Sinar matahari yang terang, membuat mataku terbuka. Kicauan burung dari luar jendela sudah mulai menyambutku. Udara dari air conditioner yang berhembus dingin membuatku tersadar akan keberadaanku.

"Masih di mobil ternyata…" gumamku pelan.

"Good Morning, Miss… How's your sleep??" seorang lelaki paruh baya menyapaku. Dia memutar kepalanya kebelakang sambil memandangiku dengan senyuman yang hangat.

"Morning… Thanks'!! I have a sweet dream.."

Sambil tersenyum kemudian ia mengangguk dan kembali melihat kearah depan.

Hari ini adalah hari ke-3 perjalananku menuju kota kecil bernama Libes di barat daya Australia. Perjalanan dari air port internasional menuju kota ini adalah 2 hari 1 malam.

Aku berada dalam mobil mini caravan bersama dengan Mrs. Smith. Dia adalah supir pribadiku yang nantinya akan mengurusku selama aku disini.

Aku mencari kembali memoriku 3 hari yang lalu. Dimana aku harus pergi jauh dari ayah yang kini juga harus meninggalkan Tokyo. Disini, aku harus bisa membawa diri dengan baik, dan tidak membuat ayahku khawatir lagi.

Aku adalah anak tunggal yang lahir dan besar di Jepang. Namaku Sakura Kinomoto. Sekarang, usiaku masih 16 tahun.

Aku adalah anak tunggal dari pasangan Fujitaka Kinomoto dan Nadeshiko Kinomoto. Aku bersekolah di Tomoeda High. Wajahku adalah wajah khas asia. Dengan hidung yang kecil, mulut yang kecil, dan mata yang kecil, aku tetap merasa wajahku cantik dan menarik ala oriental. Kata ayah, mataku adalah mata kakek. Warnanya hijau amber. Persis seperti warna mata kakek. Sedangkan ibu bilang, rambutku adalah rambut ayah. Warnanya hitam kecoklatan. Aku lahir tanggal 1 bulan April.

Ayah dan ibu sangat menyayangiku. Aku menhargai perlakuan mereka dengan cara tidak manja dan tetap menjaga kemandirianku. Walaupun pekerjaan ayah ibuku menghasilkan uang yang berlimpah, tapi hal itu tidak membuatku besar kepala dan manja. Aku merasa itu bukan milikku. Kalau aku ingin, aku harus berusaha sendiri mendapatkannya.

Perawakanku yang ramping dan semampai menjadikanku sebagai orang yang selalu diidam-idamkan pada laki-laki seusiaku. Rambutku panjang sebahu dengan poni yang menjuntai di dahi. Selama ini, aku selalu men-trade mark-kan diriku dengan menguncir poni yang terlalu tebal di dahiku menjadi dua dan menyisakan sedikit poni untuk tetap bergelantungan menutup dahiku. Walaupun kedengaran gaya yang aneh dan kuno, hal ini tidak menyebabkan wajahku menjadi jelek dan kampungan. Aku tetap mendapatkan pekerjaan untuk mengiklankan produk ayahku.

Sebenarnya, aku sudah pernah empat sampai enam kali menjadi model iklan produk dari prusahaan ayah. Namun, aku dan terutama ayahku menutup order yang memintaku untuk menjadi artis, atau model perusahaan lain. Ayahku tidak suka itu. Makanya, walaupun seringkali menghias layer televisi, namun keberadaanku tidak begitu diketahui oleh orang banyak.

Ayahku adalah pria hebat dengan bisnis besar di Paris. Dia sendiri adalah mix Prancis-Jepang. Sedangkan ibuku adalah ibu yang sangat pandai. Dia adalah warga Negara Russia yang memiliki bisnis di Jepang. Bisa dibilang, ibu sendiri lebih pantas disebut orang Jepang. Karena dari usianya 13 tahun, ia melanjutkan sekolahnya di sekolah tinggi swasta bergengsi di Jepang.

Sebenarnya, ayah dan ibu berkenalan di Jepang. Mereka sering bertemu saat menghadiri exhibition atau undangan tamu kehormatan. Karena mereka berdua adalah pebisnis usia muda. Ibu bertambah dekat dengan ayah ketika di Paris, pada saat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kebetulan mereka mengambil jurusan yang sama dan pada akhirnya mereka jatuh cinta. Betapa indahnya hubungan mereka saat aku membayangkan hal itu. Benar-benar romantis.

Tapi sekarang tidak lagi seperti itu. Hidupku berubah tapat saat aku berusia 10 tahun. Saat aku mengerti segalanya, saat aku memasuki masa dimana aku mengenal kejamnya dunia.

Aku yang berusia 7 tahun saat itu bersekolah di sekolah dasar swasta yang bergengsi. Mengingat pekerjaan ayah dan ibuku yang menghasilkan uang yang tidak sedikit, mereka tidak membiarkanku berkawan dan belajar dengan orang-orang sembarangan. Saat itu, aku tidak perduli, toh pergaulanku dengan setiap orang tidak pernah bermasalah.

Suatu hari, ibu memberi tahuku bahwa sebenarnya aku memiliki kakak laki-laki. Betapa senangnya aku mendengar kabar berita itu. Aku sangat menanti-nanti kapan tibanya hari saat aku bertemu dengan aku sangat senang mendengar hal itu, suatu hari akupun menceritakan hal itu kepada ayah. Aku yang masih kecil mengira bahwa ayahpun akan sangat senang mendengar hal itu. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Sejak saat itu aku tidak mengerti, kenapa ayah dan ibuku sering bertengkar, bahkan pernah satu kali ibu dan ayahku bertengkar hebat, ayah mendorong ibu sampai jatuh tersungkur kelantai. Aku benar-benar panik dan tidak mengerti. Dengan tertatih-tatih ibuku memelukku dan mencium keningku lalu membisikkan padaku untuk segera mengambil ponsel yang ada di atas meja. Aku melakukannya dengan ketakutan. Sedangkan ayahku pergi begitu saja tanpa memperdulikan ibuku. Aku sedih dan ketakutan bukan main. Namun beruntungnya setelah dibawa ke rumah sakit, ternyata keadaan ibu baik-baik saja.

Di hari yang lain, ibuku mengajakku pergi ke villa miliknya yang ada di puncak. Aku sangat senang dan turut membantu ibu menyiapkan barang-barang. Saat itu aku tidak paham, kenapa ibu membawa sangat banyak barang dalam kopernya. Termasuk perhiasan dan kertas-kertas yang banyak ke dalam mobil. Namun, aku tidak bertanya padanya, penasaranku tertutup dengan kesenanganku untuk bertamasya bersama ibu. Tanpa kuduga, kecelakaan terjadi di tengah perjalanan kami. Sebuah truk bermuatan pasir, manabrak mobil kami sehingga mobil kami masuk jurang. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa. Namun ayah mengatakan padaku bahwa ibu sudah meninggal. Dan aku sendirilah yang selamat.

Saat itu aku tidak bisa mengingat apapun. Namun, ayah mengulang-ulang cerita itu saat aku dirawat di rumah sakit. Dia menjelaskan semua yang terjadi dengan wajah yang aneh yang tak dapat kuungkapkan. Kecelakaan itu menyebabkan aku koma selama empat hari dan tentunya patah pada lengan kiri dan pergelangan kaki kanan. Luka yang sangat panjang dan menakutkan menjulur mulai dari paha kanan bagian belakang melingkar sampai pundak atas bagian kiri. Luka itu benar-benar mengerikan. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Aku hanya menangis, merasa kesakitan dan ketakutan. Tapi aku tidak mengalami trauma parah yang hebat. Aku hanya merasa takut pada luka itu dan sakit pada bagian-bagian yang patah. Itupun hanya kualami selama dua bulan pasca kecelakaan. Setelah itu, aku hanya menganggap itu hal bisaa.

Tapi, setelah kejadian itu, aku jadi sering sakit-sakitan. Nafasku serasa tercekik. Dan berujung dengan kehilangan kesadaran. Saat tersadar, aku tidak bisa mengingat kejadian sebelumnya dengan baik. Aku tidak tahu apakah yang sebenarnya sedang terjadi denganku. Setelah kepergian ibu, ayahku jadi sering tidak pulang dari pekerjaanya di kantor. Entah apa yang ia lakukan. Namun, aku mencoba untuk mengerti. Mengerti bahwa apa yang ayah lakukan adalah untukku dan kebahagiaanku juga. Walaupun sedih, miris, dan sakit dalam dada ini tak terbendung, namun aku mencoba untuk bertahan dan menahannya agar ayah tidak menghawatirkanku. Aku tidak ingin menjadi beban ayah nantinya.

Semakin aku dewasa, ayah seakan makin menjauh dariku. Ketika aku melanjutkan tahun ketiga sekolah menengah pertama di Tokyo, dengan enteng ayahku mengajakku turut serta mengajakku ke New York. Dengan segenap hatiku, aku menolak. Awalnya dengan cara halus namun tegas. Tapi ayah bersi keras mengajakku untuk pergi bersamanya dengan cara 'agak' memaksa. Saat itu kebetulan saja, aku sedang mencuci sayuran di dapur. Karena tidak sampai, aku selalu mengenakan baki untuk mengganjal kakiku. Kemudian, ayahku yang sedang bicara dibelakangku menarik pundakku untuk menghadap kearahnya.

Seketika itu juga, nafasku terasa terhenti. Bagaikan ada udara yang tersangkut di antara dada dan kerongkonganku. Kepalaku berdenyut-denyut. Aku berusaha meronta dan meraung meminta tolong. Yang aku ingat hanyalah kesakitan yang hadir di kepala dan bagian dadaku. Aku tidak ingat apa-apa yang ayah lakukan padaku setelah aku terkapar. Begitu tersadar, aku sudah ada di rumah sakit. Setelah kejadian itu, entah kenapa ayah menjadi 'sedikit' mengalah padaku dalam berargumen. Sebenarnya, aku sadar kalau ayah tak ingin kesepian. Karena satu-satunya keluarga terdekatnya yang masih ada itu adalah aku, anaknya. Namun, masih saja ada sikap ayah yang seperti itu padaku, sampai yang ke empat kalinya, ia memutuskan untuk pergi seorang diri tanpa aku, dengan syarat: aku harus meninggalkan Jepang.

Saat itu adalah saat yang terberat bagiku untuk menjawab 'Iya..'.

"Kenapa ayah selalu saja memaksaku untuk ikut dengan ayah?" tanyaku lantang setengah berteriak.

"Sayang, mengertilah… ini semua ayah lakukan karena ayah tidak ada pilihan lagi…"

"Kenapa ayah selalu memaksaku untuk mengikuti kemauan ayah? Selama ini aku tidak pernah meminta, bahkan menuntut ayah untuk menurutiku!! Aku berusaha membuat ayah senang dan bangga padaku!! Tapi, kenapa ayah tidak pernah mengerti aku??" bentakku dengan satu nafas tanpa henti yang berakhir dengan engahan dan luapan air mata membanjiri pelupuk mataku.

"Sakura…ayah tak bermaksud begitu… ayah hanya ingin.."

"Kenapa ayah selalu katakana 'ayah ingin-ayah ingin'…kenapa ayah tidak pernah bertanya apa yang aku inginkan???... apa ayah tidak sadar bahwa aku sudah dewasa dan mengerti apa yang aku lihat ini wajar atau tidak, betul atau salah. Aku sudah cukup pintar untuk menilai itu, tidakkah ayah mengerti?? Selama ini hanya aku yang menurut dan menurut.. selalu menyanggupi apa yang ayah inginkan…" kata-kataku mulai berantakan bercampur dengan air yang keluar dari mata dan hidung. Ayah hanya terdiam dan terkejut mendengarkan luapan emosiku.

"KENAPA?? KENAPA AYAH BERUBAH?? KEMANA AYAH YANG DULU?? KEMANA AYAH YANG SELALU MENGERTI AKU DAN IBU?? KEMANA PERGINYA AYAH YANG KUSAYANGI?? KEMBALIKAN AYAHKU YANG DULU!!!!" jeritku sekuat tenaga.

"Apa ayah salah jika ingin semua bahagia??" Tanya ayah perlahan sambil memperlihatkan wajahnya yang juga penuh air mata.

"BAHAGIA?? APA AYAH PERNAH MEMIKIRKAN APA ITU KEBAHAGIAAN?? TIDAK SETIAP ORANG MEMILIKI KEBAHAGIAAN YANG SAMA DENGAN AYAH!!! BEGITU JUGA AKU!!"

"INI SEMUA MEMANG SALAH IBUMU!! IBUMU ADALAH WANITA JALANG YANG TIDAK PUNYA HARGA DIRI!! AKU TIDAK INGIN NANTINYA KAU MENJADI SEPERTI DIA, SAKURA!!"

DEG!!...

Sunyi…

Hening…

Satu detik itu terasa sangat lama…

Nafasku tercekat. Mataku perih melontar tangis.

Aku butuh udara. I need to breathe!!

Aku tidak tahan lagi menopang diriku. Rasanya aku ingin tidur, semua seakan berputar dan semakin gelap. Telingaku berdengung. Tubuhku kaku dan tak dapat menuruti keinginan otakku.

"Sa…" sayup-sayup suara itu terdengar.

"…a..kura…"

000

Gelap… dingin…

Dadaku sakit. Nafasku terasa berat dan sulit.

Sekitar punggungku rasanya remuk tak bertulang.

Gatal… leherku rasanya gatal sekali… aku ingin menggaruknya!!!

Tapi kenapa badanku rasanya berat?? Kenapa semua anggota badanku tak mau bergerak??

"Hati-hati, Sakura…" dalam gelap, ada suara yang membuatku sontak kaget.

"Siapa?? Siapa kau??" tanyaku dalam gelap.

"Sakura, apapun yang terjadi… ingatlah bahwa dia adalah ayahmu, sayang… dialah satu-satunya harapan dan tempatmu bergantung…" ucapnya lembut, dan nyaman. Seakan aku sudah sering mendengarnya selama ini.

"Iya, aku mengerti itu. Tapi siapa kau?? KENAPA KAU MENGATAKAN HAL ITU??" tanyaku penasaran.

"Sayangku, ibu akan selalu disisimu… sampai kapanpun… karena kau, adalah anakku…" ucapnya perlahan sayup-sayup yang semakin lama semakin kurang jelas tertangkap oleh telingaku.

"…ibu?? Ibu disini?? Ibu?? Jangan pergi!!! Jangan tinggalkan aku!!! TIDAK, BU!! TUNGGU AKU!! IBUUU!!! IBUUUUUUUU!!!!!"

DEG

Dadaku sakit… sangat sakit… rasanya seperti terbakar…

Tidak!! Sesak, PANASS!!! AAARRRGGHHH!!!! SAKIT!!!!

Rasa sakit yang hebat itu membakar tubuhku. Terutama pada bagian dadaku yang terasa sangat sakit. Tuhan, kumohon, ada apa denganku?? Apa yang terjadi dengan diriku ini?? Aku masih ingin hidup!!!

000

Tangan yang sangat dingin memegang pipiku. Siapa??

Tangan siapa ini??

Aku berusaha membuka mataku. Tapi kenapa rasanya sangat sulit sekali bagiku untuk melakukannya.

Berat.. berat.. tapi aku tidak menyerah dan saat mataku terbuka, ada ayah disitu sedang memandang diriku dengan sangat sedih.

"A.. ayah.. kenapa??"

"Tidak, Sakura…"

"Aku tidak apa-apa ayah.. aku hanya agak sakit… rasanya terasa di bagian dadaku… sesak… sangat sesak… dan sakiiiittt sekali… sebenarnya apa yang terjadi padaku, ayah??" tanyaku pada ayah dengan sedikit plin-plan. Karena memang kepalaku masih sangat sakit.

"Sudahlah Sakura… kumohon mengertilah keadaan ayah…"

Aku terdiam. Berusaha mengingat kejadian sebelum ini. Apa yang menjadikan aku seperti sekarang ini adalah karena aku bertengkar dengan ayah waktu itu. Saat ayah mengajakku untuk ikut dengannya pergi ke New York dan meninggalkan Jepang.

Aku hanya bisa terdiam dan tetap pada pendirianku untuk tidak meninggalkan Jepang. Selain aku tidak ingin membuat ayah menjadi egois, aku juga punya kehiduan sendiri yang sekarang sudah cukup ku nikmati tanpa ada masalah. Akupun suda memiliki orang yang kusayangi yang tidak ingin aku tinggalkan.

Sudah dua tahun aku memendam perasaanku pada Tsubasa Ozora. Kapten klub sepak bola di sekolahku. Kebetulan aku adalah anggota cheergirl. Aku selalu dijadikan maskot dan pembuat formasi yang akan ditampilkan pada pertunjukan cheer di setiap pertandingan yang mengikutsertakan sekolah kami.

Sosoknya pada saat berlalri di tengah lapangan. Benar-benar membuaku melayang. Senyum bahagianya saat memasukkan bola kedalam gawang. Peluhnya yang jatuh ke pelupuk mata saat sedang mengejar bola. Oh, semua yang ada pada dirinya benar-benar membuatku tergila-gila.

Namun keberanianku tak sampai padanya. Kedekatanku dengannya hanya sekedar teman saja. Tidak lebih. Bersenda gurau saat latihan. Berbincang ringan saat bertemu di kantin. Saling bertukar pikiran saat bertemu di perpustakaan. Hanya sekedar itu. Aku tidak pernah sekalipun dengan sengaja merencanakan untuk bertemu dengannya di suatu tempat.

Meskipun hubungan kami berdua cukp baik, entah mengapa aku selalu merasa kalau cintaku padanya hanyalah bertepuk sebelah tangan saja. Walaupun demikian, aku bertekat untuk terus mengejarnya dan menyampaikan rasa cintaku. Aku sudah terlanjur merasa nyaman berada di dekatnya. Tapi aku belum siap untuk menanggung resiko untuk ditolak olehnya. Oleh karena itu, aku lebih memlih untuk diam dan berpura-pura tidak memiliki perasaan khusus padanya.

"Sakura.." sentuhan tangan ayah di pipiku membuat lamunanku buyar. "Aku hanya ingin menghabiskan sisa hidup ini untuk anakku semata wayang. Kau adalah satu-satunya sisa keluargaku yang masih ada di dunia ini, Sakura. Kaulah yang selalu ada dalam hati ayah ini…" ujarnya sambil menitikkan sedikit air mata.

Hatiku tersentuh mendengarnya. Akupun ingin mengerti perasaan ayah. Tapi aku juga harus membuat ayah mengerti bahwa aku memiliki kehidupanku sendiri yang suatu saat nanti pasti harusayah relakan untuk kebahagiaanku juga.

Hhhh..

Aku menarik napas panjang dan mencoba trsenyum.

"Ayah…" ucapku sambil mengangkat wajah ayah dari tanganku. "…aku akan mengerti ayah kalau ayah juga mengerti aku. Aku… hanya mencoba memberi solusi dimana kedua belah pihak tidak ada yang menang dan kalah." Ucapku lembut dan penuh senyuman.

"Solusi apa??" Tanya ayah dengan mata penasaran.

"Ayah harus pergi ke New York tanpa aku."

"…hah?? Tapi, Sakura!! Ayah…"

"…begitupun dengan aku. Aku juga akan pergi. Pergi ke tempat dimana tidak ada ayah disana. Dan ayahpun pergi ke tempat dimana tidak ada aku disana. Adil, kan??" jelasku dengan senyum tulus untuk membangkitkan kembali semangat ayah.

"…" ayah terdiam untuk beberapa saat dengan wajah tertunduk. Namun kemudian ia tampakkan lagi wajahnya dengan senyuman yang tulus. "..baiklah Sakura. Kalau itu memang jalan terbaik untuk ayah dan kau nantinya. Terima kasih dan maafkan ayahmu ini…" ucapnya tulus sambil memeluk sayang tubuhku.

000

Sehari sebelum keluar dari rumah sakit, teman-teman dari klub dan teman sekelasku menjenguku di rumah sakit. Karena keadaanku suda agak membaik, aku diizinkan untuk bertemu mereka. Suasana seketika saja menjadi ramai dan ribut. Mereka membawa makanan, bunga-bunga, bahkan rela membeli parfum yang aku idam-idamkan yang ingin kubeli dengan uang sakuku sendiri.

"Ah, Tsubasa kenapa lama sekali??" Tanya Ishizaki pada yang lainnya.

"Kan memang Tsubasa yang ingin memisahkan diri. Entah apa yang dilakukan anak itu." Timpal Ryota.

"Mungkin dia mencari hadiah khusus untuk Sakura!!" gurau Tomoki yang berambut indah dan panjang yang duduk di sebelahku.

TOK TOK!!

Pinta terbuka dari luar.

"Maaf terlambat!!"

"Ah, Tsubasa… umurmu panjang sekali!!" ucap Ryo seenaknya.

"Iya… aku… tadi… anu…"

"Aaahhhh, sudahlah… aku mengerti… ayo kawan-kawan, kita pergi. Biarkan Sakura dan Tsubasa tinggal berdua saja. Waktu kita sebentar lagi kan hamper habis…" ucap Naru yang langsung berjalan menuju pintu keluar.

"Ah, benar!! Ayo kita kembali ke sekolah!!" ucap yang lainnya sambil mengikuti Naru.

Jantungku berdetak kencang. Apa yang harus kulakukan?? Sebentar lagi aku hanya ditinggal berdua dengan Tsubasa!!

"A.. aku…" tanpa sadar, kami berbicara dalam waktu yang bersamaan.

"Ah, silahkan… kau duluan saja…" ucapku mempersilahkan Tsubasa untuk bicara lebih dulu.

"Ti.. tidak… kau saja. Aku jadi lupa mau bicara apa tadi." Kata Tsubasa sambil menggaruk-garuk kepala.

Sebenarnya, aku ingin mengatakan kalau aku menyukainya. Tapi apakah sekarang sudah waktunya aku mengucapkan hal tersebut? Aduh, aku jadi malu!! Tapi, kapan lagi ada waktu seperti ini. Ya!! Aku harus menyampaikan perasaanku. Aku tidak perduli dengan apa jawaban yan akan ia lontarkan nanti!! Tekatku sudah bulat!!

"Sebenarnya… aku…"

"Kenapa?? Apa ada yang sakit??" Tanya Tsubasa dengan nada cemas.

"Aku… aku suka Tsubasa!!" jawabku dengan cepat. Aku malu untuk berlama-lama. Dan aku tak berani menatap wajahnya. Aku hanya bisa tertunduk dengan wajah yang benar-benar panas rasanya seperti terbakar.

"A… kau su… suka pa… padaku??" ulangnya dengan terbata-bata dan terkejut.

"Iya, selama ini… aku selalu memperhatikan Tsubasa dan menyukai Tsubasa." Jelasku dengan wajah tertunduk malu.

Tsubasa sempat terdiam agak lama. Suasana hening itu membuatku benar-benar resah. Aku tidak suka dengan keadaan seperti ini.

Rasanya aku ingin berteriak!!

Dadaku berdegup kencang dan hampir pecah dibuatnya.

Kepalaku berdenyut keras dan aku bisa merasakan betapa panasnya wajahku.

"A… aku…" ucapan terbata yang dilontarkan Tsubasa membuat telingaku berdenging. Aku benar-benar gila dibuatnya!! "A… se… sebenarnya… selama ini… aku…"

CKLEK

"Ah, nona Kinomoto… selamat sore. Maaf mengganggu." Seorang suster muda yang cantik dengan rambut pirang datang membawa baki yang berisi botol-botol dan pengukur tekanan darah.

"Tidak apa-apa. Silahkan masuk, Suster!!" jawabku.

Suster itupun masuk dan mendekatiku. "ah, ternyata Nona Kinomoto hari ini membawa kekasihnya!!" ucapnya dengan tawa.

"…" kami berdua sama-sama terdiam.

"Ops, apa ada yang salah dengan kata-kataku?? Maaf-maaf, tuan dan nona… maafkan kelancanganku ya!!"

Aku hanya bisa tersenyum mendengar candaan suster muda itu.

CKLEK

Kini pintu terbuka lagi, dan kali ini ayah yang masuk ke dalam ruangan.

"Sakura, bagaimana keadaanmu hari ini??" Tanya ayah padaku sambil mengecup keningku.

"Sudah baikan. Sekarang suster ini akan melakukan cek ulang." Jawabku.

"Ah, kalau begitu… aku pulang dulu Sakura…" ucap Tsubasa tiba-tiba meminta pamit.

"Oh, kau sudah mau pulang? Terburu-buru sekali…" ujarku dengan sedikit kecewa.

"Tidak apa-apa. Nanti kita masih bisa bertemu di sekolah, kan!!"

"Ah, tentu saja!!!"

"Baiklah, akan kuberi tahu di sekolah nanti. Cepat sembuh, ya!!" ucap Tsubasa sebelum pintu tertutup.

CKLEK.

Oh, Tuhan… bagaimana ini?? Sebenarnya apa yang akan ia katakana padaku?? Aku sudah hampir mati dibuatnya!!!

"Sakura, kenapa wajahmu memerah begitu? Apa ada yang salah dengan obatnya, Suster??" Tanya ayah kepada suster yang sedang menghitung tekanan darahku.

"Tidak, Tuan. Tekanan daranya normal!" jawab suster muda itu dengan wajah konyol.

"Aaahh, Ayah!!! Sudahlah… aku sudah tidak apa-apa. Lagi pula besok aku sudah boleh pulang!!!"

Ayahpun tersenyum mendengarnya.

000

Setelah keluar dari rumah sakit, aku cepat-cepat mengurus kepindahanku dari sekolah. Farewell party dari klub cheer dan klub olahraga yang selalu mendapat support dari tim cheer.

Tekadku sudah bulat saat itu untuk melepas semua kenanganku yang tertinggal di Jepang. Kenangan tentang ibu dan adikku. Kenangan tentang ayahku. Kenangan tentang klub cheerleader yang aku cintai. Dan, kenangan tentang Tsubasa Ozora yang tak akan pernah terlupakan.

Nantinya, dua hari setelah farewell party, aku akan langsung berangkat ke Australia. Ayah sudah menyiapkan tempat untukku beserta dengan isinya. Juga tempat dimana aku akan bersekolah nantinya.

Menjelang sore, awan nampak sangat gelap. Sekolah sudah mulai hening karena sedikitnya murid yang tersisa. Agaknya, karena mendung yang sangat gelap, semua kegiatan ekstrakulikuler dibatalkan. Benar-benar cuaca yang tidak ramah. Padahal aku merencanakan untuk pergi mencetak foto-foto yang barusan ku dapat dari farewell party. Saat itulah Tsubasa menghampiriku dan mengajakku berbicara.

"Sakura…" panggilnya.

Aku yang sedang menunduk memakai sepatu di depan loker langsung saja menengadahkan kepalaku untuk menghadap kearahnya.

"Ah, Tsubasa?? Ada apa??" tanyaku sambil dengan cepat membetulkan letak tali sepatuku.

"Begini.. aku ingin bicara…"

"Bicara?? Bicara saja. Maaf ya, aku membetulkan sepatuku dulu.." jawabku yang masih sibuk dengan tali sepatu sambil tertawa sedikit.

"Aku… aku suka…" ucapnya dengan cepat.

Aku tidak begitu mendengar apa yang ia katakan karena aku masih sibuk mengikat tali sepatuku.

"Aku menyukaimu, Sakura!!" ucapnya lagi dengan cepat.

Kali ini aku mendengar dengan jelas. Setiap detil yang dia ucapkan. Setiap huruf yang membentuk kata itu. Setiap makna yang terkandung di dalamnya. Aku tahu kata-kata itu harusnya terlontar dari mulutku dan bukan dari mulut Tsubasa!!

Aku berdiri dan memandang kesungguhan yang terpancar dari bola matanya. Aku tahu bahwa Tsubasa bukanlah orang yang suka memainkan perasaan wanita.

"Apa… maksudmu??" tanyaku dengan wajah pura-pura tidak mengerti.

"Maaf, aku baru bisa menyampaikannya sekarang. Sebenarnya, sudah lama aku menyukaimu… tapi…"

"Terima kasih." Buru-buru aku katakana itu sebelum Tsubasa menyambung kalimatnya.

"… eh??"

"Ya, terima kasih…"

"Apa kau juga menyukaiku??"

"…"

Aku terdiam untuk beberapa saat sebelum dengan tegar dan jelas mengatakan jawaban. "Tidak!" ucapku lantang diiringi dengan senyum manis.

"Ah.. ke.. kenapa??" Tanya Tsubasa dengan nada penasaran seakan tidak percaya dengan apa yang baru kukatakan.

Aku menarik nafas panjang. Berusaha tersenyum bahagia dan berusaha menyampaikan bahwa aku baik-baik saja.

"Sudah ada orang yang aku sayangi… maaf…"

"Ti… tidak mungkin…"

Tsubasa, sebenarnya akupun mencintaimu… aku menyukaimu jauh sebelum kau mengenalku. Aku bahagia kalau kau juga menyimpan perasaan yang sama denganku. Tapi apa daya… aku tak bisa menerima hubungan yang seperti ini.

Aku tidak sanggup menelan rinduku seorang diri. Apa iya nantinya aku bisa bahagia dengan hubungan yang terjalin dengan keadaan dan tempat yang berbeda? Aku sudah menyatakan di muka. Bahwa aku tidak akan sanggup!

"Maaf, Tsubasa. Tapi memang aku sebenarnya sudah memiliki kekasih. Kemarin itu hanya ku ucapkan karena aku memang ada rasa padamu. Tapi yang sebenarnya,aku tidak mungkin untuk menjalin hubungan denganmu. Maafkan aku dan terima kasih." Ucapku sambil berlalu meninggalkan Tsubasa. Aku mempercepat langkah kakiku. Walaupun hujan yang tajam menembus seragam sekolahku, aku tak perduli dan terus berlari. Aku tidak ingin Tsubasa melihat air mataku. Aku tak ingin seorang pun tahu kalau aku ini gadis yang cengeng. Yang hatinya sedang remuk redam oleh cinta yang ku korbankan sendiri.

Gerakan kakiku semakin kupercepat. Cipratan air di jalanan membasahi sepatu dan kaus kakiku. Tapi aku tak perduli. Sampai dadaku terasa sesak, aku mulai memperlabat lariku. Mencoba berpegangan pada satu tembok dan kemudian berjalan tertatih bersandar tembok. Walaupun rumahku sudah di depan mata, aku tidak bisa mempercepat langkahku. Aku hanya bisa berusaha mencoba tenang dan berkonsentrasi mengatur napasku.

"Hhhhhiiiiggggg…..ehhhhhhhh…"dadaku mulai meronta. Merasa tercabik-cabik. Dan ketika aku sampai pada pintu rumahku, begitu pintu dibuka dari dalam aku langsung ambruk.

Terdengar suara pelayan-pelayan ayahku yang berteriak histeris dan mencoba mengangkat tubuhku.

"Hhhhhiiiggg….kamaaarrr….laaacciiii…kaaammmaarrrkkuuuu…hhiiiigggg…." ucapku terbata.

"Baik, Nona. Segera saya ambilkan." Ucap salah seorang pelayan.

Dengan tergesa-gesa, pelayan tersebut membawa beberapa bungkusan plastik.

"Hhggg… hiiiggghh…." Nafasku terasa berat dan sesak sekali. Seketika itu juga aku kehilangan kesadaranku.

Rasanya badanku lemas sekali dan tak kuasa untuk bergerak sedikitpun. Jangankan bergerak, mendengarpun rasanya aku tak mampu. Itulah terakhir kalinya aku kehilangan kesadaran sebelum aku tiba di Australia.

Aku benar-benar sedih dan aku tidak ingin ada seorangpun yang mengantarku ke airport. Aku hanya ditemani supir saja. Sebenarnya, ayah memaksaku untuk mengantarku sampai airport. Tapi aku menolaknya.

"Sudahlah… aku tidak apa-apa, Yah!! Aku bisa mengurus semuanya seorang diri… apa ayah lupa kalau aku sudah dewasa??"

"Ah, tentu saja sayang. Baiklah kalau begitu. Ayah hanya bisa mendoakanmu. Disana kau akan dijemput oleh ajudah Ayah yang sudah ayah siapkan khusus untukmu." Jawab Ayah dengan wajah sedih.

"Terima kasih banyak, Ayah.." aku memeluk ayah dengan linangan air mata yang membasahi bahu kanan ayah dan ayahpun mengelus rambut pendekku dengan lembut dan penuh rasa sayang.

"Ayah akan selalu merindukanmu, sayang…" ucap ayah dengan berlinang air mata.

000

Sesampainya di Narita, aku membuka kembali boarding pass milikku yang kuselipkan dalam tas.

Selagi aku membacanya, tanpa tersadar aku menabrak seorang perempuan cantik berkulit putih dan memiliki rambut panjang yang sangat indah.

Dengan bandana putih di ujung kepalanya dan poni yang rata menutupi dahinya, gerak rambutnya yang panjang dan dibiarkan terurai sampai punggung itu terlihat benar-benar anggun. Lain sekali dengan aku yang hanya memakai sepatu kets, kaus, dan celana Capri.

Apalagi ditambah dengan rambut yang pendek sebahu dengan potongan tidak beraturan. Sebab jika rambutku panjang dan dipotong dengan potongan rambut yang melambai-lambai, bagiku akan sulit sekali bergerak. Mengingat kegiatanku di cheer club begitu padat. Aku memilih potongan yang nyaman untuk diriku sendiri, walaupun tidak pas di mata orang.

Tapi, sejauh ini tidak ada yang mempermasalahkan hal itu. Mereka terkesan tak acuh pada apa yang melengkapiku. Yang penting, performa atraksiku selalu lancer dan patut diacungi jempol.

"Ma.. maaf… apa kau bisa berdir??" ucapnya lembut sambil mengulurkan tangannya padaku.

"Ah, tidak apa-apa. Jangan khawatir... aduh…" aku menyambut uluran tangannya dan berdiri kembali.

"A.. aku tidak sengaja. Aku benar-benar minta maaf!!!" ucapnya dengan takut sambil menunduk dalam-dalam.

"Aah, sudahlah… tidak apa-apa. Aku juga yang salah. Tadi aku tidak melihat jalan, sebab aku kebingunan untuk mencari terminal pesawatku." Ujarku dengan senyum. Tak lupa ku tunjukkan secarik kertas yang merupakan tiket pesawatku.

"Ah, kau mau pergi ke Australia?? Aku juga."

"Ya, pesawatku menuju Perth International Airport.." ujarku sambil membaca tulisan yang tertera didalamnya.

"Hmm… wah, kita akan mendarat di tempat yang sama. Benar-benar suatu kebetulan!!"

"Ya, dan kebetulan juga aku pergi seorang diri menuju Perth. Kalau kau?"

"Akupun sama. Tapi orang tuaku menjemputku disana. Mereka sudah lebih dulu pergi mendahului aku." Jawab gadis yang berdiri didepanku dengan wajah yang ramah dan cantik.

"Oh ya, kenalkan. Namaku Sakura Kinomoto." Ucapku sembari memberikan tanganku padanya.

Dengan senyum manis dan tatapan yang bersahabat, ia menyambut uluran tanganku dan menggenggamnya erat.

"Tomoyo Daidoudji." Ucapnya dengan selalu diiringi senyuman manis.

Entah mengapa, saat melihat senyum manisnya aku jadi teringat pada ibuku yang sudah berada di surga sana.

"Ah, kalau begitu bagaimana kalau kita nanti pergi bersama-sama. Kebetulan, ini adalah kali pertamaku pergi ke Australia…" pintaku pada Daidoudji.

"Ah, baiklah. Aku juga tentunya bosan kalau sendiri terus. Aku merasa sangat senang bisa membantumu." Jawab Tomoyo dengan senyum yang selalu tertangkap indah di depan mataku.

Obrolan kami tidak terputus walaupun kami sudah tiba di Perth International Airport. Tomoyo adalah teman yang sangat menyenangkan dan hangat sekali. Kepribadiannya benar-benar elok dan feminism.

"Ah, Kinomoto… sepertinya orang itu menjemputmu." Jari Tomoyo menunjuk seorang laki-laki berpakaian putih dan celana hitam. Ia mengenakan dasi dengan sangat rapih dan membawa kertas bertuliskan Ms. Kinomoto.

"Ah, kalau begitu kita berpisah disini…" ucapku pada Daidodji.

Aku memeluknya dengan hangat dan bersalaman. "Sampai jumpa lagi, Kinomoto." Ucapnya dengan kata yang lembut.

"Thanks for all. See you next time." Ucapku sambil menjauh darinya dan tak lupa kulambaikan tanganku.

Aku kemudian menghampiri laki-laki yang berpakaian rapih itu. "Moshi-moshi, watashi wa Kinomoto des."

Dia hanya terdiam dan terbelalak mendengar kata-kata yang ku ucapkan. Agaknya, orang ini tidak mengerti bahasa Jepang.

"Sorry, I'm Kinomoto-san from Tokyo." Ucapku dengan senyum manis.

"Oh, sorry. I'm Mr. Nicole from Fuji Company. Your father instructs me to do some certain thing."

"Oh, well. I know. My father already told me."

"Okay then, let's go!"

000

Dan kemudian itulah aku sampai pada saat ini. Dalam perjalananku menuju Libes. Dimana aku baru saja terbangun dari mimpi burukku yang sangat panjang dan menakutkan. Tapi, aku bukanlah orang yang dengan enteng menyerahkan hidupku begitu saja kepada dunia. Aku akan mempertahanan indahnya hidup dengan perjuangan yang keras. Sehingga dunia akan tahu, bahwa aku adalah Sakura yang tak akan kalah dengan kenyataan pahit dunia…