BILA SAATNYA
Chara selalu milik Masashi Kishimoto Sensei, tapi fict ini tulisan Sao.
Warning : AU, OOC, FemNaru, typo's, cerita pasaran, oneshoot pendek, alur cepat.
Pairing : SasuFemNaru
Fict ini Sao dedikasikan untuk diri pribadi dan yang berkenan membaca. Hanya sebuah fict pendek yang Sao maksudkan untuk memenuhi my story dan dulu pernah Sao publish di Fb.
Don't like, don't read. Flame dipersilakan selama membangun. Pilihlah bahan bacaan dengan bijak.
Happy reading...
.
.
.
.
.
Tut... Tut... Tut...
Bunyi mesin alat pendeteksi detak jantung mendominasi ruangan ini, ditambah suara tetesan infus yang terpasang ikut memecah keheningan suasana.
Aku hanya bisa menatapnya nanar. Terlihat jelas dalam pandangan mata beriris onyx-ku, seorang gadis manis tengah terbaring lemah tak berdaya. Sudah dari tiga bulan lebih dua hari berlalu dan dia tak juga sadarkan diri. Kuhembuskan napasku yang terasa berat seraya memutar-mutar leherku yang terasa sangat kaku. Kuraih sebelah tangannya yang terasa dingin, kemudian kugenggam erat dan kukecup penuh perasaan.
Tak kusangka, sosok gadis super ceria dan hyperactive seperti Naruko ternyata memiliki penyakit yang sangat parah. Naas memang, selalu saja takdir tak pernah bisa diduga.
" Kenapa harus kamu? Kenapa harus Kanker otak?" Tanyaku parau. " Sampai sekarang aku masih belum bisa mengerti, bagaimana bisa kau bertahan sejauh ini?"
Teringat jelas senyuman manis gadis berambut pirang panjang dan mata beriris sapphire yang selalu menghiasi hariku, pelukan hangat dan juga tingkah manjanya.
" Hidup itu anugerah, sependek dan sesakit apapun kehidupan ini harus selalu kita syukuri." Ucapnya selalu dikala aku mengeluh tentang kehidupan.
Aku hanya mampu tersenyum getir saat mengingat semua kenangan tentangnya.
Cklek...
Krieet...
Pintu terbuka secara perlahan, sesosok wanita berambut merah darah panjang setengah baya memasuki ruangan dan menepuk pundakku.
" Sasuke, makan dan istirahatlah sejenak. Jangan terlalu mengkhawatirkannya. Ingat Naru-chan itu kuat." Ungkapnya seraya tersenyum.
Kulihat jelas senyum yang nampak coba dikuatkannya. Aku sadar, beliau pasti jauh lebih khawatir dan sedih terhadap keadaan puteri semata wayangnya.
" Bibi sudah makan?"
Dia nampak menerawang sejenak sebelum akhirnya mengangguk dan tersenyum menjawab pertanyaanku.
' Bohong. Aku tahu Bibi pun pasti tak bisa makan.' Batinku.
" Pergilah. Kasihan Naru-chan. Dia pasti akan sangat sedih kalau tahu kamu kurang makan dan tidur."
Akhirnya, dengan enggan aku beranjak pergi meninggalkan ruangan ini.
.
.
.
.
.
Secangkir kopi hangat terhidang tepat dihadapanku, aroma kopi yang biasanya terasa begitu menggoda, kini terasa hambar. Dengan perlahan kuseruput kopi tersebut. Rasa hangat terasa melewati kerongkonganku yang kering. Entah sudah berapa lama aku tak bisa makan dan tidur dengan cukup? Semenjak aku mendengar keadaannya yang kritis, aku langsung terbang dari Ame ke Konoha dan sejak saat itu mataku sulit untuk bisa terpejam dalam waktu yang cukup lama.
Setelah kurasa cukup beristirahat, aku pun kembali ke ruangan Naruko. Namun, langkahku harus terhenti di ujung pintu saat kudengar dokter tengah mengatakan keadaan Naruko pada Bibi Kushina.
"Sudah hampir tak ada harapan lagi, Nyonya Kushina. Naruko, maksudku kondisi tubuh Naruko sudah semakin lemah dan semakin tak mampu bertahan dari penyakitnya. Tujuh tahun menderita penyakit ini, tubuhnya sudah tak mampu melawan dan menahan rasa sakit." Papar dokter tersebut dengan begitu berat.
Kulihat Bibi Kushina nampak shock dan terduduk lemas dikursi yang berada di samping tempat tidur Naruko, air mata pun mengalir deras membasahi pipi putihnya yang nampak pucat dan lelah.
"Naruko anak yang kuat, Dok. Dia tak mungkin menyerah. Dia selalu bilang, dia akan selalu bertahan. Ya, selalu bertahan. Dia bahkan bilang, ingin menikah dan punya anak, Dok." Paparnya parau sebelum akhirnya benar-benar menangis terisak.
" Kami akan berusaha semaksimal mungkin. Teruslah berdoa, karena semua ini kembali kepada kehendak Tuhan." Ucapnya kemudian berlalu.
Aku hanya bisa terdiam saat Dokter Kabuto melintas dan menyempatkan mengulas senyum tipis padaku. Sebuah senyum coba kusunggingkan pada wajah stoic-ku, namun kini tak hanya kekakuan yang membuatku gagal untuk mengulas senyum, perih dan sakit yang terlalu menusuk pun ikut membuatku semakin tak mampu.
" Naruko pasti bisa bertahan. Dia menyayangi kita. Iya, 'kan, Sasuke?" Ungkap Beliau penuh harap.
Aku hanya bisa terdiam untuk beberapa saat lamanya, namun tiba-tiba terbayang senyum Naruko. "Iya, Bibi. Naruko pasti bisa." Jawabku kemudian, walau memang terdengar getir.
'Kamu harus kuat Naruko. Pernikahan kita sudah dekat.' Pintaku di dalam hati.
.
.
.
.
Aku menatap pasangan makan malamku yang nampak memakan makanannya dengan begitu khidmat. Suasana restoran dimana kami tengah menghabiskan waktu pun nampak sangat mendukung, nyaman dan juga cukup romantis. Menghembuskan napas pelan, aku pun mulai membuka mulutku guna memecah keheningan yang sudah cukup lama tercipta. Kukatakan kalimat tersebut dengan begitu mantap, kalimat yang pastinya akan mengubah sedikit hubungan diantara kami untuk ke depannya. "Aku ingin kita menikah. "
Terlihat jelas keterkejutan pada wajahnya. Akhirnya, setelah sekian lama kurencanakan dengan matang, tepat pada hari ulang tahunnya aku pun mampu mengutarakan keinginanku padanya.
" Menikah? Apa kau yakin? Aku... Aku rasa ini masih terlalu dini. Kita masih kuliah. " jawabnya terdengar gusar.
Aku tercengang mendengar jawabannya. Ini sama sekali tak sesuai bayanganku. Bukankah wanita menginginkan sebuah keseriusan?
" Suke, aku minta maaf. Aku belum siap. "
" Kapan? Kapan kau siap?" Tanyaku penuh harap, sama sekali tak peduli pada image-ku yang terkenal sebagai pemuda stoic. " Aku akan menunggu. "
Naruko nampak menerawang, terlihat kepedihan dimata beriris sapphire-nya. Senyum cerianya nampak menghilang. Kali ini aku tak mengerti apa yang tengah dipikirnya.
" Kenapa harus aku? " Naruko menarik napas dalam. " Terkadang aku berpikir kenapa kau memilihku? Bukankah banyak yang mengagumimu?"
" Naru, kenapa kau bertanya seperti itu? Aku mencintaimu, itu alasannya. "
" Tapi suatu hari nanti aku... Aku akan hilang ditelan waktu. Apa kau bisa menggantikanku?"
Aku menatapnya dan mengangkat naik alisku beberapa mili ke atas, " Apa maksudmu? "
Naruko terdiam cukup lama, membuatku semakin bingung.
" Naru?"
Diraihnya tanganku yang tersimpan semenjak tadi di atas meja dan menatapku sayu. " Bila saatnya tiba, aku ingin kamu tetap bahagia dan terus melangkah maju. Aku sangat mencintaimu. Aku tak akan tenang bila kamu hancur dan terpuruk. "
" Kata-katamu terlalu berbelit. Kamu seperti orang penyakitan yang bisa saja mati besok. Ada apa sebenarnya?" kejarku.
Naruko hanya terkekeh mendengarnya, wajahnya yang semula muram kembali terlihat ceria.
"Memang aku terlihat seperti orang sakit?" Naruko melepaskan tanganku dan nencubit hidungku. " Aku sehat, cuma aku kaget mendengar kamu melamarku. Kerja dulu yang benar. Kalau kamu sudah kaya, nanti aku akan memikirkannya kembali. "
Aku mendengus pelan. " Dasar perempuan. Ternyata semua sama saja, matre. Kau membuatku berpikir kembali untuk menikah." Ucapku mencoba bermain-main.
" Bukan matre, tapi realistis. Zaman sekarang cinta saja tidak cukup. Memangnya cukup hanya dengan makan cinta?"
" Apa bedanya?"
.
.
.
.
.
Tak terasa air mataku telah menetes begitu saja. Kenangan indahku dengannya membuat hatiku sesak. Ingin aku kembali mengulang masa lalu.
Semakin hari kondisi Naruko semakin memburuk. Aku dan Bibi Kushina hanya bisa berdoa dan memasrahkan diri untuk kemungkinan terburuk.
" Naru, kasihan dia. Sudah hampir empat bulan tapi dia masih belum siuman. Bibi rasa mungkin sebaiknya kita—"
" Tidak, Bibi..." Aku menatap beliau tak percaya. "Naru pasti sembuh, kita harus percaya. Kita tak boleh menyerah. Dokter itu bukan Tuhan. Naruko tak mungkin kalah begitu saja. Kita tidak bisa melepaskan semuanya. Alat-alat itu membantu Naru untuk bertahan. "
"Tapi Bibi tak bisa melihat Naru terus seperti itu. Kasihan dia, sudah terlalu lama menderita. Bibi rela kalau memang Naru harus pergi." Isaknya.
Harapan semakin jauh rasanya, pengakuan Bibi Kushina semakin menohok hatiku. Aku memang tunangannya, tapi Ibunya lebih berhak menentukan.
" Bi, tolong beri dia sedikit kepercayaan lagi. Aku yakin Tuhan pasti nemberi keajaiban. Aku mohon. "
Beliau semakin terlihat gusar. "Entahlah, Sasuke. Semua terasa buntu. Tujuh tahun dia telah berjuang dengan begitu keras. Haruskah dia menderita lebih lama? Tiga bulan lebih dia koma, rasanya hati Bibi hancur." Ujarnya kemudian berlalu.
Aku hanya bisa terdiam nenatap kepergian beliau, aku mengerti jelas perasaannya. Kuarahkan pandanganku kembali menembus kaca kecil yang ada pada pintu, terlihat jelas wajah pucat Naruko yang tertidur tiada berdaya.
"Haruskah aku melepasmu?"
.
.
.
.
" Arrghh... "
Lagi-lagi aku terbangun dari tidurku dengan was-was, mimpi buruk tentang kepergian Naruko semakin sering kualami.
Aku berjalan perlahan kearah Naruko yang semakin memucat. Dadaku terasa sesak membuat napasku tersenggal. Kukecup keningnya perlahan, dingin terasa kulitnya dibibirku.
"Naru, sadarlah. Aku merindukanmu. " Ucapku parau.
Kuarahkan pandanganku kearah jam yang tergantung manis di dinding, tepat jam dua dini hari. Badanku terasa lemas. Dengan enggan aku pun kembali kearah kursi panjang di ujung ruangan. Perlahan tapi pasti, rasa kantuk kembali menyerang membuat mata ini kembali terpejam.
.
.
.
.
" Sasuke... "
Sebuah suara yang terasa familiar membuatku terkejut dari tidurku. Aku hanya tertegun menatap sang pemilik suara, antara sadar dan tak sadar membuat mulutku ternganga. Tch... masa bodoh dengan image-ku untuk saat ini.
Sebuah senyuman khas yang sudah sangat kurindukan, kini nampak jelas terlihat. Dia mendekat perlahan dan duduk di sampingku.
"Sudah lama ya tak jumpa?" Dia menghela napas panjang, "Aku pikir tak 'kan sempat melihatmu, tapi ternyata Tuhan begitu menyayangiku." Sebuah senyuman tampak terpancar indah dari paras manisnya. "Aku tak tahu harus berkata apa? Ini seperti mimpi bagiku."
"Tak ada yang perlu kau katakan. Jika ini mimpi aku harap kau dan aku akan tetap tertidur , karena aku tak ingin mimpi ini cepat berakhir." Ucapku panjang lebar. Kuraih sebelah tangannya yang terasa dingin, "Naru, kau harusnya jangan bangun dulu, kamu masih terlalu lemah. Aku— "
Naruko mengarahkan tanganku kedadaku dengan tangannya. "Aku akan selalu ada di sini, 'kan?"
" Hn. Tentu saja."
Dia tersenyum, namun anehnya terlihat datar. "Berjanjilah kau harus bahagia. Bila saatnya tiba nanti, aku yakin semua akan baik-baik saja dan berakhir indah."
"Apa maksudmu? Kau tak akan meninggalkanku, 'kan?" Aku menatapnya tajam.
"Maaf, aku bukan makhluk abadi. Aku tak 'kan bisa melakukannya, karena waktu tak akan mungkin terhenti di sini," Dia terlihat semakin memucat. "Sasuke, berjanjilah untuk temukan cinta yang baru. Kau harus bahagia."
Aku mengarahkan pandanganku ke atas, menatap langit-langit bercat putih. Dadaku entah kenapa semakin terasa sesak.
"Aku semakin merasa sedang bermimpi, mimpi yang membingungkan. Aku tak mungkin menggantimu dengan cinta yang baru, karena pasti kamu tahu sendiri alasannya. Aku sangat mencintaimu. Aku ta—"
Mataku seketika melebar, kaget ketika tak kulihat lagi gadis berambut pirang dan beriris sapphire tersebut berada di sampingku. Dia menghilang entah kemana.
"Naruko... " Panggilku begitu lirih.
.
.
.
.
Aku hanya bisa terdiam pasrah menatap gundukan tanah merah yang masih baru. Sebuah pas foto terpajang tepat di samping batu nisan. Air mata terus mengalir membasahi wajah Bibi Kushina, suara isak tangis mendominasi tempat sepi yang lapang ini. Sejauh mata memandang, hanya terlihat kuburan yang berderet rapi.
"Naruko, Mama akan selalu mendoakanmu. Cinta Mama untukmu, nak." Ucapnya seraya mencium batu nisan yang bertuliskan 'Uzumaki Naruko'.
"Bibi, Naru sudah tenang di sana. Aku akan selalu mengenangnya." ucapku datar, namun aku yakin Bibi Kushina dapat menangkap jelas sorot luka di dalam kedua mata beriris onyx-ku.
Bibi Kushina langsung bangkit dan memelukku erat. "Terima kasih sudah mempertahankan Naruko sejauh ini." Aku hanya dapat terdiam untuk beberapa saat, sebelum akhirnya balas memeluk wanita yang sudah seperti Ibu bagiku, "Maaf justru Bibi yang malah melepasnya."
" Aku mengerti, Bibi."
Sebuah ingatan melintas begitu saja. Perdebatan panjang kami dengan dokter yang berjalan alot kembali terkenang di dalam benakku.
"Saya harap anda menyetujui pencabutan alat-alat pasien, sudah tak ada harapan. Sembilan puluh dua persen alat vitalnya sudah mengalami kegagalan fungsi " Ujarnya berat.
"Tidak mungkin, Dok. Kita tak bisa menyerah sampai di sini. Naruko pasti kuat, dia pasti bertahan." Tekanku penuh dengan emosi.
"Lakukan, Dok. Kasian anakku."
Tertohok...
Aku hanya bisa tertegun mendengar persetujuan beliau. Rasanya aku langsung mati rasa.
" Maaf, Sasuke. Sudah terlalu lama." Isaknya.
Aku perlahan jatuh terduduk dilantai, kakiku terasa tak kuat lagi untuk menopang beban tubuhku sendiri. Hatiku remuk redam. Naas rasanya menerima kenyataan. Semua mimpi indahku dengannya semakin jauh untuk menjadi kenyataan. Pertemuanku dengannya di alam mimpi, mungkin menjadi penutup kisahku dengannya.
Selang beberapa minggu setelah keputusan itu final dipilih, akhirnya tiba waktunya pengeksekusian. Aku hanya bisa pasrah dan mencoba menerima, namun tetap mencoba yakin bahwa Tuhan akan memberikan keajaiban.
Benar saja, keyakinanku benar terjadi. Disaat semua alat penopang hidup tunanganku telah terlepas dari tubuhnya, tiba-tiba Naruko menunjukan tanda-tanda kehidupan. Dokter dan suster yang menyaksikan langsung takjub saat Naruko dengan perlahan menggerakan jemarinya dan memanggil Ibunya lirih.
"Naru... Kau sadar, sayang?" teriak Ibunya histeris seraya berlari menghampirinya.
Naruko terlihat mengerjapkan matanya perlahan, "Mama, Naru sayang Mama." Ucapnya lirih, begitu pelan dan nyaris berbisik.
"Iya, nak. Mama juga sayang Naru." Ucap Bibi Kushina parau, sebisa mungkin Beliau mencoba menahan isakannya.
"T-Te-ri-ma k-Ka-sih." Ucap Naruko terbata. "M-Ma-af, Suke." Sebuah lenguhan panjang terdengar sesaat sebelum Naruko pada akhirnya menutup matanya untuk selamanya.
"NARUKO... " Teriakku dan Bibi Kushina bersamaan.
.
.
.
.
.
.
Kini aku hanya berdiri sendiri di tanah lapang ini. Menatap hampa kearah gundukan tanah dimana tunanganku telah bersemayam dengan tenang.
"Naruko... kau tahu, mungkin aku akan mencoba." Tersenyum getir, "Walau entah kapan, aku berjanji akan menemukan kebahagianku. Aku harap kau tenang di sana. Aku pamit. Tapi, aku berjanji akan selalu mendoakanmu." Menghela napas perlahan, "Mungkin aku memang tak akan sering berkunjung, tapi percayalah... Aku tak akan pernah melupakanmu. Sampai jumpa."
Perlahan kulangkahkan kakiku menapaki jalan setapak menuju mobilku terparkir. Kuterdiam cukup lama sebelum akhirnya masuk dan kemudian melajukan mobilku.
"Bila saatnya tiba, semua pasti berlalu. Tapi aku berjanji akan selalu mengenangmu."
.
.
.
.
Bruuk...
Di tengah perjalananku menuju kediamanku, tiba-tiba aku dikejutkan oleh seseorang yang tiba-tiba melintas di depan mobilku. Dan saat aku mengerem mobilku, semuanya sudah terlambat. Aku terlanjur menabraknya, keadaanku yang tengah kacau membuat kepekaan dan juga replex-ku menjadi berkurang. Aku pun hanya bisa mengumpat saat kurasakan mobilku menghantam sesuatu. Kubuka pintu mobilku dan segera turun untuk memastikan keadaan korban atau tersangka penabrakan mobilku.
Seorang pemuda berambut pirang jabrik terlihat tengah memegang lututnya yang nampak berdarah seraya merintih kesakitan.
"Sial, menyegat taksi malah keserempet mobil. aww..." keluhnya.
Aku hanya terdiam dan menatapnya datar. Memangnya apa yang harus kulakukan? Bukankah itu memang kesalahannya? Dia 'kan yang yang tiba-tiba melintas tanpa memperhatikan kondisi jalanan?
"Aish... bukannya menolong, malah berdiam diri seperti patung." Dumelnya seraya mencoba untuk bangkit.
Deg...
Alangkah terkejutnya aku saat melihat wajahnya. " Naruko...? "
"Siapa?" Pemuda tersebut nampak memiringkan kepalanya, "Naruko? sembarangan." Ketusnya, "Namaku Naruto, bukan Naruko." Dia bangkit dan mulai melangkahkan kakinya yang nampak sedikit terpincang. "Permisi, taksiku sudah menunggu. " Ucapnya seraya berlalu.
Aku hanya diam terpaku, melihat pemuda tersebut menaiki taksi dan akhirnya berlalu pergi, menghilang dari pandangan. Sosok pemuda pirang itu benar-benar begitu sama persis dengannya, Naruko. Bagaimana bisa ada dua sosok yang begitu identik di dunia ini? Walau pun memang berbeda gender, tapi—
"Mungkin hanya karena aku terlalu kehilangan. " Ucapku parau.
.
.
.
.
.
Fin
.
.
.
.
A/N.
Sao gak terlalu yakin dengan genre fict ini. Dan please, jangan bantai Sao karena Sasuke yang OOC dan juga endingnya yang gaje. Maklumi saja ya...
Sao juga minta maaf kalau ada kesalahan penulisan nama, Naruto dan Naruko sering ketuker. Lalu fict ini juga pernah Sao publish di fb dengan nama chara lain. Oke, arigatou sudah mau mampir di fict Sao kali ini.
.
.
.
Berkenan mereview?
Omake...
Naruto side...
Terkejut mendapati keadaan sang pemuda pirang yang baru saja memasuki kediaman mereka, Minato segera menghampiri sang putera dan kemudian memapahnya.
"Apa yang terjadi denganmu, Naruto?" tanya pria berperawakan tegap tersebut khawatir.
"Keserempet mobil." Jawabnya singkat.
"Bagaimana bisa? Apa lagi-lagi karena kecerobohanmu?"
"Ck, berhentilah bertanya tou-san?" decaknya kesal, "Aku bahkan meragukan itu adalah sebuah pertanyaan atau justru kau sedang memarahiku."
"Tentu saja itu pertanyaan." Minato membantu Naruto untuk duduk disofa panjang secara perlahan. "Aku sangat mengkhawatirkanmu. Kyuubi pun akan bersikap demikian bila melihat keadaanmu yang seperti ini."
"Ya," Naruto memutar matanya bosan. "Dan aku bersyukur Kyuu-nii baru akan menyusul kita seminggu kemudian."
"Tch... tunggu sampai Kyuubi tahu, Naruto."
"Dan aku tahu pasti siapa yang harus disalahkan bila Kyuu-nii mempercepat jadwal penerbangannya dari Amerika."
Mendesah lelah. Minato akhirnya lebih memilih mengambil peralatan P3K yang tersimpan di sebelah ruangan, dari pada harus memperpanjang perdebatan mereka berdua yang sebenarnya tak terlalu penting. "Kita baru dua hari berada di Konoha dan kau sudah pulang dengan kondisi seperti ini. Astaga... Berhentilah merepotkan dirimu sendiri, Naruto." Ucapnya ketika telah kembali dengan sebuah kotak berwarna putih dan baskom kecil pada masing-masing tangannya. Kemudian Minato membuka kotak tersebut dan segera menggunakannya untuk mengobati luka yang dialami sang putera kedua.
"Mauku juga begitu." Naruto tersenyum kecut, "Tapi kalian semua pun tahu bahwa aku seperti dikutuk untuk selalu terlibat masalah."
"Itu karena kau ceroboh." Minato menekankan kapas antiseptik pada lutut Naruto yang terluka, sukses membuat Naruto memekik kesakitan dan mengumpat padanya. "Aku harap di sini kehidupanmu dan juga kehidupan kita akan lebih baik dari pada di Amerika."
"Saa... kita lihat saja ke depannya seperti apa." Ucap Naruto seraya menyeringai jahil. Sementara Minato hanya bisa menghela napas pelan mendapati seringai sang anak bungsu.
