A/N: Percobaan pertama saya untuk genre Sci-Fi. Semoga ini gak abal... QwQ Dan fic ini ter-influence terlalu banyak film dan animasi lainnya yang sehubungan dengan perompak plus luar angkasa OuO Hidup Treasure Planet! Hidup Star Wars! Hidup Obi! Hidup Ewan~ #melenceng

Disclaimer: Hetalia tentu masih kepunyaannya Hidekazu Himaruya. Beberapa detail dan yang mengilhami cerita ngaco satu ini muncul juga bukan punya saya. Saya cuma main pinjem tanpa ambil keuntungan sedikit pun. Gak percaya? Kalo saya punya hak cipta semua ini, mending saya pensiun jadi anak interior =3=

Warning: OC baru sebiji, kok. Paling mentok dua, gak mau saya tambahin lagi =3= #eh Sho-ai dan grepe-grepe, karena kita berurusan dengan Nethere yang biar tsuntsun, tapi otak bokepnya jalan kayak France =3= #eh Perampokan. Imajinasi super ngaco buat penggambaran luar angkasanya OuO Pairing? Hayo tebak sendiri~ XDD

Notes to myself: Ngerjain fic ini gak cocok sambil dengerin lagunya Mojako. Biar ada kata Saturnus, Venus, dan lalalala lainnya, tetep aja gak pas... #slap


Gurat luka berwarna merah menyala menghiasi telapak tangan kirinya. Bentuk kurva dan garis saling melintang, bertumpuk serta membuat pola yang unik. Beberapa bahkan hanya berupa titik-titik besar, terhampar di beberapa garis luka. Bentuknya hampir menjadi lingkaran sempurna, kalau saja posisi luka itu tidak berada di pinggir kanan telapak tangannya. Terlalu ke kanan, malah. Tapi, si pemilik luka tak ambil pusing tentang ini.

Mata abu-abu itu menatap datar bekas luka tersebut, tampak tak tertarik—bahkan cenderung jijik. Wajar kalau sang pemilik luka merasa sebal melihat bekas luka ini. Dengan luka sebesar dan seaneh itu, ia selalu dipandang sebagai orang aneh. Setiap hari, ia harus mengenakan sarung tangan—latex dan berwarna hitam—untuk menyembunyikan lukanya.

Menurut cerita ayahnya, luka itu dia dapat dulu, sewaktu ia kecil. Sekelompok perompak galaksi menculik dan melukainya untuk menakut-nakuti ayahnya. Beruntung para perompak tersebut berhasil dilacak dan ia terselamatkan sebelum dibunuh.

Anehnya, pemuda ini sama sekali tak ingat tentang kejadian itu...

"Perompak menjijikan." gerutu pemuda berambut hitam itu. Ia lalu menyambar sepasang sarung tangannya dan segera memakainya. Menatap luka menyebalkan itu barang sedetik lagi, ia bisa muntah.

Harus ia akui kalau lukanya itu tidak mengerikan seperti beberapa luka bekas perang yang pernah ia lihat di buku atau pada seorang soldier yang berpapasan dengannya. Hanya saja, warnanya yang merah menyala terlalu menarik perhatian. Entah dengan apa para perompak itu melukainya, luka merah menyala bagai darah itu tidak mau berkurang sejak dulu.

TOK TOK!

Suara ketukan di pintu berhasil membuat sang pemuda bermata abu-abu mendongak dari cerminnya. Ia baru saja selesai mengenakan sarung tangannya, siap mengambil T-shirt putihnya. "Ya?" sahutnya, terdengar ogah-ogahan. Sampai kapan pun, dia tidak akan pernah menjadi morning person—orang yang bisa bangun kelewat pagi dan masih ceria bagai kelinci kebanyakan gula.

Suara sailor itu terdengar sayup-sayup, teredam oleh pintu metalik besar yang tebal. Soldier itu berkata, "Kapten Beilschmidt menunggu Anda di ruang komando, Herr Reinhart."

Sang pemuda berambut hitam mengerang kesal. Dipanggil ke ruang komando oleh ayahnya, sang Kapten IGS Falcon-A01, sungguh bukan pertanda baik. Dalam hati, ia berusaha mengingat-ingat kesalahan apa yang sudah ia perbuat kemarin—sengaja maupun tidak disengaja.

"Ja. Aku akan segera ke sana!" sahut Reinhart. Ia segera memakai pakaiannya—satu setel jas putih dengan kancing emas dan tali tipis berwarna kemerahan dengan beberapa lencana tersemat, serta celana putih. Disambarnya sebuah tablet hologram—untuk jaga-jaga bila sang Kapten memutuskan untuk melihat hasil pekerjaan rumahnya. Tak ketinggalan topi berwarna putih dengan tepian bawah berwarna hitam ia kenakan. Sebelum keluar dari kamarnya, sang pemuda berambut hitam ikal ini berkaca dan memperbaiki posisi lencana anggota Inter-Galactic Space Patrol.

Sekarang, Reinhart Beilschmidt siap untuk memulai tugasnya.


Hetalia Axis Powers copyright owned by Hidekazu Himaruya

Treasure Planet copyright owned by Walt Disney Picture

Titan A.E. copyright owned by 20th Century Fox

Treasure Island copyright owned by Robert Louis Stevenson

Pirates of Carribean copyright owned by Walt Disney Picture

Star wars copyright owned by George Lucas


Falcon-A01—atau lebih akrab dipanggil Mother Ship oleh para polisi antar-galaksi—adalah kapal induk IGSP yang senantiasa berpatroli mengelilingi galaksi. Namanya begitu termasyur hingga ke seluruh galaksi, membuat namanya sangat ditakuti oleh para pemburu harta antar galaksi. Bahkan para perompak galaksi paling ditakuti akan gemetar mendengar nama kapal antariksa yang satu ini. Untuk para perompak, kapal ini mempunyai julukan lain:

The Destroyer.

Reinhart berjalan dengan cepat menyusuri lorong-lorong trapesium berwarna putih. Langkah kakinya dibimbing oleh sebuah garis berwarna biru, mengarah langsung ke ruang komando. Meski ia ingin sekali berbelok sejenak ke kantin dan sarapan, garis-garis melintang ini akan mencegah dan mengadukannya langsung ke ruang komando.

Mendesah khawatir, Reinhart melirik jam digital yang mengitari pergelangan tangannya, sedikit panik. Lagi-lagi ia kesiangan dan terlambat tugas. Pasti ayahnya akan—

Baru saja Reinhart akan berbelok, sepasang tangan menangkap lengannya, menggeret sang pemuda berambut hitam ikal ini ke cekungan tak terpakai di lorong sempit. Belum sempat ia melemparkan protes kepada siapa pun yang telah membuatnya semakin telat, sepasang bibir langsung melumat bibir merahnya, mengulumnya dengan penuh gairah. Dalam sekejap, Reinhart sudah lupa protes apa yang ingin ia ucapkan. Tangannya malah terangkat dan melingkari pundak pasangannya, menarik lelaki yang lebih tinggi darinya itu semakin erat dalam dekapannya.

Akhirnya pria misterius yang mendorong Reinhart kasar ke tembok kapal menjauh tubuhnya. Ia mendesah pelan dan mengecup kening, pipi, dan sepanjang dagu si pemuda berambut hitam. "Ah... Aku benar-benar merindukanmu..." bisiknya seduktif sambil terus menciumi pipi dan leher Reinhart.

Reinhart tertawa. Ia lalu mendorong tubuh tinggi pasanganya itu menjauh dan membetulkan jasnya yang sempat kusut. Mata abu-abunya melirik penuh humor ke arah lelaki berambut pirang di depannya. "Kau ini ada-ada saja." katanya sambil tertawa. "Kita baru saja bertemu kemarin malam di kamarku, Willem."

Willem van der Plast, Letnan IGSP dari kuadran 4 tersenyum kecil medengar ucapan kekasihnya. Tak menggubris omongan Reinhart, ia malah menarik pemuda berambut hitam itu dan mengecup singkat sepasang bibir merah merekah. "Aku hanya ingin bertemu denganmu sebelum aku memulai tugasku."

Raut muka Reinhart berubah seketika saat mendengar kata 'tugas' meluncur keluar dari bibir Willem. Mata abu-abunya menatap tak percaya sekaligus sedih ke arah Letnan berambut pirang jabrik itu. "... Tugas?" bisiknya sedih. Suaranya begitu pelan, sampai-sampai Willem tak bisa mendengarnya. "Tapi, kau baru kembali dari misimu di Orion lima hari cahaya yang lalu..."

"Aku tahu, tapi ini perintah langsung dari ayahmu." kata Willem. Dia sendiri terdengar tidak menyukai tugas baru dari atasannya itu. "Katanya, ada pemberontakan di Bumi. Kudeta atau semacamnya. Senator di sana terancam keselamatannya dan aku diminta—dipaksa—oleh Kapten untuk—"

"Tak adakah orang lain yang bisa menggantikanmu? Suruh orang lain." desak Reinhart, menarik jaket berwarna biru tua milik Willem, memaksa sang pemakai untuk merunduk sampai wajah mereka sejajar. "Kau... Kau bahkan belum memberitahu ayahku tentang kita berdua! Kau lupa dengan janjimu sendiri?"

Willem mendengus pelan. Untuk pertama kalinya, sang Letnan berambut pirang itu mengalihkan pandangannya dan menatap entah ke mana, berusaha untuk tidak beradu pandang dengan pasangannya. "Sekalipun aku memberitahu sang Kapten dengan baik-baik, dia tak akan pernah menyetujui hubungan kita." bisiknya, lirih. "Dia Aryan dan aku hanya Medi—"

"Tapi, kau tidak pernah mencoba untuk bicara dengannya, Will!" desak Reinhart. Kedua tangannya mencengkeram erat jas biru laut yang dikenakan Willem. "Bagaimana kau bisa tahu reaksi Ayah bila kau tidak mencobanya?"

PIIP! PIIP! PIIP!

Suara mesin yang nyaring itu membuat Reinhart sadar kalau ia sudah melanggar garis pembimbingnya selama lima menit lebih. Sistem brengsek yang bisa mendeteksi salah langkah—sengaja maupun tidak disengaja—orang yang dibimbingnya. Lewat lima menit, sistem akan berbunyi, memperingatkan siapa pun yang sedang ia bimbing untuk segera kembali ke tujuan utamanya. Lewat dari sepuluh menit, sistem ini akan langsung menghubungi ruang kontrol dan memberitahu sang Kapten bahwa ada soldier yang membolos.

Sistem yang bagus untuk mencegah para sailor membolos, tapi juga cukup menyebalkan.

Reinhart menggerutu kesal, menatap penuh kebencian mendalam ke arah garis berwarna oranye. Oranye berarti peringatan awal. Bisa bahaya kalau sampai berwarna merah karena itu berarti Reinhart akan diberi sanksi karena melanggar perintah Kapten dan membolos. Tepukan singkat di pundaknya mampu mengalihkan perhatian Reinhart dari garis menyebalkan yang berbunyi nyaring.

"Sepertinya kau harus segera ke ruang komando." bisik Willem pelan dengan wajah kaku. Mata hijaunya juga melemparkan pandangan tak senang ke arah garis oranye yang makin lama semakin gelap—mulai berubah warna menjadi merah. "Bisa bahaya kalau ayahmu menemukan kita berdua di sini."

Mendengar omongan Willem malah membuat suasana hati Reinhart semakin kacau. Ia membalikkan tubuhnya dan merengut kesal. "Tidak akan jadi masalah kalau ayahku tahu tentang kita, selama kau sudah memberitahunya!" ucapnya sebal.

"Iya, iya. Nanti, setelah kembali dari Bumi, aku akan memberitahu ayahmu. Kalau perlu, kucium kau di depan muka kedua kakakmu yang kaku dan sok awesome itu. Supaya mereka tahu kalau kau sudah ada yang punya." kelakar sang Letnan.

Reinhart memasang muka jijik saat mendengar ucapan Willem. "Ugh. Kau bicara begitu seolah-olah aku dan kedua kakakku terlibat hubungan incest..."

Willem van der Plast tertawa pelan sebelum mengecup lembut bibir pasangannya. Untuk beberapa saat, keduanya larut dalam dekapan masing-masing dan melupakan tentang line milik Reinhart yang sudah berubah warna menjadi merah gelap. Orang pertama yang menyadari adalah Willem yang melirik melalui ekor matanya. "Line-mu sudah merah, Reinhart."

"Biarkan saja." gumam sang soldier. Ia mengulurkan tangan dan mengelus lembut pipi pasangannya. Jemarinya bergerak menyusuri kontur rahang yang begitu tegas dan bergerak naik, meraba telinga lancip Willem, lalu tersenyum. "Toh, ini saat yang tepat bagiku untuk bertemu dengan kekasihku yang bertelinga lancip."

Willem memutar kedua bola matanya, jengah mendengar julukan tak kreatif yang diberikan Reinhart kepadanya. Ia lalu mendorong tubuh mungil sang soldier berambut hitam itu menjauh dan merapikan jasnya sendiri. "Sudah berapa kali kubilang bahwa aku paling tidak senang kalau kau mulai menyinggung masalah telingaku." desisnya.

"Apa? Kau merasa terdiskriminasi dengan kami, bangsa berdarah biru?" goda Reinhart sambil menyikut pelan pinggang Willem. "Lagipula, aku suka telinga lancipmu itu, kok. Sama seperti para elves yang kubaca beberapa hari lalu di holo-book."

Yang disinggung hanya menggumam kesal tak jelas. Matanya kembali teralihkan ke jalur yang merah menyala. "Kau sepertinya harus segera ke ruang komando, Reinhart..."

"Tadi salah siapa yang menarikku ke pojokan, membuatku waktuku terbuang percuma?" balas Reinhart.

"Iya, aku minta maaf. Sana, pergi. Aku harus ke hangar dan mempersiapkan pilot serta kapalku."

Satu kecupan singkat di bibir menjadi pemisah—Reinhart kembali berlari menuju ruang komando sementara Willem bergerak cepat menuju hangar. Dalam hati, keduanya hanya bisa berharap untuk segera bertemu.


Satu jam diceramahi oleh Kapten Dietrich Beilschmidt cukup membuat telinga Reinhart berdenging. Sang Kapten berambut pirang panjang itu tak bosan-bosannya mengingatkan putra bungsunya ini untuk datang tepat waktu. Lalu, sebagai tindak lanjut—hukuman, lebih tepatnya—atas kelalaian dan keterlambatan Reinhart, pemuda berambut ikal itu harus bekerja selama sebulan di ruang komunikasi, berurusan dengan kabel-kabel warna-warni dengan ukuran bermacam pula.

"Kudengar dari Kapten kau terjebak di ruang komunikasi sampai sebulan, adik kecil?"

Reinhart mendongak dari makan siangnya dan bertatap muka dengan sosok kakak tertuanya tersenyum lebar, mengejek. Di Belakang sang kakak, berdiri satu kakak lainnya, kali ini menatap Reinhart dengan tatapan iba.

"Sudahlah, Bruder." ucap Ludwig Beilschmidt, putra kedua sang Kapten Falcon. Mata birunya menyipit, menegur sang kakak tertua melalui tatapan tajamnya. Ia lalu berjalan menuju meja makan Reinhart dan menekan beberapa tombol di tepian meja, lalu muncul dari bawah lantai dua buah kursi. "Reinhart sudah sadar dengan masalahnya tanpa perlu kau singgung."

Gilbert Beilschmidt, sang kakak tertua, menjulurkan lidahnya ke arah Ludwig sebelum mengambil satu kursi di sebelah kiri Reinhart. "Oh, ayolah. Aku yang awesome ini hanya ingin dengar gosip dari officer lainnya tentang adik bungsu kita tercinta ini harus bekerja sebulan penuh di ruang komunikasi." Gilbert mengakhiri celotehannya dengan tawa keras, membuat orang-orang di kantin menoleh penasaran.

Ludwig menghela napas panjang dan menggeleng. Ia memutuskan kalau berdebat dengan Gilbert tak akan berakhir. Si kakak satu itu terlalu keras kepala. Daripada berurusan dengan Gilbert, ia lebih memilih untuk bertanya langsung pada adiknya. "Benarkah kau dihukum Kapten sebulan hanya karena terlambat?"

Reinhart melirik Ludwig melalui balik tirai hitam rambutnya. Dengan lesu, ia mengangguk, mengiyakan.

"Siapa suruh juga kau membolos berkali-kali seperti itu." ucap Gilbert. Ia mulai menyuap supnya yang transparan, mengerenyit sejenak saat tak tahu sup macam apa ini. Sang pemuda albino mendekatkan sendok makan dan menyecap cairan bening tersebut, lalu mengerucutkan bibirnya, tak senang. Tangannya mendorong menjauh nampan makan siangnya sebelum kembali berkata, "Contohlah kakakmu yang awesome ini. Jarang terlambat dan selalu patuh pada perintah atasan."

"Jarang bukan berarti tidak pernah, kan?" celetuk Ludwig santai. Ia juga berjengit saat merasakan sup bening itu. Sama dengan Gilbert, sang soldier berambut pirang itu mendorong nampannya menjauh. Ia mengambil gelas dan meminum air putih banyak-banyak. "Aku tak mengerti kenapa makanan kantin sekarang semakin aneh-aneh saja..."

"Kalian tidak baca holo-ad-nya?" Reinhart menunjuk sebuah papan horizontal yang menampilkan hologram tentang menu khusus hari ini: ZARCONIAN.

Ludwig dan Gilbert mengerang saat membaca menu spesial untuk hari ini.

"Pantas saja yang bisa menikmati makanan dengan rasa buruk ini hanya mereka..." gerutu Gilbert seraya menunjuk sekelompok soldier di sudut kantin. Tubuh mereka besar dengan kulit tebal bersisik. Kaki dan tangan mereka menyerupai cakar, sementara wajah mereka tampak keras bagai batu. Dengan lahap, mereka memakan makan siang kali ini. "Ras yang tak punya indera perasa seperti mereka memang pantas dengan makanan seperti ini."

Reinhart, mengikuti gerakan kedua kakak, juga menjauhkan nampan makan siangnya. Mendadak ia sudah tak lapar lagi saat melihat cara makan para Zarconian itu; kelewat barbar dan malah membuat mual. Mata abu-abunya sekarang menatap kedua kakaknya bergantian. "Aku tak mengerti kenapa Ayah harus semarah itu padaku." keluhnya.

"Karena kau sudah tiga kali terlambat saat mendapat panggilan." sahut Gilbert santai sambil menyeruput minuman seratnya. "Kau tahu Ayah, kan? Sangat tegas dengan peraturan dan paling benci waktu diulur-ulur."

Reinhart tertawa datar, sadar betul dengan apa yang dikatakan kakak tertuanya. Pemuda berambut hitam itu menumpangkan dagunya ke tangan kiri. Dinginnya material latex tak membuat Reinhart tersentak atau semacamnya. Dia sudah terbiasa dengan material karet tersebut setiap hari. Pandangannya sekarang terarah pada jendela besar yang menampilkan kerlipan bintang di galaksi antah berantah. beberapa menggerombol, membentuk gugus galaksi yang menarik, sementara lainnya berkelap-kelip sendirian di tengah gelapnya ruang hampa udara. Tiba-tiba, ia terpikir mengenai Willem. Apakah Letnan muda itu sudah pergi, menempuh space warp dan berjalan cepat menuju Bumi? Atau jangan-jangan dia sudah sampai dan sedang sibuk melawan para pemberontak?

Di tengah lamunannya, Reinhart melihat sekelebat bentuk menyerupai kapal antik melintas di sudut. Keningnya berkerenyit. Penasaran dengan apa yang ia lihat, Reinhart berdiri dari kursi dan berjalan mendekat ke jendela. Ia tak mengacuhkan pandangan penuh tanya dari kedua kakaknya dan berjalan terus ke jendela. Ditempelkannya tangan berlapis latex miliknya ke lapisan kaca tebal bertekanan udara tinggi. Mata abu-abunya menyipit, mencari-cari apa gerangan yang ia lihat barusan. Ilusi semata atau memang kenyataan?

Ah, rupanya itu benar. Kali ini, bentuk kapalnya semakin mendekat. Lihat itu. Layar solarnya menyala kelap-kelip, menangkap berbagai sumber cahaya dari bintang di sekitarnya untuk lalu diubah menjadi tenaga dorong. Kapalnya semakin mendekat dan mendekat...

Tunggu. Apakah kapal itu mengarah tepat ke Falcon?

Reinhart mundur tepat pada waktunya saat kapal misterius itu menembakkan meriam laser ke arah kaca sebanyak tiga kali, menghancurkan kaca tersebut hingga berkeping-keping. Dalam sekecap, udara yang mencekik menerjang, menyedot segala hal yang ada di dalam kantin untuk kemudian dihempaskan di ruang hampa.

Sirene berbunyi nyaring dan pintu-pintu langsung ditutup. Beriringan dengan bunyi mesin, terdengar jeritan orang-orang—terutama mereka yang tertarik keluar—memenuhi kantin yang semula tenang. Beberapa petugas tampak sibuk menghubungi ruang panel dan kontrol untuk mengurus situasi ini dan mengembalikan tekanan udara di dalam kantin. Reinhart sendiri masih berpengangan erat pada tepian meja kantin. Sialnya, material meja yang terlalu licin membuatnya tak punya cengkeraman erat.

"Reinhart!" seru Gilbert dan Ludwig berbarengan. Keduanya mengulurkan tangan, berusaha menggapai adik bungsu mereka ke tempat aman. Mereka berdua berpegangan pada kolom kapal. "Reinhart, raih tangan kami!"

Reinhart menggerutu kesal. Ia harus berjalan—atau merangkak—cukup jauh untuk mencapai uluran tangan kakak-kakaknya. Yang lebih menyebalkan lagi adalah tangannya mulai kesemutan, tak sanggup bertahan lagi. Sarung tangan yang ia pakai juga tidak membantu, malah membuat tangannya semakin sulit berpegangan. Bahkan sekarang Reinhart hanya bertahan pada tiga jari sekarang. Tiga jari, yang akan segera berkurang menjadi Dua.

Dua.

Satu.

Dan Reinhart kehilangan pegangannya. Ia tertarik keluar kapal, diiringi oleh teriakan panik dari kedua kakaknya. Mata abu-abunya membelalak lebar, tak percaya dengan nasib naas yang akan ia terima—terjebak di tengah antariksa yang tak berbatas, seorang diri, dan—

-Sebuah jaring menahan tubuhnya. Bukan hanya sekedar menahan, jaring tersebut secara otomatis malah menyelimuti tubuhnya, memerangkap sang soldier IGSP sampai tak bisa bergerak sedikit pun.

Reinhart menggeliat panik, berusaha melepaskan jeratan jaring tersebut. Dia memberontak semakin liar saat jaring itu sedikit demi sedikit ditarik naik kembali ke kapal. Saat itulah Reinhart melihat bendera hitam dengan lambang tengkorak putih berkibar di tiang utama kapal.

Lambang perompak. Dia—sekali lagi—diculik oleh segerombolan perompak. Nasibnya akan ditentukan oleh para perompak di atas kapal sana; mati ataupun hidup.

Well, paling tidak, ia tak perlu menghadapi ruang komunikasi sebagai hukuman...


A/N: Satu lagi multichap abalita dari saya :D Apakah ada yang bisa menebak siapakah gerangan si Reinhart ini? Kalo bener, saya kasih piring cantik, selamat beli di toko piring terdekat pake uang sendiri~ #eh

Apakah masih ada yang mau me-review fic saya satu ini? QuQ