.danneggiato—damaged.

Author : badstorymaker

Cast : Kim Jongin

Do Kyungsoo

Xi Luhan

And other member EXO.

Pair : Kaisoo, KaiLu

Genre : drama, romance, school life, AU!Wolf era.

Rate : T+ For the fight scene.

Warning : Thypos, GS!for Kyungsoo and Luhan

Note :

Pernah baca ff berjudul 'Dirty room storey' ? Aku suka ff itu, castnya Baekhyun dan itu yang jadi inspirasi aku nulin cerita ini.

Tapi aku gak plagiat, alur dan plotnya beda sama ffnya mumuturtle itu.

Oh ya, aku bakalan gak sering update karena aku mau belajar buat SBMPTN.

Do'ain aku yaah. Juga buat calon mahasiswa lain diluar sana.

Fighting.

Note lagi : Disini aku pake rambut Kai yang blonde gelap itu yah. Pas jamannya wolf. Juga rambutnya D. O yang merah gelap itu, terkesan seksi dan aku suka.

.

Just enjoy the story

.

—Rain falls then the sun rises.

The weather is just like my heart. I cry then I laugh. It's cloudy then it's clear, tears fall. Then I pretend I'm fine— Ji Yeon - Never Ever

.

Sore itu hujan mengguyur bumi, menyiram tanah dengan rerintik air yang jatuh satu-satu. Gemerintiknya begitu berisik ketika menyentuh daratan. Airnya menggenangi tanah-tanah basah kemudian menjadi becek. Asap tipis petrichor mengambang begitu rendah dan terhirup penciuman.

Kelabu pekat menjadi warna yang begitu dominan di langit.

Hari itu keluarga Kim berduka. Menghantar kepergian dua anggota keluarganya. Serak-serak diantara berisik hujan terdengar tangis menyedihkan dari anggota yang di tinggalkan.

Semua anggota keluarga meratap.

Payung-payung hitam berjajar mengelilingi dua pusara, tiap orang tidak perduli akankah itu hujan ataupun badai sekalipun.

Tapi tidak dengan Jongin, satu-satunya orang yang terdiam.

Berdiri mematung di bawah guyuran langsung air hujan. Jongin tidak perduli akankah ia sakit nantinya. Sejenak matanya menatap pada pusara mendiang Ayah dan Ibunya. Tak ayal dia merasakan debaran di hatinya, itu sakit. Melihat dua orang yang begitu ia sayangi di hidupnya pergi begitu saja.

Mereka bilang itu murni kecelakaan mobil tunggal, tapi Jongin meragukannya. Ayahnya handal menyetir.

Jongin hancur seketika.

Tapi jujur saja, Jongin tidak ingin menangis.

Ia tidak mau terlihat lemah. Meski itu di depan keluarganya sendiri.

Ia bergetar karena dingin, tapi ia munafik untuk mengakuinya. Rambut dark blondenya telah kuyup dan airnya mengalir kewajahnya yang memucat. Seragam yang tidak sempat ia ganti telah basah sepenuhnya. Dan Jongin tidak perduli lagi.

Harusnya ia tahu. Sore itu telah menjadi mendung kelabu yang tidak akan pernah terlupakan. Bahwa ia telah kehilangan dua orang dalam hidupnya.

Jongin mendengus lirih, tangannya tergerak mengusap wajahnya yang terguyur. Dia sana ada jejak air mata yang terhapus air hujan. Diam-diam Jongin menangis.

Tapi tidak ada yang mempedulikannya. Semua orang larut dalam duka.

Semua keluarganya hadir dalam pemakaman. Seluruh keluarga dari kedua pihak orang tuanya. Kedua kakaknya juga menangis histeris tidak percaya. Tapi yang Jongin tidak ingat, dia punya saudara perempuan yang memiliki rambut merah menyala.

Jongin menatapnya sejenak, memperhatikan lekat.

Gadis itu berkulit pucat, teramat kontras dengan rambut merah panjangnya. Mata itu bundar dengan porsi yang pas, matanya mengingatkan Jongin pada gula leleh. Begitu teduh warnanya tapi Jongin tahu gadis itu menatapnya tajam. Yang Jongin sadari, gadis itu tak henti menatapnya dari saat ia tiba di pemakaman.

Jongin jadi mengira-ngira, apa yang gadis itu lakukan sementara semua orang meratap dalam duka. Hanya menatapnya, dan Jongin tidak tahu kenapa gadis itu melakukannya.

Hujan telah reda bersamaan dengan orang-orang berpakaian formal yang mulai berjalan meninggalkannya. Jongin hanya berdiri mematung di tengah-tengah pusara.

Jongin memperhatikan, tidak ada lagi orang di sekitarnya untuk menyadari bahwa dirinya telah jatuh dalam kehancuran, dan duka. Ia terjatuh berlutut di tengah dua makam.

"Ayah..." Lirihnya. "Ibu..."

Jongin tahu hanya angin yang mendengar bisikannya.

"Hari ini aku ulang tahun," Bodoh, untuk berpikir dan mengira-ngira akankah ada 'kejutan' lagi di hari ulang tahunnya sekarang. "Tidakkah kalian berpikir untuk memberi ku hadiah." Suaranya bergetar, tapi ia bersyukur semua orang telah pergi.

Jongin bangkit, dia mengusap wajah basahnya dengan gusar. Tidak ingin orang melihatnya dalam keadaan lemah.

"Tapi," Ia melihat kelangit, "kenapa malah ini yang aku dapatkan."

"Ayah, Ibu. Bukankah ini terdengar jahat."

Jongin melangkah mundur, hari sudah nyaris gelap dan seragamnya telah lama mengering. Ia mulai menapaki jalan pulang, dan kehidupan baru tanpa orang tua. Ia menatap kosong jalan di depannya. Seperti hari-hari berikutnya.

Jongin tidak akan melupakan 'hadiah' ke-tujuh belasnya. Tidak akan pernah.

Saat tiba di parkiran, Jongin menyalakan motor sportnya. Ia mengenakan kacamata hitam meski ini malam hari. Matanya sembab dan dia tidak ingin orang melihatnya.

Tapi satu yang Jongin tangkap di sudut matanya. Seseorang dengan rambut merah menyalanya terbias jingga-nya mentari tenggelam. Rambutnya berkibar diterpa angin.

Si Gadis itu.

Dia menatapnya lagi. Begitu lekat sampai-sampai Jongin berpikir apa gerangan yang gadis itu lakukan di malam hari saat semua orang sudah pulang.

Tapi, Jongin tidak ambil pusing.

Deruman terdengar makin kencang dari motor hitamnya, dan ia mulai pergi.

Ia tidak perduli dan tidak ingin peduli apakah Gadis itu masih menatapnya ketika Jongin melewatinya begitu saja.

Gadis aneh.

.

.

damaged

.

.

Few months later,

—then i pretend that i'm fine— Ji Yeon - Never Ever.

Jongin terbangun dengan suara gaduh yang di dengarnya. Ia mengerang dan bangkit. Badannya kaku setelah tertidur cukup lama di lantai keras.

Hari ini Jongin membolos, tidur di gudang barang menjadi pelariannya. Sama seperti kemarin dan kemarinnya lagi.

Ia menguap dan mengusak dark blondenya sebelum melangkah keluar ruangan.

Diluar ia menemukan segerombol anak yang tengah menghajar seorang pemuda. Jongin pikir pemuda itu tengah di keroyok.

Jongin mendengus kuat, inikah sumber kegaduhan yang membuatnya terbangun.

Dengan santainya ia melewati segerombol anak yang main keroyok itu, "Tidakkah kalian curang?" Semua orang mulai diam, dan kemudian terbelalak saat melihat Jongin berdiri santai di dekat mereka. Melesakkan tangannya ke saku celana, Jogin menunjuk tak acuh dengan dagu pada korban mereka. "Kalu kalian berani, satu lawan satu."

Mereka mulai bergetar, dan Jongin menyeringai.

Ini bukan saatnya bagi mereka.

"K-kim J-jongin..."

Yang punya nama mengangkat alis, "Ya..."

Segerombol itu tiba-tiba saling melirik dan pada hitungan detik mereka berlari dengan gusar. Luntang-lantung menghindari tatapan Jongin.

Jongin menyeringai sebelum pandangannya jatuh pada pemuda yang menjadi korban. Ia melihat pemuda itu memakai kacamata besar dan tebal yang bodoh, rambutnya terlihat konyol dengan warna kayu yang di potong dengan gaya membosankan.

Jongin tahu siapa dia, Park Chanyeol. Murid teladan yang berasal dari kelas yang sama dengannya.

Jongin tersentak saat Chanyeol tiba-tiba bangkit dan membungkuk berkali-kali kepadanya. "Terimakasih." katanya. Tapi dia mengatakannya berkali-kali. Di ujung matanya Jongin melihat si kacamata aneh itu membungkuk-bungkuk hingga rambutnya memantul. Jongin ingin tertawa tapi nyatanya ia hanya diam.

Tidak memperdulikan si pintar membosankan itu, Jongin meraih earphone-nya dan mulai melangkah meninggalkan lorong gudang.

Asal tahu saja, selepas kematian orang tuanya. Jongin di asuh paman dan bibinya. Kedua kakak perempuannya kembali sibuk dengan suami masing-masing. Pamannya pemegang saham terbesar di yayasan sekolahnya, membuatnya di takuti di sekolah.

Tapi sejujurnya, Jongin tidak begitu peduli status pamannya. Ia juga tidak begitu mengerti kenapa semua orang begitu menakutinya.

Ia tidak perduli pandangan orang padanya, tapi perlahan Jongin mulai menikmati kekuasaannya dan berubah menjadi pemuda serampangan. Perlu tahu, dia di asuh pamannya tapi dia jarang pulang dan lebih suka menghabiskan waktu di rumah yang ia bagi dengan temannya.

Itu hanya pelarian.

Jongin butuh pelarian dari kehancurannya.

.

damaged

.

Mungkin musik di earphone-nya terlalu kencang hingga ia tidak menyadari bahwa telah sampai di lorong ruang latihan vokal. Matanya terpejam, dan Jongin begitu menikmati lagunya hingga di merasakan benturan amat keras di bahunya.

Jongin merasa nyeri tapi tidak jatuh.

Ketika membuaka mata ia menemukan seorang gadis telah jatuh terduduk di hadapannya. Dengan berlembar-lembar kertas putih berserakan.

Jongin mengerang dan menatap gadis berkulit pucat itu.

"Matamu dimana," katanya. Meski tahu Jongin yang telah salah karena tidak melihat. Tapi ia keras kepala, tidak ingin di salahkan.

Dari ujung matanya Jongin lihat gadis surai merah itu bangkit dengan kesal. Memunguti kertas-kertasnya. Sepertinya pernah melihat, Jongin pikir.

"Kau tidak ingin minta maaf," Kata Jongin ketus.

Gadis itu telah sepenuhnya bangkit dan mendekap lembarannya. Menatap Jongin dengan tajam dan penuh antisipasi.

Jongin terbelalak, untuk pertama kalinya telah di perlakukan demikian. Di tatap tidak sopan dan penuh pertentangan. Tapi ia segera merubah air mukanya.

"Apa katamu?!" ketus gadis itu.

Jongin terkejut dalam hati saat mendengar suara gadis itu nyaris membentak. "Kau pikir siapa yang salah dalam hal ini?" Gadis itu mendekat selangkah membuat Jongin tiba-tiba mundur. Ia tidak tahu mengapa bisa setakut ini pada gadis kecil itu. Dia menunjuk Jongin tepat di mukanya dengan satu tangannya yang bebas, gadis rambut merah itu berkata. "Kau itu—!"

Tapi gadis itu tidak menyelesaikan kalimatnya. Jongin bertanya-tanya apakah yang akan gadis itu katakan, tapi setelah sekian detik tidak ada suara. Jongin mendengus. Penasaran juga pada siapa sebenarnya gadis ini. Mengapa dia bisa berada di pemakaman saat itu.

Jongin jadi mengira-ngira apakah mereka saudara atau saling kenal. Tapi Jongin memilih tidak peduli.

"Aku apa?" Jongin menyingkirkan jemari gadis itu di hadapannya. Muak juga melihatnya direndahkan seorang gadis. "Jika tidak ada kepentingan menyingkirlah."

Dalam penglihatannya Jongin tahu gadis itu kesal setengah mati padanya. Ia melihat gadis itu menghentak tanah sekali dan merengut. Berjalan melewati Jongin dengan menabrak bahunya sekali lagi dengan sangat keras. Sengaja.

Jongin mengaduh dan mengusap bahu setelah nyaris terhuyung. Hebat juga, badannya mungil tapi kau tidak boleh meremehkan kekuatannya.

Gadis itu meninggalkan Jongin yang tercengang.

"Apa-apaan! YA!"

Meski tahu gadis itu tidak akan menanggapi tapi Jongin tetap menatap punggung sempit yang menjauh. Menatapnya benci.

Dia pikir dia siapa, pikirnya.

Mengusak dark blonde-nya, Jongin kembali memasang earphonenya dan mulai melangkah. Mencoba lupa pada apa yang gadis mungil dengan rambut merah misteriusnya lakukan. Terus menerus menghantui pikirannya.

.

.

damaged

.

.

Jongin tahu jam pelajaran terakhir harusnya tidak dia ikuti. Bisa saja ia membolos lagi seperti sebelum-sebelumnya. Mungkin kali ini di atap gedung sekolah. Berleha-leha menatap mentari yang tertutup awan putih sambil mendengar lagu-lagu favorite di playlist-nya.

Tapi tidak sejak guru pengajarnya telah memberikan peringatan untuk tidak lagi keluar di mata pelajarannya. Jongin sebenarnya anak baik; jika di telisik lebih dalam.

Ia hanya butuh pelarian.

Semata-mata apa yang ia lakukan hanya untuk, pengalihan. Tidak ingin terpuruk terlalu lama tapi dengan cara yang salah.

Jongin menguap begitu guru di depannya sudah mengoceh. Ia meletakkan kepalanya di meja. Sembunyi-sembunyi di balik tubuh siswa yang duduk di depan.

Mungkin saja Jongin akan tertidur nyenyak kali ini, perlu diketahui jam tidurnya telah terkuras untuk kegiatan lain yang ia lakuakan malam sebelumnya. Tapi sebuah suara familiar terdengar di kupingnya.

Ia menatap keluar jendela, kursi yang ia duduki tepat di samping jendela dan agak di belakang. Tepat di luar sana, Jongin melihat segerombol anak kelas lain yang tengah olah raga. Jongin tidak tahu kenapa mereka ada di luar padahal sekolah ini memiliki gedung olahraga indoor.

Di tengah terik mentari mereka berkejar-kejaran hingga mebuat Jongin terheran; tidakkah mereka merasa panas. Tapi bukan itu yang menjadi fokusnya.

Di sudut matanya, Jongin melihat gadis dengan rambut merah menyalanya yang berkibar-kibar. Terlihat mencolok di banding warna rambut anak lain. Kemilau itu tampak cantik di kontraskan dengan kulit pucatnya.

Jongin baru menyadari, gadis itu tampak menakjubkan ketika tersenyum. Terlihat polos dan ceria secara bersamaan. Jongin tidak tahu apakah ia pernah melihat senyum secatik itu sebelumnya.

Jongin jadi penasaran, siapa nama gadis itu?

.

.

damaged

.

.

Pertama kali, Jongin melihatnya di pemakaman, gadis rambut merah dengan mata bundar sewarna gula leleh. Lalu kemudian di sekolah.

Jongin tidak tahu berapa kali lagi ia harus melihat gadis itu di hidupnya. Tapi sebelum berpikir jauh, ia telah menemukan dirinya merasa penasaran pada gadis itu.

Kali ini Jongin menemukan dirinya begitu penasaran dan kelaparan dalam waktu bersamaan. Ia menyeruput kuah ramyunnya dengan suara berisik.

Gadis lain yang duduk di hadapannya merengut dan menggerutu. Jongin melirik, gadis itu kesal padanya tapi ia malah tak acuh dan menyumpit mienya.

"Ada apa sih denganmu?" katanya.

Luhan, gadis manis dengan mata rusa yang biasanya berbinar-binar. Tapi kali ini dia menatapnya kesal.

"Aku baik." Jawabnya.

"Bohong," Luhan meletakkan sumpitnya, tapi Jongin tahu Luhan belum menyelesaikan makannya.

"Aku baik-baik saja. Tidak usah khawatir."

Perlu di ketahui. Luhan lebih tua empat tahun darinya. Sahabat yang telah menemukannya terpuruk mencari kesenangan kecil beberapa bulan lalu. Akan sedikit rancu jika di katakan Jongin bertemu Luhan di Club tempat gadis itu bekerja.

Jangan salah paham.

Luhan sudah seperti kakak baginya. Meski ia punya dua kakak di luar sana tapi ia lebih nyaman dengan Luhan. Entah kenapa.

Lagi pula untuk mengencani gadis seperti Luhan, Jongin butuh berpikir dua puluh kali. Luhan gadis serampangan sama sepertinya, dan itu bukan sama sekali tipenya. Jongin suka gadis seksi berdada besar.

"Baiklah terserah." Jongin melihat Luhan menjauhkan mangkuknya dan mengelap bibirnya. Salah satu yang Jongin suka dari Luhan adalah gadis itu tidak suka ikut campur. Meski terlihat cuek, tapi ia tahu Luhan peduli.

Luhan berjalan ke tempat cuci piring di sudut saat Jongin menyesap tetes kuah terakhirnya. Ia terdengar mendesah lega karena masakan yang Luhan buat selalu sedap. Meski ini hanya ramyun.

"Aku ada pertarungan malam ini," Jongin mendekati Luhan di sudut. "Kau mau menonton?" katanya, Jongin menyerahkan mangkuknya untuk kemudian Luhan yang mencuci.

"Aku bekerja, kau ingat." Luhan meletakan mangkuk-mangkuk itu di rak tempat piring. "Lagipula aku tak berminat melihat orang-orang bodoh seperti itu berkelahi demi mendapat lembaran uang. Itu menggelikan." kali ini Luhan menatap tepat di manik Jongin. Luhan hanya khawatir pada apa yang Jongin lakukan akhir-akhir ini.

"Aku tidak bodoh kau tahu, aku memiliki banyak uang."

"Lalu kenapa kau mengikuti pertarungan jalanan," Luhan melipat kedua tangannya menatap Jongin, dan ia tahu gadis itu menyudutkannya.

"Aku hanya mencari kesenangan."

"Alasan konyol, apakah itu setimpal dengan lebam-lebam di wajahmu keesokan harinya." Jongin tahu Luhan hanya khawatir padanya, tapi ia menemukan dirinya menyeringai dan mendekatkan wajah tampannya pada paras manis pemilik mata rusa itu.

"Kau khawatir padaku, Nona. Awww manisnya," Jongin mendekatkan wajah menyebalkannya membuat Luhan berdecak kesal, "mulai menyukai teman serumahmu ini, huh?" imbuhnya.

Luhan yang kesal menampar dahi terbuka Jongin—perlu tahu tadi Luhan mengikat ponytail rambut Jongin yang memanjang, hobi gadis itu.

Jongin mengaduh dengan berisik saat Luhan juga menginjak kakinya, hobi Luhan juga. "Jangan konyol. Aku lebih suka melihatmu balapan liar di banding tarung jalanan."

Sebenarnya kita semua tahu, tidak ada yang lebih baik dari tarung jalanan, ataupun balapan liar. Masing-masing memiliki resiko yang sama, hilang nyawa.

Tapi Luhan hanya terlalu naif untuk berkata bahwa dia perduli.

Jongin tersenyum remeh. "Aku kira tidak ada bedanya," ia mulai berjalan meninggalkan ruang dapur. Luhan berteriak menanyakan kemana ia akan pergi.

"Mencari udara segar, mencari kebebasan."

Meninggalkan Luhan yang mendengus tidak suka. "Ku pikir hidupmu penuh dengan kebebasan." sarkasme dari bibir penuh Luhan.

"Ya, itu benar." Jongin mengambil jaket kulitnya dan kunci motor di sofa. "Tapi bukankah kau juga." Jongin muncul dari balik dinding pemisah dapur, mengedipkan sebelah matanya.

Setelahnya Jongin hanya tertawa-tawa mendengar Luhan yang menggerutu seperti orang tua. Mengoceh tanpa henti. Jongin meneriakkan pemikirannya itu tepat di depan pintu.

Terdengar suara benda jatuh dari ruang dapur, dan Jongin yakin Luhan sengaja melakukannya. Ia terkekeh sebelum membuka pintu. Berpikir ulang tentang balapan liar yang mungkin saja bisa ia coba.

Selama ini tidak terpikir olehnya sekalipun untuk ikut balap liar.

Namun, setelah melihat motor sport warna hitam metalik itu. Jongin jadi teringat alasan mengapa ia tidak menjadikan motor ini alasan untuk bersenang-senang.

Motor itu hadiah terakhir dari Ayahnya. Saat itu usianya enam belas.

Jongin mendengus, mustahil ia menggunakan motor ini untuk hal-hal konyol. Biarkan ia hanya menggunakannya dan menjadikannya kenangan.

Sebelum Jongin sadar sejak kapan ia menjadi orang yang melankolis. Ia telah menemukan dirinya memasang helm untuk kemudian menyalakan motor metaliknya.

Malam itu Jongin pergi membelah jalanan malam dengan kenangan Ayahnya yang dia kendarai.

.

.

damaged

.

.

Yang Jongin tidak sukai dari tempat ini adalah aroma menyengatnya. Aroma alkohol bercampur menjadi satu dengan bau keringat. Jongin benci ini tapi ia tidak bisa lepas dari tempat ini, ia mengakui.

Tempat ini tidak luas juga tidak terlalu kecil. Jongin selalu menemukan diri telah berada di sini setiap malamnya selama beberapa bulan ini.

Berada di pinggiran kota, tempat ini strategis untuk tidak tercium polisi.

Subuah gudang tua yang kosong melompong. Tapi akan penuh sesak manusia jika malam hari, terlebih tengah malam hingga dini hari menjelang. Tempat ini berisik karena DJ memainkan lagu-lagu hip-hop yang menghentak-hentak.

Sekilas tempat ini seperti Club, tapi lebih dari itu. Akan ada pertunjukan lain di dalamnya. Tepat tengah malam kau akan menemukan street dance di sini, semua orang unjuk kebolehan menari mereka. Tidak ada syarat disini. Kau hanya perlu bersenang-senang. Jika beruntung kau akan mendapat uang dengan unjuk bakatmu dan mengesankan orang-orang. Mengekspresikan diri.

Tempat ini berisikan orang-orang butuh pelarian, dan pelampiasan frustasi. Juga ajang unjuk aksi.

Jongin benar-benar menyukai tempat ini.

Jika hari-hari biasa akan ada street dance, maka saat weekend akan ada street fight.

Street fight diadakan tepat tengah malam.

Ini sabtu, dan waktunya untuk Jongin bersenang-senang.

Jongin menyeringai.

.

.

.

It's To be continue

.

A/n : What do you think about that guys?

Curious seperti yang Kai-oppa rasain?

So, just review guys.

Akan lanjut kalau review memuaskan!

This chapter finished : 30-05-2014

31-05-2014