a/n: kangen banget nulis pov orang pertama ;w;

Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki
saya tidak mengambil keuntungan materiil apa pun dari menulis fanfiksi ini. merek dagang/tempat yang saya sebutkan di sini bukan milik saya.


ruangan ini dan jam itu

Dentangan menggema, entah untuk yang keberapa kalinya, karena aku sudah kehilangan hitunganku. Suara aslinya mungkin tidak sekeras itu, tapi bagiku bunyinya mengisi ruangan tempat kita duduk dengan gaung yang memantul-mantul, memenuhi langit-langit, merayap di sepanjang karpet pelapis lantai, menghampiri setiap sudut tempat mataku berlabuh demi mengalihkan perhatianku darimu, juga dari tatapanmu yang hanya menerawang semua hal sejak pagi ini.

Sumber dentangan itu sendiri, berasal dari jam tua yang berdiri dengan pongah di salah satu sisi ruangan; tanpa alasan yang logis, pendulumnya yang terus berayun-ayun di balik kaca tubuhnya menggangguku lebih dari yang seharusnya. Seakan mengejek, karena ia bisa konstan, sementara kau dan aku serta kehidupan kita selalu dan akan selalu jadi dinamis. Seakan tertawa, karena ia bisa tetap nyaman, sementara kita dan semua orang bergelut serta berusaha beradaptasi dengan perubahan.

Teh yang ada di meja di hadapan kita telah berhenti mengepulkan asap sejak setengah jam yang lalu, ketika pertama kali cangkir-cangkir—yang terlihat sangat mahal, dan gajiku selama tiga bulan belum tentu cukup untuk membeli set yang seperti itu—dibawa masuk ke ruangan dan disajikan, bersamaan dengan satu dentangan jam (sialan yang berbunyi setiap tiga puluh menit sekali itu).

Pelayan keluargamu menawarkan segala jenis dan merek teh yang ada; mulai dari Darjeeling sampai chamomile, dari Twinings hingga Dilmah. Aku tidak begitu peduli dengan teh, sebenarnya, karena yang membantuku terjaga sepanjang malam semasa kuliah dulu atau jam-jam yang sibuk di rumah sakit bukanlah teh, melainkan kopi. Tapi mungkin hal yang sama tidak berlaku bagimu, karena aku pun tidak melihat gunanya kau banyak begadang sebab kau tidak butuh belajar untuk meraih nilai-nilai sempurna, dan kau selalu bisa menyelesaikan pekerjaanmu lebih baik dari siapa pun meski tanpa lembur.

Namun kadang kau yang tidak tidur sepanjang malam itu memang terjadi, meski aku curiga lebih disebabkan oleh insomnia dibandingkan dengan pekerjaan yang menumpuk, dan ketahuilah kalau kau tidak bisa menyembunyikan raut lelahmu dariku sekalipun tidak ada hitam yang kentara menggantungi bagian bawah matamu.

Aku memerhatikan teko, yang mungkin isinya juga sudah mulai mendingin karena tidak tersentuh; dingin seperti ruangan ini yang suhunya bagai terus turun meski api sedang membakar kayu di perapian, dan sama tidak tersentuhnya dengan Norwegian Wood[1] yang sejak tadi terbuka di pangkuanku namun tak kubaca ataupun kubalik halamannya. Selain suara detikan yang terus mengikuti goyangan pendulum di jam yang menyebalkan itu, tidak ada suara lain. Yang ada hanya hening, dan aku sudah terbiasa ketika kau memutuskan untuk tiba-tiba diam, karena kau memang jenis orang yang seperti itu, mendadak berhenti bersuara ketika ada pikiran yang menghampiri (atau mungkin sebenarnya kau sedang bicara di dalam sana, hanya saja tidak kepadaku, tidak juga pada orang lain di sekitar kita).

Pikiranku melambung, melampaui halaman yang rumput hijaunya dapat kulihat dari kaca jendela.

Umur kita dua puluh ditambah tujuh tahun, dan untuk yang pertama kalinya ayahmu memintamu pulang dan tinggal sementara. Kau dan aku sama-sama tahu, kau tidak pernah tinggal lagi di sini semenjak kau meninggalkan rumah untuk bersekolah di Kyoto, lalu menyewa apartemen sendiri semasa kuliah hingga sekarang. Kau tidak pernah bercerita kenapa, dan bukan hakku juga untuk bertanya. Untuk yang pertama kalinya juga sejak hampir lima belas tahun kita saling mengenal, bukan hanya lewat foto, bukan hanya mendengar dari ceritamu, aku akhirnya benar-benar menginjakkan kaki di kediaman keluarga Akashi. (Karena kau tahu aku tidak akan bisa menolak permintaan untuk menemanimu; sungguhpun ini bukan urusanku, sungguhpun ini bukan keluargaku, sugguhpun aku tidak seharusnya berada di sini; kau tahu aku tidak akan sanggup menolakmu. Kau selalu tahu.)

Rumahmu mengingatkanku pada Iwasaki-tei[2] yang sewaktu kuliah bisa kita jangkau bahkan hanya dengan berjalan kaki dari gedung fakultas; kompleks bangunan megah bergaya barat kuno dengan halaman yang sangat luas. Temboknya tersusun dari bata-bata yang diwarnai pastel, berdiri hingga dua lantai tapi ukurannya membuatnya rumahmu terkesan jauh lebih raksasa dari itu, dengan jendela-jendela setinggi manusia yang kacanya selalu dibersihkan hingga jernih, namun terhalangi tirai putih tipis yang membuat isinya tidak terlihat dari luar. Iya, kalau kau mau menanyakan pendapatku, rumahmu terlihat agak seperti tipe yang akan digunakan untuk pembuatan film-film horor. Tidak, itu hanya opini, aku tidak akan minta maaf untuk itu.

Pelayan-pelayan keluargamu dengan sigap membawakan barang-barang dan membukakan pintu, mulai dari mobil hingga pintu ganda di depan yang tersambung ke lobi utama, tempat aku sempat berdiri di belakangmu, dengan tidak nyaman sementara sepatuku menginjak karpet yang membentang luas dari pusatnya di tengah ruangan (tidak ada genkan, karena itu kau dan aku tidak melepas sepatu, dan yang menyambut kita di depan adalah pengurus-pengurus rumahmu yang membungkuk hormat). Aku hanya mengkaku di sana, tiba-tiba merasa seperti rakyat jelata (yang memang benar), sementara kau menghirup napas dalam-dalam, seakan berusaha mengingat kembali atmosfer rumahmu yang telah terkubur di bawah ingatan.

Kau menoleh padaku sebentar, entah untuk membuatku lebih santai atau memastikan kalau aku masih berada di sana, atau mungkin keduanya. Bertahun-tahun telah membuat kita sering kali tak membutuhkan kata-kata, dan kalimat mengalir dari pandanganku yang bertemu denganmu. Kemudian bibirmu bergerak, menjawab pertanyaan tentang keberadaan Akashi Masaomi yang bahkan belum kutanyakan, memberitahuku bahwa ayahmu baru akan tiba pada sore hari, dan kita akan bertemu dengannya pada waktu makan malam. Itu justru membuatku semakin tidak nyaman, bukannya aku tidak pernah bertemu dengan ayahmu, tentu aku masih ingat beberapa undangan makan di restoran-restoran kota, atau ketika aku menemanimu kembali ke Kyoto dan ayahmu sedang berada di kota yang sama. Tapi yang ini berbeda, yang ini adalah makan malam, di meja keluarga Akashi, di kediaman keluarga Akashi. Bukankah makan malam keluarga itu selalu yang paling sakral? Dan aku tidak sepantasnya berada di acara itu karena aku hanyalah orang luar, tapi di saat aku ingin mempertanyakan kebijakanmu pun, aku urung, karena kau tidak bisa dibantah setelah bertitah, karena kau memang selalu benar.

Aku diantar ke kamarku, lalu duduk diam di sana dengan tasku di dekat kaki karena tidak yakin apa yang harus kulakukan, sampai kau datang mengetuk pintu dan mengajakku berpindah ke ruang duduk. Di sini kita sekarang, dengan cangkir-cangkir berisi teh yang dingin di atas meja, dan detikan jam penuh olok-olok di ujung sana.

Sekali lagi aku berusaha mendaratkan mataku pada benda-benda lain dalam ruangan ini, berharap aku tak perlu bertemu dengan matamu yang menerawang, berharap apa yang kulihat cukup untuk mengalihkan perhatianku dari dentangan yang kembali berbunyi, tiga kali, menunjukkan setengah jam lagi telah terlewati tanpa kita bertukar suara.

Ada jendela-jendela, hampir setinggi lis di bagian atas ruangan, dan gorden merah marun yang menggantung dari rell penuh ornamen disibak dengan apik ke sisi-sisinya. Aku tidak tahu banyak soal perpaduan warna, tapi gorden itu bisa terlihat serasi dengan karpet di lantai, yang merupakan percampuran antara hijau muda, sedikit biru gelap, serta banyak merah dan krem; motif tumbuh-tumbuhannya membentuk pola—wajik, atau apa pun itu. Sedikit banyak, aku jadi paham kenapa kebanyakan karpet di apartemen modern warnanya netral dan tidak jarang tanpa motif, mungkin orang kekinian lebih suka corak yang tidak akan menyakiti mata jika dipandangi lebih dari dua menit. Tatapanku naik, di atas kepala kita ada lampu kristal dipasang ke langit-langit. Aku tidak berlama-lama melihatnya, karena entah pikiran konyol dari mana, aku merasa lampu itu akan ikut bergoyang seperti pendulum jam yang bunyinya masih membuatku jengkel itu.

Kugeser lagi perhatianku, kali ini ke dinding ruangan yang tanpa pelapis, dibangun dari kayu cokelat elegan dan dipelitur halus. Di beberapa sisinya berdiri rak-rak, terisi penuh oleh buku-buku bersampul kaku yang dijilid benang; salah satunya sedang mendiami pangkuanku sekarang. (Hanya mendiami, tidak dibaca; sebuah perwujudan dari usahaku yang sia-sia untuk mengabaikan perasaan berat yang menggelayuti udara.) Bagian dinding yang lain tidak dibiarkan kosong, ada banyak lukisan, semuanya digantung dengan pigura berwarna emas—menggambarkan beberapa pertempuran Eropa terkenal, potret figur dalam sejarah, bahkan sekumpulan pemain orkestra. Namun yang paling menangkap perhatianku adalah lukisan seorang wanita dalam balutan kimono merah muda lembut yang ada di atas perapian (tepat berseberangan dengan jam yang detikannya terus menggangguku). Ia tersenyum dengan anggun, wajahnya dibingkai rambut cokelat kemerahan yang disanggul dan berhias bunga-bunga. Posenya sederhana, tapi aku mendapat kesan yang berbeda darinya; seakan ialah yang paling bersinar dan hidup dari semua lukisan yang ada di sini, seakan ia adalah pusat dan daya tarik utama dari ruangan ini sendiri. Garis muka wanita itu familier, dan aku menangkap kemiripannya dengan seseorang di kedua matanya yang berbinar cerdas, serta cara bibirnya melengkung yang berkesan tenang dan misterius.

Tanpa kusadari, kau telah kembali dari dunia yang hanya diisi oleh dirimu sendiri dan akhirnya bersuara, "Ya, itu mendiang ibuku, kalau-kalau kau penasaran."

Aku sontak melirikmu, agak terkejut, menaikkan kacamata, tidak yakin seberapa lama kau telah melihatku memandangi lukisan itu. "Dia mirip denganmu."

Kau hanya tersenyum, dengan cara yang persis seperti ibumu, dan aku mendapati perasaan asing menggelitik di sepanjang kaki, mengganjal dalam perutku. Bunyi jam kembali mengisi pendengaran ketika tidak ada satu pun dari kita yang berkata lagi. Canggung dengan cepat menyusul, bersamaan dengan dentangan jam—setengah jam lagi telah lewat—bergema, memantul, memenuhi ruangan, menyesakkan udara, memerangkap kita.

Kubiarkan mataku berlompatan lagi; ke guci-guci antik yang terebar di penjuru ruangan, vas-vas bunga, tempat lilin, patung-patung pualam—berbentuk orang-orang dan singa yang menatap dengan mata mereka yang kosong serta putih—satu set catur di meja yang lain, ukiran di kepala kursi, sulaman di bantalan sofa, hiasan di kaki meja, motif di tirai tipis transparan yang melindungi jendela, barisan kata-kata yang di bukuku yang sekarang bagai berlarian (padahal aku tidak menderita disleksia), bata yang menyusun bagian dalam perapian, tarian api yang membakar kayu—apa pun, apa pun untuk mengalihkan perhatianku darimu, dari matamu, dari perasaanku sendiri yang mungkin akan terlihat jika aku membalas tatapan itu.

"Ibuku dulu sering berada di ruangan ini," ucapmu, dan kupikir kau bakal memulai suatu kisah yang seharusnya tidak pantas didengar oleh orang sepertiku, orang luar sepertiku, "duduk menungguku selesai belajar, sambil membaca, kadang-kadang dia juga menyulam, atau malah hanya memandangi jendela kalau aku sedang latihan berkuda di halaman belakang." Caramu menatap berubah menjadi sesuatu yang tidak dapat kuartikan. "Dia selalu duduk, tepat di kursi yang sekarang kau tempati."

Aku sudah setengah jalan menuju berdiri. "Mu-mungkin aku harus pindah—"

"Tidak apa-apa, tetap di situ."

Aku duduk lagi, kaku. Pikiranku berlarian kembali.

Terkadang aku begitu ingin bertanya kenapa kau tidak pernah kembali ke rumahmu, padahal rasanya, masih tidak masalah jika kau tidak menyewa apartemen sendiri. Apakah itu karena budaya kita, saat anak yang telah dewasa harus hidup mandiri? Atau kau hanya ingin mengasingkan diri? Terkadang juga aku ingin bertanya, mengapa dekorasi di tempatmu minim dan cenderung bergaya modern, padahal—bisa dibilang aku cukup mengenalmu—selera musik, bacaan, makanan, dan senimu lebih cocok dengan tipe ruangan seperti ini. Apa kau terlalu sibuk dan malas untuk menambah dekor? Atau kau memang hanya tak menganggapnya penting? Kalau aku boleh sedikit kurang ajar dan menyimpulkan, apakah kembali ke sini membangkitkan terlalu banyak memori? Apakah ruangan ini terlalu banyak mengingatkanmu pada ibumu?

Pertanyaan di kepalaku hanya disambut detik-detik jam, yang masih penuh ejek, karena waktu abadi, sementara kita fana. Imajiku membuat jam tua itu hidup, bertransformasi menjadi sosok liar dengan selusin mata yang nyalang, lalu kedua jarumnya membengkok, membentuk seringaian, layaknya siap memangsa manusia-manusia yang menua. Aku berjengit di kursiku, dalam bayanganku sekarang ia berjingkrak-jingkrak di seberang ruangan, pendulum di dadanya terus berayun, seakan ingin menghipnotis, seakan ingin mengingatkan bahwa hidup tidak pernah pasti. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ibumu bisa tahan dengan jam itu, duduk berjam-jam di ruangan ini sambil dihantui oleh detikannya, bagaimana bisa ia tidak dibuat gila oleh dentangannya padahal baru duduk di sini sebentar saja aku sudah hampir senewen mendengarkan benda sialan itu. Setiap kali jam itu berbunyi, aku seakan melihat potongan memori yang bukanlah milikku. Ibumu, kau yang masih belia, senyum yang pernah ada di wajah kalian, tawa yang mungkin pernah mengisi ruangan dan rumah ini.

Aku tidak seharusnya berada di sini. Keputusanmu membawaku ke sini memang salah, dan aku lebih salah karena mengiyakan saja keinginanmu. Ruangan ini tidak seharusnya sesunyi ini sehingga aku terus-terusan mendengar jam itu. Kau tidak seharusnya sependiam ini. Aku seharusnya bisa menemukan hal lain yang lebih penting. Tidak pernah berpikir terlalu jauh seperti ini, tidak pernah juga aku merasa begitu terganggu hanya karena sebuah alat penunjuk waktu. Nyaris tanpa kusadari, tanganku naik dan melonggarkan kerah kemeja sedikit, mendadak aku sulit bernapas, mungkin agak terlalu berlebihan saja, tapi semakin aku memikirkan apa yang pernah kau alami, bagaimana perasaanmu, dan betapa aku tidak berdaya karena pada waktu itu aku belum ada di sana untukmu, rasanya sesak semakin menumpuk dalam dadaku.

"Midorima," tiba-tiba kau berkata, dan seketika dunia kembali normal. Tidak ada jam yang menandak-nandak di sisi ruangan. Tidak ada imajinasi liar yang memuakkan. Tidak ada apa pun yang dapat menyesakkan. Ketika kau bicara kau memang selalu memiliki sesuatu itu, yang membuat orang-orang mendengarkanmu, seperti dalam pertunjukan drama, segala hal lain menjadi gelap dan hanya kau yang dilimpahi lampu sorot. (Gelap seperti di duniaku, sementara satu-satunya jalan yang terang adalah jika aku melangkah ke arahmu.) "Tehnya dingin."

"Dari tadi," sahutku.

"Biar aku memintanya dipanaskan lagi."

"Tidak perlu."

Kau mengedip, kemudian memajukan duduk untuk meraih cangkir. Aku melakukan hal yang sama, sembari berhati-hati agar tidak menjatuhkan bukuku. Dalam keheningan sekali lagi, kita sibuk dengan minum masing-masing. Aku memerhatikan hingga ke rincian terkecil, bagaimana jari-jarimu memegang cangkir, bibirmu terbuka sedikit untuk menyesap teh, kelopak mata yang seperti terpejam karena melihat ke bawah dan ponimu yang jatuh dengan sempurna di atas mata, jakunmu yang bergerak saat kau menelan.

"Boleh aku tanya sesuatu?"

Manik-manik merahmu bergulir, menatapku. "Tentu."

"Kenapa kau memintaku untuk menemaniku ke sini?"

Aku menyesap lagi, kemudian meletakkan cangkirmu di meja disertai satu dentingan halus. "Apa aku perlu alasan untuk itu?"

"Yang jelas aku mau tahu."

Aku menyaksikan, sementara senyum tipis merayap ke bibirmu. "Karena aku tidak betah."

Alisku terangkat. "Tapi ini rumahmu."

Kau menoleh ke samping, aku tidak mau mengikuti arah matamu, tapi aku tahu kau sedang melirik lukisan ibumu. "Bagiku, yang membuat sebuah tempat menjadi rumah adalah orang-orangnya—individunya sendiri yang bisa membuat nyaman. Jadi hanya karena namanya 'rumah', bukan berarti aku akan betah tinggal di sini."

"Begitu." Aku rasa aku paham, bukan masalah ruangnya, tapi perasaannya. Kubayangkan situasiku, meski sekarang aku tinggal di apartemen sendiri sekarang, tetap saja rasanya selalu pulang jika aku mendatangi rumah orangtuaku, tidak pernah sekadar berkunjung. Tanpa mereka di sana, mungkin bangunan itu hanya akan menjadi tempat aku pernah menghabiskan masa kecil, namun bukan rumah, tidak akan pernah lagi menjadi rumah.

Kau meluruskan pandangan, mata kita kembali bertemu. "Apa sudah cukup jelas bagimu?"

"Belum." Aku meletakkan cangkir. "Aku masih tidak mengerti peranku di sini."

Lalu kau tertawa pelan, dan aku tidak mengerti di mana letak lucunya. Aku tahu kalau leluconmu itu kebanyakan buruk, entah karena gurauanmu terlalu tinggi sehingga orang sulit mengerti atau memang selera humormu saja yang parah, tapi aku lebih tidak mengerti lagi bagaimana kau bisa tertawa di saat-saat yang paling tidak tepat. Seperti sekarang.

"Kau menangkap inti perkataanku tadi, kan, Midorima?" katamu, kubalas dengan anggukan. "Aku tidak pernah mau kembali karena ini sudah bukan rumahku lagi. Tidak ada orang yang membuatku nyaman di sini." Matamu berkilat jenaka. "Tapi kau, membuatku merasa nyaman. Jadi kupikir kalau aku harus tinggal di sini beberapa lama, maka aku perlu membawamu agar bisa betah."


[1] Novel karya Haruki Murakami.

[2] Kyu-Iwasaki-tei (Old Iwasaki House), bekas estate keluarga Iwasaki, pendiri Mitsubishi.