Ini adalah cerita Two-Shoot.
Mungkin ada beberapa bahasa yang kurang baku dan eyd yang tidak tepat. Saya menerima kritik dan saran.
Cerita ini juga aku up di wp dg judul yang sama. Cuma yg di wp ada beberapa gif-nya. So, Im so sorry kalo kalian agak nggak ngerti sama ceritanya.
Untuk perhatian dan respon-nya terimakasih.
I don't do edit
Seokjin-hyung.
Perkenalkan. Namanya Kim Namjoon atau lebih di kenal khalayak luar sebagai Rap Monster. Seorang rapper. Usia 15, tapi penghasilan diatas rata-rata. Siapa wanita yang tak ingin menjerit karenanya? Walaupun ia hanyalah bocah kemarin sore, tapi eksistensinya benar-benar tak dapat diragukan.
Dia mungkin tak setampan Kim Taehyung, aktor kenamaan negaranya yang sekaligus adalah teman seagensinya, tapi dia cukup berkarisma hingga dapat meluluhkan hati orang-orang yang menangkap parasnya.
Dia dingin, berkarisma, tipe-tipe bad boy dan playboy disaat bersamaan, dan tolong jangan lupakan dimple di sisi kanan dan kirinya. Begitu menggoda. Setidaknya begitulah ia dapat di deskripsikan. Tapi ia tetaplah seorang remaja awal, adakalanya ia akan menunjukkan sisi kekanakannya dan itu hanya berlaku untuk satu orang. Untuk seorang yang amat istimewa baginya.
Kejadiannya berawal satu tahun yang lalu, tak terlalu spesial tapi begitu mengena dihatinya.
Ketika itu ulangtahunnya sekaligus hari dimana ia akan melaksanakan comeback-nya, semua orang terlampau sibuk untuk mengurusi comeback-nya hingga hanya sekedar memberi ucapan dan kiriman kue tanpa sebuah perayaan. Di waktu itu ia merasa amat kesepian. Ia kesal karena semua orang terkesan acuh tak acuh pada hari spesialnya dan lebih memilih mengurusi comeback-nya daripada hari spesialnya. Harap maklum, Namjoon masihlah seorang remaja tahap awal.
Dan saat itu seorang malaikat datang untuknya, bukan sungguhan, tapi mari kita coba ibaratkan seperti itu. Itu staff bagian editing yang datang dengan senyum hangatnya sembari berkata, "Hai, Namjoon. Ini hari ulangtahun-mu bukan? Kenapa kau cemberut? Berhentilah cemberut dan mari rayakan ulangtahunmu. Nah, ini aku membawa sup rumput laut untukmu. Selamat ulang tahun Joon-ie." Sebenarnya adegan ini tidak spesial-spesial amat. Tapi entah bagaimana si staff editing yang diketahui bernama Kim Seokjin itu telah mencuri perhatian Namjoon, dan mungkin juga hatinya. Entahlah. Hati manusia itu rumit.
Sejak saat itu keesokan harinya Namjoon mendatangi si staff editing tanpa keraguan sedikitpun dalam matanya. Hal itu sontak membuat Seokjin si staff editing bertanya-tanya. "Ya, ada apa Namjoon?" Dia tersenyum meski merasa janggal mengenai prilaku bocah di hadapannya. Tak hanya dirinya, staff lain yang ada di sana pun begitu. Tak biasanya seorang Kim Namjoon akan berkunjung ke ruang editing. Bocah satu itu biasanya lebih suka ke studio rekaman daripada ke ruang editing.
"Hyung, aku menyukaimu."
Ucapnya dengan lantang dan tanpa suatu keraguan pun didalamnya. Semua yang ada di ruangan tersebut tak terkecuali Seokjin ikut terkejut karenanya. Seokjin mengangkat alisnya "A-ahahaha... apa-apaan ini Kim Namjoon?"
"Hahaha..."
Yang lainnya ikut tertawa. Dan hal itu mau tak mau membuat Namjoon menggerutu sebal.
"Aku serius. Aku mencintaimu. Jadilah pacarku."
Dan yang kali ini benar-benar berhasil membuat para staff editing diam tak berkutik. Bahkan atmosfer disana mendadak terasa canggung dan aneh.
"Apa ini semacam dare dan sebagainya?" Seokjin masih mencoba mencari kemungkinan ganjil dari perkataan Namjoon yang juga ganjil.
"Tidak, Hyung! Ini bukan dare atau semacamnya ini sungguhan, Hyung!"
Kepala Seokjin bertambah pening mendengar penuturan bocah dihadapannya. Benak serta batinnya mulai berkompromi menganalisis hal-hal apa saja yang mungkin telah terjadi pada makhluk dihadapannya. Tapi hasilnya nihil, dia masih tak mengerti.
"Oh, ku rasa kau terlalu stress karena comeback-mu. Mari bicarakan ini di luar. Sambil minum kopi. Agar stress mu sedikit berkurang. Oh, atau mungkin kita bisa minum coklat panas. Ayo kita keluar dari sini." Dengan segera keduanya keluar ruangan tersebut dan menuju coffe shop kantor mereka. Seokjin dengan segera menarik bocah lima belas yang hari ini benar-benar aneh itu.
"Nah, Dik Namjoon yang manis. Sekarang kau bisa menjelaskan segala sesuatunya padaku. Tak apa jika itu dare, kau bisa membisikannya di telingaku jika memang benar begitu. Aku akan membantumu kok."
Katanya dengan senyuman, tak lupa satu tangannya mengelus-elus surai platina milik bocah berumur lima belas yang sayangnya sudah setinggi dirinya. Anak-anak zaman sekarang benar-benar berlebihan asupan.
"Hyung, aku sudah besar. Dan aku tidak main-main dengan ucapanku. Aku serius. Aku jatuh cinta padamu dan ingin kau jadi pacarku." Well, Namjoon memang masih lima belas, tapi kenapa rasanya seperti Seokjin yang di gurui disini?
"Kau serius?" Ia memastikan, walau nada bicaranya 80 % mengandung nada tak percaya.
"Aku tidak pernah seserius ini, Kim Seokjin."
Terdengar begitu mengerikan. Dan tunggu dulu, "Dasar bocah tidak sopan! Aku ini lebih tua sepuluh tahun darimu. Panggil aku dengan sebutan yang benar!" Seiringan dengan itu sebuah koran melayang dikepala Namjoon.
"Aw. Ya! Ini sakit hyung. Tapi aku benar-benar tidak bohong soal yang tadi. AKU BENAR-BENAR MENCINTAIMU!" Ups, sepertinya Namjoon terlalu lantang. Seisi coffe shop bahkan berhenti berbincang dan memandang ke arah mereka dengan tatapan kaget.
"Aduh, maaf ya dia sedang latihan akting." Katanya mencoba menutupi.
"Ayo ikut aku ke atap dan jelaskan semuanya disana."
Dan yang selanjutnya terjadi adalah mereka hidup bahagia setelah pengakuan tersebut. Yah, jika saja ini buku dongeng kanak-kanak, mungkin saja jalan ceritanya akan begitu. Tapi sayangnya ini cerita romansa remaja, tak semudah itu untuk mencapai kata happily ever after.
Tebak apa yang terjadi setelahnya?
Namjoon ditolak mentah-mentah. Karena jelas Seokjin masih waras untuk tidak memacari seorang anak SMP. Bisa-bisa ia dikira tukang cabul gara-gara hal tersebut.
Dan tebak apa yang terjadi pada Namjoon?
Dia move on. Tidak. Tidak begitu. Sayangnya tak semudah itu. Sayangnya Namjoon ini nyatanya adalah seorang remaja labil yang jalan pikirannya tak tentu arah. Yang selanjutnya terjadi adalah Namjoon terus mengejar Seokjin. Kemanapun kapanpun. Bahkan seisi kantor sudah benar-benar tahu mengenai hubungan super aneh milik Namjoon dan Seokjin.
Mari kembali pada masa ini.
Masa dimana Seokjin harus bersembunyi kemana-mana untuk menghindari seorang bocah kecil sialan bernama Kim Namjoon.
Seperti pada saat ini.
"Annyeog~"
"Astaga! Kau mengagetkanku." Sembari memegangi dadanya memberi gesture terkejut Seokjin terus merutuk mengenai mengapa bocah dihadapannya dapat tiba-tiba muncul di rumahnya. Sekali lagi. Ini rumahnya!
"Bagaimana kau bisa kemari? Darimana kau tahu alamatku?"
Namjoon tersenyum. "Rahasia. Hehehehe."
Ia memijit pelipisnya akibat serangan pening dadakan yang disebabkan oleh Namjoon.
"Untuk apa kau kemari?"
"Untuk ini."
Seokjin terperangah beberapa saat. "Ya Tuhan Kim Namjoon. Berhentilah memberiku bunga dan enyahlah dari hadapanku sekarang juga!"
Seokjin-hyung.
"Untuk apa kemari?"
"Aku rindu pada hyung. Rasanya vitamin ku hilang gara-gara satu minggu tidak bertemu hyung." Ucapnya sambil menopang dagunya dengan kedua tangan.
"Pergi dari ruanganku se-ka-rang!"
"Tuan Yoon, aku diusir oleh Seokjin-hyung." Katanya yang kini benar-benar bersikap kekanakan.
"Seokjin! Berbaik-baiklah padanya." Dan seiringan itu Namjoon mengayunkan tangannya untuk berselebrasi.
Sementara Seokjin hanya dapat pasrah lalu berkata, "Oh, whatever."
Seokjin-hyung.
"BAA!"
"AAA!"
"Ehehehe... hai hyung."
"Kim Namjoon!"
"Please, tolong jangan katakan enyahlah dari hadapanku. Aku sudah benar-benar muak mendengarnya."
Seokjin bersedekap dan menatap Namjoon sengit.
"Lalu aku harus bilang apa?"
"Namjoon, aku mencintaimu. Kita jadian yuk."
"Enyah kau dari hadapanku!"
"Tuh, kan. Kau mengatakannya lagi."
Seokjin memutar kedua bola matanya. Siapa saja, tolong selamatkan Seokjin dari monster satu ini.
Seokjin-hyung.
Line~
Namjoon.kim
Hyung
Read
Hyung!
Read
Hyuuungg!
Hyung!!!!!
Hyung!!!
Read
Seokjin.kim
Apa?
Read
Namjoon.kim
I Love You.
Blocked.
Seokjin-hyung.
"Aku punya gerakan baru."
Seokjin menatap beberapa saat sebelum akhirnya ia kembali menaruh fokusnya pada layar dihadapannya.
"Tuan Yoon!"
"Yayayaaya! Tunjukkan padaku gerakanmu. Cepat!"
Namjoon tersenyum, lalu badannya mulai bergerak memutar beberapa saat sebelum akhirnya tagannya membentuk sebuah love-sign.
"Saranghae."
"Kepala Yoon, tolong usir orang ini."
Seokjin-hyung.
"Hyung."
Seokjin sudah muak sebenarnya, tapi dia bisa apa memang?
"Apa?"
"Kau tahu apa pekerjaan yang paling kusukai tidak?" Namjoon selalu begini selama setahun terakhir ini. Mendatangi Seokjin, mengacau pekerjaannya, dan mengutarakan hal-hal tidak penting. Pada awalnya dia akan membentak kasar lalu uring-uringan karena Namjoon, tapi sekarang dia lelah. Jadi ia hanya akan menjawab dengan ekspresi datarnya,
"Apa?"
"Memandangimu." Bersamaan dengan itu Namjoon mengeluarkan sebuah senyuman yang tak dapat Seokjin definisikan sebagai senyuman tipe apa.
Tapi yang jelas batin Seokjin menjerit. Siapa yang mengajari bocah berumur lima belas untuk flirting seperti itu?
Seokjin-hyung.
Remaja jika memang sudah jatuh cinta itu seperti orang kesetanan. Tak dapat dikendalikan. Yang ada pada isi kepalanya hanya cinta, cinta, cinta, dan terus begitu. Begitupula dengan Namjoon.
"Seokjin-Hyung!" Dari koridor lantai tiga dia mulai berteriak, dan seisi kantor itu benar-benar sudah terbiasa dengan pemandangan satu ini.
Sementara itu yang dipanggil justru mati-matian mencari tempat sembunyian.
"Hyung tolong katakan pada Namjoon aku tidak ada."
Salah seorang yang ia panggil hyung memutar mata jengah. Tampak bahwa ia benar-benar lelah, "Sudahlah Seokjin. Apa susahnya menerimanya? Terima saja dia dan berhenti membuat seisi kantor gemas karena ulah kalian. Lagipula apa kurangnya Namjoon ? Dia bahkan sudah membuktikan cinta-nya padamu selama hampir setahun ini. Lagi-"
"Seokjin-hyung."
Tuh,kan. Belum sempat Seokjin sembunyi si parasit sudah datang. Seokjin hanya bisa merapal doa mengetahui Namjoon yang kini berlari dengan kedua tangan terbuka.
Bugh.
Sempurna. Ia benar-benar sempurna ada didalam pelukan Namjoon.
"Hyung, bogoshipo."
Keduanya berpelukkan ditengah-tengah para staff editing yang sibuk mengutak-ngatik vidio. Membuat beberapa harus menahan napas dan beberapa lagi memilih untuk fokus ke layar mereka.
"Lihatlah. Kalian benar-benar serasi." Komentar salah satu dari mereka dan itu membuat sebuah reaksi timbul diantara keduanya. Seokjin sudah pasti akan menekuk wajahnya dan menggerutu sebal, sedangkan Namjoon dengan bangganya memamerkan deretan giginya.
"Benar, kalau begini kalian terlihat seumuran." Celetuk Tuan Yoon, kepala bagian editing.
"Itu karena wajahnya boros. Minggir sana kau. Dasar bocah tengik." Dan selama setahun belakangan ini Seokjin yang manis telah benar-benar berubah menjadi Seokjin yang buas karena dikejar Namjoon.
Mau tak mau Namjoon akhirnya melepaskan pelukannya. Dan tersenyum dengan begitu polosnya kearah Seokjin. Kalau begini sisi bocah-nya benar-benar nampak, dan itu selalu membuat Seokjin berpikir bahwa mengencani Namjoon bukanlah ide yang baik.
"Kenapa tak kau jadikan Seokjin managermu saja, Namjoon? Lagipula dia juga sangat disiplin waktu." Salah satu staff disana berkomentar.
Namjoon membuang napas karenanya, lalu setelahnya menunduk. Hal ini membuat ruangan yang gaduh tiba-tiba sendu ikut sendu.
"Aku sudah pernah mengatakannya kepada Bang-PD-nim." Ia menunduk kembali.
"Lalu bagaimana reaksinya?" Lagi. Itu Tuan Yoon, walapun usianya sudah kepala tiga tapi rasa penasarannya tak pernah berkurang sedikitpun.
"Ia menyetujuinya." Lanjut Namjoon.
"Lalu?"
"Aku menolaknya. Kenapa memang?" Dengan ketus Seokjin menimpali. Dan jawaban Seokjin benar-benar berhasil membuat seisi ruangan itu berdecak sambil berkata 'Aishh' atau 'bodohnya kau ini'
Sejujurnya Seokjin juga muak. Kenapa orang-orang selalu menyudutkannya karena tidak menerima Namjoon? Apa salahnya sih menolak Namjoon? Toh dia juga sama-sama manusia seperti Seokjin. Lantas kenapa mengacuhkan Namjoon seolah menjadi tindakan paling keji di kantor ini? Seokjin memandang Namjoon sengit. Seolah-olah ia ingin mengatakan pada bocah satu itu untuk mangkat dari hadapannya.
"Ya! Kim Namjoon, ayo berangkat. Kita harus syuting reality show." Suara manajer Namjoon membuyarkan semuanya. Membuat Namjoon tiba-tiba kehilangan senyumannya. Membuat si platina tiba-tiba mencebikkan bibir sebal. "Aku tidak ingin pergi." Rajuknya.
"Oh, ayolah Namjoon. Sehabis ini kau free. Jadi mari permudah ini semua. Kau berangkat, menjalani acara, acara selesai lalu kau bisa menghabiskan waktu sesukamu." Katanya yang mencoba bernegosiasi.
"Tidak mau." Lagi. Kali ini Namjoon benar-benar seperti anak kecil.
Manajernya menatap putus asa. Ia menatap Seokjin dengan mata memelas dan kedua tangan yang memohon harap.
"Apa?! Jangan melihatku seperti itu!" Ia menyalak galak.
Dan Manajer itu terus saja membujuk Namjoon dan yang lebih muda terus saja menolak.
Sudah. Seokjin geram karena sikap Namjoon.
"Namjoon, pergilah atau aku akan menolak permintaan kencanmu."
Namjoon membolakan matanya, lalu sepersekian detik kemudian mulai merubah eskpresinya dan berkata, "Ayo berangkat, Manajer-hyung."
Manajer itu menghela napas penuh syukur, ia menatap Seokjin sebentar dan tak henti-henti mengucapkan terimakasih.
"Dasar bocah tengik."
Gerutunya sebal.
"Dah hyung! Sampai bertemu akhir pekan. Saranghae."
Seokjin-Hyung.
"Hyung!" Kepalanya menyembul keluar mobil begitu juga kedua tangannya yang tengah sibuk bergoyang ke kanan dan ke kiri untuk sekedar memberi tanda dia telah datang.
Di depan rumahnya Seokjin berdiri. Nyaris mati mengigil kedinginan karena menunggu Namjoon yang tak kunjung datang. Tapi akhirnya bocah satu itu menampakkan batang hidungnya, tak lupa dengan wajah yang sumringah luar biasa.
"Aduh, kau pasti kedinginan ya karena kelamaan menungguku. Maaf ya. Ayo naik, kita kencan hari ini." Namjoon begitu bersemangat. Senyuman tak pernah hilang sedaritadi, bahkan dimpel dikedua pipinya semakin mendalam.
"Mau kemana kita?"
"Kalau diberitahu tidak kejutan namanya."
Seokjin mendengus. Selalu saja begitu.
"Hei, biar aku saja yang menyetir." Seokjin menyela tepat saat Namjoon hendak membuka pintu bagian pengemudi.
"Jangan. Aku dominan-nya disini. Jadi aku yang menyetir." Seokjin menghela napas panjang. Memang susah berhadapan dengan anak remaja semacam Namjoon. Dia bahkan belum mengerti apapun, jadi kenapa Seokjin bahkan harus repot-repot berpacaran dengannya?
"Kau belum punya SIM, aku tidak mau terkena resiko buruk. Menurut saja atau aku tidak jadi ikut." Namjoon seratus persen diam setelahnya. Dia benar-benar jadi anak penurut karena ancaman Seokjin. Dengan segera ia membuka pintu penumpang kemudian duduk di kursi penumpang.
"Kemana?"
Namjoon awalnya ragu. Niatnya kan dia ingin memberi kejutan kepada Seokjin, tapi jika yang menyetir Seokjin mana bisa?
Namjoon masih diam. Ia benar-benar dilanda dilema tak berkesudahan.
"Kemana, Namjoon?" Nadanya mulai meninggi.
Mulanya ia hanya memandang Seokjin, lalu yang dipandang justru balas menatap garang. Dengan pasrah dia bergumam,
"Ketamanbermaindidepantokokopiitalia, duakilometerdarisini."
"Hah?"
"tamanbermaindidepantokokopi italia,duakilometerdarisini."
Buk.
Satu pukulan mendarat di kepalanya.
"Hei, bocah. Aku tahu kau ini rapper. Tapi bisakah kau bicara pelan-pelan saja? Bahkan google translate-pun akan error jika kau bicara padanya dengan sebegitu cepatnya." Seokjin menggerutu sebal. Ia sendiripun tak sadar bahwa dirinya kini tengah mencoba melakukan rapping, sama halnya seperti Namjoon.
Namjoon menghela napas beberapa saat, "Ke-ta-man-ber-ma-in-di-de-pan-to-ko-ko-pi-i-ta-li-a-du-a-ki-lo-me-ter-da-ri-si-ni."
"UNTUK APA KITA KESANA?"
Sudahkah Namjoon bilang bahwa semua ide-nya akan menimbulkan kontroversi di dalam diri Seokjin. Jika belum, maka sekarang Namjoon akan memberitahu kalian bahwa Seokjin itu penentang ide Namjoon nomor satu. Ia selalu menanggap ide Namjoon itu aneh, gila, kekanankan, tidak waras, dan sebagainya. Dan Namjoon sudah benar-benar terbiasa karenanya.
"Sudahlah hyung. Sekali ini saja turuti perintahku tanpa mengomel." Seokjin diam dan begitupun Namjoon. Mereka dilanda keheningan yang panjang. Untungnya jarak antara rumah Seokjin dan taman bermain tak terlalu memakan waktu, jadi keheningan dapat mereka lalui dengan cepat.
"Nah, sudah sampai." Pekiknya tiba-tiba. For you information, Namjoon ini sebenarnya sangat moody. Dia sangat mudah berganti mood. Baru beberapa saat yang lalu ia dilanda kekesalan, tapi ia sekarang bahkan sudah memekik riang tanpa beban sedikitpun.
Sementara Namjoon memekik riang, Seokjin hanya dapat diam. Ia memandang tak mengerti ke arah taman bermain yang terlihat suram.
Seokjin bergidik. Bagaimana tidak jika taman bermain yang ada dihadapannya benar-benar minim penerangan, penuh pohon besar nan tinggi, juga sepi pengunjung.
"Namjoon aku tidak mau turun!" Ucapnya seolah final.
"Loh, kok tidak turun. Lalu aku kencan dengan siapa?" Tanyanya sambil merengut kesal, "Sana dengan hantu penunggu taman bermain itu."
"Aa... dia dibelakangmu hyung!"
"AAAA!!!"
"Ahahahaha..."
Namjoon tertawa terpingkal. Dia benar-benar tak bisa menahan tawanya melihat ekspresi ketakutan Seokjin.
Tapi di satu sisi Namjoon merasa bersyukur karena dengan ini ia bisa memeluk Seokjin, namun sialnya dia lupa untuk tidak tertawa. Jadilah Seokjin dengan segera mendorongnya dan memberinya sebuah pukulan dibagian dada dan lengan.
"Ya! Bodoh! Bodoh!"
Seokjin terus berteriak sambil melayangkan pukulan ke arah Namjoon. Tapi tunggu dulu. Namjoon melihat sesuatu disana. Seokjin menangis. Astaga Seokjin menangis karenanya.
Namjoon mulai panik. Sekarang pukulan Seokjin seperti tak berasa apa-apa. Yang ada dalam fokus Namjoon sekarang adalah air mata Seokjin yang meleleh dengan derasnya. Dengan spontan akihrnya Namjoon menarik Seokjin. Menarik yang lebih tua kedalam pelukannya. "Sshh... Jangan menangis ya. Aku minta maaf. Kalau kau ingin kau boleh memukulku lagi kok. Tapi jangan menangis lagi ya." Namjoon mengelus-elus puncak kepala yang lebih tua. Mencoba memberikan sengatan afeksi agar ketakutan yang mendominasi perasannya menghilang dan terusir oleh rasa afeksi.
"Jahat. Aku benci kau."
"Maaf. Maafkan aku." Kali ini kata-kata tersebut terucap diiringi kecupan manis di pucuk kepala Seokjin.
"Ayo turun. Jangan menangis di kencan kita. Kau hanya perlu tersenyum dan bahagia di kencan kita. Ayo turun." Namjoon tersenyum. Hangat sehangat ketika badanmu berada didekat tungku perapian. Dan begitu lembut, selembut gigitan marshmallow yang baru saja matang. Dalam keadaan ini Namjoon benar-benar jauh dari kata bocah SMP. Dia sekarang lebih terlihat seperti pria dewasa yang matang ketimbang bocah SMP yang manja dan suka merajuk.
Tapi sayang, Seokjin terlalu sibuk menangis hingga tidak menyadari hal ini.
"Aku takut."
Ia masih memegang erat jaket Namjoon. Menahan yang lebih muda untuk pergi. "Tak akan ada apa-apa. Aku berjanji. Ada aku disini. Aku akan melindungimu." Cengkraman Seokjin mengendur secara perlahan dan begitupun dengan isakan tangisnya yang perlahan-lahan mereda. "Ayo turun." Bisik Namjoon perlahan sebelum akhirnya keduanya turun. Seokjin benar-benar takut. Dia takut kegelapan, dia takut kesunyian, dia takut hantu, dan sialnya tempat ini benar-benar memenuhi syarat ketakutan Seokjin. Jadi dengan berat hati ia terpaksa harus terus menerus mencengkram lengan Namjoon dan bergelung dalam pelukan bocah lima belas itu untuk memastikan bahwa dirinya akan baik-baik saja. Seperti janji Namjoon.
"Mau kemana?"
Tanya Seokjin ketika matanya tak menangkap satupun tempat yang dapat dijadikan arena berkencan.
Namjoon memandang Seokjin hingga kemudian tersenyum,
"Ayo naik ke atas."
Namun Seokjin justru balas menatapnya tajam, "kau gila? Aku takut ketinggian!" Namun lagi-lagi Namjoon tersenyum. "Tak apa, aku akan memegangimu. Aku sudah berjanji bahwa kau akan baik-baik saja selama ada aku disisimu bukan?"
Dengan satu helaan napas Seokjin mengangguk dan segera menaiki tangga kayu menuju sebuah rumah pohon yang cukup besar. Sebenarnya Seokjin cukup familiar dengan taman dan rumah pohon ini, karena memang taman dan rumah pohon itu terletak tak terlalu jauh dari komplek perumahannya. Hanya saja dia tak pernah kesini sebelumnya. Tentu kalian semua tahu mengapa. Yeah, dia takut ketinggian.
"Kalau takut, lihat keatas saja. Di bawah ada aku, kau tak perlu cemas."
Seokjin perlahan-lahan mulai merangkak di pohon dengan balok-balok kayu kecil sebagai lintasannya.
Seokjin gemetaran. Bahkan tak perlu menerawang terlalu jauh bahwa Seokjin kini sedang ketakutan. Tangannya bergetar. Begitupula dengan kaki-kaki nya yang mencoba menaiki satu persatu balok kayu.
Namjoon masih disana. Masih ada dibawahnya. Menjaganya. Haruskah Seokjin menangis haru karena sikap heroik bocah SMP satu itu? Tapi sepertinya jawaban tidak lebih baik.
"Astaga. Rasanya benar-benar seperti meregang maut. Mengerikan." Setidaknya begitulah komentar-komentar yang ia lontarkan selepas mendarat tepat pada rumah pohon. Selepas itu Seokjin terpaku beberapa saat. Ini pertamakalinya ia menginjakkan kaki di rumah pohon ini, dan dia tak pernah tahu bahwa semua terasa begitu indah dari atas sini.
"Indah bukan?"
Mau tak mau suara itu membuat perhatian Seokjin teralih. Di hadapannya Namjoon tengah terengah dengan senyuman yang tak pernah luput dari wajahnya.
Seokjin mengangguk lalu tersenyum tipis sebelum kembali memandangi sekitar. "Tapi ini belum selesai." Namjoon memberi imbuhan, dan ucapan Namjoon benar-benar sukses membuat Seokjin bertanya-tanya lalu mengucapkan kata "hah?"
Klek...
Sebuah saklar dinyalakan. Seisi rumah pohon itu tak lagi gelap. Beberapa lampu kecil nan kerlap-kerlip menghiasinya. Seokjin memandang takjub beberapa saat.
"Tadaaa... kejutan!" Pekik Namjoon berusaha mengejutkan Seokjin dengan pekikannya, tapi tampaknya hal tersebut sia-sia.
Seokjin justru memandangnya kesal, "Ssh! Diam!"
Satu alis Namjoon terangkat kebingungan,
"Kenapa?"
"Suasananya indah. Nanti rusak jika kau terus berteriak." Seokjin terus memandang sekitar tanpa memperdulikan Namjoon yang sedaritadi menatapnya penuh harap.
"Mana ada yang seperti itu?"
Seokjin malas menanggapi, tapi jika ia tidak mengatakan sesuatu bocah dihadapannya tak akan berhenti mengoceh.
"Sudah diam saja."
Hening cukup lama. Seokjin terlalu sibuk menatap sekitar, sementara Namjoon, Seokjin tidak peduli pada apa yang remaja labil itu lakukan.
"Hyung, lihat kemari."
Seokjin menoleh.
Matanya membola. Ia dibuat terkejut akan apa yang tersaji dihadapan matanya.
"Eh, sejak kapan itu ada disitu?"
"Sejak kau sibuk memandangi seisi kota dan mengacuhkanku." Namjoon tersenyum manis.
"Nah, ayo makan. Ini dinner kita sebagai pasangan kencan." Imbuhnya sembari mempersilahkan Seokjin.
Seokjin beberapa saat memandang sebal kearah Namjoon, tapi sepertinya apa yang tersaji dihadapannya benar-benar tidak dapat dilewatkan sedikitpun. Sebuah mesin pemanggang dengan daging-daging segar diatasnya.
Namjoon terlihat lega ketika melihat ekspresi Seokjin yang kelihatannya amat bahagia.
"Kau tahu. Ini adalah mimpiku sewaktu kecil. Aku ingin kencan di rumah pohon ini, makan bersama di rumah pohon ini, dan berbagi kenangan di rumah pohon ini." Namjoon kembali tersenyum. Seolah hanya senyumlah yang dapat ia lakukan.
Seokjin menelan dagingnya dan mulai menatap Namjoon dalam,
"Dasar korban sinetron!" Celetuknya.
"Yah, hyung. Kau jahat sekali sih padaku. Sekali-kali bermanis-manis lah padaku. Kau tidak akan rugi kok. Aku menjaminnya." Dua jarinya menyembul, membentuk V sign, lalu dia tersenyum bak seorang idiot.
"Kalau begitu berhentilah mengejar-ngejarku. Selamanya saja. Kau tidak akan rugi kok."
Namjoon terdiam, begitupun Seokjin. "Kau tidak suka padaku ya, Hyung?" Seokjin kembali berhenti mengunyah, lalu mengalihkan atensinya pada Namjoon.
"Baguslah kalau kau tahu."
"Apa sesulit itu membuka hati untukku, Hyung?"
"Apa sesulit itu melupakanku, Namjoon?"
Nada keduanya meninggi.
"Itu hanya insiden kecil. Kau tidak perlu semendramatisir itu. Aku waktu itu hanya kebetulan lewat dan ternyata sup-ku masih, jadi aku memberikannya padamu. Kau tak perlu memberikan hatimu padaku. Kau dapat mengucapkan terimakasih. Itu sudah cukup. Berhentilah mengejar-ngejarku!" Entah kenapa lampu-lampu yang berkerlap-kerlip seolah-olah tak lagi memberi esensi di setiap kedipannya. Rasanya hambar karena suasana tegang melahap semuanya.
"Kalau itu hanya sekedar rasa bersyukur biasa mungkin aku dapat. Tapi bagaimana jika aku bahkan tidak bisa menghapus bayang-bayangmu dari otakku. Aku jadi gila karena setiap helaan napasku selalu dipenuhi dirimu. Lalu aku harus apa?! Katakan padaku, Hyung!" Ini pertamakalinya. Pertamakalinya dia mulai muak. Tapi tak kuasa untuk sekedar menghindar. Busuk. Dirinya busuk karena cinta. Dan ini pertamakali bagi Seokjin melihat sisi Namjoon yang seperti ini.
"Pergilah! Tinggalkan aku. Kau hanya bocah SMP! Aku sepuluh tahun lebih tua darimu, Namjoon! Kau pikir bagaimana pendapat orang-orang jika kau dan aku-"
"Berhenti mengurusi pendapat orang! Jika hatimu berkata ya, maka kenapa tidak?!"
Ia berteriak. Setengah frustasi dan setengahnya lagi tersulut amarah.
"Maaf. Sayangnya hatiku berkata tidak. Aku pergi!" Kakinya hendak bergerak untuk menuruni anakan tangga rumah pohon, tapi dengan segera Namjoon mencekalnya. Dilingkarkannya tangannya ke pinggang Seokjin, dengan kasar ia merapatkan badan Seokjin ke badannya. Mencuri sebuah ciuman dari bibir sewarna pulmp yang sudah ia damba sejak lama. Namjoon melumatnya. Mencurahkan seluruh perasaannya disana.
Tapi Seokjin mendorongnya. Membuatnya terjungkal hingga terantuk pada dinding rumah pohon.
"Dasar bocah tidak tahu tata krama! Enyah kau dari hadapanku!" Katanya yang tersulut api amarah. Seokjin dengan segera turun dari rumah pohon itu tanpa suaru rasa ketakutan sedikitpun.
Namjoon hendak menyusul pergi, tapi Seokjin tiba-tiba mengeluarkan kata-kata. Kata-kata yang membuat Namjoon benar benar tak dapat berkutik sedetikpun.
"Jangan mencoba mengejarku! Jangan mencoba mendekatiku lagi!
Aku-
Aku akan menikah Kim Namjoon!"
Retak? Remuk? Bagai ditusuk pedang? Bagai luka yang ditaburi garam?
Entahlah kata apa yang dapat mendeskripsikan luka di hati Namjoon saat ini. Perjalanannya yang hendak turun terhenti. Benar-benar terhenti. Dia tak dapat berpikir jernih lagi setelahnya. Pikirannya terasa benar-benar kosong.
Lalu Namjoon tersenyum miring setelahnya. Jadi apa nama yang tepat untuk usahanya selama ini?
'Berusaha untuk kesia-siaan?'
Ha. Jadi selama ini dia hanya dipermainkan? Bagus sekali bukan?
Benar-benar perfect scenario.
Bersambung...
Ini part pertama dari Two-shoot ini. Aku berharap kalian merespon cerita ini dengan baik.
Terimakasih.
Regards,
-Gojex.
