A/N:
Hi!
Mungkin beberapa orang familiar dengan judul fanfiction ini? saya ragu sih kalau banyak yang baca dan ngikutin karya saya haha.
Iya fic ini re-write. Saya minta maaf bagi yang sudah baca versi sebelumnya dan yang sudah menunggu lama. Ini Karena saya sudah lama tidak mampir ke fandom Osomatsu-san. Barusan selesai nonton Anime Season duanya makanya baru balik kesini—Memang sih dari awal sampah saya memang gak banyak di fandom ini. Dan karena ada mood buat nulis saya mulai buka-buka file lama dan berniat melanjutkan fic ini.
Tapi setelah membaca ulang sayang malah merasa malu sendiri dan tidak puas dengan gaya penulisan yang sebelumnya.
Jadi deh saya edit di sana-sini.
Saya memang Cuma author amatir, butuh banyak belajar. Tapi biarkan saya menyatakan jika fic ini jadinya 'lumayan' lebih bagus dari sebelumnya haha. Saya cukup puas dengan hasil tiga chapter kedepan ini.
Sekian terima kasih. Selamat menikmati!
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Rumah sepi, begitu pikir Osomatsu ketika menaiki tangga untuk menuju kamarnya. Dia sudah membayangkan akan bersantai sendirian—merokok dengan jendela terbuka tak bisa dia lakukan jika adik-adiknya berada di rumah.
Tangannya yang terulur untuk membuka pintu terhenti ketika mendengar suara. Demi apapun itu dia mendengar suara desahan! Sialan, siapa yang melakukannya mentang-mentang tak ada orang di rumah!?.
Sama sekali tak sungkan. Anak pertama Matsuno membuka pintu kamar. Kedua matanya membulat ketika menemukan Choromatsu, dengan sekotak tisue, majalah porno dan...pantat setengah terbuka.
Pihak hijau menoleh ke belakang, menatap tajam Osomatsu. Wajahnya memerah padam, nafasnya masih tak teratur. Choro menyembunyikan 'miliknya' yang masih menegang, jelas sekali terlihat kalau dia belum mencapai puncaknya.
"OSO—" baru saja Choro ingin berteriak dan mengusir kakaknya. Namun tak di duganya jika si pihak merah malah mendekatinya.
"Geez kau ini. Padahal sering sekali kau mengejekku mesum, tapi ternyata kau lebih parah." Omel Osomatsu, semakin mendekati Choro.
Wajah si anak ketiga memucat ketika tangan kakaknya terulur, meraba pahanya. Tanpa sadar dia mendesah pelan, semuanya semakin parah ketika tangan yang lebih tua menyentuh ujung penisnya. Mau tidak mau Choro bersuara "Ah!.."
"Aku akan membantumu," semakin lama tangan itu semakin berani. Choromatsu berusaha melepaskan tangan itu. "Tu..Tunggu apa yang kau lakukan!?," namun semakin lama, tangan Osomatsu yang lihai membuatnya pusing dan lemas.
"Ukh!..." beberapa menit kemudian cairan putih membendung di tangan Osomatsu. Dengan santai pemuda berhoodie merah tersebut mengelap tangannya. Mulutnya terbuka ingin mengatakan sesuatu pada adiknya, namun semua kata berupa ejekan tertelan kembali. Choromatsu melihatnya dengan mata berkaca-kaca seperti ingin menangis. Biasanya jika dia melakukan kesalahan adiknya yang satu itu akan berteriak memakinya, atau mungkin memukulnya.
Sebenarnya hanya Karamatsu saja yang bisa mengungulinya dalam masalah berkelahi. Tapi Choromatsu selalu membuatnya lunak dan berakhir membuatnya diam dan tak membalas pukulan adiknya.
Tapi...kali ini Choromatsu tak melakukan keduanya. Pemuda berhoodie hijau itu sedikit terisak. "Choromatsu," panggilnya dengan nada menyesal "Aku tidak bermaksud—"
*PLAK!
Beberapa detik kemudian sebuah tamparan menghentikan kelimat tersebut."Baka Aniki!" teriak Choromatsu setelahnya lalu berlari keluar kamar setelah terburu-buru memakai celananya kembali.
Apa yang mau dikatakan sekarang? Sebenarnya apa yang dipikirkan si bodoh itu!?
Bagaimana bisa seorang laki-laki memberi laki-laki lain hand job? Terlebih lagi mereka bersaudara dan memiliki wajah yang sama. Bahkan Osomatsu seharusnya tahu itu tanpa di beritahu bukan?
Setelah Choromatsu meninggalkan Osomatsu sendirian di kamar, dia tidak akan bisa tetap berada di rumah. Perasaannya bercampur aduk; marah, kesal, juga malu. Dia tidak percaya jika ada manusia seperti Osomatsu di dunia ini.
"Sialan..."
Dengan kasar Choromatsu memasukan kedua kakinya ke sepatu lalu bergegas untuk keluar rumah. Sebelum menginjakkan kakinya ke halaman depan, dirinya bertubrukan dengan pemuda berwajah sama dengannya.
Itu Karamatsu, di sebelahnya ada Jyushimatsu. Keduanya menatapnya heran. Jyushi yang polos bertanya "Choro nii-san mau kemana?."
Tentu saja dia tidak bisa menjawab, tidak dengan suasana hatinya yang sekarang. Tapi mau bagaimanapun dia harus bersikap sebiasa mungkin. Akhirnya dia menjawab "Maa..ne aku ada keperluan sebentar," Katanya dengan senyum terpaksa "Jika aku belum kembali sebelum makan malam—"
"Kau harus pulang sebelum makan malam Brother," sela Karamatsu dengan wajah narsisnya "Makan malam tanpamu akan terasa hambar. Kebersamaan keluarga adalah yang terbaik SEBUAH HARMONY..."
"Pulanglah setelah merasa baikan Nii-san," Jyushi berbicara pada Choro, mengabaikan pemuda yang paling tua disana. Si Matsuno kuning menatapnya polos, tak lupa dengan mulut terbuka yang manis. Melihat mereka berdua membuat suasana hatinya semakin baik. Mungkin dia akan mengikuti nasehat Karamatsu untuk pulang sebelum makan malam.
Sebelum Karamatsu kelewatan menyerocos gak karuan, Choromatsu melirik ke arahnya "Aku akan pulang sebelum makan malam." katanya dengan senyum tipis.
...
Sementara itu, Osomatsu sedang membersihkan segala 'kekacauan' barusan sambil merenung. Tamparan yang di dapatkannya beberapa menit yang lalu tidak sesakit pukulan Choromatsu yang biasanya. Hanya saja rasa 'sakit' itu mungkin juga sedang dirasakan Choromatsu sendiri. Pemuda berciri khas hijau itu terlihat begitu kesal padanya, seolah baru saja dia menyobek tiket VIP konser Nya-chan (atau mungkin kesalahan yang lebih besar dari itu)
Sungguh Osomatsu bukan itu masalahnya...
Bagaimana reaksi Matsuyo kalau mengetahui ternyata anak pertama yang dilahirkannya sungguh bodoh luar biasa?.
Bagaimana jika ibu dari enam anak kembar itu tahu kalau anak tertuanya baru saja melakukan hal tabu pada salah satu adiknya, DAN masalah terbesarnya adalah anak paling tua itu tidak mengerti letak kesalahannya dimana.
Baginya membantu Choromatsu untuk menuntaskan hasrat seksualnya itu hal normal. Mereka adalah saudara, tak perlu malu. Apalagi di tempat pertama itu salah Choromatsu sendiri, Masturbasi di tempat yang sama sekali tak ada privasinya.
Bukan...
Seharusnya saat itu—saat dimana dia mendengar desahan. Seharusnya dia diam dan pergi dari tempat itu.
Dia harus memberikan privasi itu...
Sayangnya, ketika Choromatsu menatapnya dengan mata berkabut napsu itu. dia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak 'membantu' adik kecilnya tersebut.
Choro selalu berada di sampingnya. Ketika kanak-kanak, adiknya yang satu itu selalu ikut serta dalam rencana konyolnya. Itu mulai membuatnya berpikir; sejak kapan Choro jadi begitu serius dalam menghadapi sesuatu?
Setelah menyimpan kembali majalah porno miliknya yang di pinjam Choro. Oso membuka jendela lalu duduk di pinggirnya dengan salah satu kaki terangkat. Entah apa yang dipikirkannya, pandangan pemuda itu kosong untuk beberapa menit sebelum Karamatsu masuk dalam ruangan.
Setelah Karamatsu, Jyushimatsu datang sambil berteriak-teriak mengenai kekalahan Karamatsu dalam pachinko secara berlebihan. Dua saudara bego yang sama sekali tak bisa menjaga rahasia kemenangan pachinko mereka berhasil membuatnya tertawa ringan. Sungguh aneh baginya untuk tidak segera menggoda—memalak—Karamatsu mengenai uang kemenangannya.
"Melihat kau satu-satunya orang yang berada di sini. Apa kau membuat Choromatsu kesal hah, Osomatsu?" tanya Kara dalam mode normal "Setiap kali kalian bertengkar rumah bakalan ribut. Bisa kalian menghentikan itu?"
Kenarsisan Karamatsu itu di dapatkannya karena ikut Club Drama, jadi terkadang otak miring itu juga bisa lurus huh.
Oso mengernyitkan dahinya. Dia tahu jika dia telah membuat Choro kesal, tidak perlu si narsis itu mengingatkannya. Apalagi bagaimana bisa si Kara tahu kalau Choro sedang marah?—Ah benar. Mereka adalah saudara pasti punya ikatan batin, bukan begitu?
"Kali ini dia yang salah Kuso-Matsu."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Hari sudah semakin gelap. Choromatsu baru saja keluar dari toko buku langganannya sambil membawa sebuah kantong plastik berisikan Manga seri bulan ini.
Cuaca dingin di awal bulan desember membuatnya menyesal keluar rumah tanpa memakai Hoodienya. Nafasnya berwarna putih, mengingatkannya pada asap rokok seseorang.
"Aku tidak pernah tahu apa yang dipikirkannya." gumamnya lalu mempercepat langkahnya. Dia sudah janji akan pulang sebelum makan malam—Saat ini mungkin Osomatsu sedang merajuk di rumah. Ketika pemuda itu bertingkah seperti itu dia akan membuat saudaranya yang lain merasa risih. Choromatsu tidak mau membuat suasananya lebih keruh lebih dari ini.
"Choromatsu nii-san," seseorang memanggilnya. Suara ringan terkesan malas tersebut sangat familiar bagi empunya nama, dia bahkan tidak perlu menoleh itu mengetahui siapa yang memanggilnya. "Rupanya kau ada disini..."
"Ichimatsu?" Choromatsu sedikit menoleh, tidak biasanya mereka bertemu di tengah jalan. Apalagi barusan saja Ichimatsu bilang 'rupanya kau ada disini' "Kau mencariku?" tanyanya.
"Kau sedang bertengkar dengan Osomatsu nii-san bukan? Si Baka Aniki itu terlihat seperti mau menangis."
"Jangan bilang kau mengkhawatirkannya..." Choromatsu mengangkat alisnya.
"Hahaha..." Ichimatsu tertawa garing dia sama sekali tidak merasa lucu dengan dugaan kakaknya "Mustahil aku mengkhawatirkannya."
"Lalu?"
Ichimatsu menunjukan kantong belanjannya "Aku keluar beli makanan kucing. Lalu si sialan-Matsu memintaku untuk sekalian mencarimu. Kenapa tidak di lakukannya sendiri?"
"Ha? Apa yang terjadi denganmu? Kenapa kau mematuhi Karamatsu?"
"Aku hanya kebetulan bertemu denganmu."
Choromatsu ber-oh pendek, wajahnya datar, di mata Ichimatsu dia seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Sebaliknya, Choromatsu juga tidak bisa membaca pikiran Ichimatsu. Si pihak unggu berjalan di sampingnya dengan tenang.
"Jaketmu kemana, nii-san?" tidak disangka Ichimatsu memulai pembicaraan. "Kau ingat sudah tanggal berapa sekarang bukan?"
"Aku keluar rumah tanpa pikir panjang," jawab Choromatsu lirih "Kuharap aku tidak kena flu haha..."
Ichimatsu mendengus "Kalau kau kena flu minta saja si Aniki bertanggung jawab."
"Ha? Dia tidak akan pernah melakukannya. Bahkan aku ragu kalau dia tahu arti dari bertanggung jawab."
"Iya sih."
Tidak ada lagi pembicaraan, suasana diantara mereka kembali sunyi. Choromatsu dan Ichimatsu itu kombinasi yang aneh. Choromatsu selalu bersama Osomatsu dan Ichimatsu selalu bersama Jyushimatsu, mereka berdua jarang terlihat bersama.
Choromatsu bisa merasakan sedikit kecanggungan di antara mereka, dia yakin jika Ichimatsu juga merasakan hal yang sama. Ichimatsu bertingkah cuek tapi dirinya masih memulai pembicaraan—Siapa sangka kalau adiknya bisa begitu? Tidak masalah. Hal tersebut setidaknya membuat Choromatsu merasa cukup tenang karena setidaknya dia tidak perlu berusaha mendekati adiknya lebih jauh.
"Maaf," bisik Choromatsu. Dia jadi sedikit merasa bersalah. Dia merasa kelakuan Ichimatsu yang tidak biasanya itu dikarenakan anak pertama yang sedang merajuk di rumah."Kurasa aku harus minta maaf karena membuat suasana rumah kacau."
Kelakuan Osomatsu nii-san yang kekanak-kanakan kadang membuat yang lainnya risih, pikirnya.
Tiba-tiba saja Ichimatsu berhenti berjalan, membuat Choromatsu berada dua langkah di depannya. "Apa yang terjadi?" pertanyaan tersebut membuat Choromatsu menoleh kebelakang dengan ekpresi heran di wajahnya.
Tidak biasanya Ichimatsu mengurusi urusan orang lain, atau mungkin Ichimatsu sudah berubah banyak semenjak bertemu dengan Espa-nyan.
"Dia mempermainkanku, apalagi?" jawab Choromatsu sewot seraya memasukan kedua tangannya pada saku celana "Si brengsek itu sama sekali tidak mengerti kata privasi," tambahnya lalu mulai berbalik dan berjalan duluan "Kenapa kau membahasnya siih?"
"Semua tahu itu huh," Ichimatsu tertawa renyah "Meski aku setuju dalam kasus Totty."
"Aaah~ aku tidak mau membahasnya!" Choromatsu mengibaskan salah satu tangannya "Kalau seperti itu bagaimana bisa dia mendapatkan pekerjaan? Dia terlalu melekat pada kita, apa dia tidak mengerti siklus kehidupan? Aku mulai bertanya apakah dia manusia!?"
Ichimatsu mengikuti di belakang kakaknya yang mulai mengomel dan mengatai anak pertama Matsuno. Padahal sebelumnya Choromatsu berjalan dengan langkah kesal dan tempo cepat lalu tiba-tiba saja dia berhenti di tempat, membuat Ichimatsu hampir menabraknya.
"Ada ap—"
"Nya-chan!" entah kenapa Choromatsu mulai berteriak panik dan berbalik dengan cepat. Matanya mencari-cari sesuatu di bawah, setelah menemukan bayangan benda yang di carinya, dia mulai berlari mengejarnya.
Ichimatsu memperhatikan sesuatu yang di kejarnya kakaknya. Gantungan kunci berbentuk bola bergambarkan idol kesayangan kakaknya menggelinding. Terkutuklah jalanan yang mulai menurun membuat si empunya gantungan tidak bisa mengejarnya.
Ichimatsu memutar bola matanya malas "Seberapa terobesinya kau pada wanita itu?" gumamnya sebelum ikut berlarian.
Ichimatsu lebih cekatan. Matsuno unggu itu berlari dan meloncat seperti kucing, dia menangkap bola itu seperti kucing menagkap tikus. Bahkan Choromatsu yang berlari duluan saja tidak bisa mengejarnya—Ketika dia sampai di tempat Ichimatsu, dia sudah kehabisan nafas. Dia sudah tidak lagi kedinginan.
"Ini,"Ichimatsu meletakan benda tersebut ke atas telapak tangan kakaknya "Kenapa kau tidak menggantungkannya di ranselmu?"
"Te-terima kasih," Choromatsu menerimanya. Wajahnya sedikit memerah karena malu "Aku baru dapat di toko buku tadi, jadi belum sempat memasangnya." Jawabnya diikuti senyuman segitiga khasnya.
"O-oh." Ichimatsu di buatnya canggung. Tidak biasanya dia melihat kakaknya yang satu itu tersenyum—Choromatsu lebih sering marah dan cemberut.
"Lebih baik kita cepat pulang." Katanya cepat lalu berlari kecil untuk menyembunyikan wajahnya mulai memanas juga.
OXO
Semenjak bertengkar Osomatsu dan Choromatsu sama sekali tidak saling berbicara. Hal seperti ini sudah biasa terjadi di antara mereka berenam, namun perkelahian kali ini terlihat cukup serius mengingat bagaimana Choromatsu bersikeras bertukar tempat tidur dengan Karamatsu.
Hal ini membuat Osomatsu semakin sebal dengan sikap Choromatsu. Sementara Ichimatsu tidak masalah dengan pertukaran posisi mereka semenjak si Matsuno unggu selalu 'mengaku' tidak suka dengan Karamatsu.
Saudara yang lain tidak ada yang berani ikut campur, namun jika ada yang berani menengahi, mungkin yang paling ikut campur saat ini adalah Karamatsu.
Setelah saling menjauh dengan Choromatsu, Osomatsu jadi lebih sering bersama dengan Karamatsu. Namun sebagai kakak tertua setelah Osomatsu, Karamatsu tidak mau menduakan Choromatsu. Karamatsu berusaha untuk mendekati Choromatsu dan meyakinkan adiknya itu jika dia berada di golongan putih.
Tentu saja Choromatsu bisa mengerti—Apalagi dia adalah salah satu Matsuno 'normal' setelah Totty.
Tidak bisa dipungkiri jika suasana diantara mereka berenam jadi keruh. Posisi Karamatsu adalah posisi paling berbahaya untuk saat ini, salah sedikit saja Matsuno biru itu bisa saja berakhir berkelahi—Saling baku hantam dengan Osomatsu.
"Kalau itu terjadi, lebih baik aku keluar dari rumah dan mulai cari kerjaan." kata Todomatsu seraya menyesap teh hijaunya.
Saat ini ketika anak paling muda sedang duduk di dalam Kotetsu. Ichimatsu hanya diam saja berusaha mengabaikan perkataan si anak bungsu, sementara Jyushimatsu dia hanya mengganguk pelan.
"Padahal Karamatsu nii-san kan bisa mengabaikan keduanya." tambah Totty.
Sesuatu dari perkataan Todomatsu membuat Ichimatsu menekuk alisnya. Gelagat tersebut membuat Matsuno merah muda tersenyum tipis, dia tahu apa yang membuat kakaknya itu mulai merajuk. Tapi dia diam saja dan menunggu Ichimatsu untuk mengatakan sesuatu.
"Si sialan itu tidak akan mengabaikan mereka," Ichimatsu melirik Todomatsu, dia tidak pernah suka ketika adik bungsunya itu bertingkah seolah dia tahu segalanya "Kalau mereka mulai berkelahi biarkan saja, toh memang Cuma dia yang sanggup menghadapi si Baka Aniki itu."
"Sudah lama rumah tidak seperti ini huh," keluh Todomatsu seraya meletakan kepalanya di atas meja Kotetsu "Kapan terakhir kali seperti ini? waktu kita SMA?"
"Choromatsu nii-san memang gampang emosi dan main tangan, tapi dia Cuma begitu ke Osomatsu nii-san. Tapi kalau Osomatsu nii-san itu mantan preman. Aku penasaran apa yang membuatnya berubah." Tambah Jyushimatsu juga melakukan hal yang sama dengan Todomatsu.
Lalu diikuti Ichimatsu yang sambil bergumam "Entahlah."
To be Continue
