ufuk barat, meninggalkan dunia dalam pekatnya hitam, saat itulah manusia berbicara tentang hal yang tidak bisa mereka ujar saat hari benderang.
Di depan kaca lebar yang menyajikan hingar-bingar lampu kota dan kerlip tenang bintang di angkasa, Akashi berdiri dalam diam dengan sebuah ponsel menekan ke kupingnya. Suara khas agak cempreng yang membawa lantunan surgawi datang silih berganti menyapa indra pendengarnya.
"Melihat bintang lagi?" Ia bertanya kemudian, ketika sosok pirang yang ia bisa bayangkan sedang melihat lunglai pada kelam di atas kepala berhenti bicara.
"Soalnya, aku sedang merindukan seseorang."
Jawaban yang datang itu membuat sudut bibirnya tertarik membentuk senyum kecil. Akashi membawa pandangnya ke atas, melihat ke tempat dimana para bintang menggantung. Mengadah pada pemandangan yang mungkin sama dengan yang dilihat si pirang di sebrang telpon.
"Kutebak namanya Akashi Seijuuro."
Ada tawa ringan jenaka menanggapi ujarannya. Lalu, sebuah rindu. Mungkin pengharapan. Akashi tidak terlalu paham bagaimana perasaan bisa diekspresikan dan rasa rindu bekerja pada suara si pirang yang kedengaran lebih pelan. "Seicchi sedang apa?"
"Melakukan hal yang sama."
"Melihat bintang?"
Untuk itu, si pemilik manik delima tidak langsung membalas. Matanya yang terkadang mengkilap tajam terkunci pada bintang paling terang yang sedang menggodanya di langit. Bintang terang yang seperti mencolek sisi dirinya untuk mengingat dan menginginkan. Untuk bicara tentang hal yang tidak diperbolehkan untuknya diucap saat matahari tinggi di jagad raya dan tuntutan profesionalitis menggelayut manja pada punggungnya.
"Hm." Akhirnya ia menggumam rendah. Sepasang maniknya tersembunyi dibalik kelopak mata sembari ia mendengarkan lantunan suara indah milik sang kekasih yang berada ribuah mil jauhnya.
"Aww Seicchi merindukanku ya?"
Akashi menahan diri untuk tidak menunjukan reaksi, pun ia merasa terhibur dengan nada menggoda dan penuh percaya diri yang timbul dalam suara yang tadinya lunglai.
"Aku sedang bicara pada bintang." Pernyataan itu keluar tenang dan sedikit melankolik. Permukaan tangannya menyentuh dingin kaca yang terhembus udara dari pendingin ruangan.
"Eh memangnya bisa?"
Entah karena otaknya sedang lelah, ataupun keseluruhan wujud kekasihnya sudah mengikat kesuluruhan dirinya. Akashi bisa membayangkan dengan jelas raut polos agak bodoh yang mirip seperti anak kecil.
"Tidak ada yang mustahil di dunia ini," balasnya, ada selipan humor yang tidak biasa di suaranya, "aku jatuh hati padamu saja tidak mustahil."
Suara decihan langsung membalas ucapannya lengkap beserta rengekan. "Hidoi-ssu yo…."
Ryouta-nya itu mungkin merutuknya dalam kepala dan mengatainya menyebalkan berkali-kali.
"Seicchi sedang bicara tentang apa dengan bintang?"
Pemuda bermahkotakan helaian merah itu menyorot dalam pada kerlingan para bintang yang mencoba menghibur malamnya. "Seseorang yang sedang kurindukan." Ujarnya pelan.
"Namanya pasti Kise Ryouta!"
Sekali lagi, ia bisa membayangkan dengan terlalu jelas, terlalu dekat, sebuah cengiran lebar yang memperindah wajah si pirang.
Andai waktu bisa terulang dan konsep mesin waktu benar tercipta, Akashi akan mencoba menghentikan dirinya di masa lalu untuk bertemu si pirang. Sosok Kise Ryouta, yang kini sedang ia renung dalam kepala sembari menatap derai cahaya bintang yang menghina gelap penaung malam.
Kalau ia diberikan kesempatan sekali untuk merubah kemana jalan takdir akan membawanya, Akashi bertekad untuk mencoret masa ketika jalannya dengan milik si pirang bersimpang.
Lalu, apabila ia setidaknya mendapat hak untuk memperingatkan dirinya, Akashi akan memberi tanda bahaya pada sosok si pirang yang telah menjerat hatinya.
Karena pada akhirnya, takdir tidak sebaik itu untuk menuntun mereka bersua di ujung jalan.
Takdir mungkin mentertawakannya sekarang. Bagaimana seseorang sepertinya yang selalu bertumpu pada kesetabilan dan kepastian konstan yang terpresepsi sempurna di kepala kini meratap bisu pada apa yang tidak bisa digengamnya erat dalam kepalan tangan.
Takdir membuatnya tidak punya pilihan dan mendorong Kise keluar dari lingkaran terkutuk yang telah diciptakan hatinya untuk mereka. Dan pemuda pirang itu, memilih hal yang sama untuk melepas apa yang sudah mereka ikat dibawah naungan bangsawan pemilik malam. Sebut saja bulan dan bintang-bintang yang seringkali jadi saksi hati yang dipertemukan dan hasrat yang melebur satu penuh gairah.
Sekarang, yang tertinggal adalah sebuah ruang hampa; dingin yang membuat kakinya mati rasa, dan sesak yang membuatnya bangun terengap karena lupa cara bernafas.
Kemudian, ia akan mengingat Kise, dan ia akan merasakan tikaman perlahan di bagian yang sama. Ruang hampa yang bersuara sendu. Suara nafas tercekat, detak jantung yang menghentak, tawa kecil penuh illusi, dan ucapan-ucapan yang berulang seperti kaset rusak.
Awal paginya stagnan, begitupun siang, lalu malam. Waktu ketika dulu akan ia khususkan untung mengutara keluh-kesah, lidahnya kelu ketika bertemu kelamnya langit dan cerahnya bintang. Waktunya telah berhenti pada satu titik yang tidak bisa dikoyak.
Titik masa yang satu saat mata nanar Kise bertemu kosong miliknya di sebuah gereja. Gereja yang dulu pernah mereka janjikkan sebagai tempat untuk bersumpah sehidup semati. Akashi masih ingat ketika di depan altar itu, janji itu terucap dari bibir si pirang untuk orang lain. Ia masih ingat di pagi buta yang sama, si pirang tenggelam dalam pelukannya dengan derai air mata dan janji akan jiwa. Bahwa hati yang satu itu hanya akan jadi milik Akashi Seijuuro, pada siapapun fisiknya akan terikat.
Malam itu, ketika hujan menghujam bumi. Akashi menatap lurus pada tetesan air hujan yang membasahi jendela.
Perlahan ia mengelus tetesan air yang mengalir, berangan bahwa itu adalah pipi lembut sesorang yang pernah jadi kekasihnya. Berharap, dalam hatinya ia mengujar pada bintang, kalau Kise menangis dalam tidurnya, ia bisa menyeka bulir air mata itu. Dan mungkin, ia juga berharap, untuk bisa sedikit merasakan kelegaan lewat tetesan air mata yang tidak pernah keluar dari matanya.
Kolam dalam dirinya sudah terlalu penuh untuk dihuni sedih karena merindu.
Masa depan adalah sebuah labirin yang berasal dari hukum aksi reaksi atas langkah yang telah dipilih. Karenanya, masa depan adalah sebuah prediksi pasti untuknya. Akashi Seijuuro bisa memprediksi masa yang kemudian kan datang karena ia sadar betapa sebuah aksi akan mengundang sebuah reaksi, dan hukum kausalitas adalah hukum nyata yang tidak bisa diakali dunia.
Namun kemudian, pengucualian adalah sebuah kepastian yang setara. Ketika ia yakin atas semua tatanan yang ia tuntun dalam genggaman. Pengecualian atas sebuah nama dan eksistensi juga ada di sana. Ketika suata hari itu dilengkapi dengan sosok si pirang bernama Kise Ryouta yang kerap kali memenuhi kepalanya.
Beberapa orang berkata, kau mengingat seseorang, karena orang itu mungkin sedang merindumu. Ucapan yang kemudian dia tanggapi dengan sergahan ringan di pundak dan kembali berkutat pada kertas-kertas laporan dan surat. Benda-benda yang jadi pelampiasan atensinya karena mustahil untuk menolak si pirang itu dari ruang pribadi dalam dirinya.
Hari itu, di bandara Haneda, ia terpaku layaknya terkutuk menjadi batu. Indranya merasa dingin seperti tak dialir darah dan jantungnya berhenti berdetak untuk sesaat karen tidak menerima aliran darah. Ketika si pirang itu berada hanya puluhan meter dari tempatnya. Sebuah refleksi dari nyawa yang mungkin kandas diterjang kerasnya waktu dan takdir yang sering ditemuinya dalam cermin. Kemudian ia ingat sebuah kisah, tentang fakta dan kekejian bentuk yang ada dalam kemanusiaan.
Tentang bagaimana sebuah cahaya dalam hidupnya direnggut paksa oleh kemanusiaan.
PART 1
END
A/N: Ugh ini sampah banget kalo dibandingin sama Voly ;; tapi semoga kalian bisa menikmati konsep yang kami bawa di sini dan semoga angstnya berasa. Terimakasih sudah membaca dan terlebih untuk yang berkenenan meninggalkan review!
Terus untuk Voly, THANKS A LOT FOR JOINING ME! Hontou ni arigatou karena kamu sudah setuju dan sampe kelar buat fic ini dan ya ampun sumpah aku meraa bersalah banget kerena gimanapun bagianku sama sekali nggak bisa menandingi milikmu yang langsung ngebawa ke plotnya. I can't say enough. Thank you so much!
