Diingatkan! Kisah ini hanya untuk 18 ke atas! Mengandung unsur rape, BDSM, bestialty, ryona dan hal ekstrem lainnya! Kalau pembaca masih di bawah umur, silahkan klik tanda 'x' di tab browser pembaca! Jika ingin tahu apa itu 'ryona' coba cek di Google. Sekali lagi saya ingatkan kisah ini untuk 18 ke atas! Terima Kasih :)

Karakter di fanfic ini adalah milik dari anime One Piece dan ada sebagian yang Saya buat sendiri untuk mendukung cerita.


1. Logue Town dan Rahasia di East Blue

"Kurasa sudah saatnya aku meninggalkan Weatheria." Kata Nami sambil mengurai rambutnya yang kini sudah semakin panjang setelah satu setengah tahun terpisah dengan kru Topi Jerami.

"Apa kau tidak ingin tinggal lebih lama lagi?" Tanya Haredas yang sedang berdiri di ambang pintu kamar Nami.

"Ilmu yang kupelajari di sini kurasa sudah cukup. Aku ingin segera mempraktikkannya. Lagipula aku sudah sangat siap."

"Errmm.. Tapi..."

Nami berbalik ke arah Haredas. "Emm.. Bisakah kau berbalik sebentar, aku tidak nyaman dengan pakaian ini."

"Ah! Oh, baiklah... Baiklah."

Setelah Haredas membalikkan badannya, Nami melepaskan pakaiannya dan menggantinya dengan sebuah bra berwarna hijau. Ia juga mengganti celana pendeknya dengan celana jins panjang yang ketat.

"Selesai!"

Haredas membalikkan badannya dan terkejut dengan penampilan Nami.

"A-apa kau yakin berpakaian seperti itu?" Haredas menelan ludahnya melihat lekukan tubuh Nami yang telah berubah drastis sejak pertama kali bertemu.

"Eh? Seperti ini? Memangnya kenapa?" Tanya Nami sambil memandangi dirinya di cermin.

"Bukankah itu sedikit terbuka? Ermm, bukan, bukan, bukan, itu sudah sangat terbuka!"

"Setidaknya ini menutupi puting dan vaginaku." Kata Nami dengan cuek. "Lagipula, ini sangat modis. Yaah~ memang bra ini agak kekecilan untuk payudaraku, tapi aku suka coraknya."

"Terserahmu saja." Kata Haredas dengan nada kesal.

"Hei~ jangan seperti itu. Aku akan menagih siapa saja yang berani melihat tubuhku terlalu lama hehe." Kata Nami menghibur Haredas.

Setelah mengemas seluruh barangnya, Nami memandang ke arah Haredas yang diam dari tadi dan mendekatinya.

"Ada apa, Haredas?" Tanya Nami.

"Ti-tidak ada!" Kata Haredas dengan gugup karena payudara Nami menggantung tepat di depan wajahnya. Payudara besar itu bagaikan buah semangka yang kenyal di mata Haredas. Ia mengalihkan perhatiannya ke mata Nami, "Aku tidak menyangka sudah satu setengah tahun sejak kau datang kemari. Semua terasa begitu cepat berlalu kalau kau sudah tua ya."

Tanpa mengatakan apa-apa, Nami memeluk Haredas.

"Eh? EHH!?"

Haredas sangat terkejut begitu Nami memeluknya. Tubuhnya yang lebih pendek dari Nami membuat kepalanya terbenam di antara kedua payudara Nami.

"I-ini dada milik Nami... Tidak kusangka seempuk ini..."

"Haaah~ Aku pasti akan sangat merindukanmu Haredas," Kata Nami sambil mengeratkan pelukannya pada kakek tua itu. "Maaf, aku tidak bisa memberimu hadiah perpisahan apa-apa."

"Mmppfhh! Mmppfhh!" Haredas tidak dapat berkata apa-apa karena wajahnya masih terbenam di payudara Nami.

"Oh! Maaf, maaf." Kata Nami sambil melepaskan Haredas.

"Fuaah! Hah.. Hah..." Haredas berusaha mengambil nafas, wajahnya juga memerah karena bersentuhan langsung dengan payudara seorang wanita yang belum pernah ia rasakan.

"A-aku tidak perlu hadiah a-apa-apa..." Kata Haredas setelah mengatur nafasnya.

"Ehhh!? Benarkah? Kurasa aku harus memberimu sesuatu yang pantas, tapi apa?"

Nami melihat ke seluruh ruangan, tapi ia tidak menemukan apapun. Kini matanya tertuju pada Haredas. Lebih tepatnya, ke sebuah tonjolan yang sangat mencolok dari balik jubah panjang kakek tua itu.

"Hmm~ Sepertinya aku tahu apa yang harus kuberikan..."

Nami berjalan mendekati Haredas dan berjongkok tepat di depan tonjolan yang ada di selangkangan Haredas.

"Hei, apa ini Haredas?" Goda Nami sambil memperhatikan tonjolan itu, "Apa kau terangsang karena melihatku?"

"Ti-tidak! Ma-ma-mana mungkin aku terangsang me-melihat tubuhmu!"

"Oh benarkah~ Atau mungkin karena payudaraku?" Kata Nami sambil memainkan kedua payudaranya dengan tangannya.

"Ti-ti-ti-tidak! Ka-kau tidak seperti biasanya, a-a-ada apa denganmu Nami?" Keringat mulai bercucuran di wajah Haredas karena situasi yang tidak pernah ia bayangkan seperti ini.

"Ehhh~ Kau tidak pandai berbohong ya?" Nami berdiri, "Baiklah, sepertinya hadiah perpisahanmu adalah sebuah hukuman~"

"Hu-hukuman?"

"Ya~ Hu-ku-man~"

Setelah berkata itu, Nami memegang tonjolan itu dan menariknya.

"Aa-aah! Na-Nami!"

Tanpa menghiraukan protes Haredas, Nami menariknya ke arah tempat tidur. Ia melepaskan cengkeramannya dari tonjolan itu dan mendorong tubuh Haredas hingga ia jatuh tertidur di atas kasur. Nami lalu mengunci pintu kamarnya. Ia lalu berjalan pelan ke arah Haredas.

"Kau selalu melihat payudaraku kan~" Kata Nami dengan nada menggoda. Ia kini mulai merangkak di atas tempat tidur dan mendekati Haredas.

"Ti-tidak!" Haredas memalingkan wajahnya dari payudara Nami yang sudah berada di dekatnya.

"Hei~ Jujurlah, kau menginginkannya, ya kan?" Nami mulai memainkan payudaranya dengan tangannya dan menempelkannya di kepala Haredas, "Apa kau tidak ingin memainkannya? Oohh~ ini kenyal sekali~ Lihatlah Haredas, kau bisa melihat putingku sudah mengeras~"

Tubuh Haredas gemetaran mendengar godaan dari Nami. Pikirannya menjadi kacau, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tidak pernah ada wanita yang menggodanya seperti ini. Ini kesempatan sekali seumur hidup baginya.

"A-aku harus melakukannya! I-ini kesempatanku."

Haredas membalikkan kepalanya.

"YA! AKU MAU MEMAINKANNYA!"

Dengan cepat, Haredas memeluk tubuh Nami dan membenamkan wajahnya di payudara besar itu.

"Ahhh~ Haredas~"

Nami yang terkejut dengan gerakan tiba-tiba Haredas, mengerang keenakan ketika wajah Haredas terbenam di antara kedua payudaranya. Nami melepaskan pelukan Haredas. Ia memandang wajah kakek itu.

"Biarkan aku yang bekerja." Kata Nami.

Ia merangkak ke arah tonjolan di selangkangan Haredas dan menyingkapkan jubah yang dipakainya.

"Ah~ Tak kusangka penismu sebesar ini Haredas~" Kata Nami yang terkejut melihat penis dari seorang kakek tua yang mengacung tegak sepanjang 18 cm.

"Karena kau suka dengan payudaraku, bagaimana kalau aku menjepitnya di sini~"

Nami menjepit penis kakek tua itu di tengah payudaranya. Penis itu menyelip di balik tali bra Nami. Ia bisa merasakan penis itu berkedut-kedut di payudaranya. Kepala penis itu muncul di antara payudara Nami dan tepat di depan mulutnya.

"Aahh~ Panjang sekali~"

Dengan perlahan, Nami menggerakkan payudaranya itu untuk mengocok penis Haredas. Dengan gerakan naik turun, payudara besar itu membuat tubuh Haredas menggeliat keenakan.

"Tidak kusangka kau menyimpan benda sepanjang ini dibalik jubahmu~"

Nami mulai menjilati kepala penis itu. Ia juga menjilati bagian-bagian sensitif dari penis itu tanpa menghentikan gerakkan payudaranya.

"Guh... Ugghh... Na-Nami... Ini terlalu... Enak..." Haredas mengerang keenakan karena mulut Nami yang hangat dan basah itu terus mengulum penisnya yang belum pernah tersentuh wanita sama sekali.

"Ummmnccchhh... Mmmmnnhhh... Mmmnnnhhh..."

Nami terus mengulum penis kakek tua itu dan memberikannya kenikmatan dengan gerakan payudaranya.

"Ogghh... Nami... Sesuatu akan keluar..."

"Mmmnncchh... Keluarkan... Mmmpphh.. Saja di mulutku..."

Nami mempercepat gerakan payudaranya. Ia juga menghisap kepala penis Haredas sekuat tenaga. Tubuh Haredas mulai menggeliat, ia seakan terbang begitu Nami mempercepat gerakannya.

"Ohhhh! Ini dia! Nami! Ohhhh!" Haredas menekuk tubuhnya bersamaan dengan keluarnya cairan putih kental dan hangat di mulut Nami.

"Mpppfhhh! Mmppfhh~"

Nami merasakan sperma Haredas mengalir di dalam mulutnya. Ia mengumpulkan semua cairan itu di mulutnya tanpa membiarkannya jatuh setetes pun. Walaupun seperti itu, penis Haredas sepertinya tidak menunjukkan tanda ingin berhenti. Nami yang merasa mulutnya sudah penuh tidak mampu menampung sperma Haredas yang masih menyembur keluar.

"Mmmppffhh! Mmmmpppfhh!"

"Ooogghh... Ogghhh..."

Haredas menikmati semua ini karena ini kali pertamanya ia ejakulasi dalam seumur hidupnya. Ia mengeluarkan semuanya tanpa melihat Nami yang sedang kewalahan menahan semua sperma yang kini mengalir keluar dari sela-sela bibirnya.

"Gulp... Gulp... Mmmpfhh... Gulp... Mmmffpphh..."

Karena tidak sanggup menahannya, Nami akhirnya membiarkan beberapa sperma itu mengalir keluar dan berjatuhan di payudaranya. Bagaikan meminum jus, Nami menelan semua sperma yang keluar dari penis tua Haredas hingga tetesan terakhir.

"Fuuhh... Haaaahh~" Setelah menelan semua sperma itu, Nami mengeluarkan penis Haredas dari mulutnya dan melepaskannya dari jepitan payudaranya.

Haredas merebahkan tubuhnya dengan lemas, nyawanya serasa melayang karena kenikmatan yang diberikan oleh Nami padanya. Penis kakek tua itu terlihat layu dan tidak bertenaga lagi. Ia seakan-akan masih syok dan terkejut dengan apa yang terjadi padanya.

"Hihihi~ Bagaimana perasaanmu Haredas? Ini pertama kalinya bagimu mendapatkan 'pelayanan' dari seorang wanita kan?"

Nami mulai berdiri di samping tempat tidur.

"Haaah~ padahal aku tidak ingin sampai terkena cairan ini di tubuhku, tapi aku kagum, kau bagaikan hewan buas, kau sanggup mengeluarkan sebanyak ini." Kata Nami sambil mengambil sisa sperma Haredas yang menetes di payudaranya dengan jarinya.

"Hhmmpp... Hhhhmmmphh... Enak sekali..." Nami menjilati jari-jarinya dan menelan semua sperma itu, "Kau tahu? Ini juga pertama kalinya bagiku menghisap penis seorang kakek tua sepertimu dan kau adalah orang pertama yang mengeluarkan sebanyak ini!"

Nami mengambil tisu dan mengelap payudaranya yang masih agak lengket karena sisa sperma Haredas.

"Jangan salah sangka, ini bukan berarti aku membiarkan orang lain menikmati tubuhku dan menjadi wanita murahan, aku melakukannya karena ini~"

Nami meraba-raba jubah Haredas dan mengambil uang yang ada di dompetnya.

"Waah~ Tidak kusangka kau punya uang sebanyak ini. Oh iya, biar kuberitahu, aku ini masih perawan, aku hanya menghisap penis mereka dan membiarkan mereka meraba-raba tubuhku, aku juga tidak keberatan mereka melihatku telanjang, asalkan mereka mau membayar hihihi~" Nami menaruh uang Haredas di dalam tasnya, "Maafkan aku Haredas, aku sudah terbiasa melakukan ini."

Nami mengemas barang-barangnya dan melangkah mendekati Haredas.

"Eeehh!? Pantas saja kau dari tadi diam, ternyata kau sudah pingsan. Yaaah~ mau bagaimana lagi, kau sudah tua, setidaknya aku bisa memberikan hadiah perpisahan terbaik untukmu. Selamat tinggal~"

Nami mengambil kunci pintu kamar itu dan membuka pintunya.

"Kejutan!"

SPLURT! SPLURT! SPLURT!

Ia terdiam begitu seluruh tubuhnya disirami sperma oleh kakek-kakek tua yang sedari tadi melihatnya memuaskan Haredas. Terlihat ada lima kakek ilmuan tengah mengocok penis mereka masing-masing dan mengarahkan semburan spermanya ke arah Nami. Tubuh Nami kini dipenuhi lagi oleh sperma. Tidak ada yang luput mulai dari perut, payudara, hingga hampir menyentuh mulutnya.

"Kejutan heh...?" Bisik Nami pelan sambil mengusap sperma di dagunya dengan jari dan menjilatinya.

"Ya! Ini kejutan karena... kami... ehrrmm... Nami... Kau tidak marah kan..?"

Nami terdiam dan mulai tersenyum perlahan sambil memandangi kelima ilmuan itu dengan tatapan yang dingin.

"Tidak, aku tidak marah..."

"Syukurlah kalau begi—"

"Masing-masing dari kalian WAJIB membayar 100.000 Beli..."

"Eh?"

"Kalian mendengarku kan? Aku tidak perlu mengulanginya lagi." Nami bagaikan mengeluarkan aura 'iblis' dan mulai mengepalkan tangannya, bersiap mengahajar kelima ilmuan itu.

"Ta-tapi—"

KREK! KREK!

Begitu mendengar suara dari jari Nami, kelima kakek ilmuan itu buru-buru mengeluarkan dompetnya dan memberikan 100.000 Beli pada Nami.

"Nah~ Begini lebih baik~" Tiba-tiba aura suram Nami menghilang bagaikan tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

Ia mengusap sperma yang bertebaran di tubuhnya dengan tangan dan menelan semuanya.

"Ahhh~ Aku akan merindukan kalian semua..."

Setelah mengucapkan salam perpisahan, Nami meninggalkan Weatheria dan menuju lautan.

Di suatu tempat di Lautan East Blue...

"Kapten, sebenarnya apa yang kita tunggu di sini?"

"Hmm? Sebenarnya aku juga belum tahu, tapi nona ini memaksa kita untuk menunggu di sini. Oh, itu dia."

Seorang wanita muda berpakaian serba hitam berjalan di atas kapal. Ia membiarkan area dadanya tetap terbuka dan memamerkan belahan payudaranya. Rambut pirangnya yang dibiarkan terurai, melambai dengan anggun karena tiupan angin. Suara dari sepatu hak tingginya yang terdengar ringan, bagaikan musik yang mengiringi gerakan tubuhnya.

"Sebentar lagi kau akan melihatnya, Kapten Alvida." Kata wanita sambil membenarkan posisi kacamatanya dengan tangannya.

"Aku penasaran, apa yang kau cari sampai perlu menyewa 20 orang dari kami, Nona Kalifa?" Kata Alvida sambil menenteng gada di pundakya, "Apakah ini tentang harta? Atau mungkin seseorang?"

"Mungkin keduanya."

"Keduanya? Hmm.. Pantas saja kau berani membayar banyak."

Kalifa tertawa kecil.

"Jadi, ada apa tentang harta ini? Apa hubungannya dengan orang yang kita cari?" Kata Alvida penasaran.

"Apa kau lihat pulau itu?" Kata Kalifa sambil menunjuk ke arah lautan.

"Hmm?" Alvida mencoba melihat ke arah pulau yang ditunjuk oleh Kalifa, "Oh, aku melihatnya. Kurasa itu Goat Island, markasku dulu. Kau punya mata yang tajam."

"Benar, itu adalah Goat Island."

"Jadi, ada apa di pulau itu?"

"Apa kau punya peta Goat Island?"

Alvida menyuruh salah satu anak buahnya untuk mengambil peta itu dan memberikannya ke Kalifa. Kalifa membentangkan peta itu di atas barel.

"Kau lihat hutan ini? Di sebelah utara hutan ini tersembunyi sebuah artefak."

"Artefak?" Alvida sedikit terkejut mendengar hal itu.

Kalifa mengangguk, "Artefak itu dilindungi oleh hewan-hewan yang ada di sana. Kita bisa mengalahkan hewan-hewan itu dan mengambilnya dengan mudah, tapi ada kutukan bagi siapa saja yang menyentuh artefak itu pertama kali."

"Kutukan dari sentuhan pertama?"

"Benar."

"Hmmm... Ini menarik, jadi apa yang membuatmu ingin mendapatkan artefak ini?"

Kalifa mengalihkan pandangannya ke arah lautan.

"Harga artefak ini sangat mahal, legenda mengatakan kalau artefak ini memiliki harga seperlima dari One Piece. Jika aku bisa mendapat artefak ini, aku bisa membersihkan namaku dan mengembalikan harga diriku di Cipher Pol."

"Kau benar-benar wanita yang menarik, aku menyukainya. Jadi, apa rencanamu untuk mendapatkan artefak ini? Aku tidak ingin mengorbankan salah satu anak buahku, mereka berharga bagiku dan juga, kami tidak dibayar untuk menjadi wadah untuk kutukan itu."

"Tenang saja." Kalifa tersenyum, "Bukankah aku mengatakan kalau aku mencari seseorang? Ya, orang ini akan kugunakan sebagai wadah untuk menampung kutukan itu. Jadi, rencanaku adalah, kita biarkan orang ini mengetahui berita tentang artefak ini dan mengambil artefak itu. Lalu kita hanya tinggal menunggu sampai ia terkena kutukan itu dan kita tinggal merebut artefak itu darinya."

"Ide yang sederhana, tapi mematikan. Jadi, siapa orang ini?" Tanya Alvida.

Kalifa mengeluarkan sebuah gulungan dari balik pakaiannya. Ia membuka gulungan itu dan memperlihatkan foto wanita berambut jingga memakai bikini dengan pose yang menggoda.

"Ooohh.. Nami si Kucing Pencuri."

Semua kru kapal Alvida yang semuanya laki-laki, mengerumuni foto buronan itu.

"Kapten! Dia yang pernah mencuri harta di kapal kita dulu saat di Goat Island!" Kata salah satu kru.

"Itu Benar!" Sahut yang lain.

"Ayo kita beri dia pelajaran!"

"Tenanglah! Kita harus tetap fokus pada keinginan klien kita." Alvida menenangkan krunya.

Kalifa memperbaiki posisi kacamatanya dan tertawa kecil, "Sebenarnya aku ingin bekerja sama dengan kalian, tentu saja hal ini di luar kontrak kita, kalau kau menyetujuinya."

"Kau bilang ini di luar kontrak, apa yang membuatmu yakin kalau kita akan membantumu?" Tanya Alvida dengan tenang.

Kalifa tersenyum, "Kau bilang, Nami pernah mencuri dari kapalmu kan?"

"Benar, sekitar dua tahun yang lalu."

"Dia mencuri hartamu, itu tidak sebanding denganku." Kalifa terdiam sebentar, "Dia mencuri pekerjaanku, harga diriku, juga mempermalukanku. Aku ingin dia merasakan hal yang sama."

"Itu saja? Sebenarnya aku tidak terlalu peduli dengan hartaku yang dulu. Mungkin anak buahku yang geram dengan perbuatannya, karena itu harta mereka. Tapi aku sama sekali tidak masalah dengan itu."

"Tidak, tidak hanya itu. Bagaimana kalau kita membagi hasil dari artefak itu?" Senyum Kalifa semakin melebar.

"Hmmm.. Ini semakin menarik..."

"Harga dari artefak itu seperlima dari One Piece. Kita bisa membaginya dengan rata."

"Membagi rata?" Tanya Alvida kebingungan.

"Ya dengan rata. Kau bisa mengambil setengahnya. Aku tidak terlalu peduli dengan uang, aku hanya ingin mendirikan organisasiku sendiri dan mengumpulkan orang-orang dengan uang itu. Tidak perlu uang yang banyak untuk melakukan hal itu."

"Setengahnya ya..."

"Dan juga, itu semua di luar kontrak kita. Jadi itu murni milikmu."

Alvida semakin tertarik dengan tawaran Kalifa. Dengan desakan dari para krunya, Alvida menyetujui hal itu.

"Lalu bagaimana dengan kami?" Tanya salah satu kru, "Kami ingin harta kami yang dulu kembali."

"Kami juga ingin sebagian dari artefak itu." Tambah yang lain.

"Fufufu... Tenang, aku sudah mengatur hadiah untuk kalian semua. Sepuluh persen dari bagianku akan kubagikan untuk kalian." Kata Kalifa dengan tenang.

"Benarkah?"

"Kurasa itu adil."

Semua kru menyetujui hal itu.

"Juga..." Kalifa melanjutkan kata-katanya, "Kalian akan mendapat bonus jika berhasil melakukan rencana ini. Kalian tidak perlu tahu bonusnya apa untuk sekarang, lakukan saja tugas kalian dengan benar."

"Baiklah, kalau begitu kita sudah sepakat." Kata Alvida sambil menyodorkan tangannya pada Kalifa.

Kalifa tersenyum dan menjabat tangan Alvida.

Nami meninggalkan Waver-nya di dekat dermaga. Ia berjalan ke pintu masuk Logue Town.

"Ahh~ Sudah lama sekali ya." Nami memasuki kota itu dan melihat banyak sekali perubahan di sana, "Kota ini terlihat lebih bebas sekarang."

Benar saja, sejauh ini Nami hanya melihat beberapa anggota Angkatan Laut berpatroli di kota itu. Namun, mereka terlihat tak peduli dengan orang-orang di sekitar. Mungkin ini dampak dari kejadian di markas besar Angkatan Laut dan kepindahan markas mereka New World, sehingga pengawasan di daerah sekitar East Blue tidak begitu ketat.

Hal ini menguntungkan para bajak laut yang melakukan transaksi gelap di kota ini. Mulai dari senjata dan buah setan buatan, mereka bebas melakukan transaksi dengan resiko tertangkap lebih kecil dibanding tempat lain. Ini juga menjadi penyebab utama banyaknya anggota Angkatan Laut yang menerima uang suap dari bajak laut.

Semenjak Smoker mendapat kenaikan pangkat, Angkatan Laut Logue Town yang dulu tidak pernah membiarkan satu bajak laut pun lolos, kini berubah 180 derajat. Tapi tetap saja, para penduduk kota ini juga mendapat keuntungan, pembangunan kota menjadi lebih pesat. Para penduduk kota dan bajak laut sudah berjanji tidak perlu ada konflik dalam bertransaksi di kota ini, mereka tidak mau memancing perhatian Angkatan Laut dan memusatkan perhatiannya ke kota ini lagi.

Walaupun kota ini sudah lebih maju daripada yang dulu, tapi tetap saja ada tempat-tempat kumuh yang tersisa di pinggiran kota. Tempat itu adalah sarang dari bajak laut dan angkatan laut memuaskan nafsu mereka. Uang, minuman keras, dan pelacur sudah menjadi hal yang biasa di sana.

Nami yang melewati keramaian kota itu, memutuskan untuk berbelanja beberapa pakaian di butik.

"Ayolah, berikan aku diskon~ lima puluh persen saja~" Nami memohon kepada penjaga butik itu.

"Ti-tidak bisa nona, diskon itu terlalu banyak..." Kata pria yang bekerja di butik itu ketika melihat tumpukan pakaian yang akan dibeli oleh Nami.

"Haah~ Apa kau tidak ingin melihat gadis manis ini memakai pakaian yang bagus itu?" Nami mulai mendekatkan tubuhnya ke pria itu dan menggoyang-goyangkan tubuhnya hingga payudaranya juga ikut bergoyang.

"No-nona kau terlalu de-dekat!" Pria itu terlihat sangat gugup ketika melihat payudara Nami yang tinggal sedikit lagi menyentuh dirinya, "A-aku tetap tidak bisa memberikan diskonnya!"

Nami mendengus kesal dan akhirnya menyerah. Ia memutuskan untuk membeli beberapa pakaian dan membayarnya. Ia membanting pintu butik itu dengan marah. Tapi, saat di luar butik, ia mengeluarkan sebuah dompet dari kantong belakang celananya.

"Setidaknya aku mendapatkan dompetnya~"

Ia membuka dompet itu dan mengambil uangnya. Ia mendapat sekitar 400.000 Beli dari dompet itu.

"Banyak sekali!" Kata Nami terkejut melihat jumlah uang itu, "Maafkan aku, ini sudah jadi kebiasaan~"

Nami kembali berkeliling di Logue Town, ia memutuskan untuk beristirahat di sebuah bar di pusat kota. Di dalam bar itu, terlihat banyak wanita dan pria saling menikmati waktu mereka. Tidak jarang ada bajak laut dan angkatan laut saling berbicara satu sama lain, entah karena mereka teman lama atau hal yang lainnya.

Nami duduk di depan meja bartender dan memesan minuman.

"Kelihatannya kau menikmati waktumu di Logue Town, Nona." Kata bartender yang sudah tua itu.

"Ya, aku sangat menikmatinya." Nami menaruh barang belanjaannya di samping kursinya, "Sudah lama aku tidak ke kota ini."

"Ini minumanmu, selamat menikmati."

Nami meminum minuman yang ia pesan. Rasa hausnya kini sudah hilang, minuman itu bagaikan nafas tambahan baginya. Ia menikmati musik yang disajikan oleh bar itu. Rasa lelahnya kini hilang secara perlahan karena alunan musik itu.

"Aku pesan satu bir dengan gelas besar,"

Nami menoleh ke sebelahnya dan melihat seorang pria duduk memesan minuman.

"Segera, Tuan."

"Hmmm.. Nona, apa kau menunggu seseorang?" Kata pria itu mencoba untuk ramah.

Nami bisa melihat kalau orang itu adalah seorang bajak laut. Namun matanya tidak menunjukkan kalau dia tidak ingin mencari masalah, tidak di bar ini. Nami meningkatkan kewaspadaannya.

"Tidak, aku tidak menunggu siapa-siapa." Jawab Nami.

"Ini pesananmu, Tuan."

"Ah, terima kasih." Pria itu meminum birnya, "Kulihat barang belanjaanmu banyak sekali."

"Aku memang hobi berbelanja."

"Bukankah itu hobi yang boros?" Pria itu kini tersenyum, "Aku melihatmu mencopet pekerja butik itu."

Nami terkejut mendengar hal itu, tapi ia menyembunyikan rasa terkejutnya agar pria itu tidak curiga padanya.

"Apa kau punya bukti?" Tantang Nami.

"Aku tidak punya, lagipula aku tidak akan melaporkanmu pada siapapun. Kau tahu, kalau kau memang butuh uang, aku bisa memberitahumu beberapa informasi."

"Aku tidak butuh itu." Kata Nami dengan cuek.

"Well, kalau begitu. Bartender, kemari sebentar."

Bartender mendatangi pria itu.

"Ada yang bisa kubantu, Tuan?"

"Apa kau tahu tentang artefak itu?"

"Ah, iya, artefak tua yang dijaga oleh—"

"Sst! Jangan keras-keras, Nona ini bilang dia tidak ingin informasi."

"Maaf tuan. Aku pernah mendengar tentang artefak itu." Kata bartender itu dengan pelan.

Nami yang semakin penasaran, mencoba mendengar apa yang dibicarakan kedua orang itu. Ia memfokuskan pendengarannya pada mereka.

"Well, Nona, kau kelihatannya tertarik dengan informasi ini. Aku akan memberitahumu sedikit. Di East Blue, terdapat sebuah artefak tersembunyi, artefak itu memiliki sejarah yang kelam. Karena sejarahnya itu, artefak itu memiliki harga yang sangat mahal. Itu saja yang bisa kuberitahu padamu."

"Hmp! Aku tetap tidak tertarik." Kata Nami.

"Dia tidak berbohong Nona, rumor yang beredar mengatakan kalau artefak itu berharga seperlima dari—"

"Sst! Cukup sampai disitu." Pria itu menghentikan kata-kata bartender.

"Seperlima dari apa?" Nami mulai tertarik dengan hal ini.

Pria bajak laut itu menoleh ke kiri dan ke kanan, "Biar kubisikkan kau. Mendekatlah."

Nami mendekatkan dirinya pada pria itu. Pria itu juga mendekatkan mulutnya pada telinga Nami. Ketika Nami bersiap mendengar kata-kata pria itu, ia merasakan sepasang tangan meremas kedua payudaranya yang hanya diselimuti oleh bra. Satu tangan itu menyelip masuk ke balik bra dan menyentuh putingnya, sedangkan yang satunya lagi hanya menyentuh bagian luarnya.

"Ahn!" Nami mendesah pelan begitu merasakan tangan kasar itu menyentuh putingnya.

"Ahahaha! Aku tidak tahan melihat payudara besarmu Nona!" Pria itu terlihat menikmati payudara Nami dan meremas-remasnya bagaikan anak kecil yang sedang bermain balon air. Ia mengeluarkan payudara Nami dari bra-nya dan mempertontonkan salah satu puting merah mudanya.

"Wow! Warna yang bagus!" Kata pria itu setelah melihat puting Nami yang terlihat ideal di payudaranya yang besar itu.

"A-aahn.. Hentikan!" Nami menepis tangan pria itu dan mendorongnya hingga hampir terjatuh. Ia memasukkan kembali payudaranya yang menyembul keluar itu ke balik bra-nya.

Nami bersiap mengambil Clima Tact-nya yang ia simpan di sabuknya. Namun, bartender di tempat itu segera mengehntikannya dan menunjuk ke arah papan di salah satu sisi ruangan yang bertuliskan "BAWA MASALAHMU KELUAR". Semua orang di bar melihat hal itu dengan terkejut. Nami mengurungkan aksinya dan segera beranjak dari kursinya. Ia mengambil barang-barangnya lalu membayar minumannya dan pergi dari bar itu.

"Ya! Pergilah! kau baru saja kehilangan kesempatan untuk mendapatkan uang banyak!" Kata pria itu pada Nami setengah berteriak.

Nami menghentikan langkahnya. Semarah apapun dirinya, tetap saja ia tidak bisa meninggalkan rumor tentang artefak itu. Pernyataan bartender yang selalu ditutupi semakin membuatnya penasaran. Ia tidak tahan jika harus meninggalkan artefak itu tanpa mengetahui harga yang sebenarnya.

"Oh, lihatlah ini, apa kau berubah pikiran secepat itu?" Kata pria itu sembari berjalan mendekati Nami yang masih berdiri diam di tempatnya.

Nami membalikkan badannya dan berkata dengan geram, "Kau tahu, aku bisa menghajarmu di luar nanti. Sebaiknya kau memberitahuku semua tentang artefak itu."

"Hahahaha! Kalau kau menghajarku di luar, angkatan laut akan menangkapmu dengan cepat."

"Tidak masalah, kau seorang bajak laut, kita sama-sama ditangkap."

"Aku bisa keluar," Pria itu mengeluarkan sebuah dompet yang sangat familiar di mata Nami dan menunjukkan segenggam uang.

"Dengan uang sebanyak ini mampu membayar puluhan personil angkatan laut. Aku juga heran, apa yang bisa dilakukan dengan benda ini, kelihatannya berbahaya jika kau yang memegangnya." Pria itu memegang Clima Tact Nami yang terpisah menjadi tiga bagian di tangannya.

Nami segera mengecek kantong bagian belakang celana panjangnya. Tidak salah lagi itu adalah dompetnya. Tapi, bukan itu yang membuatnya panik, senjata andalannya kini ada di tangan orang lain. Tanpa senjata itu, ia tidak mampu menghajar pria itu.

"Bukan hanya kau yang bisa mencuri..." Pria itu berjalan pelan ke arah Nami dan berbisik, "Nami si Kucing Pencuri."

Nami terdiam, ia sangat terkejut kalau orang itu tahu tentang dirinya.

"Hei, tenanglah. Aku tidak akan memberitahu angkatan laut kalau salah satu kru dari Topi Jerami ada di sini." Kata pria itu sambil melempar dompet ke arah Nami, "Tapi, teman dekatku seorang petinggi angkatan laut di kota ini, kau sebaiknya jangan melakukan hal yang aneh."

Pria itu melewati Nami, "Ayo kita selesaikan di luar."

Pria itu berjalan keluar bar. Nami tetap terdiam di tempatnya, ia meihat dompetnya sudah kosong. Seluruh uangnya berada di tangan orang itu, tanpa uang itu ia tidak akan bisa keluar dari Logue Town. Dia bisa saja mencuri uang dari orang lain, namun cepat atau lambat warga kota akan memberikan laporan mereka pada angkatan laut dan segera melakukan pencarian terhadap pencurinya. Ditambah, pria itu memiliki teman di dalam angkatan laut. Tidak ada pilihan lain selain mengikuti pria itu.

Nami berjalan keluar dari bar.

"Oh, maaf nona, aku tidak sengaja membakar seluruh uangmu."

Nami melihat kobaran api kecil di depan pria itu. Ia tidak mampu berkata apa-apa. Melihat uang terbakar seperti itu rasanya seperti sebuah mimpi buruk baginya. Situasi semakin sulit untuknya. Mau tidak mau dia harus mengikuti alur permainan pria itu.

"Kuh... Baiklah, cepat beritahu aku informasi tentang artefak itu."

Pria itu tersenyum dan memberi isyarat pada Nami untuk mengikutinya. Ia membawa Nami ke gang kecil di antara dua bangunan tua. Gang itu memanjang dan terlihat kotor. Tidak ada satu orang pun yang berada di sana. Apalagi saat itu sudah malam, tidak banyak orang yang berlalu lalang di kota itu. Nami bisa melihat kalau gang itu mnghubungkan antara pusat kota dan tempat kumuh di sana.

"Baiklah, mari kita buat kesepakatan." Kata pria itu sambil menaruh Clima Tact Nami di balik pakaiannya. Melihat bagaimana cara ia menaruhnya, Nami tidak mungkin bisa merebutnya. Walaupun dia menyerang, tetap saja kekuatan pria itu lebih besar darinya.

"Apa itu?"

"Satu pertanyaanmu untuk satu ejakulasiku. Hmm.. Bagaimana?"

"A-apa-apaan itu!?"

"Well, itu sudah satu pertanyaan."

"Ugh! Baiklah! Baiklah! Aku setuju!" Nami menggigit bibir bawahnya karena geram.

"Bagus! Bagus!" Pria itu mulai menggosok-gosokkan tangannya dengan tidak sabar. Ia lalu mengeluarkan Den Den Mushi Video dari kantongnya.

"Untuk apa itu!?" Tanya Nami.

"Ini adalah momen sekali seumur hidup! Aku tidak boleh melupakannya!" Pria itu menaruh Den Den Mushi itu di tempat yang dianggapnya pas untuk mengambil gambar mereka berdua, "Oh, dan itu sudah dua pertanyaan."

Nami terkejut dan seakan lupa tentang hal itu.

"Oohh.. Lihatlah ini, tubuh montok dan menggoda ini hanya terbalut oleh bikini." Pria itu memandangi tubuh bagian atas Nami dari dekat, "Katakan, apa kau berpakaian seperti ini untuk mengundang pria memperkosamu atau kau hanya seorang pelacur murahan?"

"Kuh!" Nami merasa dipermalukan saat ini, "Ini modis! Aku tidak berniat menjual tubuhku!"

"Modis huh? Kurasa ini lebih cocok disebut sebagai pakaian seorang pelacur yang memang ingin diperkosa oleh banyak pria. Bagaimana bisa kau berjalan setengah telanjang di tengah kota tanpa rasa malu sedikit pun? Hahahaha!" Pria itu tertawa.

Nami merasa sangat terhina karena selera pakaiannya yang dianggap murahan oleh pria itu. Ia tidak mampu berkata apa-apa.

"Coba lihatlah payudara ini, ini bahkan lebih besar dari buah melon," Pria itu mulai melihat payudara Nami dari jarak yang sangat dekat, "Katakan padaku, apa kau sering meremasnya sendiri atau orang lain yang melakukannya?"

"Ugh... Kuh... Jangan konyol! Aku tidak pernah melakukan hal itu! Aku bukan wanita murahan!"

"Oh benarkah? Coba kau jelaskan apa maksudnya ini?"

Terlihat dari balik bra Nami, sebuah gundukan kecil mulai timbul di payudaranya. Tidak salah lagi itu adalah putingnya yang mulai mengeras. Perlahan-lahan, puting itu mulai semakin padat. Nami dapat merasakan gerakan putingnya yang mendorong bra-nya dan jelas tercetak di sana. Bahkan, ia berpikir kalau putingnya bisa menembus bra miliknya. Ia menahan suaranya agar tidak keluar, wajahnya kini sudah memerah.

"Kau bercanda kan? Kau terangsang hanya karena aku melihat tubuhmu saja? Kau ini pelacur atau apa? Benar-benar tidak tahu malu!" Pria itu tertawa semakin keras. Setelah puas tertawa, pria itu menurunkan sedikit celananya dan memamerkan penisnya yang membesar dan sudah berdiri tegak.

"Cepat beritahu aku tentang artefak itu, dasar pria mesum!" Nami membentak pria itu sambil memalingkan wajahnya karena ia tidak mau melihat benda yang dianggapnya menjijikkan itu.

"Wah, wah, wah... Lihatlah pelacur ini, sangat tidak sabaran. Kau harus bisa menjaga mulutmu, wanita jalang!"

Pria itu memegang kedua pundak Nami dan mendorongnya hingga menabrak tembok yang berada di belakangnya.

"Gah!"

Dengan cepat, pria itu menurunkan tangannya ke arah payudara Nami. Ia menarik kedua tangannya dan mempersiapkan telunjuk dan ibu jarinya seperti penjepit. Dengan sekali dorongan, pria itu mencubit puting Nami yang sedari tadi sudah mengeras.

"KYAAAHH! AAHHNN!"

Nami menjerit begitu keras bersamaan dengan keluarnya cairan dari lubang kewanitaannya. Cairan itu menembus celana panjang ketatnya, warna sebagian celananya kini menjadi lebih gelap karena basah oleh cairan itu.

"AAAHHNN... HAAAHH... NNNGHHH..."

Nami mendesah lemah. Jepitan kedua jari pria itu seakan ingin melepas kedua putingnya. Rasa sakit di putingnya tak tertahankan. Kalau saja tangannya tidak lemas saat ini, ia mungkin bisa menepis dan melepaskan diri dari pria itu. Hanya saja, tubuhnya kini sudah lemas karena orgasme mendadak tadi.

"Oh sialan! Kau orgasme! Kau seorang pelacur dan seorang masokis!" Pria itu tertawa, "Tidak kusangka aku menemukan pelacur langka seperti ini! Mulut kotor seorang pelacur masokis harus dihukum!"

Pria itu memelintir kedua puting Nami dengan jarinya.

"HAAAHHNN! HENTIKAN! AKU KELUAARR! AKU TIDAK TAHAN LAGI! AAAHHNNNN!"

Tubuh lemah Nami tidak mampu menahan serangan orgasme demi orgasme yang datang menghantamnya. Ia bagaikan pelacur yang tak punya rasa malu karena menyemprotkan cairan vaginanya ke mana-mana. Cairan vagina itu begitu deras hingga menyembur keluar celana panjangnya. Tidak bisa dipungkiri lagi kalau Nami benar-benar merasakan kenikmatan karena rasa sakit di putingnya.

Nami merasakan tubuhnya semakin lama semakin meninggi. Kakinya kini sudah tidak menyentuh tanah lagi. Pria itu, yang masih menjepit dan memelintir puting Nami, kini mengangkat tubuh Nami seolah-olah Nami adalah piala. Semakin tinggi pria itu mengangkat tubuhnya, semakin keras jeritannya dan juga semakin deras cairan vaginanya menyemprot keluar. Putingnya terasa ingin copot, pikiran Nami sudah tidak karuan lagi. Ia meronta kesakitan di tangan pria itu.

"SAKIT! SAKIT! SAKIT! TUBUHKU AAAAHHHNN! TUBUHKU TERASA HANCUR! HAAAHHNN! PUTINGKU! SAKIT SEKALI! HENTIKAAAANN!"

Setiap jeritan kesakitan Nami membuat tawa pria itu semakin keras. Protes yang dikeluarkan Nami bagaikan angin lalu yang sama sekali tak dihiraukan oleh pria itu. Tanpa disadari Nami, pria itu sudah menyemprotkan spermanya ke perutnya.

"TURUNKAN! AAAHHHNN! TURUNKAN AKU! PUTINGKU AKAN LEPAS! TIDAK! TIDAK! TIDAK! AKU KELUAAARR! AAAHHNN! AHHHNN!"

Setelah beberapa kali orgasme yang tak terhitung jumlahnya, tubuh Nami mulai benar-benar lemas tak bertenaga lagi. Pria itu masih mengangkat tubuh Nami, ia menikmati pemandangan yang ada di depan matanya. Tubuh Nami mengejang karena mengeluarkan sisa-sisa cairan orgasmenya. Setelah cairan vaginanya berhenti keluar, pria itu melepas tubuh Nami dan membiarkannya terjatuh ke tanah.

"Hnngg... Nggh... Haah... Haah.. Ahh.." Nami jatuh terduduk sambil memegangi kedua payudaranya. Tubuhnya basah, selangkangannya bahkan sudah sangat basah karena cairan orgasmenya yang menyembur kemana-mana. Rasa perih menyelimuti kedua puting Nami.

"Hahahaha! Lain kali jagalah mulutmu. Sekarang, ayo kita mulai sesi tanya jawabnya, bukankah kau ingin tahu tentang artefak itu?"

Pria itu memegang tangan Nami dan membantunya berdiri. Ia menghadapkan tubuh Nami ke arah tembok dan mulai memeluknya. Pelukan dari belakang membuat Nami bisa merasakan penis pria itu di bongkahan pantatnya. Pria itu dengan tidak sabaran meremas-remas payudara Nami.

"Pelan... Pelan... Putingku... Ahhnn... Masih sakit..." Nami memohon dengan suara pelan.

"Ah, maafkan aku. Bagaimana kalau kita lihat keadaan puting kesayanganmu ini?"

Pria itu mengangkat bra Nami. Terlihat di sekitar kedua puting Nami kini berwarna agak kemerahan. Nami bergidik melihat keadaan putingnya. Organ tubuh yang dipakai untuk membesarkan anak itu terlihat tidak normal karena warna merah akibat jepitan tangan tadi.

"Tenang saja, ini akan sembuh dengan cepat. Sekarang tanya aku sepuasmu," Kata pria itu, "Tapi ingat, kau masih punya satu hutang padaku. Memang memalukan, tapi aku harus mengakuinya, jeritan erotismu membuatku ejakulasi tanpa harus menyentuh penisku sama sekali. Kau memang berbakat jadi pelacur."

"Diam dan dengarkan saja pertanyaanku... Ahhn.." Nami terus mendesah keenakan saat pria itu terus memainkan payudaranya, "Ahhn.. Di-di mana... Kuh... Letak artefak... Ngghh... Itu?"

"Hmm... Banyak yang bilang kalau artefak itu berada di Goat Island. Cukup dekat bukan?" Pria itu kini menyusupkan tangan kanannya ke dalam celana Nami dan meraba-raba bibir vaginanya. "Oh ya ampun, ini sudah sangat basah! Kau benar-benar menikmatinya ya."

"Kuh... Uhh... Diam!" Bentak Nami, "Berapa... Uhh.. Aaahnn... Jangan sentuh bagian itu.. Ahhnn..."

Nami merasakan jari tengah pria itu memasuki liang vaginanya yang masih sempit.

"Dan kau masih perawan!" Pria itu terkejut, "Tak kusangka dengan tubuh indah seperti ini kau tak pernah tidur dengan banyak laki-laki. Tenang saja, aku bukan orang yang suka memperkosa. Itu tindakan yang sangat tidak elit."

Jari pria itu kini bergerak cepat keluar masuk di vagina Nami. Nami tidak dapt melanjutkan kata-katanya tadi. Ia hanya bisa mengeluarkan desahan dan erangan setiap jari pria itu menusuk masuk vaginanya. Tubuhnya kembali melemas, kedua kakinya tak mampu menopang tubuhnya. Andai saja pria itu tidak memeganginya, Nami mungkin sudah ambruk.

"Tidak... Hentikan... Aku... Ahhhhhhnnn..." Erangan panjang Nami keluar bersamaan dengan orgasmenya yang kesekian kalinya.

"Ooohhhhh... Ooogghhh... Oohhh..." Pria itu juga mengalami ejakulasi bersamaan dengan orgasme Nami. Spermanya membasahi punggung Nami. Ia mengeluarkan tangannya yang sudah basah kuyup dari celana Nami karena orgasmenya barusan dan kembali memainkan payudara wanita itu.

Masih memainkan payudara dan vagina Nami, pria itu mengatur nafasnya. Ia masih menikmati tubuh Nami. Begitu juga dengan Nami, ia merasa sangat kelelahan karena orgasme berkali-kali, matanya terlihat sayu dan kakinya juga gemetaran.

"Apa kau ada pertanyaan lagi?" Tanya pria itu di tengah nafasnya yang terengah-engah, "Kau bisa membuatku ejakulasi dua kali, hebat, benar-benar hebat."

"Haaaa... Haaahh... Aahhh... Dengar baik-baik... Ahhhnn..." Sambil melihat cairan orgasmenya yang mengalir di kakinya, Nami mulai berbicara lagi, "Aku... Uhh... Ingin segera menyelesaikan dan... Aaahhhnnn... melupakan kejadian memalukan ini... Berapa tepatnya... Ahh.. Harga artefak itu... Uuhh... Aku tidak ingin ini semua sia-sia... Ahaaahh..."

"Hahahaha... Aku jamin, semua ini akan terbayarkan." Kata pria itu, "Harga artefak itu, seperlima dari One Piece. Semua bajak laut di East Blue tahu tentang artefak ini, tapi mereka yang mencarinya selalu berakhir dengan sia-sia. Kata mereka, artefak itu dijaga oleh sesuatu. Jadi, mereka lebih memilih mencari One Piece daripada artefak itu."

"Si-siapa... Ahhnnn... Yang menjaganya?"

"Hewan buas."

"Ahhhnn.. Baiklah... Itu sudah cukup... Ahhhnn..." Desah Nami, "Cepat selesaikan urusanmu dengan tubuhku!"

"Hah? Itu saja? Baiklah kalau itu maumu."

Pria itu melepas celana Nami dan menurunkannya sampai lutut.

"He-hei! Mau apa kau?"

"Tenang saja, aku tidak akan melepas semuanya."

Pria itu mengarahkan penisnya ke arah selangkangan Nami. Ia menaruh penisnya di antara kedua paha Nami.

"Oohhh... Memang benar, rasanya memang seperti di dalam vagina..."

"Berhenti membuatku jijik dengan perkataanmu. Cepat selesaikan!"

Penis itu mulai bergerak di sela-sela paha Nami. Kulit halus di pangkal paha Nami yang bergesekkan dengan penis itu membuat pria itu menggeliat keenakan. Bagian atas penis itu juga bergesekkan dengan bibir vagina Nami yang masih tertutup celana dalam. Cairan vagina yang masih mengalir keluar menembus celana dalam itu bagaikan pelumas yang membuat penis pria itu bergerak dengan leluasa.

"Oooohhh... Sensasi apa ini? Ini benar-benar bagaikan vagina... Ooohhh..."

"Ahhh... Ahhh... Ahhh... Haahhnn..."

Kedua orang itu saling mengerang dan mendesah keenakan. Pria itu kini menciumi leher Nami dan menjilati bagian belakang telinganya. Sambil terus meraba payudara Nami, pria itu juga merangsang vagina Nami agar terus mengeluarkan cairan cintanya. Tidak tahan dengan serangan demi serangan yang diberikan pria itu, Nami hanya bisa mendesah dan mengeluarkan suara-suara erotisnya. Tidak pernah dia merasa serendah ini dalam hidupnya, mengerang keenakan karena perlakuan kotor dari seorang pria demi beberapa informasi.

"Aahhh... Aku keluar! Aku keluar! Aaaahhhhnnnn!"

"Ooooghhh... Oooohhh!"

Nami dan pria itu mencapai klimaks bersamaan. Sperma yang bercampur dengan cairan vagina mulai mengalir di pangkal paha Nami. Tangan Nami kini menempel di tembok untuk menopang tubuhnya. Nafasnya tidak beraturan. Rasa lelah dan nyeri muncul di vaginanya karena terus menerus orgasme.

"Fiuh~ itu benar-benar hebat, ya 'kan?"

"Haahh... Haahh.. Haahh..." Nami tidak membalas kata-kata pria itu.

"Baiklah, aku masih kuat dua ronde lagi." Pria itu kini menduduki Nami yang terlentang di atas tanah, "Sekarang gunakan payudara dan mulut erotismu untuk memuaskan penisku ini."

Beberapa menit kemudian...

"Oooghhh... Ooghhh... Ini dia yang kedua... Ooohhh..."

Sperma mengalir di dalam mulut Nami. Nami terpaksa menelan semua sperma itu karena ia tidak bisa melepaskan cengkraman tangan pria itu dari kepalanya. Penis itu terus menyemburkan cairan hangat ke dalam mulutnya. Ia meneguk sperma itu sampai habis. Setelah puas memakai tubuh Nami, pria itu berdiri dan melemparkan Clima Tact Nami ke arahnya.

"Kukembalikan ini. Sepertinya aku akan mengambil ini sebagai kenang-kenangan," Pria itu menarik bra yang dipakai Nami dan mengantonginya, "Senang berbisnis denganmu, nona. Selamat tinggal."

Nami terkulai lemah di gang itu. Wajahnya di penuhi sisa-sisa sperma. Sperma juga membasahi celah di antara kedua payudaranya dan juga perutnya. Celana panjangnya yang terlepas sampai bagian lutut, memperlihatkan celana dalamnya yang sudah basah kuyup karena cairan vaginanya. Pangkal paha dan punggung Nami terasa lengket karena banyaknya sperma yang dikeluarkan pria itu. Ia tidak menyangka kalau pria itu mampu ejakulasi sampai lima kali berturut-turut.

Nami masih terbaring lemah di atas cairan vaginanya yang menggenang di tanah. Semburan cairan dari vaginanya begitu banyak, entah berapa kali dia orgasme sampai bisa menghasilkan cairan sebanyak itu. Vaginanya yang tadi terasa nyeri itu kini mulai membaik. Ia menaikkan celananya dan duduk bersandar di tembok gang itu dengan lemah.

Ia menarik tas belanjaannya yang tergeletak di tanah dan diambilnya bra berwarna merah lalu memakainya, "Kuh! Bajingan itu hampir saja melepas putingku." Kata Nami kesakitan ketika bra itu menyentuh putingnya yang masih berwarna kemerahan.

Nami berusaha berdiri dengan perlahan, kakinya sudah mampu menopang tubuhnya. Ia mengambil Clima Tact miliknya dan menaruhnya di samping celana panjangnya. Ia membersihkan tubuhnya dengan kain yang diambil dari tas belanjanya dan segera membuangnya.

Nami mulai tertawa kecil, "Kau tetap tidak bisa mengalahkan Si Kucing Pencuri,"

Ia berjalan ke arah tempat sampah di gang itu dan memungut sebuah dompet berwarna hitam. Ia mengambil isi dompet itu dan mendapat uang 250.000 Beli.

"Beruntung aku sempat mengambil dompetnya saat penis menjijikkannya berada di pahaku."

Nami mengantongi uang itu dan berjalan keluar gang sambil membawa tas belanjanya. Ia berjalan di tengah pusat kota yang sepi. Ia mencari penginapan terdekat. Beruntung masih ada yang buka hingga tengah malam seperti ini. Ia memesan satu kamar dan segera beristirahat setelah membasuh tubuhnya yang lengket karena sperma. Sebelum tidur, Nami sudah memikirkan rencana untuk mendapatkan artefak itu. Besok, dia akan memastikan informasi yang dia dapat pada penduduk kota ini dan memulai pencariannya.