"Some people are worth melting for." —Olaf
.
.
.
Ronghuale
Sehun x Luhan
.
Romance, fluff
One-shot
.
.
Happy (belated) Valentine's Day, Hunhan!
.
.
.
(1/2)
.
Butiran air hujan yang jatuh dari atas tampak begitu jelas, mungkin saking derasnya. Berlembar uang telah ia habiskan demi secangkir kopi panas, dan sekarang ia membeli secangkir lain. Ia yakin betul cuaca di luar kedai kopi yang sejak dua jam lalu ia mampiri itu dapat membuat orang-orang merapatkan jaket atau mantel yang mereka kenakan. Apalagi di dalam kedai yang dingin akibat hembusan angin AC.
Sesekali ia rapatkan kedua tangannya sambil memegangi sisi gelas kopi lebar yang isinya masih penuh itu, menghangatkan tangannya yang nyaris membeku setidaknya sedikit. Sweater yang di-double dengan mantel coklat muda yang ia kenakan tak banyak membantu. Ia masih kedinginan. Well, dirinya memang lemah terhadap suhu rendah, jadi salahnya sendiri.
Ujung manik doe-nya menangkap sosok waiter yang berjalan mendekati remot AC yang tertempel di dinding dekat pintu ruangan khusus karyawan kemudian menekan tombol di sana. Ia pikir sang waiter menaikkan suhu AC agar tidak terlalu dingin karena seketika ruangan tidak terasa sedingin sebelumnya. Ia berterima kasih dalam hati.
Ponselnya tiba-tiba berdering, membuatnya sontak mengeluarkan benda kotak itu dari dalam kantung celananya, lalu menempelkan benda itu ke telinganya.
"Kau di mana, Lu?"
"Di tempat biasa, mencari inspirasi seperti biasa. Ada apa?"
Suara gemerisik berisik seketika mendominasi dari seberang sana. "Kau tidak menonton pertandingan bola di kampus?"
"Malas," Luhan, lelaki itu, menyesap kopinya perlahan, menikmati setiap rasa yang menggoda indera pengecap dan penciumannya. "lagipula pasti tidak akan seru. Junior kita payah-payah." kekeh Luhan di akhir kalimatnya.
"Memang, sih," Kali ini, gantian orang di seberang sana yang terkekeh. "mereka payah sekali. Tapi kukira fakultas management yang menang, eh, ternyata kali ini fakultas perhotelan dan pariwisata. Boleh juga."
Luhan hanya memanggut-manggutkan kepala, sedikit tidak terlalu peduli meski dirinya adalah pecinta sepak bola kelas kakap. Tim favoritnya tak lain dan tak bukan adalah Manchester United. Lelaki berperawakan baby-face itu tidak akan melewatkan satu pertandingan pun dari tim favorit sepanjang masanya. Ia bahkan menjadi penulis artikel lepas di beberapa portal berita olahraga lokal. Rasa cintanya terhadap sepak bola tidak perlu diragukan lagi. Tanyakan dia apa saja tentang sepak bola, ia pasti akan menjawabnya dari A sampai Z.
"Ada apa menelepon?"
"Kau bawa mobil, tidak?"
Kali ini Luhan menjeda sedikit untuk berpikir. Pasti temannya yang satu ini akan menumpang pulang. Sungguh skenario yang sangat lazim ia rasakan sehari-hari.
Dan benar saja.
"Iya, nanti kujemput kau di kampus." ucap Luhan tanpa bertanya apa pun lagi.
"Yey! Kau memang terbaik. Kutunggu kau di depan gerbang, daah!"
Lelaki blasteran Korea-Cina itu lantas berdiri setelah meneguk habis kopinya, lalu menutup buku binder dan membereskan alat tulisnya. Menjadi seorang mahasiswa jurusan jurnalistik memanglah santai. Tugas-tugas yang diberikan sebagian besar adalah tugas lapangan, maka dari itu Luhan sangat jarang berada di dalam kamar apartemennya. Ia selalu membawa sebuah ransel berisi kamera DSLR, buku jurnal, alat tulis, dan biskuit-biskuit yang sewaktu-waktu dapat mengganjal perut ketika lapar menyerang saat bertugas.
Cita-cita Luhan sejak kecil adalah menjadi seorang jurnalis handal. Dirinya melihat berbagai keuntungan yang dapat dirasakan jika menjadi bagian dari pers. Istilahnya, pagi makan di tempat kaki lima, malam bisa saja makan di tempat bintang lima. Pers dapat mengetahui informasi lebih dahulu ketimbang orang biasa, meski memang tidak dapat dipungkiri lagi teknologi internet berkembang sangat cepat dan pesat. Lelaki bersurai coklat hazel yang poninya menutupi seluruh dahinya itu juga memiliki bakat menulis artikel dan feature yang diturunkan dari sang ibu.
Luhan suka membidik momen melalui kameranya, apalagi jika di dalamnya terkandung cerita menarik dan unik.
Dan itulah problem yang sedang ia rasakan saat ini.
Ratusan foto telah ia bidik untuk melengkapi tugas akhir semesternya. Namun, cerita yang terkandung menurut dirinya tidak terlalu menarik. Ia butuh sesuatu yang dapat membuat orang penasaran, dan tentu saja sesuatu yang dapat mendongkrak nilainya.
Luhan baru saja mewawancarai seorang penulis muda yang sedang naik daun berkat karya tulis bertemakan kisah cinta homoseksual yang menduduki pojok best selling books di berbagai toko buku di seluruh dunia meski penulisnya jugalah seorang laki-laki. Namun Luhan pikir berita tersebut kurang pas. Jadi lagi-lagi ia menyimpan hasil wawancaranya untuk digunakan di waktu lain.
Tapi masalahnya, Luhan hanya memiliki waktu kurang dari sebulan dari deadline pengumpulan tugas akhirnya. Jika lewat dari tenggat waktu, sang dosen tidak akan memberi kemudahan walaupun Luhan adalah salah satu mahasiswa kesayangan. Baru kali ini ia kesulitan melakukan hal yang menjadi kecintaannya sejak kecil itu. Sampai-sampai rambutnya beberapa kali rontok akibat stres, kurang tidur, dan mungkin karena terlalu sering mengacak dan menjambak rambutnya sendiri.
Lelaki itu lantas masuk ke dalam mobil warisan ayahnya dan buru-buru melaju agar teman baiknya tidak menunggu terlalu lama. Dan tumben sekali jalanan Seoul begitu lengang dan sepi. Ia jadi sedikit mengantuk.
Beberapa belokan lagi Luhan akan sampai, namun tiba-tiba ketika lampu hijau menyala dan kakinya menginjak pedal gas, sebuah motor melaju di perempatan jalan, menembus lampu merah. Sontak Luhan menginjak rem kuat-kuat sambil memejamkan mata erat-erat, takut tidak keburu mengerem dan malah menabrak si pengendara motor gila.
Tidak ada bunyi tabrak setelah decitan ban mobil yang bergesekkan dengan aspal jalanan. Untung saja di belakang Luhan tidak ada kendaraan lain, kalau tidak, mungkin bagian belakang mobilnya sudah ringsek. Lelaki berparas manis itu keluar dari mobil yang berhenti di tengah-tengah perempatan jalan, menghampiri motor gede yang bertengger manis di depan mobilnya.
Luhan menatap pria yang masih mengenakan helm putih yang senada dengan warna motor itu. Pria itu membawa sebuah tas panjang—mirip peti biola—bertuliskan Burton berisi benda panjang dan besar di punggungnya, juga backpack hitam besar.
"Kau gila, ya!?" Sebetulnya Luhan tidak mau bicara dengan nada setinggi itu, namun panik masih sedikit mengguncang batinnya hingga tak bisa mengontrol mulutnya sendiri.
"Maaf, aku sudah sangat terlambat jadi harus buru-buru," Pria itu tiba-tiba mengulurkan sebuah kartu kecil dari dalam dompetnya. "Telepon saja aku jika mobilmu ada yang lecet."
Lalu pria itu secepat kilat menghilang dari hadapan Luhan, meninggalkan si calon jurnalis muda bersama angin yang berhembus akibat cepatnya laju motor, yang menggoyangkan beberapa helai poninya. Luhan menghela napas lega setelah mengecek tidak ada yang rusak atau pun lecet. Masih memegang kartu yang tadi diberikan, Luhan membaca tulisan yang tertera di sana.
Oh Sehun
Licensed Rookie Ski Athlete of South Korea
+82 10-9404-520
Matanya membulat sempurna. Bohlam nan terang dan besar seketika muncul di atas kepalanya. Ini akan jadi artikel yang unik! Batinnya seakan berteriak dan partikel-partikel dalam otaknya berpesta. Sebuah titik terang akhirnya terlihat.
Bunyi klakson dari sisi lain tiba-tiba berlomba-lomba menyerang telinga Luhan yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, menyusun rencana tanpa peduli, atau lupa, dengan di mana ia berada sekarang. Di tengah jalan. Di tengah perempatan. Ternyata di sebelah timurnya lampu hijau sudah menyala. Sambil menggumamkan kata maaf beberapa kali, Luhan langsung menginjak pedal gas dan melaju secepatnya.
Ini akan menjadi perjalanan yang sangat menarik.
.
.
Luhan tidak tahu apa yang sedang merasukinya.
Biasanya, kepercayaan diri dan positivitas selalu berada di dalam dirinya dua puluh empat jam. Tapi entah mengapa di siang hari nan langka ini, Luhan sedikit cemas dan was-was. Ia akan segera berjumpa (lagi) dengan calon narasumbernya. Bukannya cemas karena takut kehadirannya ditolak oleh sang narasumber, tapi malah karena ia sedikit lupa dengan wajahnya. Pasalnya, sewaktu kejadian nyaris tabrakan kemarin, pria tinggi itu mengenakan helm dan masker yang menutupi seluruh wajahnya, hanya menyisakan sepasang mata yang tatapannya setajam burung elang bertemu mangsa.
Beberapa kali sudah Luhan hembuskan napas, menenangkan diri di dalam ruang tunggu Alpensia Resort, tempat yang membuat Luhan berkendara berjam-jam dari Seoul menuju Gangwon, Pyeongchang menggunakan kereta dan angkutan umum. Sambil menumpuk kaki dan mengetuk-ngetukkan jemari di atas lutut, Luhan melihat ke luar jendela. Suasana di luar sangat kontras dengan ruangan yang didesain sehangat dan senyaman mungkin itu, lampu berwarna kuning serta banyaknya ornamen kayu menambah kesan homey.
Alpensia Resort adalah tempat berkumpul dan menginapnya para atlit ski, terutama yang telah terdaftar menjadi peserta Winter Olympic yang akan diselenggarakan beberapa bulan lagi. Setelah melakukan riset dan pencarian melalui orang-orang dalam, Luhan menemukan bahwa pria bernama Oh Sehun itu ternyata adalah seorang atlit ski yang masih berada di tingkat rookie, namun namanya sangat populer di kalangan pecinta olahraga musim dingin itu karena Sehun adalah anak satu-satunya dari atlit ski nomor satu di Korea Selatan yang telah memenangkan puluhan medali di seluruh dunia. Namun sebuah kecelakaan tragis akibat malfungsi perangkat keselamatan ketika sedang bertanding di Kanada membuat karirnya hancur dan lumpuh begitu saja. Sama halnya pula dengan dirinya.
Sudah lima belas menit lebih Luhan disuruh menunggu tapi si atlit muda Sehun tak kunjung datang juga. Yang masuk malah seorang pria yang membuatnya merasa tubuhnya sangat pendek.
"Apa kau Luhan?"
"A-Ah, iya." Luhan reflek berdiri dan membungkukkan badannya hormat. "Anda...?"
"Oh, aku Chanyeol, personal trainer Sehun." Pria tinggi bersurai semi-ikal itu tersenyum lucu. "Sehun baru saja menyelesaikan sesi latihan paginya. Mungkin sebentar lagi dia akan—"
"Siapa yang bersikukuh ingin bertemu denganku, Yeol?"
Suara itu membuat Luhan dan Chanyeol bersamaan menoleh ke arah pintu otomatis. Sosok yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga.
"Sehun!" panggil Chanyeol seraya menepuk-nepuk pundak dan mendekatkan Sehun pada si hazel. "Silakan kembalikan dia kapan saja, Luhan-ssi!" Dan lelaki tinggi itu pergi meninggalkan mereka berdua di dalam sana.
Keduanya hanya saling terdiam dan bertatapan selama beberapa saat, hingga akhirnya Luhan memutuskan untuk angkat bicara setelah merasa kalah beradu tatapan dengan pria yang lebih tinggi di hadapannya itu.
"Apa kau masih ingat aku?" Sehun menggeleng.
Luhan mendengus halus. "Yang kemarin hampir me—"
"Oh, kau ternyata."
"Kau ingat siapa aku, tapi tadi kau menggeleng?"
Sehun mengendikkan bahu sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam celana longjohn hitam yang dipadukan dengan turtleneck sweater berwarna senada yang dengan sempurna melapisi tubuh atletisnya itu. "Kau mau minta ganti rugi?"
Buru-buru Luhan menggeleng. "Tidak ada hubungannya dengan itu."
"Baiklah kalau begitu sampai bertemu lagi." Sehun berbalik dan baru saja ia ingin melangkah mendekati pintu keluar, pergelangan tangannya ditahan oleh si lelaki imut.
"K-Kau harapanku satu-satunya, Sehun-ssi. Kumohon jangan pergi dulu dan biarkan aku menjelaskan apa maksud kedatanganku ke mari."
Dan itulah yang selanjutnya terjadi. Luhan menceritakan dari awal sampai akhir mengapa ia bisa memilih Sehun untuk menjadi narasumber tugas akhir kuliahnya. Namun Luhan tidak bisa membaca air wajah pria yang kini duduk di hadapannya, selalu menunjukkan ekspresi yang sama sejak percakapan ini dimulai.
"Jadi... Apa kau bersedia, Sehun-ssi?"
Sehun tiba-tiba berdiri. "Terima kasih sudah repot-repot ke sini, tapi aku tidak punya banyak waktu untuk dikorbankan hanya untuk meladeni pertanyaan-pertanyaanmu setiap hari. Aku sibuk."
"Bagaimana jika aku juga menetap di sini?" Pertanyaan (atau pernyataan?) itu membuat Sehun sedikit terkejut dan bertanya-tanya apa maksudnya. "Kau hanya perlu latihan seperti biasa dan aku akan mengamatimu dari jauh, dan aku hanya akan menanyakan beberapa hal saat kau luang."
Sehun terdiam lagi. Sebenarnya ia ingin menolak lagi, tapi otaknya tak lagi menyediakan alasan yang bagus untuk membungkam lelaki di hadapannya itu. "Lalu apa yang bisa kau berikan padaku kalau aku mau?"
"Apa pun."
"Apa pun?"
Luhan mengangguk pasti.
"Hmm...," Sang atlit ski berjalan mendekati pintu kaca sambil mengatakan,
"kau atur saja."
Senyuman Luhan tak kunjung luntur bahkan hingga memasuki alam mimpi.
.
.
Angin dan dingin adalah dua hal yang akan selalu ia rasakan di tempat ini, tempat yang baginya sakral dan menorehkan banyak peristiwa bersejarah dalam hidupnya. Tempat yang membuatnya jatuh cinta akan suara gesek antar es dan papan seluncur, yang membuatnya terkesima akan setiap pergerakan mulus yang diimbangi keseimbangan tubuh. Tempat di mana pertama kali dirinya merasakan darahnya mengalir deras akibat adrenalin yang merasuk jiwa.
Sehun suka, coret, cinta salju. Wujudnya putih, dingin, dan indah ketika jatuh. Ia merasa es adalah sesuatu yang menyerupai dirinya: putih, dingin. Kulit beningnya diwariskan oleh sang ibu yang menurutnya adalah jelmaan putri salju—jangan salahkan pemikiran seorang anak usia empat tahun—dan dingin adalah kepribadiannya. Banyak orang bilang dirinya sangat cuek dan dingin, meski dirinya tidak berkehendak demikian. Mungkin karena tatapan matanya yang tajam ketika menatap orang lain. Tapi sesungguhnya Sehun itu hangat, hanya saja ia seorang pemalu.
Sang ayah adalah mantan atlit ski nomor satu di Korea, yang merupakan inspirasi terbesarnya untuk menjadi seorang atlit ski juga. Sang ayahlah yang mengenalkan Sehun kecil pada dunia olahraga salju itu. Like father like son, kalau menurut kata pepatah orang awam. Namun kini ayahnya telah pensiun akibat kelumpuhan yang ia derita. Dan sebagai seorang anak yang ingin tetap berbakti, Sehun berniat untuk meneruskan apa yang telah ayahnya capai selama puluhan tahun.
Hidup tidak selamanya berjalan mulus. Sehun memulai karir ski-nya saat berusia empat belas tahun, akan tetapi karena sang ibu meminta dirinya untuk fokus mengenyam pendidikan dan menjadikannya prioritas utama, Sehun terpaksa hiatus dan kemampuan berselancar esnya mulai terpendam dan sedikit terlupakan.
Lalu datanglah berita bahwa olimpiade musim dingin dunia akan diadakan di Pyeongchang pada tahun 2018. Dan tepat setelah Sehun menyelesaikan sekolah, ia memutuskan untuk melakukan intensive training selama tiga bulan agar dapat tersertifikasi dan masuk menjadi peserta olimpiade. Jika Sehun tidak lolos tahap klasifikasi, Sehun rasa dunianya tak akan lagi ada artinya. Ia sangat menginginkan ini. Demi ayahnya.
Beruntung dirinya mengenal Park Chanyeol, atlit ski muda yang adalah murid terbaik sang ayah, yang mau dan rela menjadi personal trainer selama masa training-nya. Memang, sih, kadang dia suka berlaku aneh, tapi Sehun masih bisa memakluminya karena usia mereka tidak terlalu terpaut jauh.
Sehun merasa hidupnya tidak semenarik dan penuh lika-liku bak kalangan selebrita. Tapi yang membuatnya bingung, kenapa ada seorang jurnalis muda yang bersikukuh ingin menemuinya hanya sekedar ingin mewawancarai dirinya. Demi tugas, kata jurnalis itu.
Mereka bertemu di sebuah ketidaksengajaan, di tengah-tengah perempatan jalan, nyaris bertabrakan. Kemudian mereka bertemu lagi di sini, di Alpensia Resort, dan garis hidup mereka sudah bertabrakan.
Sehun tidak tahu apa yang merasuki dirinya. Ia tidak suka hidupnya diurusi orang lain, ia tidak suka orang kepo dan ingin tahu segalanya. Tapi kenapa ia mengiyakan permintaan sederhana dari lelaki berbibir mungil itu? Tunggu, kenapa yang ia ingat hanya bibir? Sehun beberapa kali menggeleng seraya memakai manset lengan panjang dan menatap paparan salju nan luas di luar jendela kamarnya.
Katakan Sehun sudah gila, karena kini ia tersenyum sendiri.
Sebuah ide gila muncul dalam benaknya. Ia berencana untuk sedikit mempermainkan si jurnalis muda karena menurutnya pria itu tampak mudah untuk dipermainkan. Bermain-main sedikit tidak masalah, kan?
Jadi, Sehun membawa papan seluncur setinggi pundaknya dan langsung berjalan cepat menuju arena ski untuk pemanasan dan memulai sesi pagi. Chanyeol belum ada di sana, mungkin belum bangun, atau sedang menggoda si resepsionis manis. Setelah melakukan pemanasan fisik dan memasang alat-alat ski-nya, Sehun mulai berselancar mulus di atas arena datar sambil menyedekapkan kedua tangan di depan dada. Kakinya yang seakan tidak mengeluarkan effort dengan mulus mengendalikan papan panjang itu melewati liukan dan rintangan se-level anak sekolah dasar. Setiap langkah pemanasan harus ia lewati demi menghormati regulasi dan menghindari kecelakaan sekecil apa pun itu.
Sehun memejamkan matanya sejenak, masih sambil melaju pelan, menikmati angin pagi yang berhembus menerpa kulit wajah yang tidak terbungkus apa pun—tidak perlu heran karena Sehun memang sangat tahan dingin. Biasanya di jam sepagi ini, belum ada pengunjung atau pun pemain ski reguler lain yang datang. Tapi indera pendengaran Sehun menangkap suara orang melangkah pelan di atas salju. Sehun perlahan membuka mata dan malah menemukan sosok pria bersurai hazel berjalan mendekati dirinya dengan sebuah kamera yang dikalungkan.
"Hei, hei! Minggir! Nanti kau tertabrak!" ucap Sehun pelan. Namun sepertinya suaranya tak dapat mengalahkan desiran angin. Sehun melayangkan tangannya, bergestur menyuruh si jurnalis untuk minggir karena menghalangi jalannya. Tapi lelaki itu malah melambai sambil tersenyum. Ia kira Sehun melambai padanya.
"Kau mau kutabrak?! Minggir!"
Seratus meter.
"Apa? Tidak terdengar!" teriak Luhan.
Tujuh puluh lima meter.
"Minggir!"
Lima puluh meter.
"Apa?" Luhan masih mengenakan penghangat telinga yang mirip headphone berbulu itu.
Dua puluh lima meter.
"Minggir, bodoh!" Sehun berusaha mengerem lajunya, namun ia tengah melewati turunan.
Sepuluh meter.
Lima meter.
Dua inci.
Wajah mereka sudah sedekat itu. Untung saja Sehun berhasil mengerem habis-habisan, dan bukannya minta maaf, pria di hadapannya malah menyengir lucu.
"Tadi kau mau bilang apa?" Luhan sedikit memiringkan kepalanya sambil melepas penghangat telinganya. "Astaga, dingin sekali di sini~"
Di balik kacamata tanpa minus itu Sehun memutar bola matanya malas, merutuki betapa lugunya lelaki itu. "Mau apa kau ke sini?"
"Mengamatimu? Kau sendiri yang bilang padaku 'kau atur saja'. Ingat?" Luhan sedikit meniru cara bicara datar ketika mengulang perkataan Sehun lalu terkekeh di ujung kalimat, menertawakan dirinya sendiri.
Mata Sehun menjelajah pria di depannya dari atas hingga ujung kaki lalu ke ujung kepala lagi. Dia mengenakan sweater rajut beige tebal, mantel coklat muda, kupluk marun tua yang sewarna dengan syal di lehernya, sarung tangan ivory dengan sablon bunga-bunga kecil di permukaan punggung tangannya, celana panjang hitam dan boots Timberland berwarna senada dengan mantelnya. Nampaknya pria ini sangat anti-dingin, sangat berbanding terbalik dengan dirinya yang hanya mengenakan manset lengan panjang, jaket bertudung dan celana training.
"Sudah takut dingin, masih saja nekad ke sini." gumam Sehun sembari mendengus saat melihat Luhan berdiri dengan tidak bisa diam.
Sebuah ide jahil tiba-tiba muncul.
"Kau mau tahu cara agar tidak kedinginan, Mr. Journalist-wannabe?" Sehun semakin mendekatkan jarak bicara terhadap pria di depannya yang langsung mengangguk sebagai respon.
Si atlit muda lantas membawa si jurnalis masuk ke ruang ganti berisi loker-loker besar dan menyodorkannya sebuah papan seluncur yang lebih pendek dari miliknya—papan itu miliknya juga.
"E-Eh?" Luhan bingung menatap papan yang disodorkan untuknya.
"Face the coldness, sweetie." Sehun mengerlingkan sebelah matanya sekilas. "Ayo." Ia berjalan duluan menuju arena ski.
"Aish!" rutuk Luhan dalam hati sambil memegangi papan yang tadi dipinjamkan itu. "Demi tugas... Demi tugas..." Lalu menghampiri Sehun yang sudah beberapa langkah di depan.
Dan sepertinya alam belum memihak pada Luhan, angin yang berhembus sama sekali tidak berkurang kadar dinginnya meski matahari sudah nampak dan bersinar terang. Setelah itu Sehun mengaitkan papan selancar itu pada kedua kaki Luhan dengan setting-an yang sesuai tinggi badannya.
"Kau masih mau bawa-bawa kamera? Kau mau lensa kameramu patah kalau kau tergelincir nanti?" Luhan menggelengkan kepalanya berulang kali sambil memegangi kamera kesayangannya.
"Lalu aku harus letakkan di mana?"
"Letakkan saja di bangku ini." Sehun menepuk tempat duduk kayu yang tengah mereka duduki itu.
"B-Bagaimana jika ada yang mengambil?"
Sehun melengos pergi begitu saja, mengabaikan pertanyaan Luhan. "Hei! Hei! Tunggu aku!" Mau tidak mau, Luhan pun menurut saja. Dengan sedikit bersusah payah Luhan membiarkan papan yang mengikat kedua kakinya itu bergerak pelan di atas salju.
Ini adalah kali pertama Luhan mencoba olahraga musim dingin yang digemari oleh kebanyakan orang di benua Amerika dan Eropa itu. Jadi tidak heran jika ia masih sangat, sangat amatir dan gemetaran menjaga keseimbangan.
"T-Tunggu aku— Ouch!"
Luhan terjatuh dan tergelinding beberapa putaran hingga remah-remah salju menempel di sekujur jaket tebal khusus pemain ski yang ia kenakan. Luhan merasakan dinginnya salju menyentuh kepala, punggung, hingga kedua kakinya. Untung saja terjatuh di atas salju tidak semenyakitkan jatuh di atas tanah. Ia menatap langit biru cerah dan gumpalan awan di sana yang seakan menertawainya. Sebuah helaan napas panjang ia keluarkan dari belah bibirnya, lalu birunya langit tergantikan oleh wajah seseorang yang tiba-tiba muncul di muka wajahnya, begitu dekat. Sehun tersenyum miring sambil berjongkok selama beberapa saat, menertawakan sekaligus mempelajari fitur wajah pria itu dalam hati.
Tak lama kemudian, Sehun berdiri dan mengulurkan tangannya. Mengerti apa maksud si atlit, Luhan menggapai tangannya lalu mencoba berdiri pelan-pelan.
"Ya! Bagaimana jika tadi aku mati!?"
Sehun mendengus, lagi. "Berlebihan sekali. Ini bahkan hanya arena datar, sayang."
"T-Tetap saja!" Luhan merasa kedua pipi chubby-nya memanas akibat panggilan itu. Sayang. Tch.
"Baiklah, baiklah. Sebagai permintaan maaf, bagaimana jika aku mengajarkanmu snowboarding?"
Oke, ini lucu karena diri Sehun sendiri saja bingung mengapa ia bisa menjadi selunak itu pada orang lain. Kepada Chanyeol saja ia masih sering mem-bully bahkan mengatainya. Well, mungkin itu terlihat normal karena bro-bro relationship mereka terlampau kuat. Tapi biasanya Sehun hemat bicara, hemat berbuat, dan hemat peduli. Bahkan untuk menatap lawan bicara saja Sehun hanya sudi mengorbankan waktunya paling lama selama empat detik. Dan bahkan tanpa ia sadari, ia sudah menancapkan fokusnya pada sosok pria bermanik bak rusa itu sedari tadi. Ralat, sedari awal mereka bertemu.
Sehun cinta salju. Wujudnya putih, dingin, dan indah ketika jatuh.
Sehun merasa es adalah sesuatu yang menyerupai dirinya: putih, dingin.
Kini ia terjatuh.
Dan rasanya... indah.
.
.
"Jadi kau sudah mulai bermain ski sejak kau berumur empat tahun?!"
Sehun mengangguk santai sambil mengunyah burger yang ia pesan di kafetaria resort. Luhan tak henti-hentinya melontarkan 'wah', 'wow', atau sejenisnya. Ia memiliki kebiasaan menulis hasil wawancaranya di buku jurnal yang setiap sudutnya sudah lecak karena terlalu sering dibuka-tutup sekaligus merekam percakapannya dengan narasumber melalui alat perekam suara khusus berukuran sebesar ponsel, berjaga-jaga agar tidak ada informasi yang terlewatkan.
Sehun membenarkan posisi duduk malasnya, menumpu dagunya menggunakan sebelah tangan sambil menatap wajah si jurnalis muda, lalu mengalihkan pandangannya turun pada buku yang tengah Luhan isi dengan tulisan tangan acak-acakan yang mungkin hanya Tuhan dan dirinya sendiri yang mengerti.
"Dasar. Jarimu cantik, tapi tulisanmu tidak." cemoohnya seraya menunjuk-nunjuk tulisan Luhan.
"Protes saja." Luhan menjulurkan lidahnya lucu dan malah mendapat sebuah sentilan di dahi dari Sehun.
Baru dua hari Luhan berada di Alpensia Resort dan hubungan mereka tampak berjalan sangat sangat lancar. Memang terkadang Sehun bersikap menyebalkan dan mengesalkan, tapi Luhan tahu sebenarnya Sehun tidak bermaksud demikian. Luhan pikir mungkin Sehun hanya kesulitan mengekspresikan maksud aslinya dengan baik, jadi Luhan masih bisa maklum.
Dan tak dapat dipungkiri, ketampanan Sehun itu sering kali meningkatkan laju detak jantungnya. Beberapa kali Luhan tertangkap basah terkesima menyaksikan aksi-aksi Sehun mendebur dan menggesek permukaan es, melompat lalu berputar di udara dengan lincah dan indahnya, sampai-sampai ia lupa membidik momen itu padahal kamera berada di tangannya. Yang paling parah dan membuatnya merasa penuh dosa adalah postur tubuh Sehun yang sialnya sudah dilatih dan dibentuk berkat latihan rutin.
Sebut saja bahu dan dada bidang, tubuh ramping namun berotot perut meski tidak tercetak sejelas milik Chanyeol—ya, Luhan bahkan sampai mengikuti Sehun hingga ke ruang ganti dan ia sedikit menyesali hal itu. Sebuah mahakarya yang membuat semua orang iri, Luhan menyebutnya begitu. Dasar otak liar.
Malam itu Sehun mengiyakan permintaan Luhan untuk memasuki kamar yang ia huni sampai malam kualifikasi atlit rookie beberapa bulan lagi. Kamarnya tidak kecil, juga tidak besar. Seluas kamar hotel atau resort pada umumnya, di setiap sisi tembok dilapisi elemen kayu dan lampu remang memberi kesan hangat. Awalnya Luhan kira kamar Sehun berantakan seperti kapal pecah, tapi ternyata sama sekali tidak. Bahkan lebih rapi dari kamarnya sendiri. Semua barang tertata rapi, koper besar diletakkan di depan lemari pakaian.
"Kemari." Sehun tiba-tiba menarik pergelangan tangan Luhan dan beriringan berjalan menuju jendela yang tertutupi gorden putih. Kemudian pria yang lebih tinggi beberapa sentimeter menyibak kain itu dan setelah itu, Luhan kesulitan menutup kembali rahangnya.
Di hadapannya kini terpapar jutaan bintang di langit yang cahayanya beradu dengan bulan sabit dan lampu penerang arena ski. Berada di lantai lima membuat Luhan dapat menyaksikan pemandangan yang memuaskan mata itu secara mudahnya. Seperti anak kecil yang terpesona, Luhan menempelkan kedua telapak tangannya pada permukaan kaca jendela sambil ber-'waaah' ria. Dan tanpa sadar, lagi-lagi Sehun menaruh fokus sepenuhnya pada pria itu.
"Aku penasaran."
Luhan menoleh, wajahnya dipenuhi tanda tanya. "Penasaran dengan apa?"
"Denganmu."
"E-Eh? Aku? Memangnya aku kenapa?" Luhan akui dirinya gugup mendengar hal itu.
Sehun mengendikkan bahu, lalu menyandarkan sebelah bahunya pada kaca jendela, tatapan matanya masih tertuju pada Luhan. "Aku tidak pernah sedekat ini dengan orang lain, apalagi sampai membawa orang yang baru kukenal masuk ke dalam kamar. Chanyeol yang pelatihku saja selalu kuusir keluar."
Ia menjeda sejenak, mencondongkan wajahnya pada wajah Luhan hingga hanya satu inci yang tersisa. "Aku penasaran, kenapa es sepertiku... bisa meleleh di tangan orang sepertimu?"
Wajah mereka semakin dan semakin dekat, sampai-sampai Luhan dapat merasakan deru napas yang keluar dari hidung mancung bak bule Sehun dan sontak ia memejamkan mata sambil dengan erat meremas ujung mantel coklat yang selalu ia gunakan itu. Dan bukan sentuhan lembut yang menyapu bibirnya, melainkan hanya sebuah pelukan hangat dari si sosok tinggi. Setelah berbagi kehangatan selama beberapa saat, diimbangi debaran jantung yang saling menjawab debar satu sama lain, Sehun menatap wajah Luhan lekat-lekat. Ia tersenyum, untuk pertama kalinya.
Sekujur wajah Luhan menghangat dan memerah, Luhan yang menyadari hal itu reflek menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya. "Astaga, astaga, astaga!" batinnya.
"Terima kasih... karena telah membuatku meleleh." gumam Sehun. "Kau adalah teman yang sangat baik."
Teman...
Hanya sebatas teman, kah?
Luhan terus mengulang kalimat itu dalam batinnya.
Dan di malam yang dipenuhi bintang itu, Luhan tidur ditemani kegelisahan.
.
.
14 hari menuju pengumuman kelulusan tugas akhir Luhan.
Dan 14 hari menuju pengumuman daftar peserta olimpiade musim dingin kategori ski.
8 hari telah Sehun dan Luhan lewati dalam suhu di bawah nol derajat.
Kini jadwal latihan Sehun semakin intensif, Luhan sudah merasa cukup mendapatkan banyak bahan untuk dijadikan artikel. Tahu diri, Luhan berpamitan pada Chanyeol dan kembali ke ibukota tanpa memberitahu Sehun.
127 kilometer terpisah satu sama lain.
Tanpa kabar, tanpa komunikasi.
Toh, mereka hanya teman.
Bukankah begitu?
.
.
.
.
to be continued.
Chingchongs:
Sebenernya ini one-shot, cuma karena saya rasa ini rada kepanjangan kalo dijadiin one-shot dan takut ngebosenin, saya bagi jadi dua deh eh eh ehe he ehe~
MORE FLUFF IN THE NEXT CHAP!~
.
REVIEW juseyong~
(ga review juga gapapa, saya sih seneng2 aja bisa menuangkan isi pikiran saya di sini tanpa mengharapkan imbalan apa pun /luv luv/)
.
saranghaja,
exoblackpepper
