"Moshi-moshi, Hinata."

"Ah? Kushina-baa-san? Mo-moshi-moshi."

"Kaa-san, Hinata... Ya ampun, harus berapa kali kuingatkan jangan memanggilku baa-san lagi? Sebentar lagi kan kau akan resmi jadi putriku."

"I-iya, Ka-Kaa-san."

"Hahaha... Bahkan di teleponpun kau terdengar menggemaskan. Ah, aku senang sekali akan punya anak perempuan semanis kamu, Hinata."

"Eh?"

"Hey, Hinata. Tadi aku diberitahu oleh kliennya Minato, bahwa di Siberia ada gua yang stalaktitnya bisa memancarkan warna pelangi, lho. Namanya Gua Kamchatka. Nanti kita ke sana ya, Hinata. Berdua saja. Kita tinggalkan saja kedua lelaki itu di Jepang."

"I-iya."

"Dua hari lagi kami akan pulang setelah urusan Minato di St. Petersburg selesai. Beritahu bocah nakal itu untuk menjemput kami di airport nanti, dan kali ini dia nggak boleh telat. Tolong jaga dia, dia kan selalu ceroboh. Minato juga minta tolong kau urus dia, ya. Ah, kami nggak habis pikir dia masih belum bisa mengurus dirinya sendiri, padahal kan dia sudah 24 tahun. Mau 25 malah. Oh iya Hinata, aku sudah menyiapkan oleh-oleh untukmu, lho."

"Ng-nggak usah repot-repot, Kush –eh –Kaa-san."

"Apa-apaan, sih? Aku kan mau membawakan calon menantuku sesuatu. Sama sekali nggak merepotkan. Ya sudah, sampai jumpa lusa ya, putriku sayang... We love you, sweetheart."

.

.

.

.


Disclaimers:

Naruto © Masashi Kishimoto, miliknya kemarin, sekarang & nanti

You Still Have Me © Jinsei Megami, cuma ceritanya doang yang Meg punya :'(

.

Rated: T

Genre: Romance, tragedy, angsty, drama, hurt/ comfort, friendship

Pairing/ Characters: NaruHina, & ada yang lain juga

Warning: AU, OOC, Typo(s), ide yang pasaran & kebanyakan deskripsi (mungkin?)

Summary:

Pernikahan Naruto dan Hinata kurang dari tiga minggu lagi. Namun tragedi menimpa pasangan Namikaze, membuat Naruto terpuruk. Lalu bagaimana dengan rencana pernikahan mereka?

Read first, baru boleh nilai suka apa nggak... ^^

Enjoy read, Minna~

.

Jinsei Megami Proudly Present

YOU STILL HAVE ME


[prologue]

.

.

.

.

Pintu balkon di salah satu kamar penthouse di salah satu gedung pencakar langit di kota Konoha itu terlihat tidak tertutup. Membuat angin yang berhembus lebih kencang di ketinggian itu melambaikan tirai kelabu tipisnya. Membuat cahaya bulan menerobos masuk menambah penerangan di ruang temaram itu. Walaupun sebagai gantinya, angin dinginpun ikut menyusup.

Sepasang kekasih telah berada di kamar dengan dominasi warna jingga itu sejak malam datang, itu berarti sudah lewat berjam-jam. Mereka berdua berada di atas tempat tidur berukuran besar yang nyaman. Jika mengira pasangan itu telah, sedang, atau berniat melakukan tindakan asusila, itu jelas salah. Mereka tak melakukan apapun yang melanggar norma.

Sang gadis dengan rambut hitam panjang tergerai dengan kilau kebiruan sedang duduk bersandar di kepala tempat tidur. Ia tengah mengelus rambut pirang pria yang kepalanya berada di atas pangkuannya itu dengan lembut. Akhirnya pria itu bisa memejamkan matanya juga. Untung sahabatnya yang seorang dokter diam-diam telah memasukkan obat tidur ke dalam minumannya. Gadis itu tak tahu itu termasuk malpraktek atau tidak. Tapi ia sangat berterima kasih atas inisiatif sahabatnya. Setidaknya kekasihnya bisa tenang dan istirahat untuk sementara waktu.

Betapa teriris hati gadis itu tatkala melihat dan mendengar isak tangis orang yang sangat dicintainya itu seharian ini. Ditolehkan kepalanya untuk melihat jam digital kekasihnya di atas meja nakas di kirinya. Tiga jam lagi matahari akan terbit. Dia sendiri belum tidur. Bagaimana mungkin dia bisa tertidur?

Gadis itu, Hinata, kembali menunduk. Menatap kekasihnya dengan penuh rasa sayang. Sekitar mata yang selalu berkilat cerah itu kini membengkak, sementara jejak air mata terlihat jelas di pipi yang terhias tiga pasang goresan genetik. Melihat itu semua membuat butiran air dari amethys Hinata kembali bergulir. Namun ia tak biarkan berlarut-larut, buru-buru punggung tangannya menyeka matanya. Meyakinkan dirinya bahwa dia harus kuat. Dia harus kuat demi demi Naruto-nya. Demi Kushina dan Minato.

Dia menggeser kepala Naruto dari atas pahanya dengan lembut untuk di letakkan di atas bantal yang empuk. Pelan-pelan agar Naruto tidak terusik. Setelah berhasil, di selimutinya kekasihnya itu sebatas dada.

Kala helaian rambutnya sedikit diterbangkan angin, barulah Hinata menoleh, dan menyadari pintu balkon masih terbuka. Betapa bodohnya ia tidak menyadarinya sejak tadi. Maka ia bangkit dan menutup pintu ganda dari kayu mahoni itu, membuat kain tirai tipis penutupnya tak lagi berkibar. Kemudian ia kembali ke sisi tempat tidur. Memandangi wajah tidur Naruto dan membungkuk. Dikecupnya kening Naruto hangat. Hanya sejenak, karena lagi-lagi air mata membendung di kelopak matanya. Dia tak mau cairan itu menetes jatuh dan membuat Naruto terbangun. Maka dari itu dia menegakkan tubuhnya dan keluar dari kamar itu setelah dipadamkannya lampu plasma di dekat pintu.

Hinata menutup pintu kamar naruto di belakangnya dengan perlahan. Dia menyandarkan punggungnya di pintu itu dan memejamkan matanya. Cairan bening mengalir dari kedua sudut matanya. Bukan hanya Naruto yang sedih. Hinata pun juga.

Dia ingat kejadian tadi pagi.

.

.


[flashback]

Hinata baru sampai di ruang kerjanya di lantai 6 gedung Akatsuki Media Group dan sedang menyiapkan berkas untuk rapat antar media di Akatsuki pagi ini, ketika Itachi masuk ruangannya tanpa permisi dan terburu-buru. Baru saja Hinata akan menyapanya, seniornya di Akatsuki FM dulu itu malah langsung menarik tangannya dan membawanya keluar ruangannya. Membingungkan Hinata. Menimbulkan pertanyaan di benaknya.

Ternyata Itachi hanya membawa Hinata beberapa meter dari ruangannya, melewati sebaris partisi, lalu sampai dimana televisi besar terpatri di dinding dengan banyak staff mengerubung di depannya. Di televisi itu memperlihatkan siaran breaking news di Akatsuki Channel.

Hinata menoleh ke arah Itachi dan pria itu menatap televisi dalam diam. Mungkin jawaban atas pertanyaannya akan dia dapatkan dalam siaran itu. Maka Hinata menyimak anchor itu bicara.

"... Proses evakuasi yang dilakukan tim SAR setempat terhadap para korban kecelakaan Boeing 787 milik maskapai penerbangan Aeroflot yang take off dari bandara internasional Sheremetyevo, Rusia, tujuan bandara internasional Konoha, Jepang, dengan nomor penerbangan 208 telah selesai dilaksanakan. Korban selamat dirawat di rumah sakit setempat, sedangkan korban meninggal langsung diterbangkan ke Beijing. Juru bicara kedutaan besar Jepang di Cina, Hyuuga Neji, mengatakan bahwa duta besar telah langsung turun tangan demi mengurus kepulangan jenazah ke tanah air."

Hinata tercekat. Mendadak dia merasa sulit bernapas. Penerbangan 208 dari Moskow? Armada dari Aeroflot? Bukankan itu pesawat yang ditumpangi Kushina dan Minato? Lutut Hinata seakan lumpuh. Oh, Kami-sama... Tidak!

Rupa kakak sepupu Hinata kemudian muncul mengemukakan pernyataan singkatnya. Dia memang kini menjadi diplomat di sana, walaupun dengan usia semuda itu, "Kami sangat berduka cita sedalam-dalamnya atas meninggalnya para korban. Mengenai korban jiwa, kami sudah mengurus semuanya. Mulai dari identifikasi sampai perawatan jenazah. Apalagi separuh dari jumlah korban jiwa adalah warga negara Jepang. Tentu kami tidak ingin pemulangan korban terhambat dengan birokrasi yang berbelit. Pemulangan jenazah akan dilaksanakan lusa dengan dua kali penerbangan dari Beijing."

Hinata tidak mengerti dengan kakak sepupunya. Mengapa Neji tidak langsung mengabarkannya? Bukankah dia pasti diberikan data daftar penumpang oleh pemerintah Cina atau dari pihak Aeroflot sendiri? Apakah dia tak sadar ada nama pasangan calon mertua Hinata dalam pesawat itu? Lalu bagaimana keadaan Kushina dan Minato? Kenapa mereka tidak menghubunginya atas kecelakaan yang menimpa mereka? Dan mengapa Naruto tidak memberitahunya tentang ini? Apakah mereka selamat? Apakah luka mereka parah?

Dia makin merasa sulit mempertahankan tubuhnya untuk tetap berdiri.

Layar menampilkan rekaman suasana di lokasi kecelakaan dan terlihat keadaan pesawat yang terbelah dua dengan bagian depan yang hancur beserta puing-puing bertebaran di sekitarnya. Sebagian dari mereka yang menontonnya sontak mendesis ngeri, apalagi saat ditayangkan proses evakuasi korban oleh tim SAR. Walaupun gambar tidak begitu jelas karena tertutup oleh petugas yang menghalangi wartawan, tapi tetap saja mereka tidak bisa membayangkan luka-luka yang dialami para korban.

Sementara suara si anchor masih terdengar sebagai naratornya, "Pihak Aeroflot sendiri akan segera beranjak ke lokasi bersama tim investigasi dari Badan Keamanan Transportasi Cina setelah koordinasi dan persiapan ke lokasi selesai. Pemerintah Cina sudah mengeluarkan pernyataan resmi mengenai daftar korban meninggal dalam kecelakaan tersebut yaitu sebanyak 51 jiwa. Berikut daftar ke-51 korban meninggal tersebut."

Tubuhnya mendadak lemas. Tangannya langsung menggapai lengan kemeja Itachi. Mencoba agar tidak jatuh saat anchor menyebutkan satu persatu nama korban meninggal. Matanya dia pejamkan. Ia takut untuk melihat layar televisi itu. Ia terus berdoa dalam hati semoga si anchor tak menyebutkan nama kedua orang yang disayanginya itu. Semoga nama Uzumaki Kushina dan Namikaze Minato tak muncul di layar.

Hingga anchor itu sampai pada nama urutan kesekian. Entahlah, mereka tidak memperhatikan angka, "... Namikaze Minato, 46 tahun, Konoha, Jepang. Uzumaki Kushina, 46 tahun, Konoha, Jepang. ..."

Hinata makin meremas lengan baju Itachi sampai buku-buku jarinya terasa sakit. Sesak. Jantungnya seakan berhenti. Hinata membuka matanya, memastikan di layar, berharap sang anchor salah menyebut nama. Tapi tidak. Nama mereka memang tertera jelas di sana.

Oh, tidak. Tidak mungkin! Hinata melakukan penyangkalan terhadap apa yang dilihat dan didengarnya. Tapi Akatsuki Channel tak mungkin membuat lelucon seperti ini. Ini nyata.

Semua rekan kerjanya termasuk Itachi menoleh padanya dengan prihatin. Siapa yang tak kenal dengan pasangan pemilik Namikaze Group? Siapa yang tak tahu tentang hubungan Hinata dengan putra tunggal mereka? Di antara mereka, siapa yang tak tahu bahwa kurang dari sebulan kedepan Hinata akan menjadi nyonya muda Namikaze?

"Hinata...," Panggil Sasori. Pria berambut merah itu tahu apa yang dirasakan rekan kerjanya itu sekarang, "Kami turut berduka cita."

"Ka-Kaa-san..., Tou-san...," Dan yang dimaksud Hinata dengan ibu dan ayah memang adalah Kushina dan Minato. Air matanya mengalir deras, tubuhnya bergetar, suaranya terdengar serak. Ia terisak, "Ka-Kami-sama... Nggak mungkin! Nggak! I-ini..."

Pandangannya mengabur. Genggamannya di lengan baju Itachi pun mengendur. Kemudian semuanya menjadi gelap.

Hinata pingsan.

Gadis itu siuman lima belas menit kemudian. Dan yang pertama kali dilakukannya begitu sadar dia tidak bermimpi adalah kembali menangis sambil menyebut nama Kushina dan Minato berkali-kali.

Dia langsung menelepon kekasihnya, tapi tak ada jawaban darinya. Membuat Hinata khawatir. Kemudian dia menelepon kantor Naruto, dan sekretarisnya mengatakan bahwa Naruto belum datang ke kantor. Dia langsung ke penthouse Namikaze diantarkan oleh Itachi dan Sasori, karena menurut mereka tak baik menyetir sendiri jika sedang kalut.

Hinata langsung menyeruak masuk begitu pintu dibukakan oleh kepala pelayan Namikaze. Dia menemukan Naruto di ruang kerja ayahnya. Pemuda itu sedang duduk meringkuk di sudut rak buku dengan televisi yang masih menyala. Menayangkan berita tentang jatuhnya pesawat Boeing 787 di daratan Cina.

Hinata melangkah melewati hamparan karpet Persia antik dan menghampiri Naruto. Ia berlutut tepat di hadapan kekasihnya. Tangan Hinata terjulur dan menyentuh hangat pipi kiri pemuda itu penuh rasa sayang. Membuat Naruto mengangkat wajahnya. Menatap Hinata dengan tatapan yang tak pernah muncul di permata safir itu. Mata biru yang selalu digambarkan bak langit siang yang cerah dan bersinar penuh semangat, kini meredup. Tetap biru, namun kelam dan mendung. Sungguh menyesakkan melihat pandangan Naruto yang seperti itu.

"Na-Naruto-kun...," Ujar Hinata lemah. Menahan air matanya yang siap menetes kapanpun.

"Mereka semua penipu, Hinata-chan. Jangan percaya mereka! Kaa-san dan Tou-san sedang dalam perjalanan pulang. Dan nanti siang kau dan aku akan menjemput mereka. Kita nggak boleh telat. Kau tahu kan bagaimana menyeramkannya Kaa-san saat murka?" Naruto berkata dengan nada yang datar. Namun itu malah terdengar miris.

Perkataan Naruto makin membuat Hinata sedih. Kekasihnya masih melakukan penyangkalan atas kehilangan kedua orang tuanya. Siapa yang tidak, jika seseorang kehilangan kedua orang tua bersamaan, tiba-tiba, dan dalam tragedi seperti ini? Hinata amat mengerti perasaan Naruto. Iapun telah kehilangan ibunya saat ibunya melahirkan Hanabi karena apa yang disebut dengan pre eklampsia*). Namun saat itu dia baru berusia lima tahun. Dia belum mengerti apapun. Beda dengan Naruto. Hinata tahu itu berkali-kali lipat lebih menyedihkan baginya. Karena bagi Hinata pun, begitu berat kehilangan Kushina dan Minato, dua orang yang terlanjur dianggapnya orang tua sendiri.

"Kaa-san dan Tou-san nggak mungkin meninggalkanku begitu saja kan, Hinata-chan? Iya, kan?"

Hinata langsung memeluk Naruto erat. Dia tak mampu lagi menahan bendungan air mata dan kesedihannya. Apalagi kala Naruto membalas pelukannya dan menenggelamkan kepalanya di bahu kanan Hinata.

Menangis.


.

.

.

.

[to be continue]

.

.

.

.


[a/n]

Helloww... Apa kabar readers?

Ada yang ngira ini (lagi-lagi) sequel 'The Voice'? Yup! Bener! Ini sequel setelah 'Black Headset' & 'Ending is Beginning'.

Ini baru prologue-nya, ya... chapter 1 yang benerannya mudah-mudahan bisa cepet Meg selesain. Sebenernya Meg pengen bikin dulu ampe kelar sampe ending baru publish, tapi Meg pikir... kelamaan! Kan kalo Meg publish dulu, Meg kan jadi ngerasa punya tanggung jawab, nih... *hah?! Apaan sih, Meg? (o.O')*

Meg butuh bantuan, nih. Mau nolongin Meg, ga? Meg bingung genre yang harus Meg cantumin apa, ya? Soalnya Meg bingung. Sekarang masih general. Maapin Meg, ya... Meg emang bodoh soal nentuin genre. Suka salah soal itu. Apa di general aja dulu, ya?

Silakan isi kotak reviewnya dengan jawabannya (kalo ada yang mau bantu, sih), kesan, pesan, kritik, saran, pendapat, & masukan buat Meg. Flame? Boleh aja asal bahasanya ga kejam-kejam.

Jadi silakan di-review...

.

.


[catatan dr. Haruno Sakura, dokter penanggung jawab Uzugakure Public Clinic]

*) Pre eklampsia, penyakit yang cuma terjadi dalam masa kehamilan & nifas. Didiagnosis bila ada hipertensi & ada protein dalam urine. Biasanya terjadi di kehamilan trimester 3 (3 bulan terakhir), walaupun juga bisa terjadi sebelum itu & di masa nifas (masa setelah melahirkan). Akibatnya bisa persalinan preterm & prematur, perdarahan, kejang, sampai bisa meninggal. Pre eklampsia ini penyebab kematian ibu no. 2 di Indonesia setelah perdarahan.

*) Kalo pengen tahu lebih lengkap, googling aja ;P


[kalo keterangannya ada yang salah, jangan salahin meg, salahin dr. sakura!]