Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto

Title : Smooth Wind

Genre : Hurt/Comfort/Romance

Rate : T

Warning : Dedicate to SHDL! OOC, AU, Typo(s)?, Sasuke POV, Mengandung fiksi serta hal-hal yang berbau fantasi didalam fic. dan beberapa konten berbumbu konflik Keluarga

A/N : Karena fic ini panjangnya sekitar 6.500 words, maka, saya memutuskan untuk membelahnya menjadi dua part. Supaya nggak terlalu panjang untuk disimak XD hehe!

Well, Happy reading then!

Summary : Bocah serba kekurangan. Mengalami koma selama tiga tahun, menjadi murid SMP diumur 18 tahun. Hidup sebagai aib keluarga, bisu, ayahnya tak menganggap dirinya sebagai anak. Sasuke nyaris putus asa. Kalau saja, Hinata tidak ada, apalah artinya hidup ini.

.

.

. . . . OoOoO . . . .

Part One

Smoothly

. . . . OoOoO . . . .

.

.

Aku, sudah seperti ini sejak dahulu. Orangtuaku berasal dari kalangan berada, itu sebabnya mereka tak mau aku yang pernah tidak naik kelas karena sakit keras ini di ketahui rahasianya di depan umum. Ayahku adalah seorang pengusaha sukses. Itulah alasan mengapa, para wartawan sibuk bertamu dan bertatap muka dengan ayahku. Mereka-mereka yang memburu berita, selalu saja bertanya tentang siapa diriku, ketika sosok ku muncul, berdiri tegap disamping ayah.

"Uchiha-sama, siapa anak muda ini?" dan, tentu saja jawabannya selalu bisa kutebak. Ia memulainya dengan senyuman,

"Dia … tangan kananku, anak buah yang sudah kupercaya sejak lama," begitulah. Tak pernah sekalipun ayah mengakuiku sebagai anaknya. Saat mereka-mereka yang bertamu memuji bagaimana tampangku yang katanya mirip dengannya, ayah hanya membalasnya dengan tersenyum pula. Dan setelah itu ia memandang dingin kearahku. Itu yang selalu dilakukannya berulang-ulang, terhadap beberapa pewawancara yang singgah dirumah kami.

Hal lain yang mereka singgung selain eksistensiku adalah, mengenai bisnis besar yang dijalankan oleh ayahku, dan tentu saja, putra sulungnya yang bagaikan tambang emas Uchiha. Ya, kakakku memang anak kebanggaan ayah. Aku bisa melihatnya dari bagaimana cara ayah berbicara, ataupun memancarkaan ekspresi berseri-serinya saat beberapa warta berita menanyakan soal Itachi.

"Dia anak kebanggaanku,"

"Sekarang sedang berkuliah di luar negeri, dengan membawa nama Uchiha,"

"Dia pintar– tidak … Itachi jenius. setelah lulus nanti, ia akan mewarisi perusahaanku,"

"Oh? Cita-cita? Ia bilang ingin menjadi seorang Engineer,"

"Hahaha … aku tidak tahu kalau anakku sepopuler itu dikalangan perempuan,"

Kalimat bahagia, kalimat bangga, kalimat penuh harap, kalimat yang bergantung, semuanya tertulis dengan jelas dari cara penyampaian Ayah dan bagaimana ia berkata-kata. Dengan ini semua, aku merasa di buang.

Ini baru ayah saja. Aku juga punya Ibu. Bukan yang terbaik, tapi, setidaknya ibu tidak seperti ayah yang mengucilkanku. Sayangnya beliau terlalu sibuk dengan bisnis pakaiannya di Perancis. Dan biasanya, Ibu hanya bisa pulang tiga bulan sekali, dengan waktu menginap tiga hari tiga malam dirumah Uchiha yang nyatanya bagaikan kastil raksasa bagiku.

Aku putus asa.

Selama ini aku tak pernah berfikir bagaimana masa depanku. Dan aku selalu menerima apapun yang perintahkan oleh ayah, tanpa pernah melawan karena tidak suka. Sebenarnya ada satu hal lagi yang membuatku harus merahasiakan diri sendiri dari muka publik. Selain tinggal kelas, dan pernah sakit keras, aku juga bisu. Itu sebabnya mengapa aku susah untuk menunjukkan bagaimana ekspresiku saat ini. Ketika aku merasa buruk, biasanya aku menyalakan notebook, dan menulis sesuatu disana. Aku memang suka menulis diary, karena itulah satu-satunya cara bagiku untuk berekspresi.

Aku pernah ingat, bagaimana orang-orang memandangku penuh jijik. Pertama kali aku dimasukkan ke sekolah umum, banyak murid yang melihatku penuh cahaya. Sepertinya mereka mengagumiku, dan aku tidak merasa keberatan dengan mata itu. namun hal menjadi berbeda saat aku memulai perkenalanku dengan menulis di papan tulis. Aku mengatakan kepada mereka secara jujur bahwa, aku bisu. Dan pandangan itu berubah menjadi kosong. Tapi saat itu masih ada yang mau berteman denganku.

Waktu semakin berlalu, perlahan-lahan identitasku diketahui. Identitas yang menyatakan bahwa aku hanyalah 'pembantu', dan realita yang mengungkapkan, bahwa aku satu-satunya murid kelas tiga SMP yang berumur delapan belas tahun. Mata itu berubah dingin padaku. dan gosip di sekolah mulai merajalela,

"Sasuke itu, kukira dia anak presdir Uchiha. Ternyata cuman pembantu,"

"Nggak ada alasan bagiku untuk mengencaninya. Meskipun aku tahu, tampangnya lumayan,"

"18 tahun itu tua sekali. hahaha!"

"Sebodoh apa sih, Sasuke? aku tak mengerti kenapa ia sampai tak naik kelas bertubi-tubi?"

"Aku nggak mau punya pacar bisu, bodoh, dan cacat sepertinya. Amit-amit!"

"Kenapa tidak bertaruh saja, apakah kita sanggup menaklukinya?"

"Hahaha! Jangan bercanda! Aku tidak mau turun imej karena menjadi kekasihnya!"

Rata-rata itu semua berasal dari mulut perempuan. Sejak saat itu, aku benci dengan sekolah umum, dan memutuskan untuk pindah di sekolah asrama khusus putra. Disana kehidupanku lebih baik, dan aku punya seorang sahabat. Seorang Ace dari klub Baseball, Seorang gelandang tengah dari klub sepakbola, dan juga, anggota tim inti klub Basket sekolah.

Yah, bocah pirang berkulit cokelat. Sekarang aku tahu kenapa kulitnya secokelat itu. ia … olahragawan. Tapi bodoh sekali.

"Yep! Namaku Naruto Uzumaki. Salam kenal!"

Aku merasa lega karena punya teman bodoh sepertinya. Karena tiga tahun itu bukanlah waktu yang sebentar bagiku untuk koma, dan aku, tentu saja menjadi bodoh setelah tiga tahun tidak membaca ataupun belajar samasekali. Butuh perjuangan bagiku untuk mengulang kembali pelajaran dan membaca buku-buku itu lagi. Dan aku senang, karena ternyata ada teman yang bisa menjadi sosok 'bodoh bersama' denganku ini. Ya si Naruto itu.

"Hei Sasuke! Ulangan Biologimu remed tidak?" aku memaparkan kertas ulanganku yang bertintakan angka delapan puluh, dan tersenyum tipis untuk menandakan bahwa aku senang dengan nilaiku.

"Argh! Siaal! Untuk pertamakalinya aku remed sendirian!" ia memaparkan kertas ulangannya yang berangka lima puluh lima sambil marah-marah. Naruto merutuki dirinya sendiri. Aku tahu, tidak ada gunanya menyesal seperti itu. Naruto memang bodoh tingkat dewa. Denganku yang sudah tiga tahun tidak naik kelas saja masih kalah.

'Nanti kubantu belajar. Jangan khawatir' aku menuliskan kata-kata itu di buku yang kubawa dan menunjukkannya pada Naruto. sontak saja, pirang idiot itu memelukku dengan spontan.

"Demi Neptun! Aku cinta kamu Sasukeeee!"

Ini menjijikan. Sangat.

.

.

oOoFujioOo

.

.

Waktu kelulusan SMP ku telah tiba. Dan aku dibuat syok dengan kenyataan yang mengatakan bahwa Naruto akan melanjutkan sekolahnya di luar Negeri. Tidak dapat kupungkiri memang, bahwa bakat olahraganya sungguh spektakuler. Dan, Aku sangat iri padanya.

Sangat.

Selama ini, nilaiku berhasil mengalahkan nilainya selama disekolah, tapi ini tidak berarti apa-apa. dan, pada akhirnya, di SMA nanti aku akan menjadi sendiri lagi. dicaci oleh orang-orang yang memandangku dengan sebelah mata.

"Baiklah, Sasuke, silahkan duduk ditempatmu,"

Aku merasa, masa-masa SMA-ku akan suram tanpa adanya orang yang bisa kujadikan sandaran. Ketika aku merasa putus asa dengan yang namanya relasi serta hubungan, perlahan-lahan, aku mencari jati diri dan berniat untuk mewujudkan cita-citaku. Aku ingin mengalihkan diri dari yang namanya sosialisasi. Tidak peduli dengan anggapan orang-orang yang mengatakan bahwa aku sombong, susah didekati, bahkan autis.

Tidak peduli.

Tujuan utamaku saat itu adalah, menjadi seorang ilmuwan, menciptakan sesosok robot yang akan menjadi teman sepanjang hayatku, kemudian pergi meninggalkan kediaman Uchiha.

yah, sekitar itulah. Hidup sendirian itu menyedihkan. Itu sebabnya mengapa aku ingin menjadi seorang ilmuwan.

Tapi aku sadar, di SMA ini aku kembali menapaki diriku diatas lantai gedung sekolah umum. Dan aku harus kembali membiasakan diriku di caci dan digosipi oleh mereka sepanjang hari. Namun, Aku bukanlah sosok super yang bisa menahan dan menanggung semuanya dengan lapang dada. Adakalanya aku merasa muak oleh mereka. Dan tanpa sadar, aku keceplosan menampar pipi seorang perempuan yang sedang membicarakanku dari belakang.

"Kyaa!"

Dan aku kena hukuman. Dipanggil keruang guru, diceramahi, kemudian mereka menelepon keluarga Uchiha dan memberitahukan sikapku hari ini. Dan kau bisa tebak dari sana, tentu saja ayahku murka.

"Jangan menyusahkan keluarga Uchiha! Kau tau sendiri aku sudah memberimu segalanya! Menyekolahkanmu di sekolah bagus! Menyembuhkanmu dari koma! Tapi kenapa kau masih saja berulah! Padahal aku sudah memberikan imej bagus didepan publik terhadapmu yang sudah kuanggap menjadi kaki tanganku sendiri!"

Aku hanya memejamkan mata saat itu. notes kecil yang selalu melingkari leherku, kubuka dan kutuliskan beberapa kata disana. Aku menyobek kertasnya, kemudian memberikannya kepada ayah.

'Kau tidak memberiku segalanya. Karena aku adalah aib keluarga Uchiha'

Saat itu, tanpa menunggu reaksinya, aku beranjak pergi keluar rumah, untuk mencari udara segar dimalam yang terasa sakit ini.

Tanpa sadar, kakiku melangkah ke sebuah hutan di belakang rumah. Disana ada sebuah danau, yang di pantuli cahaya rembulan sehingga air beningnya terlihat berkilauan. Beberapa daun teratai mengapung lebar, dan bunga lotusnya yang berwarna putih, juga biru mekar dengan cantik. Baru kali ini, kulihat lotus berwarna biru. Aku hanya duduk diam di bibir danau sambil menatap depanku dengan pandangan kosong. Segalanya terlihat gelap di malam hari. Hanya ada cahaya kecil dari ratusan milyar bintang, dan kunang-kunang yang berlalu lalang di atas wajah danau.

Tentram. Damai.

Aku merasa hangat disini, secara ajaib. Padahal aku melihat pohon raksasa di sekitarku berlambaian dengan kuat. tetapi, kencangnya hembusan angin tidak membuatku beku, samasekali. Malah, aku merasa betah untuk bertahan di tempat ini lebih lama lagi.

'Angin melewatiku. Guguran daun tertiup, terbang tanpa arah dan tujuan. Kami hanyalah mahluk yang pasrah, terhadap angin yang membawa pergi'

Suara gadis terdengar mengalun ditengah keheningan. Aku sedikit kaku, dengan bulu kuduk yang berdiri.

'Kemari, disini. Tempat dimana kami beristirahat. Hutan penuh kilau cahaya. Mendengar melodi pohon, dan peri'

Suara itu semakin jelas. Mengiang di telingaku. Aku berdiri, dan hendak menjauh dari bibir danau. Karena kurasa suara itu berasal dari seberangnya. Namun yang kudapat malah sebaliknya. Alunan itu semakin terdengar jelas dan jelas di telingaku. Aku mulai merasa takut, kuputuskan untuk menyandarkan diri di sebuah pohon raksasa dan menghela nafas.

'Jika kau resah dan gundah. Duduklah dibawah naungan akar pohon. Mereka akan menjaga, memberi tempat untukmu. Yang Hangat, hangat, dan begitu hangat'

Aku tersentak kaget dengan lirik lagunya, dan berniat untuk lari. Saat hendak berbalik, kutemukan sesosok manusia bertubuh mungil dengan gaun berbahan jatuh, selutut warna biru. Aku terpental jatuh karena berusaha untuk mundur saat menemukan sosoknya yang terlihat tiba-tiba.

"Selamat malam," ia menyapaku dengan tenang. Nafasku masih ngos-ngosan, "Kau … Sasuke, kan?" ia mengetahui namaku dan menyebutnya dengan suara yang begitu merdu. Aku terdiam dalam keheningan. Saat itu notes kecilku sedang tidak kubawa, jadi, dengan terpaksa kuabaikan gadis itu dan hendak pergi. namun, tangannya menarik tanganku, "Kau mau kemana?" wajahnya terlihat sedih.

Aku hanya menutup mata.

"Maaf,"

Kaget. entah kenapa suara hatiku terdengar. Kutatap wajah gadis itu, ia tersenyum lembut. Tangannya yang dingin meraih pipiku.

"Kau tidak perlu khawatir, aku bisa mendengarmu," ia bertutur lembut. Tangannya meraih telapak tanganku dan menggenggamnya erat, "Sepertinya kau butuh hiburan. Aku punya tempat yang bagus," ia menarikku pergi ke sebuah rumah pohon di seberang danau. Aku disuruh naik keatasnya, sementara dia sendiri masih berada di bawah.

Aku mendongak kebawah melalui jendela rumah pohon. Dan kutemukan sosok gadis itu yang berdiri ditengah-tengah air danau,

"Lihat sini!" ia berteriak dibawah sana. senyumnya masih menemani wajah kecilnya. Jarinya, lengannya, kakinya, bahkan lekuk tubuhnya benar-benar indah. Begitu luwes, dan lentur. Begitu cantik.

Cipratan air danau mengelilingi gadis itu. aku tidak tahu sulap macam apa yang dilakukan olehnya secara sendirian. Air itu membentuk sejalur tali yang melompat tinggi diatas kepalanya dan memutari tubuhnya seperti hula hoop ataupun cincin pada planet Saturnus.

"Apa kau terhibur dengan pertunjukanku?" teriaknya masih berada di tengah-tengah danau. Aku mengangguk pelan, sedikit ragu untuk tersenyum. Maka, wajah pokerku menjadi alternatif terakhir meskipun kuusahakan agar tidak menyinggungnya, "Ayo turun kesini!" ia melambai, memerintahku untuk turun.

Untuk beberapa saat, aku menikmati setiap menit yang kuhabiskan di hutan itu. duduk dengan tenang, bersama seseorang yang bisa mendengarkanku.

"Boleh kutanya satu hal?" ucapku dalam hati, yang secara ajaib terdengar oleh telingaku sendiri.

"Ya, silahkan,"

"Suara nyanyian tadi … itu, suaramu?" gadis itu hanya tersenyum lebar. mungkin artinya, iya.

"Memangnya kenapa dengan suara itu?" aku menatap matanya yang berkilau dengan lekat. Pantulan sinar bulan membuat wajahnya semakin terlihat cantik.

"Merdu. Aku … menyukainya," gadis itu hanya tersenyum lagi.

"Silahkan datang kemari jika kau merasa sepi. Sampai jumpa, Sasuke," ia pergi memunggungiku. Bayang-bayang pepohonan yang timbul membuatnya terhalangi dengan kegelapan, dan akhirnya menghilang di ujung jalan.

.

.

oOoFujioOo

.

.

Tiga bulan berlalu sejak saat itu. Kakakku lulus dari kuliahnya, dan kini memegang setengah dari perusahaan milik ayahku. Ia mengelola perusahaan minyak ayah dan melakukan berbagai hubungan bisnis dengan banyak pengusaha. Wartawan semakin gencar mencari info tentang kakak. Sementara aku, tidak ada yang berubah. Masih duduk di bangku SMA kelas satu, dan berlari ke hutan jika merasa muak dengan dunia dan realita.

"Selamat datang kembali," ia menyapaku di bibir danau, dengan senyuman yang masih sama. Gaunnya terlihat sedikit pudar dari yang sebelumnya. Namun warnanya tetap, biru.

"Aku … merasa pulang," ujarku tanpa sadar. Suara hatiku bisa terbaca, dan ini sangat memalukan.

"Aku senang, kau menganggap hutan ini sebagai rumahmu," ia tersenyum lagi. Menarikku kesebuah pohon raksasa dan duduk di akarnya, "Istirahatlah," ia mengeluarkan sebuah Flute berwarna perak, pendek, dan menyerahkannya padaku.

"Untuk apa?" aku bingung.

"Mainkanlah,"

"Aku tidak bisa," sanggahku. Tentu saja, seumur hidup, baru kali ini ada yang menyuruhku untuk memainkan alat musik.

"Kau bisa,"

"Tidak,"

"Coba saja," ia terlihat bersikeras. Aku hanya bisa menghela nafas. Mendekatkan bibirku pada lubang flute, dan meniupnya perlahan. Ajaib, ada melodi yang indah, meluncur melalui flute-ku. Dan gadis itu menyanyi tiba-tiba.

'Dandelion putih beterbangan dengan riang. Siulan perkutut kecil, membuat hutan ini terdengar ramai. Aroma roti tercium dari seberang. Aku senang'

Permainan musikku berhenti saat aroma roti tercium oleh hidungku.

"Kenapa … bisa?" gadis itu tertawa kecil. Ia terlihat senang dengan ekspresi kagetku yang menemukan bahwa lagunya menjadi kenyataan. Ia memanggilku untuk mengikuti langkahnya kemudian. Masih di sekitar hutan, aku melihat sebuah pabrik roti berdiri dengan kokoh disana. Seumur hidup aku tinggal di Tokyo, belum pernah kulihat pabrik roti sebesar itu di sekitar rumah. Padahal jarak hutan dari belakang rumahku hanya beberapa langkah, dan kurasa, seharusnya pabrik roti itu terlihat dari kamarku yang berada dilantai dua.

"Kau lihat itu? aromanya berasal dari sana," gadis itu menunjuk dari kejauhan. aku hanya mengangguk, maklum. Mataku tak lepas memandang bangunan besar itu, "Itu … toko rotimu," dan sekarang, bola mataku membulat, kaget.

"Hah? Apa?"

"Suatu hari kau akan menjadi sukses, Sasuke," ia tersenyum, "Dan cita-citamu juga akan tercapai," ia berlari-lari kecil menuju sebuah padang bunga mangkuk berwarna kuning. Aku masih terperangah dengan kata-katanya.

"Hei," ia menoleh saat kupanggil.

"Ada apa?"

"Kau … serius?" aku masih menganga takjub, "Maksudku … kata-kata tadi–" gadis itu mengangguk sebelum kalimatku selesai.

"Ya, tentu saja. Asal kau berhenti untuk membenci dirimu sendiri, dan juga … hidupmu," senyumnya berubah hangat. Ia memetik sebuah bunga mangkuk dan memberikannya kepadaku, "Ini. Cantik kan?" ia tertawa kecil, kemudian kembali berlari-lari disekitar padang bunga. Dia, begitu bebas. Seperti tidak terikat pada kehidupan, seperti tidak memiliki beban. Begitu … ringannya ia tertawa, tersenyum.

"Namamu … sampai sekarang, aku belum tahu," aku bertanya padanya. Ia berenti berlari, dan menjatuhkan tubuhnya diantara padang bunga. Ia duduk dengan nyaman disana,

"Kau bisa tebak?"

"Tidak tahu,"

"Ayolah … coba saja," Aku menghela nafas, lagi. Kalau kupikir, ia selalu tersenyum, begitu bersinar, selalu membuatku nyaman dan hangat, kukira, namanya …

"Hinata?" wajah gadis itu memerah dengan mulut yang membentuk huruf o. ia terperangah, kagum,

"Hebat. Kau benar," aku sendiri pun terlihat kaget setelah gadis itu berujar demikian. Tanpa sadar, senyumku merekah, dan spontan saja aku tertawa.

"Tak kusangka, benar," ia membalasnya dengan ikut tertawa juga. Untuk sesaat, aku merasa Tuhan telah menurunkan sesosok peri untuk menemaniku, saat ini.

"Hei Sasuke,"

"Ya?"

"Berjanjilah padaku, satu hal. Ini akan merubah hidupmu, aku bisa memegang kata-kataku," kalimatnya terdengar serius. senyumnya pudar, tergantikan oleh kilatan mata penuh harap.

"Ng, baiklah. Apa itu?"

"Belajarlah. Jangan lari dari kenyataan. Aku tahu orangtuamu tidak menerima hidupmu yang seperti ini. Tapi waktu masih berputar, dan tiap detiknya memberikanmu kesempatan untuk berubah. Aku berjanji, masa depanmu akan bagus, dan toko roti serta cita-cita yang tercapai, maksudku, kata-kataku yang sebelumnya, aku tidak bercanda," ia mencengkeram kedua lenganku. Pandangannya terbaca 'semangat!'

"Phu! Baiklah," tanpa sadar, aku merasa wajahnya yang saat itu begitu lucu.

"J-Jangan tertawa!" dan untuk pertama kalinya ia terlihat begitu merah. Wajahnya yang salting membuatku sadar akan satu hal. Manis, lembut, seperti kapas dan marsmallow.

Aku … jatuh cinta padanya

.

.

Part One End

.

.

A/N : Silahkan loncat ke Part Two XD Happy reading!