A/N: Halo, saya datang lagi dengan fic NaruNaru. Ini sekuel dari Ayo Pulang, Onee-san dan Satu Jiwa, Satu Badan. Meskipun sebenernya tanpa membaca dua fic sebelumnya juga ga masalah. Dengan begini trilogy NaruNaru udah beres. Ok, selamat membaca ;)
Janji Kita
Naruto © Masashi Kishimoto
Genre: Family
Rate: T
Summary: Naruto dan Naruko pernah berjanji untuk melangsungkan pernikahan mereka bersama-sama. Namun ternyata sesuatu terjadi dan Naruto tidak bisa menepati janjinya kepada Naruko. Akankah impian mereka untuk menikah bersama bisa tercapai?
Warning: AU. OOC. NON INCEST, hanya menceritakan kasih sayang diantara saudara kembar, tidak lebih dan jangan berharap lebih. Mungkin juga ada typo. Naruto POV.
Chapter 1
– Gomen, Naruko –
Konoha - Jepang, 5 Agustus 2012
"Deidara Namikaze, apa kau bersedia menerima Konan sebagai istrimu dalam keadaan susah maupun senang?"
"Bersedia."
"Konan, apa kau bersedia menerima Deidara Namikaze sebagai suamimu dalam keadaan susah maupun senang?"
"Bersedia."
"Dengan ini kunyatakan kalian sebagai pasangan suami istri."
.
.
.
"Mereka pasangan yang cocok," kata Naruko yang saat itu berada disampingku.
Aku dan Naruko sedang berada di acara pernikahan Deidara dan Konan. Tak disangka ternyata Deidara menikahi Konan, wanita asal Jepang. Mungkin saking seringnya Deidara bolak-balik Inggris-Jepang sehingga mendapatkan jodoh orang Jepang. Karena itu juga pernikahan mereka diadakan di Jepang.
"Iya, mereka cocok," kataku sambil mengangguk setuju.
"Suatu saat..." Naruko menggantungkan ucapannya kemudian menghela nafas pelan. Ia mendongak, melihat langit biru yang cerah. "Aku juga ingin punya suami yang tampan, baik dan menerimaku apa adanya."
"Itu sih aku," godaku sambil beranjak menuju meja makan, aku sudah lapar. Dan hidangan di acara pernikahan ini sangat cocok untuk memanjakan perutku.
"Baka! Tentu saja tidak mungkin!" Naruko mengikutiku menuju meja makan. "Seandainya kamu bukan Otoutoku, aku juga ingin menikahimu."
"He? Tapi aku tidak mau menikah dengan gadis cerewet sepertimu," candaku, disela-sela kegiatanku mengambil makanan.
"Ugh, menyebalkaannn!" Naruko mencubit tanganku. Cubitannya lumayan sakit, untung saja makananku tidak sampai tumpah.
"Ow ow, sakit. Sudah, sudah. Ayo kita makan, aku sudah lapar."
"Lihat mereka. Pasti mereka sangat senang ya sekarang."
Aku mengikuti arah pandangan Naruko. Ia melihat Deidara dan Konan yang sedang bersalaman dengan para tamu.
"Tentu saja," kata Tou-san yang saat itu sedang bergabung makan bersama kami. "Selain itu pernikahan adalah acara yang sangat sakral."
"Dan usahakan hanya terjadi sekali seumur hidup," tambah Kaa-san yang berada di pinggir Tou-san. Tou-san menggenggam tangan Kaa-san menenangkan, ia tahu kalau istrinya teringat pernikahan mereka yang sempat bermasalah.
"Sakral dan sekali seumur hidup..." Naruko mengulang perkataan Tou-san dan terlihat sedang berpikir.
"Naruto-kun," panggilnya.
"Apa?"
"Mau berjanji sesuatu?"
Aku memutar bola mata shapireku, memandang Naruko yang sedang memandangku serius.
"Janji apa dulu?" tanyaku sebelum menjawab pertanyaannya.
"Kita menikah bersama."
Aku kaget, begitu juga Tou-san dan Kaa-san. Menikah bersama? Boleh saja sih. Padahal sebagai seorang adik, aku menghormatinya dan berpikir untuk membiarkan Naruko menikah duluan. Biar bagaimanapun setelah Karin-Neesan meninggal, Naruko jadi anak tertua. Walaupun ia hanya 10 menit lebih tua dariku. Tapi sebelum kami merespon, Naruko melanjutkan kalimatnya.
"Kita 'kan kembar, sepertinya double wedding menarik juga. Bukannya pernikahan itu sakral dan hanya sekali seumur hidup? Karena itu, aku ingin pernikahan kita spesial."
"He? Aku sih mau-mau saja. Aku 'kan sudah punya Hinata-chan. Nah, kamu dengan siapa? Pacar saja belum punya."
Naruto menggembungkan pipinya kemudian memukul pundakku.
"Aku 'kan tidak bilang sekarang! Berhentilah tertawa. Aku serius. Apa kamu mau berjanji?"
Aku berpikir tidak ada salahnya juga untuk melaksanakan pernikahan berdua.
"Baiklah," kataku mantap.
Naruko tersenyum lebar. Senyuman yang mirip sekali dengan senyumanku. "Kita akan menikah bersama dengan pasangan kita masing-masing."
Aku membalas senyumannya. Semoga benar kata Naruko, pernikahan kita nanti akan menyenangkan.
Konoha – Jepang, 3 September 2012
Seperti yang kalian tahu, setelah lulus dari Konoha High School, aku meneruskan kuliah di Konoha University. Begitu juga Naruko dan Hinata. Hinata masuk jurusan Akuntansi. Naruko memilih jurusan Fashion Desain sedangkan aku memilih jurusan Desain Komunikasi Visual bersama Sai, masih satu fakultas dengan Naruko. Perkuliahan dimulai hari ini. Dan tahukah kalian? Rupanya Shion dan Yakumo yang juga kuliah di Konoha University ternyata mengambil jurusan yang sama denganku!
Jujur saja waktu bertemu mereka di kelas aku masih merasa kesal atas apa yang mereka perbuat waktu di Konoha High School. Bayangkan saja, hubunganku dengan Naruko hampir hancur gara-gara mereka. Bahkan sampai membuat Naruko kabur ke Inggris. Meskipun mereka sudah kuberi pelajaran dan mereka juga sudah meminta maaf, rasa kesal masih saja ada di benakku.
Hingga suatu hari seorang dosen 'iseng' membagi kelompok dan membuatku, Sai, Shion dan Yakumo sekelompok. Sehingga memaksa kami sering bekerja kelompok. Seiring berjalannya waktu aku mulai bisa menerima Shion dan Yakumo. Ternyata mereka tidak sejahat yang kukira. Mereka masih punya sisi baik pada diri mereka. Dan yang paling utama, mereka pintar. Seringkali saat aku dan Sai kesulitan saat menghadapi materi kuliah, mereka membantu kami dengan senang hati. Apalagi aku, aku sadari aku paling bodoh di antara mereka bertiga. Akhirnya mereka bertigalah yang selalu menemaniku melewati penderitaan jadi anak desain selama 1 semester ini.
Saat semester 1 berakhir, aku sudah bisa sepenuhnya melupakan permusuhan di antara kami. Saat itu Hinata menyarankan untuk membawa Shion dan Yakumo ke rumah. Siapa tahu Naruko juga sudah bisa memaafkan dan baikan dengan mereka. Aku langsung menyetujuinya.
"Apa kau yakin Naruko tidak akan mengusirku?" tanya Shion saat aku dan Hinata menariknya ke rumahku. Yakumo mengikuti di belakang. Sekarang kami sudah berada tepat di depan pintu masuk rumahku.
"Tidak. Dia bukan orang yang pendendam," kataku meyakinkan.
"Semoga kau benar," balasnya.
Aku membuka pintu rumah dan meneriakan 'Tadaima'. Naruko yang saat itu sedang nonton TV berlari menyambutku.
"Okaeri."
"Naruko. Aku membawa temanku," kataku dan mempersilahkan Shion dan Yakumo masuk.
"H-hai Naruko," sapa Shion.
"Hai." Yakumo ikut menyapa.
Naruko terpaku melihat siapa yang kubawa. Sejujurnya aku jadi takut kalau Naruko mengusir Shion dan Yakumo.
"Aku tahu mungkin kau masih marah pada kami," ucap Shion menunduk.
"Kami minta maaf atas perbuatan kami waktu itu." kata Yakumo "Kami-"
Kata-kata Yakumo terhenti saat Naruko memeluknya dan Shion.
"Apa yang kalian bicarakan?" gumam Naruko pelan. "Sudahlah, itu 'kan masa lalu. Aku sudah melupakan itu."
Aku dan Hinata tersenyum. Ya, itulah Nee-sanku Naruko, ia bukan tipe orang yang pendendam.
"Naruko... Arigato. Apa sekarang kita teman?" tanya Shion.
"Dari dulu kalian memang temanku," jawab Naruko.
Shion semakin mempererat pelukannya kepada Naruko, begitu juga Yakumo.
"Idemu memang bagus Hinata-chan." Aku menarik tangan Hinata untuk memasuki rumah. Membiarkan ketiga gadis yang masih berpelukan itu meluapkan rasa senang dan lega mereka. Hinata tersenyum lembut dan mengikutiku.
Konoha – Jepang, 3 Juli 2014
"Ah yang benar?"
"Serius?"
Aku menutup telingaku dengan guling saat suara-suara berisik yang bersumber dari kamar Naruko mengganggu tidur siangku.
"Iya!"
"Selamat yaaa.."
"Aku tunggu traktirannya."
Ugh, aku tidak tahan lagi dan segera bangun dan menuju sumber keributan yang menggangguku untuk meminta ketenangan. Dengan kasar aku mengetuk pintu kamar Naruko. Sesaat kemudian sang pemilik membuka pintu kamarnya lebar-lebar.
"Apa sih ribut-ribut?" bentakku kesal. Naruko tidak menjawab tapi malah tersenyum lebar. Tak lama kemudian segerombolan gadis keluar dari kamarnya. Kulihat ada Sakura, Ino, Shion, Yakumo, dan Hinata.
"Sudah ya aku pulang dulu," kata Sakura.
"Aku juga. Kau berhutang banyak cerita padaku." Kali ini Ino.
"Aku juga pulang." Disusul Shion yang diikuti Yakumo.
"Aku pulang Naruko-chan," kata seorang gadis yang suaranya sangat familiar bagiku, siapa lagi kalau bukan Hinata, pacarku.
"Eh, Hinata-chan? Kenapa pulang?" tanyaku kecewa.
"Aku 'kan sudah dari pagi disini. Besok aku kesini lagi."
"He-hei." Aku ingin mengejarnya tapi Naruko menahan leherku.
"Sudah-sudah, lupakan dulu Hinata-chanmu, aku mau cerita sesuatu." Naruko menarikku dengan paksa ke kamarku. Kemudian dengan seenaknya dia menjatuhkan dirinya di kasurku. Melebarkan tangan dan kakinya, tidak menyediakan sedikitpun ruang kosong di sana. Terpaksa aku duduk di kursi meja belajarku. Aku memutar kursi dan menghadap ke arah Naruko.
"Ada apa?" tanyaku cuek.
"Naruto-kuuuunnn. Aku senang sekali hari ini," kata Naruko sambil berguling-guling di kasur dan memeluk gulingku. Astaga, perilakunya mirip sekali gadis SMA. Sadar tidak sih dia sudah kuliah tingkat 2?
"Iya senang kenapa? Aku tidak bisa tahu kalau kamu hanya berguling-guling tidak jelas begitu," kataku masih saja cuek. Naruko bangun dan duduk di tepi kasurku, tangannya menepuk tempat disisinya, memberi isyarat padaku untuk duduk disampingnya. Begitu aku duduk disana, ia langsung memeluk leherku tanpa mempedulikan aku yang hampir kehabisan nafas gara-gara perilakunya.
"He-hei lepaskan dulu aku tidak... bisa be-bernafas," kataku susah payah melepas pelukannya.
"Gomen. Soalnya aku senang sekali."
"Senang sih senang, tapi aku hampir mati kehabisan nafas!"
"Gomen, gomen. Sekarang, coba tebak, apa yang membuatku senang?"
"Apa? Aku tidak tahu," kataku malas.
"Tebak dong."
Sejujurnya aku sedang malas main tebak-tebakan. Jadi aku menjawabnya dengan asal.
"Ojii-san mentraktirmu ramen?"
"Bukan."
"Dapat baju baru setelah shopping dengan Hinata dan yang lain?" Naruko menggeleng.
"Dapat uang dari Tou-san dan Kaa-san?" Menggeleng lagi.
"Temari-Neesan dan Gaara mau kesini?"
"Bukaaaan."
"Sudahlah ceritakan saja, aku malas menebak lagi!" teriakku frustasi.
"Baiklah dengarkan baik-baik." Naruko memegang kedua pundakku, mengarahkanku agar aku memperhatikannya baik-baik. Kulihat pipinya merona merah saat ia bersiap-siap bicara. Aku menunggunya dengan tidak sabar.
"Aku dan Sasuke... sudah jadian," katanya dengan muka yang sudah sangat memerah.
"APA?" Aku terlonjak dan berdiri. Naruko dan Sasuke? Pacaran? Nee-san dan sahabatku? Mereka pacaran? Rasanya aku seperti salah dengar, rasanya seperti ditipu oleh telingaku sendiri. Ayolah, Naruko dan Sasuke hobi sekali bertengkar, bagaimana bisa mereka pacaran?
"Um, tadi siang dia menyatakan cintanya padaku."
Namun kalimat Naruko selanjutnya meyakinkanku kalau aku tidak salah dengar. Kemudian aku tersenyum dan memeluknya. Sasuke itu sahabatku, aku tahu betul bagaimana sifatnya. Walaupun terlihat cuek, tapi dia sangat perhatian. Aku yakin Sasuke orang yang cocok untuk jadi pacar Nee-san.
Walaupun disisi lain aku merasa sedikit kehilangan. Mungkin aku dengan Naruko tidak akan pergi berdua sesering dulu karena sekarang ia sudah punya Sasuke yang siap menemaninya. Tapi aku berusaha untuk tetap senang untuk Nee-sanku. Aku mengambil sisi positifnya, mulai sekarang Naruko tidak akan menggangguku saat aku kencan atau pergi berdua bersama Hinata.
"Selamat ya," ucapku tulus sambil tetap memasang senyumanku. Aku mengelus-elus puncak kepalanya.
Aku merasakan Naruko mengangguk dalam pelukanku dan bilang "Arigato, Otouto."
Setelah melepas pelukan, kami berbaring di kasurku sambil menatap langit-langit kamarku.
"Naruto-kun..." kata Naruko. "Dengan begini, aku semakin dekat dengan impian kita untuk menikah bersama. Sekarang aku sudah punya pacar, yaitu Sasuke."
"Hmpft." Aku menahan tawaku. "Kamu ini... nikmati saja dulu masa mudamu. Urusan menikah itu masih lama."
Dan setelah itu kamarku diwarnai dengan gelak tawa kami berdua.
Konoha – Jepang, 10 September 2016
Hari ini adalah hari Wisuda Konoha University angkatanku. Acara penyerahan piagam sudah selesai. Sekarang aku sedang duduk di kursi taman kampusku. Tou-san dan Kaa-san sedang mengobrol dengan orang tua Sakura dan Shikamaru. Naruko sedang berbincang dengan teman-teman jurusannya, begitu juga Hinata.
"Hei Naruto." Kulihat Sai, Shion dan Yakumo berjalan ke arahku. Aku tersenyum kepada mereka.
"Lihat transkrip nilaimu," kata Shion.
"Wow. Bagus untuk seorang Namikaze Naruto," kata Sai. Karena ia tahu betul seberapa bodoh aku ketika masih di Konoha High School.
"Pantas saja kau termasuk ke 10 orang penerima beasiswa untuk jurusan DKV," tambah Yakumo.
Yup, aku dapat beasiswa untuk melanjutkan S2 di universitas manapun yang kumau, begitu juga dengan ketiga sahabatku. Dan tentu saja nilai mereka lebih bagus dariku. Sai berada di urutan ke-1, Yakumo ke-2, Shion ke-6, dan aku ke-9. Tapi aku tetap bersyukur. Malah awalnya aku tidak percaya, mengingat betapa bodohnya aku ketika masih di Konoha High School. Mungkin ini karena subject di kuliah lebih terfokus ke desain yang merupakan hobiku jadi aku bisa mendapat nilai bagus.
"Aku juga tidak menyangka hasilnya akan begini. Ini berkat kalian juga yang selalu membantuku selama kita kuliah," ujarku sambil tersenyum tulus ke arah mereka. Mereka membalas senyumanku.
"Apa rencanamu setelah ini?" tanya Shion.
"Aku akan bekerja di perusahaan ayahku di London. Kalian?"
"Aku akan meneruskan kuliah S2, katanya Master of Fine Arts di Oxford lumayan bagus. Aku juga sudah kangen pada orang tuaku di Sheffield. Jika aku kuliah di Oxford, aku bisa sering menemui mereka."
"Aku akan ikut dengan Shion," kata Yakumo.
"Aku juga. Karena Yakumo ikut Shion, aku juga ikut." Sai berkata cuek. Mengikuti Yakumo? Ah, sepertinya dugaanku benar. Melihat kedekatan Sai-Yakumo akhir-akhir ini, kelihatannya tinggal menunggu waktu sampai mereka meresmikan hubungan mereka. Sesama pelukis terhebat di Konoha membuat mereka sangat cocok untuk bersama.
"Ah kalian berdua ini tidak punya pendirian. Hanya ikut-ikutan Shion saja."
Kami semua tertawa.
"Apa kau yakin akan langsung kerja Nar?" tanya Sai masih belum yakin. "Sayang juga beasiswamu kalau tidak dipakai."
"Ya. Biar nanti aku bicara ke pihak kampus agar memberikan beasiswa milikku kepada mahasiswa yang berhak. Mungkin saja bisa diberikan kepada mahasiswa di urutan ke-11 di jurusan kita."
"Hmm. Kami hargai keputusanmu."
Sepulang dari kampus dan mampir di studio foto bersama keluargaku, aku sampai di rumah sore hari. Setelah mandi dan beristirahat sejenak, aku melangkahkan kakiku ke dapur. Kubuka lemari es di dapur dan mengambil sekaleng minuman bersoda. Setelah itu aku bersantai di balkon lantai 2.
Jika aku duduk disini, aku jadi ingat Karin-Neesan. Dulu aku sering duduk disini bersamanya. Kalau dihitung, hari ini adalah tepat 6 tahun Karin-Neesan meninggalkan keluarga kami. Sekarang kami sudah ikhlas melepasnya. Aku tersenyum memandang langit.
"Karin-Neesan, aku sudah lulus kuliah," ujarku pelan sambil tetap tersenyum.
Saking asiknya bersantai disana, aku tidak sadar saat Naruko datang dan menepuk pundakku. Aku menggeser dudukku agar Naruko bisa duduk di sampingku.
"Tidak terasa 4 tahun sudah berlalu dan kita sudah lulus kuliah. Aku masih ingat betul bagaimana susahnya usahaku untuk memasukkanmu ke Konoha University," kata Naruko. Ia terlihat cantik sekali saat matahari sore menyinari wajahnya.
", aku juga ingat. Waktu itu kamu memalsukan lembar ujianku."
Aku sadar Naruko sama sekali tidak tertawa bersamaku, aku menoleh ke arahnya. Wajahnya tampak sedih.
"Na-Naruko?" tanyaku ragu.
"Jadi... kamu akan meneruskan perusahaan Tou-san di Inggris?" tanya Naruko, suaranya bergetar.
"Ya. Memang itu tujuanku dan Tou-san dari awal 'kan?"
"Iya, tapi entah kenapa aku jadi tidak mau kamu ke Inggris. Aku tidak mau kita berpisah." Aku memandang wajahnya, mata shapirenya berkaca-kaca.
Kalau boleh jujur, sebenarnya aku juga ingin mengatakan hal yang sama. Sudah 6 tahun aku dan Naruko bersama. Sudah banyak cobaan yang kami hadapi. Banyak cobaan yang berusaha menguji kekuatan tali persaudaraan kami. Dan selama itu pula kami bisa bertahan dan menjaga agar hubungan kakak-adik kami tetap terjaga dengan baik. Tapi sekarang kami harus berpisah. Memang berat, tapi ini harus dijalani. Aku tidak bisa terus bergantung kepada Naruko, begitu juga sebaliknya.
Aku memeluk Naruko dari samping dan menarik kepalanya agar bersandar di pundakku. Kuharap ini bisa menenangkannya.
"Aku juga sebenarnya berat harus meninggalkanmu, meninggalkan Kaa-san dan juga Tou-san disini. Tapi kamu tahu 'kan kita tidak bisa terus-menerus bersama? Cepat atau lambat kita harus menjalani kehidupan kita masing-masing, memilih jalan hidup kita sendiri-sendiri." Naruko mengangguk. "Kalau kamu bagaimana? Apa rencanamu? Kudengar Kaa-san sedang membuat butik baru di Tokyo. Apa kamu akan membantunya?"
Naruko menegakkan badannya dan berusaha tersenyum. Aku melihat sisa air mata di pipinya. Kuhapus air mata yang masih tersisa disana dengan jariku.
"Iya, aku akan membantu Kaa-san," ujar Naruko. "Malah katanya butik itu untukku."
"Oh ya? Bagus dong."
"Hn." Naruko tersenyum. "Nanti kamu harus sering pulang ke Jepang ya."
"Tenang saja. Aku pasti sering pulang, Hinata-chanku 'kan ada di Jepang. Aku pasti menepati janji kita."
Naruko kembali tersenyum mengetahui aku masih mengingat janji kami.
Konoha – Jepang, 12 September 2016
"Lihat ini."
Naruko menunjukkan cincin di jari manisnya saat makan malam.
"Whoaaaa... Dari Sasuke?" tanyaku antusias. Tou-san dan Kaa-san tak kalah antusias.
"Ya. Um.. Katanya anggap saja ini sebagai cincin pertunangan."
"Selamat ya sayang," kata Kaa-san sambil mencium pipi Naruko. "Kenapa tidak langsung saja menikah?"
Pertanyaan Kaa-san sukses membuat pipi Naruko memerah.
"Ah, i-itu... Sasuke bukan tipe orang yang seenaknya menggunakan kekayaan orang tua. Setelah ia diangkat jadi Direktur Utama Uchiha Corp. seminggu lalu, ia bilang ingin mengumpulkan dulu uang hasil kerja kerasnya. Setelah itu baru ia, a-akan melamarku."
"Wah, pemuda yang bertanggung jawab," puji Tou-san.
"Be-begitulah. Katanya 1 atau 2 tahun lagi dia akan melamarku. Selain itu aku 'kan ingin menikah bersama Naruto," kata Naruko sambil melirikku. Ah sial, sekarang semua pandangan tertuju padaku.
"Oh benar juga. Kapan giliranmu Naruto? Kau dan Hinata sudah lama pacaran. Sebentar lagi aku akan mengangkatmu jadi Direktur Utama Namikaze Corp di Inggris. Bisa dibilang kau sudah lebih dari mapan. Apa lagi yang kau tunggu? Minimal ajaklah bertunangan terlebih dahulu. Agar kalian terikat," kata Tou-san panjang lebar.
"Ya. Dengan begitu saat kau ke Inggris, kau tidak khawatir meninggalkan Hinata-chan di Jepang," timpal Kaa-san.
"Benar juga," ujarku mengiyakan. Aku menunjukkan cengiran khasku. "Baiklah, aku akan lakukan secepatnya."
"Yaayyy." Naruko bersorak dan menghambur memelukku setelah itu.
Konoha – Jepang, 15 September 2016
Malam itu aku sedang berada di tempat makan favoritku dan Hinata. Ini hari jadi kami yang ke-7. Dan di momen yang spesial ini aku ingin mengajaknya untuk bertunangan, seperti saran Tou-san.
Aku sudah menunggunya hampir satu jam. Tidak biasanya Hinata terlambat. Tapi aku tetap sabar menantinya. Walaupun semakin lama menunggu, aku malah semakin gugup. Sebuah cincin sudah kusiapkan di saku celanaku. Aku tidak sabar untuk memberikannya kepada Hinata.
Setelah satu setengah jam menunggu, penantianku menunjukkan hasil saat sosok yang kutunggu datang.
"Hinata-chan," panggilku
Hinata hanya berdiri saat aku persilahkan duduk.
"Kenapa diam saja, ayo duduk." Dengan ragu Hinata duduk.
"Gomen Naruto-kun, aku tidak akan lama," ujarnya.
"Ah? Kenapa?"
"Aku kesini hanya ingin bilang kalau, aku..."
Hinata menggantungkan kalimatnya. Ada yang salah dengan dirinya. Ia tidak seperti Hinata yang kukenal. Aku yakin ia sedang ada masalah yang berat. Aku dengan sabar menanti lanjutan kalimatnya.
"Aku ingin... Kita putus."
DEG!
Aku kaget bukan main.
"A-apa? Jangan bercanda Hinata-chan."
Kemudian tatapan kami bertemu dan sepertinya Hinata sedang tidak bercanda.
"A-aku serius. Aku merasa kita tidak cocok. Tolong jangan temui aku lagi," kata Hinata sambil beranjak pulang.
Saat itu juga aku langsung lemas. Aku paksakan untuk mengejar dan berteriak memanggil Hinata. Tapi Hinata tidak mempedulikanku. Pengejaranku berakhir saat Hinata memasuki mobil BMW hitam yang sangat kukenal. Mobil Hyuuga Hiashi.
"Hei, bagaimana hasilnya?" tanya Naruko saat aku sampai di rumah. "Pasti Hinata-chan setuju 'kan?"
"..." Aku tidak menjawab dan langsung memasuki kamar. Naruko mengikutiku.
"Hei jawab dong."
Aku terdiam sejenak dan menarik nafas.
"Aku dan Hinata-chan putus," kataku pilu.
"A-apa? Kenapa dia meminta putus? Ceritakan apa yang sebenarnya terjadi?"
Aku menggeleng. "Gomen, aku sedang ingin sendiri sekarang. Tolong keluar dari kamarku."
Aku mendorong Naruko ke luar kamar dengan halus. Kulihat raut kesedihan yang mulai muncul di wajah Nee-sanku.
"Naruto-kun..."
Setelah kejadian itu aku lebih sering mengurung diriku di kamar. Tujuh tahun bukanlah waktu yang singkat untuk membangun sebuah hubungan. Dan sekarang harus putus? Rasanya hatiku hancur berantakan. Semangat hidupku seperti hilang begitu saja.
Berkali-kali Tou-san, Kaa-san dan Naruko mencoba mengajakku bicara, tapi aku menyuruh mereka untuk pergi. Begitu juga saat mereka membawakanku makanan. Nafsu makanku hilang.
Bahkan air mata yang dari dulu sering kusebut sebagai simbol kelemahan, kini mengalir keluar dari mata shapireku. Ini terlalu sakit. Aku tidak kuat. Akhirnya aku hanya diam di kamar selama tiga hari.
Konoha – Jepang, 18 September 2016
Pagi-pagi sekali HPku berdering. Sebenarnya aku malas mengangkatnya, tapi saat kulihat siapa yang menelponku, aku berubah pikiran. Dia sahabat baikku waktu SMA, sudah bertahun-tahun aku tidak bertemu dengannya. Pasti dia mendengar kabar tentang putusnya aku dan Hinata. Mungkin ia khawatir padaku.
"Halo Kiba."
"Yo Naruto! Apa kabar?"
"Ancur."
"Ah, udah gue duga. Gue denger dari Naruko tentang masalah lo."
"Oh." Aku mendengus malas.
"By the way, gue punya info penting mengenai Hinata."
"Info apa?" Seketika saja aku jadi tertarik dengan obrolan Kiba.
"Gue sempet ketemu Hanabi kemarin, dan dia bilang kalau Hinata mutusin lo karena akan dijodohkan dengan anak bangsawan."
Aku terlonjak kaget. Ternyata Hinata memutuskanku bukan kerena merasa tidak cocok, tapi karena ayahnya menjodohkannya.
"Lo tau sendiri 'kan Hiashi itu gimana? Keras kepalanya ga ketulungan. Menurutku kau cari aja cewek lain. Masih banyak cewek yang mau sama lo. Gue cuma nyaranin aja. Terserah lo mau ngikutin atau ga."
"Ok. Thanks info dan sarannya bro."
"Sama-sama. Jangan sedih terus. Lo masih muda man. Nikmati aja hidup lo ok. Bye."
"Bye."
Perasaanku campur aduk sekarang, antara sedih dan kesal. Memangnya selama 7 tahun ini aku dianggap apa oleh ayah Hinata? Tukang ojek? Kalau Hiashi sudah turun tangan seperti ini mustahil aku untuk melawan. Aku tahu betul orang seperti apa ayah Hinata itu. Terus Hinata juga kenapa bohong padaku? Tidak bisakah ia sekali saja melawan kehendak ayahnya dan mengikuti apa kata hatinya?
Sepertinya Kiba benar. Aku tidak boleh sedih terus, aku harus melupakan masalah ini dan terus menjalani kehidupanku.
Saat itu juga aku memutuskan untuk meninggalkan Jepang. Sudah tidak ada gunanya aku disini. Kuambil HPku dan menelpon Sai.
"Kau dimana sekarang? London? Pendaftaran ke Oxford masih dibuka 'kan? Tunggu aku disana. Aku berubah pikiran, aku akan melanjutkan kuliah disana. Ya. Sampai ketemu."
Aku menutup telpon dan menyiapkan segala dokumen keperluan kuliah dan barang-barangku yang akan kubawa ke Inggris. Tanpa butuh waktu lama aku telah selesai dan bergegas turun.
Di ruang keluarga, aku melihat keluargaku sedang nonton TV yang langsung mengalihkan perhatian mereka padaku saat aku lewat. Wajar saja, sudah tiga hari aku mengurung diri di kamar.
"Aku akan kuliah di Oxford, aku ke Inggris sekarang."
Tou-san, Kaa-san dan Naruko kaget.
"Apa? Kenapa mendadak begini?" tanya Kaa-san.
Aku tidak menjawab dan secepat mungkin keluar dari rumah. Mereka semua mengejarku. Aku segera memanggil taxi dan memasukinya. Naruko berhasil mengejarku dan menarik jaketku.
"Kenapa terburu-buru begini?"
Aku tidak menjawab dan mendorong Naruko keluar.
"Kalau begini kau hanya lari dari masalah!" teriak Naruko sambil mengetuk-ngetuk kaca taxi. Aku menyuruh supir untuk mengacuhkan Naruko dan segera menjalankan mobilnya.
"Naruto-kun! Tunggu!"
"Tunggu!"
"Tunggu!"
Teriakan Naruko semakin terdengar pelan seiring jarak kami yang semakin menjauh. Aku menyandarkan tubuhku di jok mobil dan memejamkan mataku.
"Gomen, aku tidak bisa mewujudkan impian kita Nee-san."
To Be Continue...
A/N: Ternyata setelah ditulis, ceritanya panjang juga. Dengan begini akan jadi mutichap :) Review review review...
Arigato
-rifuki-
