Suara ketukan pintu apartemen yang keras membuat Kaito terpaksa membuka matanya. Entah iblis mana yang sepertinya memutuskan untuk mengganggunya yang masih tertidur sepagi ini.

Mata biru lautnya melirik jam dinding. Masih pukul 7 pagi. Dan hari ini Kaito tidak ada jadwal kuliah.

Jadi, intinya. Orang yang mengetuk pintunya tersebut telah mengganggu sesi tidurnya. Padahal dia berencana mau bangun sekitaran pukul 1 siang. Sekalian menghemat makanan karena kalo dia bangun siang, otomatis sarapan akan dianggap sebagai makan siang—dan jika tidak ada kepentingan yang mendesak, Kaito bersumpah dia akan melempar orang itu dari lantai 4 apartemen ini.

Kemudian Kaito dengan cepat menggelengkan kepalanya begitu tersadar. Oh, entah kenapa, akhir-akhir ini dia menjadi begitu sadis. Mungkinkah dia ketularan ke-yandere-an Taito—sepupunya—yang baru dia temui liburan kemarin?

Ketukan pintu tadi masih terdengar, malah semakin keras dan semakin cepat—menandakan si pengetuk sudah mulai tidak sabar menunggu. Mendecih kesal terlebih dahulu, Kaito pun bangun dari tidurnya. Berjalan keluar kamar, melewati ruang tamu yang berbatasan langsung dengan dapur, dan akhirnya dia sampai di depan pintu.

Bagaimanapun juga, dia tidak mau mengganggu tetangga yang ada kemungkinan juga masih tertidur sekarang. Dengan seseorang yang tidak sabaran di balik pintunya ini.

"Siapa sih?" desis Kaito kesal, membuka pintu seraya menguap. Dan matanya hanya berkedip melihat penampakan seseorang yang familiar di sana.

"Hai, Bakaisu," sapa orang itu dengan senyum tanpa dosa, seolah dia bukan orang yang sudah memperburuk mood Kaito pagi ini.

Kaito tidak menjawab. Ia terdiam, tampak sedang memproses apa yang sedang terjadi. Setelah loading 100%, bukannya mempersilahkan orang itu masuk, Kaito malah membanting pintu apartemennya. Kemudian bersender di pintu tersebut.

"Tidak, tidak. Aku pasti hanya berhalusinasi gara-gara kemarin Len kebanyakan mengetuk-ngetuk pintu ini."

Sayang sekali, Kaito. Itu bukan halusinasi, ilusi, ataupun mimpi. Karena author-lah yang sudah mentakdirkannya...

"HOOOI! BAKAISU! BUKA PINTUNYAAA! LANCANG SEKALI KAU MEMBANTING PINTU DI DEPAN ORANG YANG SEDANG BERTAMUUU!"

Kaito spontan bersalto ke depan karena sudah dapat memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya. Benar saja, pintu apartemennya kembali terbuka dengan sadisnya. Kaito bersyukur dia sudah mengantisipasinya. Entah apa jadinya kalau dia masih ada di sana.

Di depan pintu, ada seorang wanita berambut coklat pendek, mengenakan kaos putih polos yang dibalut rompi merah dan celana jeans biru. Dengan dua buah koper diletakkan di sampingnya dan tas ransel merah yang dia pakai. Dan wanita itu sedang menatapnya dengan mata berapi-api dan wajah yang menyeramkan.

"E-eh... Mei-chan. Pagi." Kaito berjalan mundur dengan wajah pucat yang dipaksakan tersenyum lebar.

Kaito berpikir mungkin dia akan diberi "hadiah" yang sangat indah oleh orang di depannya ini sebagai salam perjumpaan mereka, tetapi pikiran itu langsung lenyap tatkala dia tidak lagi melihat aura menyeramkan keluar dari orang yang ia panggil Mei-chan tadi.

"Huh, sudahlah." Orang itu menundukkan kepalanya sejenak, kemudian mengangkatnya lagi sambil tersenyum lebar. "Hei, Kai-kun, boleh aku numpang tinggal di sini beberapa minggu?"

"Oh, boleh saja—" Kaito langsung melotot begitu sadar. "Tunggu. APA KAU BILANG?"


.

.


Kejutan yang Datang Secara Beruntun

What did You Say?—

Chapter 1 : Awal dari Sebuah Kesialan

Creation-Story © Uchiha Yoshy Nesia

All-Vocaloid © Yamaha Coorporation beserta Perusahaan Lainnya


Warning : Ada kemungkinan OOC, setting-kuliahan, judul agak gak nyambung dengan isi, pengen ngelucu tapi gak lucuuu...

happy reading!


.

.


"Apa kau serius dengan ucapanmu itu?"

"Tentu sajalah." Meiko masih tersenyum pada Kaito. "Dan apakah begini biasanya kau memperlakukan tamumu? Membiarkan mereka berdiri di depan pintu tanpa kau ajak masuk?"

"A-ah, maaf. Silakan masuk."

Kaito mempersilakan Meiko masuk ke dalam apartemennya. Dia masuk terlebih dahulu dan membiarkan Meiko duduk di manapun dia suka. Di atas televisi juga boleh.

"Kau mau minum apa?" tanya Kaito, seraya berjalan ke dapur.

"Sake."

"Aku tidak punya sesuatu seperti itu," dengus Kaito. Entah mengapa, kebiasaan teman lamanya itu masih tidak menghilang juga. "Mintalah sesuatu yang wajar."

"Hei, itu termasuk hal yang wajar bagiku," Meiko mencibir. "Yasudah, apa saja yang kau punya."

"Teh hijau, mau?"

"Terserah."

Kaito pun akhirnya memutuskan untuk menyeduhkan teh hijau. Setelah selesai, dia membawa secangkir teh tersebut dengan nampan dan kembali berjalan ke tempat Meiko duduk.

"Jam segini, kau pasti belum makan, bukan?"

Kaito tampak berpikir sejenak. Jika dia mengaku bahwa ia belum makan dan di dapurnya sama sekali tidak ada makanan, dia pasti akan ditertawakan oleh cewek itu. Jadi dia memutuskan untuk berbohong.

"Huh, gak tuh. Tadi aku sudah sarapan."

"Benarkah?" tanya Meiko sambil mengangkat sebelah alisnya.

"..."

Jeda sebentar. Mereka berdua sudah berteman semenjak SMP, dan mereka hanya bersekolah di SMA yang berbeda. Tiga tahun di SMP setidaknya cukup untuk membuat Meiko mengenal bagaimana persisnya Kaito itu.

Termasuk bagaimana keadaan raut wajah Kaito di saat berbohong. Jika Kaito sudah bohong, Meiko dapat melihat alisnya tertekuk dalam di dahinya, senyum lebar yang canggung di wajahnya, dan matanya setengah tertutup. Dan kebiasaan itu masih belum hilang juga bahkan sudah 4 tahun mereka tidak bertemu.

Kalau memang bohong, untuk apa juga? Toh, kalau dia jujur, aku tidak akan menertawakannya sekalipun tidak ada sesuatu yang bisa dia makan di dapurnya.

Meiko membatin. Entah kenapa, dia terkesan seperti dapat menebak pikiran Kaito sekarang.

"Kalau begitu, sayang sekali. Padahal aku sudah bersusah-payah membelikanmu bento ini di depan stasiun tadi." Meiko mengeluarkan bento yang dia maksud dari tas ranselnya. Dan sengaja membukanya untuk memancing Kaito. "Sayang sekali."

Kaito hanya diam memperhatikan keadaan bento itu. Wangi udang tempura dan yakisoba yang khas langsung menggelitik indera penciumannya. Oh, betapa Kaito ingin jujur, mengatakan bahwa tadi dia hanya bercanda dan sekarang dia sudah merasa amat sangat lapar. Tapi gengsinya sebagai seorang lelaki memaksanya untuk tutup mulut.

"Yasudah, kusimpan saja." Meiko memasukkannya kembali ke ranselnya, tetapi dengan gerakan slow-motion. "Kalau basi, tinggal kubuang saja."

"Eh, tunggu, Mei-chan!" Tepat sebelum Meiko menaruhnya ke dasar ransel, Kaito menahan gerakannya. Gengsi pun mulai runtuh. "Untuk apa kau buang? Kau tidak sayang makanan ya?"

"Untuk apa kusimpan kalau misalnya basi." Meiko mengerutkan dahi bingung, walaupun sebenarnya dia diam-diam tersenyum puas dengan reaksi Kaito.

"Err..." Kaito berpikir keras, mencoba mencari alasan yang tepat untuk mengambil bento itu. "Daripada dibuang, kumakan saja deh."

Kali ini Meiko benar-benar menampakkan senyum di wajahnya. "Gitu dong. Itu baru Kaito yang kukenal."

Kaito tidak mempedulikan ucapan Meiko barusan, karena dia sudah keburu membuka bento yang diberikan oleh gadis itu. Dan dia pun menikmatinya tanpa mendengarkan nasihat Meiko untuk mencuci tangan dulu.


.

.


"Jadi, kembali ke topik awal. Kenapa kau ingin numpang tinggal di sini?"

Kaito sudah selesai sarapan. Dan sekarang mereka berdua sedang duduk di ruang tamu dengan keadaan televisi menyala, menampilkan sebuah acara yang tidak dipedulikan oleh mereka berdua.

"Karena tidak ada apartemen yang kosong," jawab Meiko singkat, sambil menyeruput perlahan tehnya yang entah kenapa belum habis dari tadi.

"Lalu kenapa kau memutuskan untuk tinggal bersamaku?"

"Tidak ada yang kukenal di kota ini, dan aku baru ingat kalau kau pernah bilang menyewa sebuah apartemen di tengah kota Tokyo. Jadilah aku langsung ke sini."

"Tapi kita 'kan berbeda! Maksudku, aku laki-laki dan kau perempuan. Apa kau tidak merasa was-was tinggal satu apartemen denganku?"

"Hmm." Meiko menaruh telunjuk di dagunya. "Aku tidak mempermasalahkannya. Aku sudah mengenalmu sejak lama, dan aku tahu kau itu bodoh. Dan biasanya orang bodoh tidak akan berpikir sampai sejauh itu."

"Atau kalau kau benar-benar berniat untuk melakukannya padaku," Meiko tersenyum, aura menyeramkan mulai mengambang di udara, "kau tahu apa yang akan terjadi."

"Kau mengatakan seolah-olah kau itu dedemit," desis Kaito. Diam-diam meneguk ludahnya sendiri, Kaito lalu mengerutkan dahinya. "Tunggu sebentar, kapan kau mencarinya kalau kaunya saja baru datang dari stasiun?"

"Kau tidak perlu tahu alasannya...," jawab Meiko bernada. "Kujelaskan pun kau tidak akan mengerti meskipun sekarang kau sudah kuliah semester 3, Bakaisu."

"Apa-apaan jawabanmu itu?" dengus Kaito. Sudah dia duga, kedatangan Meiko sungguh tidak wajar. Sama seperti pesanan minumannya tadi.

"Hm." Meiko menatap Kaito dengan tampang datar. "Kau tidak mau?"

"Eh?"

"KAU TIDAK MAU?" Meiko mendekatkan wajahnya pada wajah Kaito. Bukan untuk menciumnya, tapi untuk meningkatkan ke-horror-an wajahnya di mata Kaito.

"Hii! T-tentu saja tidak, Mei-chan!" Kaito keder juga dengan aura menyeramkan yang Meiko keluarkan. "Baiklah, kau boleh tinggal di sini! Tapi bayar uang sewanya kita patungan ya!"

"Tentu saja." Meiko pun menjauhkan wajahnya, kemudian tersenyum penuh kemenangan. Dia pun berdiri, dan berjalan menjauh dengan membelakangi Kaito.

"Dasar aka-oni," desis Kaito sepelan mungkin. Tetapi sialnya, Meiko mendengarnya.

"Apa katamu tadi, Bakaisu?"

"Ah, aku bilang, Akai semakin mirip oni." Kaito berdalih dengan mengatakan bahwa adik kembarnya—Akaito, ia sering memanggilnya dengan Akai—semakin mirip dengan iblis. Padahal sebenarnya tidak. Baiklah, dia cuma ngeles.

"Oh. Kukira tadi kau mengataiku iblis merah," gumam Meiko sambil mengedarkan pandangannya ke sekilingnya. Apartemen yang Kaito tempati tidak terlalu besar. Cukup kecil, namun sederhana. Hanya ada dua kamar tidur, satu kamar mandi, dan dapur yang bertemu langsung dengan ruang tamu. "Hei, kamarku yang mana, Kai-kun?"

Bertanya untuk mencegah peristiwa salah masuk kamar. Setidaknya dia tidak mau mengetahui bagaimana isi kamar Kaito untuk saat ini. Siapa tahu ada tumpukan pakaian kotor di pojok kamarnya?

"Di sebelah kirimu," jawab Kaito singkat, memperhatikan punggung Meiko yang kemudian menghilang bersamaan dengan pintu kamar yang tidak terpakai itu terbuka dan tertutup kembali.

Kaito menutup matanya. Dan menghela npas. Kalau dipikir-pikir, Meiko sudah sangat berubah semenjak terakhir mereka bertemu.

Dia tiba-tiba merasakan firasatnya memburuk atas hal ini. Seperti akan ada badai yang dahsyat akan menerjang apartemennya. Memporak-porandakan seisi apartemennya hingga dia akan mati hanya sekedar mengurusinya. Namun tidak sekarang, tapi nanti. Nanti. Dan itu pasti. Ya. Karena author-lah yang mentakdirkannya.

.

.


to be continued.


.

.


Author's Note :

Oke, saya tahu. Ini pendek banget. Tapi yah, namanya juga masih prolog. Wajar 'kan kalo masih pendek #apaansih. Dan saya juga tahu, tuh judulnya apaannistabanget. Gak kreatif. Tapi ya mau gimana lagi, saya gak kepikiran judul lain lagi -.- Itupun saya dapat ketika saya belajar English, trus bahan pelajarannya itu mengenai "WHAT DID YOU SAY?!" (tentang kalimat repetition)

Saya mau memperkenalkan dulu fanfiksi ini, jadi kalo banyak yang suka, bakal saya lanjutin.

(Trus kalo gak? Yah, gak tau deh #plak)

Dan saya mau memberitahu suatu hal bahwa; 7 DEADLY SINS MASIH BAKAL LANJUT, CUMAN SAYA GAK TAU KAPAN UPDATE-NYAAA #duaaar

Baik, gini. Saya punya satu masalah; saya masih grogi ngetik yang bagian Lust. Soalnya pada dasarnya, saya ini masih anak yang polos dan kiyut #digilesbulldozer (apanya yang polos, tiap hari kerjaannya bikin fanfiksi rated-M mulu!)

Jadi... yah, nantikan saja. Tapi kalo mau ya. Kalo gak mau, yaudah #plak again

Sekarang, tentukan. Apakah readers sekalian mau nge-review atau gak. Kalo mau nge-flame (tapi saya gak berharap sih), saya gak terima flame masalah tokohnya. Kalo mau nge-flame masalah pengembangan temanya yang nista, silakan -.-

So, mind to review?


.

.


Changelog.

24122015. Memperbaiki EYD dan untuk alasan tertentu, saya tidak mengganti author's note meskipun itu nista banget.