Sakura tahu, bahtera rumah tangga yang sudah ia bentuk dengan kerja keras bersama Sasuke ini mulai hancur dengan kehadiran Karin diantara mereka.

Bahkan, semua makin menunjukkan keputusasaan dikala ia menangkap basah Sasuke yang sedang bercumbu mesra bersama sahabatnya itu di ruang makan, sepulang ia dari berbelanja.

Tapi, hati keras Sakura selalu luluh ketika mendengar tangisan Karin di kamar sehabis ia memarahinya.

Hati keras Sakura bahkan meleleh dan menciut jika mendengar amarah Sasuke yang mengatakan bahwa ia terlalu kejam terhadap Karin.

Jadi, siapa yang salah dalam masalah cinta segitiga ini?

"Sasuke-kun, maaf kalau aku terlalu kejam terhadap Karin. Maaf."

"Karin-san, kau tak apa? Maaf kalau pukulanku tadi terlalu keras. Aku khilaf."

~o~

A Fake Smile

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Warning : Bad

Don't Like Don't Read!

~o~

"Sasuke-koiiiii~"

Dengan wajah penuh kegembiraan, Sakura berlari penuh manja kearah Sasuke. Ditubruknya tubuh Sasuke yang sedang santai-santainya membaca koran di ruang tamu, membuat pria keturunan Uchiha itu tampak heran dengan sikap aktif sang istri barunya itu. Tidak biasanya kan, Sakura bertingkah begitu hiperaktif seperti tadi?

"Apa?" tanya Sasuke datar, matanya kembali teralih pada koran pagi yang baru saja diterimanya.

Seolah tak mendengarkan pertanyaan Sasuke, Sakura terus memeluk lengan kurus sang suami dengan mesra. Bibirnya membentuk lengkungan manis, senyuman.

"Kau tahu? Barusan aku tes kehamilan, dan aku positif hamil!"

Wajah Sasuke yang semula diliputi kebosanan, mendadak membuka kacamata tebalnya dan menatap Sakura dengan wajah tak percaya. Bahkan ia sama sekali tak percaya kalau waktunya ia menjadi ayah akan segera tiba. "Ha-hamil? Ka-kau hamil!?"

"Iya!" seru Sakura dengan wajah lucu, memperlihatkan deretan manis gigi putihnya.

Sasuke meletakkan koran yang dibacanya diatas meja ruang tamu, sulit mempertahankan senyum yang sebenarnya enggan ia perlihatkan ke sembarang orang ini. "Berarti… sebentar lagi aku jadi ayah? A-aku… dipanggil ayah?" tanya Sasuke tak percaya, entah kepada Sakura atau dirinya sendiri.

"Hu'um! Dan aku akan dipanggil ibu!" seru Sakura dengan wajah ceria, seraya memeluk kembali lengan kiri Sasuke dengan manja.

Sasuke tersenyum tipis. Diliriknya Sakura sebentar, sebelum akhirnya ia mencium kening lebar sang istri. Dipeluknya tubuh harum Sakura, sebelum akhirnya kembali ia dapatkan koran paginya. "Baguslah kalau begitu. Sering-seringlah check-up ke dokter," pesan Sasuke, dengan tetap mempertahankan senyum bahagianya.

Sakura mengangguk senang.

Sembilan bulan lagi? Ck, kelihatannya kau harus menahan nafsumu selama itu, Uchiha.

~o~

"Haah~Seperti dua hari sebelumnya, keadaan kandunganmu masih cukup lemah, Haruno-san. Sering-seringlah minum air putih dan makan-makanan bergizi. Kujamin hal itu akan membuat anakmu lahir dengan lancar dan normal."

Ujaran Tsunade barusan ditanggapi Sakura dengan senyum manisnya yang semakin melebar. Dipandangnya perut kecilnya, dimana calon buah hatinya dan Sasuke sedang tumbuh dan berkembang di dalamnya. Sejenak, wanita yang terkenal dengan warna rambut gulalinya itu menghela napas sejenak. Senyum ramah kembali ia torehkan pada Tsunade sebelum ia beranjak meninggalkan ruangan dokter kandungan itu.

"Bagaimana?" tanya Sasuke tak sabar, Sakura tak sadar kalau pria itu sudah berjalan bolak-balik dengan rasa senang, cemas, juga khawatir di ruang tunggu.

Sakura tersenyum manis pada sang suami. "Seperti biasa, keadaannya sehat dan masih cukup lemah. Tsunade bilang aku harus banyak minum air putih," ucap Sakura, menuturkan setengah dari apa yang Tsunade ujarkan barusan padanya.

Sasuke menghela napas panjang. Apa yang tiba-tiba berkelebat di pikirannya sejak tadi ternyata salah.

"Oke, sekarang kau harus pulang. Istirahat, dan jangan lupa konsumsi air putih," nasihat Sasuke bijak, dirangkulnya tangan kanan Sakura, keduanya berjalan bersama meninggalkan rumah sakit yang cukup terkenal di Konoha itu.

Sama sekali tak menyadari kalau ada hal mengejutkan diluar sana yang sebentar lagi akan menyambangi kehidupan mereka.

~o~

"Sasuke-kun~Aku mau kesana!"

Dengan manjanya, Sakura menunjuk sebuah toko dengan etalase berbagai macam barang bayi di dalamnya. Senyum manis merekah di bibirnya melihat Sasuke yang melajukan mobilnya memasuki tempat parkir di samping toko kecil itu. Begitu Sakura akan keluar dari mobil, tangannya langsung dicegat Sasuke. "Hah?"

"Kita hanya melihat ya, aku tak mau dengar ocehan 'mau beli' seperti biasanya darimu."

Sakura memanyunkan bibirnya, menunjukkan bahwa ia benar-benar kecewa dengan penuturan Sasuke tadi. Tetapi, begitu Sasuke akan menyalakan kembali mobilnya guna meninggalkan toko itu, Sakura langsung menyetujui ucapan Sasuke barusan. Ck, keduanya memang selalu berbeda pendapat, ya?

Cklek.

Begitu Sakura memasuki toko mungil itu, seorang pelayan berbaju maid tampak riang dengan tamunya yang tampak cantik hari ini.

"Pagi, Nona! Mau beli apa? Biar kutunjukkan raknya," ucapnya ramah, seraya menorehkan senyum ramah kepada Sakura. Sakura membalasnya dengan senyum manis, kemudian menggeleng kecil. "Aku hanya ingin melihat-lihat."

Bergegas, Sakura mencari apa saja yang bisa membuat matanya berbinar-binar dalam toko itu.

Dan… bingo! Ia menemukan rak dengan berbagai macam sepatu bayi aneka warna yang lucu dan indah dengan berbagai bentuk dan jenis bahannya. Sasuke yang mengikuti arah pandang Sakura dengan malas, hanya tersenyum kecil melihat jejeran sepatu mungil yang berada di rak tinggi itu. "Cocok untuk keturunan kita nanti, ya?"

Sakura mengangguk kecil. Matanya beralih pada barang-barang bayi lainnya, yang justru dengan itu membuat Sasuke makin bosan menunggui Sakura.

Terpaksa, ia meninggalkan Sakura dan duduk di tempat duduk kosong samping meja kasir.

"Cih. Kalau sudah melihat barang bagus, pasti susah membujuknya cepat pulang," keluh Sasuke sebal, diliputi dengan kebosanan karena ia memang lebih berniat membaca novel fiksi setebal-tebalnya daripada harus mencuci mata dengan ratusan barang mungil dalam toko bernuansa pink dan biru itu.

Sasuke terus-menerus menghela napas menunggu kedatangan Sakura di meja kasir, sampai akhirnya ada seseorang yang mencoba menghentikan kebiasaan anehnya itu.

"Siapa yang Tuan tunggu? Nona muda disanakah?"

Ekor mata hitam Sasuke melirik seorang gadis bermata merah yang sedang tersenyum ramah kearahnya. Tangan kanannya menunjuk Sakura yang sedang asyik bercakap-cakap bersama seorang pria berambut kuning dengan tato kumis di sepasang pipinya.

Sejenak, hati Sasuke memanas dibuatnya.

"Tenang, pria berambut kuning itu pemilik toko ini. Sudah biasa ia melayani pelanggan baru di toko ini, jangan merasa cemburu begitu," ucap sang gadis berambut merah. Tanpa Sasuke sadari ia mulai berjalan perlahan mendekati bangku Sasuke dan mendudukinya. Tatapan mata sang gadis seolah tersihir melihat wajah Sasuke yang meski pun terlihat berantakan tetap cool.

"Oh… kukira ia selingkuh," komentar Sasuke, meskipun pandangannya tak mau lepas dari sepasang konsumen-produsen itu. Hati kecilnya masih merasa tak enak dengan kedekatan antara sang pemilik toko dengan sang istri.

Sasuke pun mencoba mengalihkan pandangannya ke sekitar, menatap gadis manis yang sedang tersenyum ramah di samping kanannya.

"Kau siapa? Penjaga toko?" tanya Sasuke heran, merasa pakaian yang dipakai sang gadis mirip dengan pakaian penjaga toko dan penjaga kasir di sampingnya.

"Hn. Namaku Karin," ucap sang gadis dengan wajah imut, yang entah kenapa langsung membuat pipi Sasuke memerah.

Mungkin… saking cantiknya, ya?

"Sasuke-kun, lihat! Aku bawa dua pasang sepatu bayi lucu, beli ya! Kumohon!" seru Sakura yang baru saja datang dengan membawa dua kotak berisi sepatu-sepatu bayi mungil dengan dua warna berbeda, merah muda dan biru. Cocok dengan warna rambut Sasuke-Sakura, kan?

Sasuke menghela napas singkat. "Kau ingat aturanku barusan, kan? Kita kesini hanya untuk melihat-lihat, bukan membeli. Lagipula, kandunganmu belum membesar ini."

Sakura tersenyum kecut mendengar penuturan Sasuke. "Tapi… barang seperti ini kan langka, Sasu! Siapa tahu sembilan bulan lagi kita takkan menemukannya, kan? Kau tak mengerti yang namanya globalisasi, ya?" tegur Sakura kesal, menyentil hidung Sasuke membuat Sasuke meringis kecil.

"Sepatu seperti ini kan banyak, nggak cuma disini! Kau sendiri, mengerti nggak dengan yang namanya pemborosan?"

Seolah tak mau kalah dengan rintisan Sakura barusan, Sasuke mulai melancarkan tatapan mematikannya dan ucapannya yang terkadang selalu menyebalkan dan memanaskan telinga Sakura.

Karin tersenyum kecil melihat aura menyeramkan diantara suami-istri itu.

"Tuan, kenapa tidak mengalah saja? Ini demi anak kalian juga, kan?" nasihat Karin, seolah tak ingin Sasuke dan Sakura berdebat hanya untuk dua pasang sepatu bayi. Memalukan.

Gantian. Kini Sasuke melirik Karin dengan pandangan tak suka.

"Tapi, dia itu terlalu bo–"

"Nah, penjaga toko saja bilang begitu!" seru Sakura tak mau kalah, memperlihatkan wajah penuh kemenangannya–alias licik–.

Sasuke menghela napas panjang. Kelihatannya ia tak mau adu mulut di depan Sakura sekarang. Memalukan sekali kalau ia terlihat bodoh di hadapan umum. Ingat, seorang Uchiha harus bisa mempertahankan reputasi baiknya.

"Baiklah. Tapi sekali ini saja ya, awas saja kalau kau ingin beli lagi. Kita kan nggak tahu bayinya lelaki atau perempuan!"

"Okeeee~ Kau memang baik, Sasu-kuuun~" seru Sakura senang, seraya mengecup bibir Sasuke singkat sebelum akhirnya ia berlari dengan wajah senang kearah meja kasir. Samar-samar, warna kemerah mudaan mewarnai pipi Sasuke, membuat Sasuke menunduk malu seraya mengikuti Sakura yang sedang asyik bercengkerama sendiri di meja kasir.

Karin menatapnya dengan tatapan sendu.

Senyuman tipis terbentuk di bibir merahnya.

"Serasi. Sama-sama menarik, sama-sama menyenangkan."

Gadis penjaga toko itu melirik seorang pemuda yang sedang menyeruput secangkir teh manis di café seberang toko kecil yang ditempatinya.

"Berbeda sekali denganku."

~o~

"Sasuke-kun, kau kenapa?"

Sakura yang sedang asyik melihat-lihat dua pasang sepatu bayi yang baru saja dibelikan Sasuke tadi, tampak heran dengan sang suami yang berjalan bolak-balik di ruang tamu. Jelas saja ia bingung, tak biasanya pria tampan ini berolahraga sekonyol itu, kan?

"Ck, kau lihat kalung pemberian ibuku, nggak?"

Sakura tertegun. Kelihatannya pikirannya masih loading mendengar pertanyaan Sasuke barusan.

Hingga akhirnya, matanya melotot kaget.

"Hah!? KALUNG IBUMU HILANG!? Kau bercanda, Sasu!" seru Sakura dengan tatapan mata memerah. Sekejap, ia berdiri dan mulai mencari-cari keberadaan perhiasaan kenangan itu di sekeliling ruang tamu itu. Sasuke memilih untuk tak menanggapi kekagetan sang istri, karena ia memang telah terbiasa dengan sikap Sakura yang spontan meskipun penuh keterlambatan pikir itu.

"Kau tahu kan, kalau itu peninggalan terakhir ibumu? Kenapa kau hilangkan? Kau bodoh atau apa, sih!?" bentak Sakura, seraya mencoba merayapi jari-jari mungilnya dibawah rak buku ruang tamu. Ia tak peduli kalau pun Sasuke merasa amat tersinggung dengan bentakannya barusan, karena yang ia katakan memang sepenuhnya apa adanya.

Kalau ingin tahu, kalung yang sedang dicari oleh sepasang suami-istri ini adalah kalung kenangan yang diberikan ibu Sasuke lima tahun lalu, tepat sebelum Mikoto dan Fugaku mengalami kecelakaan hebat sepulang pertunangan Sasuke dan Sakura.

Sebagai satu-satunya anak termuda di keluarga Uchiha, tentulah Sasuke terpukul mengetahui dua orang yang dicintainya telah pergi meninggalkannya.

Namun, tentu saja tak sampai disitu.

Menjelang kebersihan tempat kecelakaan Fugaku dan Mikoto, salah satu petugas kebersihan menemukan sebuah kalung emas dengan liontin bulat berukiran huruf U dan bentuk kipas keluarga Uchiha.

Sasuke tahu kalung itu.

Kalung yang memang selalu dipakai oleh sang bunda, kini jatuh ke tangan Sasuke. Tentu saja, sebagai satu-satunya anak termuda yang bisa dibanggakan di keluarga Uchiha, Sasuke akan mempertahankan kalung itu.

Dan sekarang… kalung yang sudah dijaganya hilang entah kemana?

Tentu saja sebagai salah satu pewarisnya Sasuke dan Sakura merasa panik!

"Ck, gimana? Kau menemukannya di lantai atas, nggak?" tanya Sasuke yang sudah susah-payah mencari di berbagai ruangan lantai satu, berteriak cukup kencang untuk Sakura yang sedang mencari benda kenangan itu di lantai dua. Namun, jawaban yang didapatnya hanya gelengan lemah sang istri. Kelihatannya kalung itu benar-benar tak berada di rumah tersebut.

"Lalu gimana? Harus kubiarkan saja?" tanya Sasuke, mencoba mencari solusi. Dan dengan gampangnya, Sakura menentang hal itu.

"Jangan! Mungkin saja tertinggal di… ah! Toko bayi tadi! Mungkin disana! Cepat cari disana, Sasu!" seru Sakura dengan wajah penuh keringat. Sepertinya wanita yang sejak setahun lalu menjadi anggota keluarga Uchiha ini juga bertanggungjawab atas kehilangan kalung emas itu. Sakura tahu, Mikoto yang sekarang sudah berada di bawah tanah kubur itu memang satu-satunya teladan yang sulit dilupakannya.

Bahkan, tangisannya ketika menjelang penguburan Mikoto itu lebih keras daripada tangisan Sasuke yang hanya sesenggukan singkat tanpa suara.

"Baiklah. Kau bisa sendirian sebentar disini, kan? Aku janji akan menemukannya. Dan tolong, jangan selelah itu ya. Cepat istirahat," tegas Sasuke, tak lupa memberi ciuman bibir singkat untuk Sakura. Lelaki itu pun bergegas pergi menuju toko bayi tadi dengan rasa cemas yang bercampur aduk. Sakura hanya menatap kepergian Sasuke dengan hati cemas.

Dipandangnya langit yang kini memendung, hujan sebentar lagi akan membasahi bumi.

Kenapa perasaanku harus secemas ini?

Haaah… cepatlah pulang Sasu, kumohon.

~o~

Cklek!

Begitu sampai di depan toko bayi tadi, Sasuke segera turun dari mobil dan bergegas memasuki toko mungil itu. Diliriknya beberapa pegawai toko yang tampak heran dengan wajah cemasnya saat ini. Tidak sedikit pegawai toko yang memilih mundur daripada harus mempertanyakan kenapa ia berwajah semenakutkan itu.

"Maaf, Tuan mencari apa?"

Sasuke yang hendak mengacak-acak seisi toko, melirik kearah seorang pegawai toko yang sedang menatapnya penuh kebingungan. Ekor matanya benar-benar tak asing dengan sang pegawai.

Karin.

"Ka-kau melihat sebuah kalung? Dengan ukiran huruf U di liontinnya dan bentuk ki–"

"Kalung? Maaf, sejak tadi kami tak pernah menemukan kalung dalam bentuk apapun," jelas Karin dengan wajah kecewa, merasa sedikit sedih harus mengatakan hal itu pada sang pelanggan. Sedang Sasuke, hanya bisa berkecil hati mendengar penuturan Karin tadi. Sudah jelas sekarang. Kalungnya hilang, ia kehilangan sebuah kenangan dari sang bunda.

"A-aku yakin tadi ada! Pa-pasti ada yang melihatnya!" seru Sasuke dengan wajah yang sudah amat sangat berantakan.

"Maaf Tuan, ta–"

"Aaah! Maksud Tuan kalung inikah?" tebak seorang gadis kecil berwajah China yang menunjukkan sebuah kalung emas berinisial U dan lambang kipas angin di liontinnya. Sasuke tersenyum lega. Apa yang dicarinya kini membuahkan hasil.

"Trims! Dimana kau menemukannya?" tanya Sasuke dengan wajah senang, kemudian mengantongi kalung itu di saku celana jinsnya.

Gadis kecil dengan ikat rambut kuda itu hanya tersenyum simpul pada sang Uchiha. "Iruka menemukannya di atas bangku itu, karena ada yang bilang kalung, Iruka memberikannya."

"Begitu… ah, terima kasih! Ingin kubelikan apa sebagai imba–"

"CEPAT PULANG ATAU KUPUKUL KAU!"

"–lan?"

Sasuke dan Iruka tertegun sesaat, mendengar teriakan penuh murka dari teras toko tersebut. Ia pun meninggalkan sang gadis, dan berjalan mencari tahu apa yang sedang terjadi diluar sana. Samar-samar, ia melihat gerimis yang mulai membasahi Konoha.

Dan sekarang ia benar-benar akan telat sampai di rumah.

"Ada apa?" tanya Sasuke, kepada seorang pemuda yang sedang berbisik-bisik bersama temannya di sampingnya. Pemuda itu melirik Sasuke sekilas, kemudian berujar, "Itu… pertengkaran suami-istri. Suaminya keterlaluan sekali, istrinya juga pasrah sekali dipukul sang suami!"

Sasuke heran. Didongakkan kepalanya keatas. Seketika matanya membulat, melihat Karin yang tengah menangis dengan rambut merahnya yang ditarik habis-habisan oleh pria berambut putih sebahu.

"Sui-kun, jangan bertengkar disini… Ka-kalau mau, ayo pulang!" hardik Karin dengan wajah meratap, sekali pun tak berniat menatap mata murka sang suami.

"Lalu, dengan bertengkarnya kita di rumah… kau bisa menyelesaikannya dengan mudah? Ck, bicaramu terlalu gampang, Wanita Tolol!" seru sang pria, seraya menendang punggung Karin hingga membuatnya terjengkang dan menyentuh tanah. Senggukan Karin yang makin keras sama sekali tak dihiraukan olehnya.

Sasuke hanya memandang pertengkaran di depan umum itu dengan wajah datar.

Padahal perasaan dan wajahnya saat ini sangat kontras maknanya.

Karin… bersama siapa? Suaminya?

Kalau itu suaminya… kenapa begitu kasar terhadap Karin?

Suaminya tak tahu malu, ya?

.

.

"Ku-kumohon, Sui-kun! Aku ingin pulang, ayolah!"

"Kau malu, hah? Malu!? Ck, ternyata pelacur sepertimu tahu arti malu, ya?" seru pria berambut putih itu. Telapak tangannya terangkat, hendak mendaratkannya dengan panas di pipi Karin.

Namun, sedetik menjelang kejadian menampar itu terjadi–

"Kalau kau suaminya, hentikan kebiasaan burukmu itu!"

–Sasuke telah mencoba meredakannya.

~o~

Sekarang, pertengkaran makin memanas.

Apalagi ketika Sasuke mencoba ikut campur masalah itu.

Sebetulnya, Sasuke tak pernah menginginkan hal ini terjadi. Menjadi pahlawan kesiangan bagi seorang wanita lemah? Cih, itu sama sekali bukan kebiasaannya.

Tapi… entah kenapa… melihat Karin yang terjatuh… menangis… dijambak… ditampar… dipukul… dianiaya…

Sasuke tak bisa membiarkan hal itu terus-menerus berlanjut.

Apalagi ketika ia mulai sadar kalau apa yang ia lakukan ini amat konyol, dan pria berambut putih itu mulai mengalihkan perhatiannya dari Karin menjadi padanya.

Pria berambut putih sebahu itu tersenyum licik, memperlihatkan deretan gigi taringnya yang berantakan dan kurang terawat. Ia pun mendekati Sasuke, menarik kerah bajunya semudah ia membalik telapak tangan, dan meninju wajah Sasuke yang menimbulkan teriakan histeris dari Karin dan beberapa pegawai toko yang sebagian besar berkelamin perempuan.

"Siapa kau? Suaminya? Memangnya berhak ikut campur masalahku dengannya?" tanya Suigetsu dengan penuh kemarahan, seraya kembali melayangkan tinju untuk wajah tampan sang Uchiha.

"Cukup Sui-kun! Cukup!" teriak Karin, air mata meleleh begitu cepat menuruni pipi manisnya.

Plak!

Sasuke kaget, ketika mendapati Karin yang terjerembab kembali ke tanah, dengan wajah yang memar dan memanas akibat tamparan keras Suigetsu. Napas Suigetsu naik-turun, tak berjalan dengan baik.

"Jangan menangis, Karin! Kau tahu kalau aku benci air matamu!" seru Suigetsu kesal, seraya menendang kaki sang istri.

Karin hanya bisa menangis tanpa suara ketika kakinya semakin sakit dan terluka ditendang oleh Suigetsu.

Cukup Sui-kun, cukup… aku sudah kesakitan…

~o~

"Sasuke-kun!"

Pertengkaran yang terhenti selama beberapa menit itu, terpecah ketika Sasuke mendengar suara khas Sakura di sekitarnya. Segera, ia menghapus darah yang mengalir dari bibirnya dan mencoba mencari Sakura ke segala arah. Namun, ia sama sekali tak mendapati keberadaan sang istri dimana pun.

Bruk!

Dan ia hanya bisa terdiam, mendapati pelukan mendadak Sakura dari belakangnya.

Ia sama sekali tak menghindar, berkutik sekali pun tidak.

"Saku…" lirih Sasuke pelan, yang dibalas dengan seruan kesal Sakura. "Apa yang kau lakukan disini, baka! Kau membuatku khawatir di rumah, tahu! Dan lagi… siapa pria itu? Kenapa wajahmu lebam? Ia yang membuatmu begini, hah?" cerca Sakura kesal, matanya menyipit mencoba merasakan sakit yang sedang dialami oleh sang suami.

Sementara Suigetsu dan Karin yang merupakan pelopor pertengkaran itu hanya tertegun melihat kemesraan antara sepasang suami-istri ini.

"Maaf…" ucap Sasuke dengan wajah kusut, menunduk menatap tanah. Ia membiarkan Sakura menyandarkannya di salah satu tempat berdinding kokoh disana, mengobati luka di bibirnya, dan mencium keningnya pertanda Sakura amat khawatir dengan keadaannya saat ini.

"Jangan bertindak sejauh itu kalau kau tak menyadari risikonya, Sasu! Kau bodoh, baka, kuso!" bentak Sakura kesal.

Dan–brugh! Kini ia jatuh ke pelukan satu tangan Sasuke.

"Ya, ya… aku memang bodoh, baka, kuso, menyebalkan, sesukamulah… tapi maaf, aku melakukan itu untuk keadilan. Gomen Saku… gomen," ujar Sasuke seraya mengelus pelan rambut basah Sakura. Ia sadar kalau Sakura tak boleh dibiarkan basah kuyup di tengah masa kehamilannya ini, namun di lain sisi ia juga tak boleh membiarkan Karin terus-menerus mendapatkan siksaan dari suaminya sendiri.

Dan Sasuke adalah satu dari sekian banyak orang yang ingin melakukan cara nekat demi apa yang ia harapkan.

Segera. Setelah menarik Sakura bangun, Sasuke berjalan kearah Karin dan ikut menariknya masuk ke dalam sedan sporty-nya. Suigetsu yang kaget dengan perlakuan Sasuke segera berlari mendekatinya. "Hei, mau kau bawa kemana Karin? KEMBALIKAN!" serunya murka, mencoba berlari secepat cara lari Sasuke saat ini.

Tapi, telat.

Sasuke sudah keburu pergi menggunakan sedan yang asapnya membuat Suigetsu terbatuk-batuk itu.

"Kuso!"

~o~

Di dalam mobil, keadaan hening seketika.

Sasuke masih tampak serius dengan setir-menyetirnya saat ini, demikian pula Sakura yang sedang mengelap rambutnya yang basah dengan saputangan yang dibawanya dari rumah di dalam tas. Tinggal Karin yang terdiam, seraya memeluk tubuhnya sendiri, menatap sepasang suami-istri yang sudah menyelamatkannya dari siksaan Suigetsu barusan.

"Arigatou… Sasuke-sama, Sakura-sama."

Sasuke dan Sakura sama-sama terdiam mendengar ucapan terima kasih yang keluar dengan tercekat dari mulut Karin. Sakura pun memandang Karin yang sedang duduk kaku di sampingnya.

Ia tersenyum. Senyum termanis yang pernah ia sunggingkan untuk Karin.

"Tak masalah. Kami malah senang, kalau kau sudah selamat dari siksaan barusan. Memang siapa dia? Seenaknya saja memukulmu, dan lagi kau bodoh karena membiarkan ia memukulmu!" seru Sakura kesal, yang hinaan tak sadarnya tadi dikoreksi oleh Sasuke dengan tatapan kesalnya. Sakura pun tutup mulut, sementara Karin mulai buka mulut mendengar tanggapan Sakura.

"Dia Suigetsu, suamiku…" ucap Karin lirih. Jelas saja, Sakura langsung kaget mendengarnya.

Masa seorang suami sebegitu teganya pada sang istri di depan umum?

Harusnya suami melindungi, bukan menyakiti.

Keadaan pun semakin hening setelah Karin buka mulut barusan. Sakura hanya bisa menatap Karin dengan tatapan iba. Kenapa wanita secantik Karin harus bersuami sejahat Suigetsu? Sama sekali tidak cocok.

Dan sekarang, Sakura hanya bisa terdiam cukup lama melihat lebam-lebam yang semakin jelas terbentuk di sekujur tubuh Karin.

Membuktikan kalau sudah cukup lama Karin diperlakukan sebiadab itu oleh Suigetsu.

"Karin-san," panggil Sakura dengan suara kecil.

Karin menyadarinya, ia langsung menatap Sakura dengan benak penuh tanda tanya.

"Untuk sementara, menginaplah dulu di rumahku. Akan kusediakan apa saja yang kau mau, dan jangan keluar rumah kalau kau melihat tanda-tanda keberadaan suamimu di sekitar rumahku. Maaf kalau aku harus mengatakan ini, tapi… aku benci suamimu," jelas Sakura dengan wajah sebal, yang ditanggapi dengan senyum polos Karin.

"Terima kasih. Apa imbalan yang bisa kuberikan padamu, Nona?"

"Ah, aku ikhlas kok. Dan tolong… jangan panggil aku 'nona', kelihatannya kita seumur dan sederajat, kan?" ucap Sakura dengan wajah ramah.

Karin tersenyum lembut.

Sejenak kemudian, ia menatap Sasuke yang sedang menyetir dengan wajah penuh sedikit harapan.

Senyum tipis terkembang di bibirnya.

Terima kasih telah menjadi malaikatku, Sasuke… terima kasih…

~o~

Menggali masa lalu, satu dari sekian hal yang paling dibenci manusia…

Namun,…

Kalau masa lalu yang satu ini lebih baik dari sekarang…

Untuk apa kita membencinya?

~o~

Begitu sampai di rumah, Sakura segera menyediakan air hangat dan menyuruh Karin berendam sebelum ia mengganti pakaiannya yang basah kuyup dan kotor.

Sasuke yang baru saja sampai di rumahnya, segera merebahkan tubuhnya diatas sofa dan menyalakan televisi dengan malas-malasan.

Sakura merasakan ada yang aneh dari sang suami semenjak ia pulang dari toko bayi tadi. Ia pun mendekati Sasuke dan memegang lengannya erat-erat.

"Kau kenapa, Sasu? Tadi kalungnya ketemu?" tanya Sakura dengan wajah penasaran.

Sasuke mengangguk lemah. Diambilnya kalung emas dari saku celana jinsnya dan ia menyerahkannya tanpa semangat kepada Sakura. "Biar kau yang pegang. Kalau kupegang, nanti cepat hilangnya," tegas Sasuke kurang berwibawa, kemudian mengambil salah satu bantal sofa dan ditutupnya sang wajah dengan bantal tersebut.

Sakura menatap kalung emas itu dengan wajah polosnya.

Sasuke sudah menemukan apa yang sejak tadi ia cari. Tapi, kenapa ia terus melihat kemurungan di wajah pria yang amat dicintainya itu?

"Kau tahu kalau seorang istri juga bertugas sebagai pendengar yang baik untuk suaminya kan, Sasu? Sekarang cerita, apa yang membuat wajahmu semakin suram belakangan ini?" kata Sakura dengan wajah menginterupsi, yang mau tidak mau harus disanggupi oleh Sasuke.

Sasuke pun menghela napas panjang. Dimatikannya televisi, kemudian ia memandang Sakura penuh kuatir.

Ia takut. Takut pada Sakura. Takut pada masa depannya.

Takut.

"Kemarin… aku bermimpi, dan mimpinya aneh," ujar Sasuke singkat, yang didengar dengan seksama oleh Sakura. Dipegangnya tangan Sasuke erat-erat, mencoba meresapi tiap rasa takut yang sedang menjalari batin dan fisik keturunan terakhir Uchiha itu. Ia tahu kalau Sasuke memang sulit mengutarakan suatu masalah dengan baik, jadi ia bisa bersabar kalau mendengar curhatan Sasuke yang sepatah-dua patah kalimat itu.

"Mimpinya… sulit kuceritakan, Saku," ucap Sasuke dengan wajah bimbang. Dilepasnya eratan tangan Sakura, kemudian ia bangkit dan masuk ke dalam kamarnya.

Sakura terdiam. Bibirnya kelu, seolah dipaksa untuk tidak mengatakan satu kata pun.

"Sasuke…"

Ekor mata hijau bening itu merayap dan berhenti pada sebuah bingkai foto, dimana terpasang selembar foto seorang pemuda yang sedang tersenyum tipis dengan latar belakang lautan luas. Wajahnya cerah, dan meski pun senyumnya tipis tetap menandakan ia tengah berbahagia dalam momen tersebut.

"Kau kenapa?"

~o~

Biasanya, Sasuke hanya memerlukan sedikitnya semenit agar ia bisa tertidur dengan lelap.

Tapi, hari ini, entah kenapa Sasuke sedang tak ingin tidur. Bahkan, sudah tiga jam ia berbaring diatas kasur, ia tetap tak bisa menenangkan dirinya yang tengah gelisah tak karuan. Dipandangnya Sakura, yang sudah terlelap dengan dengkuran kecil di sampingnya. Sejenak, ia bergerak mendekati Sakura, memegangi keningnya, dan mencium kening lebar itu untuk beberapa detik.

"Mimpiku itu kehilangan kau, Saku. Jadi aku tak bisa menceritakannya…" kata Sasuke lirih, seraya mengelus pelan rambut gulali Sakura.

Ketika ia akan bergegas tidur, secara mendadak terdengar suara barang jatuh dari dalam ruang dapur. Pria itu pun kembali menyalakan lampu kamarnya, mengambil jaket tebal yang tersampir di kursi meja rias kamarnya, dan bergegas menuju ruang dapur.

Firasatnya mengatakan kalau ada sesuatu hal terjadi yang berhubungan dengan Karin di dapur.

Dan great, tebakannya memang selalu benar.

Pria itu kaget, melihat Karin yang sedang merintih kesakitan seraya memegang kaki kanannya yang terluka. Di sampingnya ada panci berisi cokelat panas yang tumpah dan berceceran kemana-mana, menebarkan lengket dimana-mana. Wanita itu menatap Sasuke sekilas, kemudian bangkit dan mencoba memperbaiki kesalahan pertamanya di dapur yang biasanya digunakan oleh Sakura itu.

"Baka, malam-malam begini apa yang kau lakukan sih?" tegur Sasuke tak senang, seraya mencoba membantu Karin bangun.

"Ma-maaf… tadi aku ingin buat cokelat panas, tapi… ka-kakiku…" ucap Karin terbata-bata. Sasuke pun menatap lutut Karin yang berwarna keunguan dengan beberapa bekas luka gores di sekitarnya. Kelihatannya hal seburuk itu dilakukan oleh sang suaminya, yang tak lain dan tak bukan adalah Suigetsu.

"Sana, biar kubuatkan cokelat panasnya," titah Sasuke, seraya menatap meja ruang makan. Karin mengangguk lemah, lantas ia mencoba berjalan setengah pincang kearah meja makan.

Sasuke menghela napas kecil.

Dipandangnya cokelat panas yang sudah jadi, yang kini sudah berceceran di lantai dapur.

Dasar, cokelat itu kan persediaan Sakura untuk sarapanku besok…

~o~

"Nih. Cepat habiskan dan kembali ke kamarmu."

Dengan kasar, Sasuke memberikan segelas cokelat hangat untuk Karin, dan satu gelas lagi untuknya. Ketika ia tengah menyeruput cokelat hangat itu, ia melirik Karin yang tengah dalam kegugupan meminum cokelat cair itu.

Uchiha bungsu itu pun meletakkan gelas cokelat cairnya yang sudah kosong diatas meja makan dan menatap Karin dengan tatapan menginterogasi.

"Itu kenapa?" tanya Sasuke to the point, ekor mata oniksnya menatap lebam kebiruan di kaki Karin. Namun, wajahnya masih tampak datar dengan ekspresi sesantai mungkin. Sementara Karin terlihat malu-malu dengan luka lebamnya itu, kemudian menutupnya dengan rok biru selutut yang dipakainya. "Ha-hanya luka biasa… nggak parah kok."

"Yang kutanyakan bukan jenis lukanya, tapi penyebabnya," koreksi Sasuke, yang lagi-lagi membuat Karin sulit untuk menjelaskannya.

Yah… bagaimana cara menjelaskannya kalau yang melakukan hal sekejam itu adalah suaminya sendiri?

"Su-Suigetsu… Suigetsu," jawab Karin ragu-ragu, lalu meminum kembali cokelat hangat di gelasnya yang sudah setengah penuh. Namun, cepat-cepat ia menurunkan gelasnya dan menatap Sasuke dengan wajah sedikit senang. "Ta-tapi… ia tak sengaja, kok! Wa-wa-waktu itu, aku tak sengaja terkena palu miliknya. Ta-tapi… di-dia tak sengaja… Su-Sui-kun tak sengaja…"

Sasuke terdiam sesaat, ia tahu kalau apa yang Karin katakan tadi dusta. Bohong. Menipu. Wanita itu hanya berniat melindungi sang suami dari pandangan buruk masyarakat. Terlalu baik.

Pria berambut biru donker itu menghela napas pelan, ditatapnya intens bola mata merah milik Karin.

"Tunggu sebentar."

Lelaki itu bangkit, kemudian berjalan menuju meja kecil yang diatasnya tersedia pot bunga kecil dan kotak P3K. Sasuke mengambil dua lembar kapas, satu hansaplast, dan satu cairan cokelat penyembuh luka. Tanpa menunggu izin Karin, ia menarik kaki wanita itu dan membubuhkan dua tetes cairan penyembuh luka diatas lebam biru yang kelihatannya baru terbentuk beberapa hari lalu itu. Bisa didengarnya rintihan Karin yang merasa sakit dengan perawatannya yang memang terbilang kasar itu.

"Sabarlah, ini juga agar kau sembuh, kan," nasihat Sasuke tanpa menoleh sekali pun pada Karin. Ia lebih fokus pada luka lebam di lutut wanita berkacamata minus itu.

Beberapa menit kemudian, lebam itu pun tertutup oleh selembar hansaplast berwarna cokelat polos pemberian Sasuke. Lukanya pun telah dibersihkan dengan cairan penyembuh luka, cairan alkohol, kemudian selembar kapas yang tadi Sasuke ambil dari kotak P3K. Sepertinya luka itu juga mulai terasa tak sakit berkat pengobatan kasar Sasuke tadi.

"Gimana? Sudah lebih baik?" tanya Sasuke memastikan, seraya memasukkan botol alkohol dan cairan penyembuh luka yang masih tersisa ke kotak P3K.

"I-iya… arigatou…"

"Hn. Sekarang kembali ke kamarmu," titah Sasuke dengan wajah serius. Karena ia sendiri tahu persediaan cokelat hangat di gelas Karin juga sudah habis sejak seperempat jam yang lalu. Karin sudah merasa lebih baik sekarang.

Karin mengangguk. Ditorehkannya seulas senyum manis untuk pria tampan yang sudah bersedia mengobati lukanya tadi.

Jelas saja, melihat senyuman yang manis dan anggun itu, wajah Sasuke memanas dan memerah. Ia pun mengalihkan perhatiannya kearah dapur dan berucap, "Cepat."

"Ba-baik!" ucap Karin terbata-bata, kemudian berlari kecil memasuki kamar sementaranya.

Usai Karin memasuki kamarnya, Sasuke melirik kamarnya dan kamar Sakura yang sekarang hanya diisi Sakura yang masih tertidur pulas di dalamnya. Pria itu pun membawa dua gelas kosong dari meja makan menuju dapur, mencucinya sebentar, mengaturnya di rak alat-alat rumah tangga, kemudian mematikan lampu ruang tamu sebelum ia memasuki kamar.

Sama sekali tak menyadari kalau Sakura sudah terbangun sejak satu jam yang lalu, memandangi kegiatan Sasuke dan Karin tadi dengan hati yang sedikit menghangat.

Sasuke-kun…

ia sudah janji takkan berselingkuh, kan?

~o~

Dan akan ada waktunya…

Ketika sang elang terbang meninggalkan kupu-kupu sendirian…

.

.

.

Lanjut atau Selesai?

Whoahaha, fic macam apa ini!? *disambar palu*

Maaf ya kalau ficku abal banget, soalnya isi ceritanya semau perasaanku aja sih *getoked*. Kalau memang jelek… ya harap maklum!

First, aku newbie ya disini. Mohon bantuannya! *ojigi*

Jadi… bersediakah mereview? :3

.

Anata Korochi.

8 November 2012.