Cerita oleh: insa123
Don't dare to copy paste my work!
Jimin merasa lamban, lemas, tak nyaman, sakit, tapi ia harus bergerak. Mereka semua harus bergerak. Pesawat akan berangkat satu jam lagi dan mereka bahkan belum meninggalkan dorm. Aku benci seperti ini, pikir Jimin. Kuharap-
"Jimin-ah, kau menyimpan tiketmu?" Yoongi bertanya lembut. Ia tahu anak itu merasa tersiksa, mungkin sejak mereka melakukan latihan selama lima jam semalam, well, jika kau menganggap pukul 4 malam, walau itu sudah hampir fajar. Tapi hyung, matahari belum menyingsing terbit, masih terbilang gelap- Dan Jimin, Jimin yang manis, mendesak untuk tetap tinggal di ruang latihan bersama yang lain hingga selesai bahkan kala ia sudah seperti benar-benar menempel dengan koreografinya dari awal karena hyung, bagaimana jika kau lupa gerakan berikutnya?
Jimin tersenyum lemah, melambaikan tiketnya dengan gerakkan pelan. Matanya menyusul membentuk lengkung akibat senyum lemah tadi, lembut, tapi cukup untuk membuat radiasi kuat seperti yang Yoongi pikirkan- sungguh itu tampak berseri seperti bintang terang, atau sebuah meteor yang jatuh tepat menyerempet urat lehernya, tapi sungguh jangan, jangan, karena setelahnya ia bisa mati. Dan senyum Jimin tidak akan membunuhnya, setidaknya walau tetap dapat membunuh tidak dengan jalan seperti itu. Tidak. Senyum Jimin itu seperti penenang yang bisa menyingkirkan banjir air mata akibat pemakaman orang tuamu, atau sejenis penghilang hela nafas berat setelah mengalami hari yang panjang penuh kerja keras, sejenis pengahantar tidurmu, cukup pikirkan alasan-alasan itu.
"Hyung?" Jimin bergerak memberi kode supaya Yoongi mau mendekat. Jimin yang belum bangkit meninggalkan tempat tidur walau Yoongi sangat yakin jika pria itu sudah bangun awal untuk mandi dan mengepak barang-barangnya siap dibawa, mereka memiliki pertunjukan di Paris untuk festival musik luar negeri kata Yoongi walau ia sendiri sedikit tidak yakin-
"Hyung," Jimin menyerukan namanya lagi. Dia terlihat sangat lemah, Yoongi membatin seraya berjalan mendekati kasur susun mereka, Jimin di atas, Yoongi di bawah, namun ia mengijinkan Jimin tidur di tempatnya kemarin, well, karena mereka baru selesai pukul 4 pagi, dan sekarang tinggal sedikit lagi waktu yang sebelum jam 8, astaga. "Pukul berapa kau mandi dan membereskan tasmu, Jimin?" Yoongi melempar tanya. Ia mengambil tiket Jimin untuk digabungkan bersama milik anggota lain. "Aku tidak yakin, 7? Mungkin sebelum itu…" Jimin bergumam. Ia bangun perlahan, tangannya memegang pinggiran tempat tidur. Yoongi dengan gesit membantu sosok itu hingga melingkarkan tangan pada tengkuk Yoongi, sementara satu tangan Yoongi yang lain dengan erat menyangga pinggang Jimin, kikuk mencoba membantu Jimin supaya bisa berdiri.
"Hyung, aku masih bisa berjalan." Jimin tertawa pelan, matanya masih saja membentuk senyum. Oh Tuhan, tolong berhenti.
"Tidak, pergelangan kakimu terkilir ingat? Dan Seungduk hyung secara khusus berkata pada kami untuk mengurus dirimu hingga kita sampai di sana, Paris, untuk pergi melakukan check up. Konser masih empat hari lagi, jadi kau bisa membaik, kuharap." Jimin tidak mengatakan apapun lagi walau matanya masih melengkung lagi dengan alasan berbeda.
"Hyung, sakit-"
"Yoongi-ah, apa kau mendapatkan tiket milik Jimin- Oh ya Tuhan, kau baik-baik saja Jimin?" Seokjin tergesa memasuki ruangan dan berdiri di sebelah Jimin. Yoongi melihat kepanikan pada Seokjin dan Seokjin yang panik bukanlah kabar bagus. "Aku sudah membantunya, hyung." Yoongi membisik. "Kita hanya perlu mencarikan Jimin sebuah kursi roda atau sesuatu nanti di bandara karena kupikir aku tak bisa selalu menggendongnya." Yoongi merasakan cubitan kecil di telinga kanannya segera dan mendengar kekehan Jimin, "Hyunggggg, siapa yang bilang aku ingin digendong olehmu," Jimin merengut. Tidak, tidak, pout justru lebih parah dari senyum.
"Well, kau terlalu berat untukku." Yoongi mengejek, ia merasa malu karena itu. dan Seokjin tertawa.
"Uh, aku mendengar Namjoon menelepon penjaga untuk menyiapkan kursi roda di pintu masuk, jadi kau tidak perlu terlalu khawatir." Seokjin makin mengeratkan tangannya pada pinggul Jimin menyentuh tangan Yoongi yang justru makin mengerat di tempatnya. Jimin bersandar nyaman di tubuh Seokjin.
Baunya seperti pancake.
Jimin kira ia tengah menghirup bau semacam pria sejati pada leher Seokjin, membuat Seokjin yang sedikit membungkuk demi menyamakan tingginya dengan Jimin terlihat sedikit bingung akibat hirupan tiba-tiba. Mata Jimin mengerut, dengan tarikan nafas yang makin melambat tiap detiknya. Itu pasti sangat sakit, Yoongi berpikir dengan dahi menyatu. Namun selanjutnya, Yoongi melihat tangan Jimin yang menggenggam putus asa pada kaos Seokjin, dengan hidung Jimin yang hampir terlalu nyaman bertahan pada leher Seokjin tepat di bawah selangka, tangan Jimin yang lain mengerat di dada Seokjin, terlalu dekat hingga Yoongi kira ia tidak mendengar apa yang bocah itu katakan.
"Jin hyung, aku lapar."
Jimin bertingkah begitu hanya untuk mengatakan itu.
-TBC-
Siapa yang gemas, angkat suara? Kita sama XD
Jimin bottom sepi banget akhir-akhir ini.. Ke mana para penulis? Aku frustasi, serius. Ada yang sama? Ayo pelukan~
Btw, kalau responnya bagus, aku lanjut. Makasihh~
