—10 tahun yang lalu—

Hyukjae tidak pernah merasa sebahagia ini. bagaimana perasaanmu bila ditatap lembut penuh cinta oleh orang terkasihmu sendiri? Sungguh itu adalah hal yang serba salah. Merasa malu ingin marah namun kalian juga merasa senang disaat bersamaan hingga tidak tahu harus apa selain diam.

Ya, seperti yang Hyukjae tengah alami sekarang ini. Hyukjae merasa gugup setengah mati kala mata hitam di depannya terus memandangnya, bola mata hitam tersebut tidak sedetikpun beralih atau bergerak selain menatapnya. Hyukjae memang mencoba fokus pada buku-buku matematikanya namun gagal. Otaknya mendadak berhenti berfungsi, tangannya mendadak kaku apalagi jantungnya yang berdetak cepat.

Hyukjae menyerah. Ia membanting pensil yang di atas buku paket yang tebal lalu menatap tajam pada sosok berwajah bocah bak polos yang berada di kursi seberang, tepat di depannya. Hyukjae menahan teriakkannya ketika wajah yang bersandar sempurna pada meja itu menaikkan sebelah alisnya sebagai respon.

"Lee Donghae." Tegur Hyukjae pelan. Memeringati jika mereka masih di perpustakaan sekolah. Namun sosok yang ia tegur atau bisa dibilang sahabat yang menjabat kekasihnya itu hanya mendengus.

"Berhenti menatapku! Mau kupukul, hah?!" Hyukjae masih menjaga suaranya agar tidak berteriak namun tetap dengan kejengkelan yang kental.

Donghae menyeringai. "Aku maunya ciuman panas darimu." Katanya sambil mengetuk-ngetuk bibir tipisnya menggunakan telunjuknya.

Tak menunggu lama, buku paket tebal itu melayang di kepala Donghae membuat pria itu menahan teriakan kesakitannya. Donghae menegakkan tubuhnya seraya bibirnya mengeluarkan ringisan. Sementara sang pelaku hanya berdecih malas.

"Jaga bicaramu! Dasar mesum!"

Donghae tertawa pelan lalu menumpukan kedua tangannya di atas meja dan meletakan wajahnya di sana. "Aku belajar mesum juga darimu. Memangnya siapa yang pertama kali tertangkap basah menonton video porno? Itu kau!"

Hyukjae mendesis tajam. "Sialan kau! Sini kau pindah di sampingku, biar kucekik lehermu!"

"Hyukjae jika aku pindah di sampingmu malahan kau yang berakhir berada dalam pelukanku." Godaan itu keluar seraya mata Donghae mengerling nakal pada Hyukjae.

"Donghae, mulutmu kurang ajar sekali! Ayo, keluar, biar kutendang 'masa depanmu'!"

Donghae melotot, pura-pura takut. "Sayang, kau sadis sekali. Sifat saikomu semakin parah sejak kita berpacaran."

"Lee Donghae!"

Donghae menghela nafas melihat wajah Hyukjae yang tiba-tiba ketakutan. Donghae menyandarkan tubuhnya pada kursi lalu memasukan tangannya ke dalam saku celananya. "Baiklah, aku tidak akan menggodamu lagi."

Hyukjae mendesah lega, matanya menatap sekeliling dan hanya tinggal beberapa siswa di dalam perpusatakaan yang sibuk dalam kegiatannya masing-masing. Hyukjae bersyukur tidak ada yang mendengar percakapannya bersama Donghae.

"Awas kau! Perhatikan sekelilingmu jika mau bicara!" Peringat Hyukjae sebelum ia meraih pensilnya kembali dan mulai fokus pada soa-soal rumus di bukunya.

"Maafkan aku, oke?" Donghae berdecak pelan. "Lagipula, disini sepi dan hanya ada kita berdua di barisan meja ini. Kau saja yang berlebihan." Nada bicara Donghae terdengar gerutuan di telinga Hyukjae.

"Lee Donghae, mulutmu memang minta untuk di robek."

Donghae terkekeh geli melihat kekasih kurusnya, mulutnya terus mengoceh dengan mata lurus ke buku dan tangan yang terus bergerak menulis jawaban soal-soal rumit matematika yang menjadi PR yang di berikan guru mereka.

Ya, memang mereka sekelas dan duduk sebangku dari awal masuk SMA sampai mereka berada di kelas tiga. Bahkan satu sekolah tahu jika Donghae dan Hyukjae itu tidak pernah terpisahkan dan bersahabat dekat. Tidak ada yang berani memisahkan mereka, bagaikan hidup mereka dalam satu garis. Dan untuk kenyantaan mereka yang berpacaran hanya mereka berdua yang tahu.

Donghae dan Hyukjae tidak butuh pengakuan dari orang lain selagi mereka yang menjalani dan mereka yang merasakan bahagia. Selain itu, mereka berdua masih belum berani menghadapi kejamnya dunia jika hubungan gay mereka terbuka oleh publik.

Menyesal? Tidak, mereka tidak menyesal sama sekali. Meskipun harus melawan garis hidup yang telah di tentukan tetapi hati mereka yang memilih dan mereka menerima dengan lengan lebar atas ketidaknormalan diri meraka masing-masing.

"Hyukjae, ayo kerumahku setelah pulang nanti."

"Oke, asalkan kau menyiapkan banyak makanan dan meperbolehkan aku memainkan play station milikmu."

Lagi, seringai terlukis yang semakin menambah pesona Donghae. "Tentu saja, asalkan kau memainkannya telanjang, tanpa sehelai benang di tubuhmu."

Hyukjae melayangkan kakinya yang di bawah meja untuk menendang kaki Donghae. Namun, bukannya kesakitan Donghae malah tertawa kecil membuat Hyukjae jadi geram sendiri. Jika saja Hyukjae tidak cinta , mungkin kepala kekasihnya sudah terbelah dua.

Tawa Donghae mengeras melihat wajah kesal Hyukjae. Itu lucu dan menggemaskan juga dipandangannya.

Benar. Mereka memang tidak normal tapi mereka masih bisa tertawa, bermain, belajar, pergi dan masih banyak yang mereka lakukan seperti manusia normal lainnya lakukan. Mereka juga bisa merasakan gelora asmara seperti pasangan lurus lainnya, mencintai dan dicintai. Jadi, biarkan hanya mereka yang merasakan percikan-percikan cinta mereka dan menjalankan hidup mereka.


WE WILL BE LOVED

.

CAST:

HaeHyuk (Donghae & Eunhyuk)

.

GENRE:

Romance, Drama & Hurt

.

RATED:

T+?

.

WARNING!

YAOI!


||...HaeHyuk...||

"Lee Hyukjae, cepat keluar!"

Hyukjae meringis mendengar teriakan dari kakak perempuannya. Tidak mau mendengar teriakan memekakkan untuk kedua kalinya Hyukjae bergegas turun dari ranjang seraya memasukan ponselnya ke kantong celananya lalu berlari kecil keluar kamar sebelum menghampiri sang kakak yang sibuk menata piring di meja makan.

"Aku sudah keluar, jadi jangan teriak-teriak lagi, oke?" Hyukjae mencomot salah satu tumis kentang lalu memasukan ke mulutnya.

PLAK

Lee Sora, kakak perempuan Hyukjae itu memukul pelan punggung sang adik. "Tunggu tamunya datang baru kau boleh memakannya."

Hyukjae mendengus. "Aku tahu dan tamunya itu adalah kekasihmu makanya sangat special."

Sora tersenyum lebar. "Tentu sa—"

TING NONG TING NONG

Ucapan Sora terpotong dengan suara bel di apartemen sederhana kakak beradik tersebut.

"Itu dia. Hyukjae, cepat bukakan pintu!" Sora tampak antusias.

Dengan malas-malasn Hyukjae bergera menuju pintu. Tanpa bertanya ataupun melihat intercom lelaki kurus itu menekan kenop pintu dan mendorongnya. Mata beningnya melebar terkejut sebelum perlahan berubah ketakutan.

"Hai, Hyukjae. Lama tidak bertemu."

Melihat senyum dari sosok di depannya Hyukjae bisa merasakan pertanda buruk yang akan datang. Keringat dingin mulai muncul seiring tubuhnya yang bergetar hebat. Hyukjae menelan ludah, menyiapkan suaranya sebelum berucap.

"Lee Donghae… mau apa kau disini?" Meski Hyukjae mencoba menahannya, getar sialan itu tetap keluar dari mulutnya.

Seperti kekalahan, sosok tamu special yang di tunggu-tunggunya sejak terjadi ternyata adalah Donghae itu tersenyum remeh. Donghae membawa telunjuknya untuk menunjuk wajahnya sendiri yang Hyukjae akui semakin tampan dan matang di usia yang bukan remaja lagi seperti dulu.

"Aku kemari? Tentu saja, ingin berkunjung, Hyukjae adik iparku."

Hyukjae tidak bodoh. Ia tahu maksud panggilan Donghae untuknya. Mantan sahabat sekaligus kekasihnya saat ini adalah kekasih kakaknya. Tanpa bisa di tahan, mata Hyukjae memerah menahan tangis.

Melihat Hyukjae seperti ini, benteng pertahanan Donghae runtuh seketika. Tatapan dingin menusuknya berubah menyendu yang penuh kerinduan yang mendalam. Ingin sekali Donghae mengulurkan tangannya dan memeluk Hyukjae.

Donghae menahan niatannya melihat Sora muncul yang langsung melukiskan senyumnya ketika melihatnya. Donghae berusaha melemparkan senyum sewajaranya pada Sora.

"Donghae, kau datang?"

Hyukjae langsung menyingkir sedikit begitu mendengar suara Sora dan kilat ia bisa melihat Donghae dan kakaknya berpelukan erat di depannya. Hyukjae mengapalkan tangannya, menahan perasaan yang sudah lama ia pendam mulai kembali bergejolak.

"Hmm, aku datang. Aku tidak terlambat, 'kan?" Donghae bertanya tetapi matanya tidak pernah lepas dari Hyukjae yang saat ini sedang membuang wajahnya ke arah lain. Donghae bisa merasakan sakit Hyukjae lewat matanya namun harusnya dialah yang lebih sakit.

Sora melepaskan pelukan mereka. "Kenapa tidak masuk?" tiba-tiba wanita melirik sinis Hyukjae yang sudah tampak tenang. "Pasti, adikku tidak memperbolehkanmu masuk."

"Bukan begitu, sayang. Adikmu menyambutku dengan sangat baik." Donghae menekankan kata terakhirnya sambil matanya melirik Hyukjae yang ternyata juga sedang menatapnya juga dari balik punggung Sora.

Donghae menyerahkan bunga yang ia tadi bawa. "Untukmu."

Sora menerimanya dengan senang lalu menggandeng lengan Donghae dan menariknya masuk ke apartemennya.

Hyukjae langsung menyenderkan tubuhnya pada pintu begitu dua sosok tersebut menghilang dari pandangannya. Sudah dari tadi ia ingin merobohkan tubuhnya namun ia menahannya karena tidak bisa ia terlihat lemah di depan mantan kekasihnya setelah 10 tahun lamanya.

Hyukjae menarik nafas dalam lalu menghembuskan dengan pelan. "Ya Tuhan, kanapa dia harus muncul di depanku." Gumam Hyukjae dengan mata yang terpenjam lelah.

||…HaeHyuk…||

Hyukjae ingin sekali berteriak, menggebrak dan membanting semua piring yang ada di meja makan dan mengatakan jika ia muak mendengar suara sepasang kekasih di depannya kini. Harusnya Hyukjae bisa menyantap makanannya dengan nikmat namun telinganya sudah tak tahan lagi mendengar suara obrolan mesra dan ketawa kecil mereka berdua.

Hyukjae tahu jika diam-diam Donghae meliriknya dan memerhatikannya namun ia mengabaikannya dan mencoba memakan nasinya. Bukankah harusnya Donghae paham dengan posisinya bukan bermain-main dengan responya. Baiklah, Hyukjae akan memilih pergi.

Hyukjae meletakkan sumpitnya, sedikit membantingnya membuat dua fokus menatapnya dengan padangan yang berbeda.

"Kau kenapa?"

"Aku selesai." Hyukjae menyahut cepat pertanyaan Sora.

"Sebelum kemari aku menyempatkan membeli ini untukmu. Kudengar dari Sora noona kau sangat menyukainya."

Hyukjae menahan bokongnya ketika Donghae berucap dan meletakan kantong plastik di atas meja. Hyukjae sudah bisa menebak apa isinya, karena lelaki itu tahu bagaimana obsesinya pada minuman tersebut. Hanya melihat senyum manis yang mungkin tampak di mata kakaknya namun Hyukjae tahu itu senyuman iblis baginya.

"Aku sudah tidak menyukai susu strawberry lagi." Ketus Hyukjae.

Sora mengambil satu kardus susu. "Jangan konyol. Kau sering merengek padaku agar dibelikan minuman manis ini." Kemudian, Sora menyodorkan kardus yang sudah dibukanya pada Hyukjae yang menerimanya dengan terpaksa jika tidak mendapatkan pelototan tajam.

Baiklah, Hyukjae tidak boleh bersikap pengecut. Hyukjae meneguk susu merah mudanya. "Sudah berapa lama kalian berpacaran?" Hyukjae berhasil membuat tenang nada bicara.

"Satu tahun."

Hyukjae tahu siapa yang menjawab begitu mendengar suara berat tersebut. Satu tahun? Selama itukah. Rongga dadanya menyimpit hingga rasa sesaknya yang menyiksanya. Hyukjae tidak tahu di mana tepatnya untuk letak sesaknya. Untuk Donghae yang berpacaran dengan kakaknya atau satu tahun lamanya menjalin hubungan? Atau rasa kecewanya?

"Ahh, satu tahun…" Hyukjae bergumam. "Lalu, satu tahun lamanya menjalin hubungan dan baru sekarang kalian berdua bertemu denganku secara langsung. Ada apa ini?" Hyukjae tersenyum miring lalu kembali meneguk susu kesukaannya, menahan perasaan takut yang menjalar.

"Kami akan menikah."

Hyukjae tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Sungguh, ini bukan sesak tapi ia benar-benar tidak bisa bernafas. Ia tidak tahu apa jalur pernapasannya yang bermasalah atau dirinya yang lupa cara bernafas.

"Dan kami meminta restu darimu."

Hyukjae menelan ludahnya, membasahi tenggorokannya terasa kering dan sakit. "Kenapa meminta restuku?" satu tegukan cairan merah muda itu berhasil masuk ke mulutnya.

"Karena, kau satu-satunya keluarga sah Sora noona."

"Bagaimana jika aku tidak merestui kalian?"

"Maka kau akan kupukul dengan heels koleksiku." Sora menyahut main-main, tidak menyadari suasana dua makluk adam yang masih saling melemparkan tatapan.

Hyukjae yang pertama kali memutuskan tautan mata mereka. "Kalau begitu aku bisa apa. Lakukanlah."

||...HaeHyuk...||

Sisi sofa sebelah Hyukjae bergoyang. Hyukjae tahu siapa yang baru menduduki. Tentu saja, Lee Donghae tidak mungkin kakaknya yang tengah sibuk mencuci piring bekas mereka bertiga makan.

"Kau tidak berubah sama sekali."

"Kau juga." Sahut Hyukjae cepat. Ibu jarinya terus sibuk menekan remote yang mengganti-ganti channel tidak jelas.

"Wajah androginimu semakin manis saja."

"Terima kasih. Kuanggap itu pujian."

"Memang aku sedang memujimu."

Hyukjae mematikan tv lalu menatap tajam Donghae. "Dari banyaknya wanita di Korea bahkan seluruh dunia, kenapa harus kakakku?"

"Karena dia wanita yang terhubung langsung denganmu."

"Lee Donghae, kau brengsek! Apa kau memang sepengecut ini? menjadikan kakakku sebagai bahan balas dendammu?"

Donghae tersenyum remeh. "Hyukjae, apa kau masih belum mengerti situasi ini?"

"Aku tahu—"

"Kenapa kau merestui kami?"

"Aku tidak mempunyai hak mengatakan 'tidak'."

Donghae tertawa kecil. "Hyukjae, kau benar-benar tidak berubah. Jika kau merasa marah, cemburu, kecewa, katakan saja bukannya sok kuat menutupinya dan menahannya."

Hyukjae tersenyum miring. "Kenapa aku harus menutupinya dan menahan jika memang aku tidak merasakannya?"

"Karena hancurnya hubungan kita karena ulah sok kuatmu. Dan perlu kUtekankan, bukan hanya aku yang pengecut tapi kau juga."

Hyukjae membuang wajahnya kesamping. "Lee Donghae, sudahlah, hentikan."

"Kenapa aku harus berhenti jika kau masih mencintaiku." Bukan, itu bukanlah pertanyaan tapi pernyataan yang keluar dari bibir Donghae dengan yakinnya.

Hanya sekilas terlihat kaget sebelum wajah Hyukjae kembali datar. "Percaya diri sekali. Sedikit rasa pun aku sudah tidak ada."

"Sayang, sudah kubilang jangan menutupinya dan menahannya. Aku yakin dengan seluruh keterpurukanku sepuluh tahun terakhir kau masih mencintaiku."

Hyukjae ingin membalas donghae jika saja ponselnya tidak berdering. Nama 'Jieun' tercantum, Hyukjae langsung menggeser tanda hijau. Belum sempat ponselnya menempel pada telinganya, pergelangan tangannya lebih dulu di tahan Donghae.

"Tadi kau memandang kecewa padaku, seolah-olah aku yang berkhianat dan paling jahat disini tapi lihatlah dirimu sendiri. Mempunyai kekasih yang sudah menjalin hubungan mencapai 3 tahun."

Donghae melepaskan tangannya kemudian bangkit dari sofa. Bibirnya menyeringai. "Kau bilang sudah tidak mencintaiku lagi tapi aku masih penasaran melihat reaksimu."

Donghae berbalik, melangkah mendekati Sora kemudian memeluk wanita yang sedang sibuk mencuci piring itu dari belakang. Bibirnya mengecup lembut tengkuk Sora. Ia tidak mendengar omelan Sora karena sedang fokus menatap Hyukjae.

Hyukjae kalah. Ia bisa melihat mantan kekasihnya tersenyum puas ke arahnya. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya keluar, mengalir jatuh membasahi pipinya. Hyukjae kalah. Dan ia tidak sanggup jika melihat adegan mesra Donghae setiap hari. Pria itu benar. Dialah yang munafik. Dialah yang masih mencintai pria itu.

Hyukjae mengakui… bahwa dia kalah.

||…HaeHyuk…||

Hyukjae hanya bisa menunduk. Ia tidak mau kakaknya menyadari matanya yang memerah dan sedikit bengkak akibat menangis.

"Sudah malam, lebih baik aku pulang."

"Ahh, kau benar. Kalau begitu, hati-hatilah di jalan."

Donghae mengelus lembut pipi Sora. "Kau tidak perlu mengantarku, kau tampak lelah."

"Mana bisa begitu? Kau tamuku tidak baik tidak mengantar tamu pulang."

"Kau ini. oke, bagaimana jika adikmu saja yang mengantarku dan kau lebih baik istirahat."

Hyukjae mendelik tajam mendengar penuturan Donghae. Jelas sekali ada niatan terselubung dari ucapannya.

"Sunggung tidak apa-apa?" Tanya Sora kurang yakin dan Donghae hanya mengangguk dengan senyumannya.

"Baiklah. Hyukjae, tolong antarkan Donghae sebentar saja. Sekalian kalian mengakrabkan diri."

Hyukjae hanya bisa menurut melihat wajah kakaknya yang memang terlihat kelelehan.

Mereka berdua melewati lorong-lorong dalam diam sampai berhenti di depan lift. Tidak menunggu lama pintu lift terbuka. Hyukjae hanya diam saat melihat Donghae masuk. Baru ia ingin melangkah pergi namun melihat Donghae menekan tombol penahan pintu dengan mata yang terus menatapnya.

Oke, mereka memang butuh menyelesaikan masalah. Hyukjae masuk dan berdiri di pojok, jauh dari Donghae.

"Hyukjae, kenapa kau melakukannya?"

Hyukjae memberanikan dirinya menatap langsung ke mata hitam Donghae. "Melakukan apa?"

Donghae mendengus remeh. "Baiklah. Kenapa kau pergi? Kenapa kau menyerah? Kenapa kau meninggalkanku dan membuatku berjuang sendirian?"

Hyukjae menduduk, menghindari tatapan sendu Donghae. "Entahlah, aku sudah tidak ingat. Itu sudah lama sekali."

"Hyukjae, apa kau menganggap kembalinya aku hanya sebatas candaan?"

"Donghae." Panggilnya sebatas pengingat batas pembicaraan mereka.

"Sudah sepuluh tahun lamanya, aku mempunyai banyak pertanyaan untukmu dan aku sangat butuh jawaban dan mau penjelasan darimu."

"Donghae, hentikanlah. Kau sudah punya kakakku, apa lagi yang kau mau?"

"Hyukkie-ahh—"

"Donghae, itu semua sudah sepuluh tahun lamanya dan semua sudah berubah. Kau harusnya tahu sejak awal hubungan kita itu salah. Kita hitam, Donghae."

Rahang Donghae mengeras, kakinya mendekati Hyukjae dengan mata hitamnya yang berubah tajam dan penuh kemarahan. Memojokan tubuh Hyukjae di sudut lift kemudian menaruh tangan kirinya di sisi kepala Hyukjae.

"Apa kau masih mencintaiku?"

"Tidak."

Mata Hyukjae melebar saat bibirnya menyentuh sesuatu yang lembut. Itu bibir Donghae. Donghae menciumnya, sekali lagi Donghae menciumnya. Sungguh betapa ia merindukan rasa bibir Donghae. Namun kesadarannya mengambil alih, tangannya langsung mendorong Donghae menjauh.

"Hyukjae, kau masih tidak tahu cara berbohong." Donghae menyeringai. "Kau masih mencintaiku." Katanya dengan penekanan. Bersamaan itu pintu lift terbuka, dan meninggalkan Hyukjae sendirian di dalam lift sana.

||…HaeHyuk…||

Tiga hari berlalu sejak kejadian dimana Donghae muncul untuk pertama kalinya sejak sepuluh tahun perpisahan mereka. Pikiran Hyukjae kacau dan menjadi tak fokus. Ia hanya bisa memikirkan Donghae, Donghae dan Lee Donghae.

Dan selama tiga hari ini membuat dirinya tidak bisa menatap wajah sang kakak. Itu hanya mengingatkannya dengan Donghae. Ia selalu membuat dirinya pulang lembur dan berusaha semungkin untuk menghindar dari kakaknya.

Sejujurnya, ia juga mempunyai banyak pertanyaan untuk mantan kekasihnya. Ia ingin bertanya bagaimana kehidupannya sejak sepuluh tahun ini, apakah ia makan dengan enak, apa dia tidur dengan nyenyak, dengan siapa dia tertawa dan tersenyum ketika tidak ada dirinya, dimana dia bermain ketika dirinya pergi, kapan dia melupakannya dan kenapa harus kembali muncul di hadapannya.

Sangat banyak pertanyaan bagaimana, apakah, siapa, dimana, kapan, dan kenapa untuk Donghae. Namun, sangat mengejutkan, Donghae datang sebagai kakasih kakaknya. Jika, saja dia datang sebagai teman lama, mungkin Hyukjae masih bisa menaruh harapan pada pria itu.

Hyukjae memejamkan matanya, mencoba menghapus kenangan-kenangan bahagia mereka ketika masih berpacaran sekolah dulu. Hyukjae menjabak kuat rambutnya, semakin ia mencoba menghapus semakin jelas ia melihat bagaimana senyum mereka Donghae yang menatapnya lembut penuh cinta bahkan Hyukjae bisa mendengar suara ketawa Donghae di otaknya.

"Jangan." Hyukjae memohon begitu melihat bayangan Donghae yang memeluknya erat, bisa ia rasakan bagaimana kehangatan tubuh Donghae yang menjalar.

"Donghae, please, berhenti." Suara Hyukjae terdengar mencekik ketika bayangan Donghae yang mengelus lembut rambutnya kemudian mencium keningnya penuh kasih. Bisa ia kembali rasakan hanya dengan sekecil sentuhan itu namun bisa membuatnya begitu bahagia.

Nafas Hyukjae memburu cepat saat ingatannya menayangkan bagaimana kedua bibir tipis Donghae mengucapkan kata cinta pada dengan begitu tulus. Sungguh, ini semua sangat menyakitkan.

Hyukjae tersentak ketika ia merasakan tubuhnya terguncang. Ketika ia membuka matanya dan mendapati raut khawatir di wajah rekan kerjanya.

"Hyukjae, kau baik-baik saja?"

Hyukjae menarik nafasnya, mencoba menstabilkan emosinya dan mengendalikan tubuhnya sendiri kemudian menggeleng lemah. "Aku baik-baik saja, Shindong hyung." Ucapnya sambil mencoba mengukir senyum kecil.

"Benarkah? Wajahmu tampak pucat? Kau sakit?"

"Aku baik, hyung, sungguh. Ada apa?" Hyukjae bertanya mencoba mengalihkan pembicaraan.

Dahi Shindong mengkerut tidak percaya namun ia memilih tidak membahasnya lagi. "Kau di panggil boss ke ruangannya."

"Untuk apa?"

Shindong mengedikkan bahunya sambil berucap. "Klien yang berjanji bertemu kemarin sudah datang."

"Oh Tuhan, aku melupakannya." Hyukjae sejenak tampak terkejut lalu buru-buru mengumpulkan berkas-berkas yang diperlukan tak lupa pensil usang pemberian Donghae dulu ketika dirinya berulang tahun.

"Seperti biasa, Hyukjae si pelupa." Shindong menggerutu yang hanya dibalas cengiran oleh Hyukjae. "Sudah sana cepat. Good luck."

"Terima kasih, Shindong hyung. Aku pergi dulu ya." Setelah pamit Hyukjae cepat-cepat menuju ruangan dimana sang atas berada.

Hyukjae mengetuk dua kali pintu bercat abu-abu tersebut sebelum menekan dan mendorong pintu ruangan itu. Namun, tubuhnya mendadak kaku begitu telah masuk sempurna ke dalam ruangan sang atasan. Matanya yang terpaku pada satu objek yang tengah tersenyum miring padanya.

Lee Donghae. Ya, mantan kekasihnya atau mungkin pacar kakaknya sekarang ini sedang duduk nyaman di sofa bersama atasannya.

"Lee Hyukjae, apa yang kau lakukan? Cepat duduk!"

Hyukjae tersadar ketika telinganya mendengar suara sang atasan. Ia berdehem kecil sebelum melangkah mendekat ke sofa dan ikut bergabung di sana dengan kepala yang tertunduk.

Hyukjae sadar, mata hitam Donghae tidak pernah lepas darinya. Bola mata itu bergerak mengikuti tubuhnya bahkan ketika dirinya telah duduk di hadapan pria itu. Hyukjae yakin Donghae menyadari kegugupan karena pria itu lebih mengenalnya dan menghapal seluruh gerak gerik tubuhnya.

"Lee Hyukjae, perkenalkan dia adalah Lee Donghae, klien kita."

Hyukjae mau tidak mau mengangkat wajahnya dan menatap Donghae. Bibirnya tersenyum tipis. "Lee Hyukjae." Katanya lemah sembari mengulurkan tangannya dengan ragu.

Hyukjae menahan sebentar nafasnya ketika telapak tangan Donghae yang menyambutnya. Dulu, telapak tangan ini memang lebih besar darinya namun sekarang ini Hyukjae bisa merasakan keras dan kekarnya tangan Donghae. Lagi-lagi, Hyukjae kembali tenggelam dengan kenangan masa lalu.

"Lee Donghae, senang bertemu denganmu." Ucap Donghae. Telunjuknya ia gerakkan mengelus telapak tangan Hyukjae yang sudah tidak selembut dulu. Atasan Hyukjae tidak bisa melihatnya karena jarinya berseberangan dengan tangan Hyukjae.

Hati Hyukjae bergetar mendengar suara Donghae yang menjadi lebih berat, menunjukkan usianya yang tidak lagi remaja seperti dulu.

Bola mata hitamnya mengamati wajah Hyukjae lekat-lekat. Donghae tidak bisa menahannya lagi, sorot matanya begitu jelas memancarka kerinduan yang sangat besar. Sudah sepuluh tahun lamanya ia tidak bertemu Hyukjae namun hanya dirinya yang berubah, terlihat lebih dewasa dan Hyukjae terlihat sama seperti Hyukjae yang dulu.

Rambut lembut berwarna cokelatnya yang jatuh hingga menutupi dahi yang kapan saja berkerut ketika pria itu marah. Wajah androginya yang tetap manis, cantik, imut dan mengagumkan meski mempunyai kerutan garis di sekitar mata dan sudut mulutnya. Senyumnya yang merekah tetap indah dengan gusi merah muda dan dua mata bening yang selalu menghipnotis seluruh mata yang memandang ke dalam mata bening menawan itu.

Donghae menahan tangan kurus itu saat merasakan Hyukjae akan melepaskan genggaman mereka. Dadanya terasa sesak mengingat bagaimana sepuluh tahun lalu lebih tepatnya ketika Hyukjae meninggalkannya dan menolak sentuhannya untuk terakhir kalinya.

"Dan Tuan Lee dia adalah orangku, Lee Hyukjae. Nantinya dia yang akan mendesain seluruh ruangan rumah anda."

Donghae langsung melepaskan tangan Hyukjae begitu Kim Youngwon kembali bersuara. Sementara, berbeda dengan Hyukjae, pria itu menoleh dan menatap sang atasan dengan raut penasarannya.

"Proyek rumah baru Tuan Lee Donghae ini nantinya yang akan kau tangani. Kau ingat klien rumah calon pengantin baru yang kemarin kita bicarakan, bukan? Nah, Tuan Lee Donghae ini adalah orangnya."

Jantung Hyukjae bergedup sangat cepat ketika sang atasan telah member penjelasannya. Matanya langsung menatap Donghae yang sedang mengukir senyum kemenangan. Hyukjae mati-matian menahan laju air matanya yang mendesak keluar.

Tentu, ia ingat proyek itu. Ia menerima proyek itu bermaksud untuk melupakan Donghae namun bagaikan boomerang yang menyerangnya balik yang akan semakin mengingatkan dan mendekatkannya dengan Lee Donghae.

"Pengantin baru?" Hyukjae bergumam namun kedua sosok lainnya masih bisa mendengarnya.

"Ya, Tuan Lee Dongahe ini sedang merencanakan pernikahan dan rumah baru ini yang akan ditempatinya bersama sang istri."

Dia tahu itu, bodoh! Hyukjae ingin sekali merobek mulut sang atasan yang memperjelas dan semakin menambah sesak di dadanya. Ia tahu itu, karena kedua pasangan itu yang meminta restu tiga hari lalu dan membuatnya yang tidak bisa menatap sang kakak.

Hyukjae membuang wajahnya kemudian membuka berkasnya dan menyiapkan satu kertas kosong tak lupa dengan pensil yang penuh kenangan manis mereka dulu. Hyukjae mengintip wajah Donghae yang terlihat tertegun sejenak ketika matanya menangkap pensil digenggamannya.

Hyukjae berdehem, menghilangkan serak di suaranya. "Jadi, bentuk interior seperti apa yang Donghae-ssi inginkan?"

Donghae mencebikkan bibirnya lalu bergumam cukup panjang sebelum berucap. "Hm, aku ingin rumahku nantinya terasa sederhana namun tetap terasa elegan dan mewah. Kami mau nantinya merasa nyaman. Kau bisa menanginya, bukan?"

"Tentu saja." Sahut Hyukjae dengan suara yang bergetar. Tangannya menulis di atas kertas dengan gemetar. Kenapa menulis tiap huruf rasanya begitu sulit dan menyakitkan.

"Dan juga, aku mau kamar utamaku bersama istriku ada di lantai dua dengan atap yang terbuat dari kaca."

Kangin tertawa pelan. "Kenapa memilih kaca, Donghae-ssi?"

Jari-jari Hyukjae berhenti menulis dan matanya ia paksa untuk menutup, menunggu jawaban Donghae yang semakin menyiksanya.

"Karena istriku suka melihat bulan di malam hari."

Kangin tertawa lepas hingga sofa yang didudukinya ikut bergoyang dan Donghae hanya tertawa pelan sebagai tanggapannya.

Dimasa depan aku ingin mempunyai kamar dengan atap kaca, kenapa? Karena aku akan menatap bulan sepanjang malam sebelum tertidur.

Ucapannya sepuluh tahun berdengung keras di telinganya. Donghae harusnya tahu karena itu adalah impiannya. Impiannya bersama pria itu.

Hyukjae mengepalkan tangannya seiring semakin eratnya matanya tertutup menahan tangis, bahkan tubuhnya bergetar dan bunyi gemeletuk giginya nyaris terdengar. Beruntung semua itu teredam oleh bossnya.

"Ah, dan aku ingin kamar anakku nanti bercat warna blue sapphire."

Anak? Anak dari Lee Donghae dan sang kakak? Yang artinya hasil percintaan mereka dan yang nantinya akan menjadi keponakannya. Sungguh, Hyukjae bahkan tidak sanggup melihat wajah bocah hasil pembuahan mantan kekasihnya.

Batin Hyukjae mengejek keras. Tentu saja, itu anak yang di kandung dari rahim sang kakak dengan sperma Donghae. Donghae mempunyai masa depan jika dengan kakaknya tetapi tidak dengannya yang hanya menjanjikan kesetiaan dan cinta. Semua yang Donghae butuhkan memang ada di kakaknya. Masa depan, harapan, cinta, kepuasan, dan kebahagian.

Melihat Donghae dan kakaknya bermesraan saja di depan matanya ia tak sanggup apalagi ia harus melihat bagaimana persetubuhan panas mantan kekasihnya dengan sang kakaknya yang memaksanya harus menerima kenyataan melihat wajah hasil percampuran dari Donghae dan kakaknya. Itu sama saja membunuhnya secara perlahan.

Benar, berkali-kali pun otaknya mencerna—tidak, tapi memaksanya untuk pada kenyataan di depannya tidak akan bisa. Satu tarikan kuat nafasnya sambil tangannya menutup berkas-berkasnya.

Hyukjae mengangkat wajahnya seraya membuka matanya perlahan yang memerah dan berkaca-kaca. "Baik, aku sudah mengingat semua yang Donghae-ssi inginkan. Jadi, kita bisa melanjutkan tahap pembangunan." Rasanya begitu menyakitkan ketika menyebut nama mantan terkasihnya yang masih dia cintai.

Kangin terlihat heran mendengar nada bicara Hyukjae namun ia memilih tidak mempermasalahkan mengingat kliennya saat ini termasuk orang sibuk dan pembisnis sukses di usia muda. Kangin mengulurkan tangannya yang langsung di jabat oleh Donghae. "Senang bekerja sama dengan anda, Lee Donghae-ssi. Kuharap kau nantinya akan puas."

Donghae hanya tersenyum lalu melepaskan tangannya. Ia berdiri yang diikuti oleh Kangin dan Hyukjae. Membungkuk sebagai pamit sebelum panggilan Kangin menghentikan kakinya.

"Tunggu, Lee Hyukjae yang akan mengantar anda. Saya mohon maaf tidak bisa mengantar anda karena harus menerima telepon."

Donghae melirik Hyukjae yang tampak tegang lalu kembali menatap Kangin dengan senyuman lebarnya—bukan, itu seringainya. "Tentu saja. Dengan senang hati."

Hyukjae menatap protes sang boss namun yang ia dapatkan adalah pelototan marah dari sang atasan. Baiklah, Hyukjae masih mencintai posisinya. Jadi, mau tidak mau ia akan mengantar Donghae dengan setengah hati. Kaki kurusnya berjalan di belakang Donghae mengikuti pria itu keluar ruangan dan menuju lift.

Mereka berdiri tanpa suara menunggu lift terbuka. Hyukjae yang menunduk tetapi ia tahu mata Donghae yang menatapnya tajam dari balik pantulan besi pintu lift. Ia merasa saat ini begitu kecil dibawah pandangan Donghae.

Donghae memiringkan tubuhnya yang membuatnya menghadap Hyukjae dan mata itu begitu menyudutkan posisi Hyukjae bahkan pria itu merasa berada di ujung jurang yang siap jatuh jika Donghae sedikit saja mendorongnya.

Hyukjae merasa pernapasannya memendek dan kakinya seperti jelly yang bisa jatuh kapan saja jika ia tidak menahan berat tubuhnya ketika deru nafas Donghae yang menerpa lembut telinganya.

Mulut Donghae terbuka ingin berucap namun suaranya menghilang begitu pintu lift di depannya terbelah menjadi dua. Ia menjilat bibirnya sebelum membawa tubuhnya masuk ke dalam box lift. Mata terus memandang Hyukjae, ia hanya berharap pria itu mengangkat wajahnya dan menatapnya. Namun sampai pintu menutup perlahan Hyukjae tetap menunduk.

Bibirnya mendesah kecil. Tangannya terangkat ingin memencet tombol lantai melayang di udara ketika sebuah tangan terulur dan membuat kedua pintu besi tersebut membelah terbuka. Donghae tersenyum melihat Hyukjae yang menahannya namun senyumnya meluntur melihat air mata yang keluar dari kedua mata bening yang selalu ia kagumi.

"Hae-ahh, kenapa kau lakukan ini semua?" Hyukjae berbisik, berusaha menahan isak tangisnya.

Sungguh, betapa Donghae merindukan panggilan itu namun melihat tangis Hyukjae yang mengingatkan keterpurukannya sepuluh tahun belakangan ini membuat emosinya kembali naik. Donghae memasukan kedua tangannya ke kantong celanannya dan mengepal di balik kain itu.

"Kenapa kau meninggalkanku?" Geram Donghae dengan tatapan yang dingin. Rasanya ingin sekali Donghae membiarkan tubuhnya meraih Hyukjae, menghapus air mata itu dan memeluknya erat namun dendam dan amarahnya yang begitu menguasai otaknya.

Hyukjae membuang nafasnya, dadanya rasanya sangat sesak hingga rasanya ia tidak bisa bernafas. Menundukkan wajahnya sebentar lalu kembali menatap Donghae dengan mata yang memohon. "Kau ingin balas dendam, hm? Hentikanlah, karena kau berhasil."

Rahang Donghae mengeras, matanya ikut berkaca-kaca. Di mata itu sangat banyak emosi, sakit, kecewa, rindu dan cinta tercetak jelas di sorot Donghae. "Aku belum puas, Lee Hyukjae."

Hyukjae mengigit bibirnya, menahan isak tangisnya yang bisa terdengar oleh rekan-rekan kantornya. Dan air mata itu kembali jatuh di pipi Hyukjae yang telah basah oleh air mata. "Maafkan aku, Hae-ahh." Lirihnya.

Donghae terkekeh pelan lalu menyenderkan tubuhnya. Satu tangannya dengan gemetar meraih keningnya, meremasnya kuat. Kepalanya mendadak pusing karena marah, ini menyakitkan. Melihat Hyukjae yang menangis di depannya dan memohonnya sangat menyakitkan. Bukan seperti yang ia inginkan!

"Aku tidak butuh kata maafmu, Hyukjae-ahh. Aku butuh melihat betapa tersiksanya kau dengan rasa sakit yang hampir membunuhmu, sepertiku dulu. Aku ingin melihatmu tenggelam dalam keterpurukan, sepertiku dulu. Dan aku ingin kau merasakan sakit yang juga aku rasakan dulu, hingga rasanya itu mencekikmu dan bisa membunuhmu kapan saja. Membuatmu menyerah pada hidup ini, sepertiku dulu, Hyukjae-ahh." Donghae mendesis dengan mata yang berkilat penuh luka.

Hanya mendengar suaranya saja Hyukjae bisa merasakan sakitnya. Hyukjae menyesal, sungguh menyesal. Ia akan merendahkan diri, berlutut hanya memohon maaf pada Donghae. Dan kenyataan dirinya lah yang membuat Donghae seperti ini sungguh menyiksanya beribu-ribu—tidak, tapi berjuta-juta kali lipat.

Tangisnya pecah begitu saja, ia tidak peduli jika rekannya akan mendengarnya, ia tidak peduli jika wajahnya membengkak dan memerah di wajah putihnya. Hatinya sangat sakit. Dan hanya menangis yang bisa lakukan setelah mendengar penderitaan Donghae yang seperti panggilan kematian baginya.

Hyukjae melepaskan tangannya dari pintu lift, hanya bisa memandang sendu Donghae seiring pintu lift yang bergerak. "Aku mencintaimu, Lee Donghae." Ucapnya sebelum pintu lift menutup sempurna.

Sementara Donghae melebarkan matanya dengan tubuhnya membeku di dalam lift. Ia tertawa pelan namun lama-lama mengeras, tertawa terbahak-bahak hingga memeluk perutnya sendiri dan saai itu juga iar mata yang ia tahan keluar dan membasahi pipinya.

Ini lucu, Hyukjae baru mengatakannya ketika ia mengatakan penderitaanya. Tidak, itu bukan cinta tapi kasihan dan itu semakin membuatnya ingin membenci Hyukjae. Namun sekeras apapun ia mencoba membenci rasa cinta yang selalu mengalahkannya. Ia sangat ingin membenci Hyukjae namun perasaan rindu dengan Hyukjae yang selalu hampir membunuhnya.

"ARRGHHHHH!" Teriakkan Donghae bergema di dalam lift.

||…HaeHyuk…||

Hyukjae adalah orang yang terakhir meninggalkan kantor. Dia sengaja menyibukkan dirinya dengan pekerjaan. Menghilangkan pikiran-pikiran otaknya tentang Donghae. Bahkan selama di kantor ia tidak bisa tersenyum mengingat pertengkarannya dengan Donghae tadi.

Hyukjae berjalan lesu menuju parkiran dan hanya tinggal mobilnya saja yang terparkir di sana. Baguslah, Hyukjae merasa sangat lelah dan ia tidak perlu berbasa-basi dengan pekerja lainnya. Bahkan ia sengaja meninggalkan tasnya dan semua pekerjaannya di meja kerjanya.

Hyukjae menekan tombol di kunci mobilnya dan lampu mobilnya berkedip dua kali dengan mengeluarkan suara khas. Ia membuka pintu kemudi, memasukan tubuhnya kemudian menaruh kunci mobilnya di kotak kecil di sisi kursi kemudi. Baru saja ia ingin menekan tombol starter namun tiba-tiba saja pintu kemudinya terbuka dan mendapati Donghae dengan wajah berkerut emosi.

Belum sempat membuka mulut mata Hyukjae melotot dan segera melompat ke kursi penumpang ketika melihat Donghae memasukkan tubuhnya ke dalam mobilnya.

"Donghae, apa-apaan kau ini!"

"Kita perlu bicara."

Donghae tidak memperdulikan seruan protes Hyukjae, ia menarik pintu mobil hingga tertutup lalu memakai sabuk pengamannya, tidak lupa mengunci semua pintu mobil. Donghae menyalakan mesin kemudian menginjak gas, ban berdecit keras sebelum melaju cepat.

"Lee Donghae, berhenti!"

"Pakai sabuk pengamanmu."

"Lee Donghae!"

"PAKAI SABUKMU, HYUKJAE!"

Hyukjae terdiam mendengar bentakkan Donghae. Baiklah, ia memilih mengalah. Dia tidak mau membahayakan nyawa mereka dengan memancing emosi Donghae yang sedang mengemudi dengan kecepatan penuh. Hyukjae, meraih tali sabuk lalu melilitkan ke sekitar tubuhnya kemudian menyamankan dalam duduknya.

Hyukjae ingin sekali bertanya kemana mereka akan pergi tetapi melihat rahang Donghae yang mengeras dengan wajah datarnya dan tangan yang menggenggam erat stir kemudi membuatnya mengurungkan niatnya.

Hyukjae menyenderkan kepalanya dan menatap jendela. Membiarkan Donghae mengendarai mobilnya membelah jalan malam Seoul. Mencoba mengistirahatkan tubuh lelahnya.

Beberapa menit kemudian dahinya berkerut. Sungai Han?—pikirnya sambil menegakkan tubuhnya.

Donghae menginjak rem sebelum mobil KIA ini berhenti total. Melepaskan sabuk pengaman, membuka pintu lalu keluar dari kursi pengemudi. Ia berjalan memutar, membuka pintu penumpang kemudian melepaskan sabuk pengaman Hyukjae dan menarik pria itu keluar.

Suara Hyukjae mendadak menghilang ketika Donghae manarik tubuhnya ke dalam pelukan erat. Hyukjae terdiam saat Donghae menyerukkan wajahnya ke perpotongan lehernya dan membiarkannya menghirup aromanya dalam-dalam.

"Sekuat tenaga aku mencoba membencimu selama sepuluh tahun ini tapi aku tidak bisa melakukannya, Hyukjae-ahh. Aku tidak bisa membencimu karena aku terlalu mencintaimu." Bisik Donghae dan itu kembali membuat Hyukjae ingin menangis.

"Donghae-ahh…"

"Kenapa, Hyuk? Kenapa kau meninggalkanku? Kenapa kau mencampakkanku?" Kata Donghae hampir menyerupai gumaman. Kemudian ia mengambil nafas dan mengeratkan tangannya di tubuh Hyukjae. "Aku berfikir selama sepuluh tahun keterpurukkanku namun aku tidak bisa menemukan jawabannya, Hyukj. Kenapa kau lakukan itu?"

Hyukjae mencoba melepaskan pelukan Donghae namun yang ada tangan kekar itu semakin kuat melilitnya. Hyukjae menghembuskan nafasnya dan ikut membalas pelukkan Donghae, hanya itu yang bisa ia lakukan. "Donghae, sejak awal kau sudah tahu jika hubungan kita itu salah."

"Aku tahu, Hyuk! Kau tidak perlu memperjelasnya! Tapi aku tetap tidak bisa menerima alasan itu, Hyuk! Tidak akan pernah." Donghae menggeleng keras, melepaskan pelukannya lalu menangkup wajah Hyukjae. Menatap rindu pada Hyukjae. "Kau bilang kau mencintaiku, seperti dulu dan sekarang. Hanya kau mencintaiku dan bersamaku itu sudah cukup bagiku, Hyukjae. Aku tidak perlu dunia mendukung kita ataupun tidak."

Hyukjae mendesah lemah lalu menggeleng pelan. "Tidak bisa, Donghae. Bagaimana dengan keluargamu—"

"Hyuk, aku sudah dewasa. Orangtuaku meninggal lima tahun yang lalu dan hyungku kini ada di Amerika dan aku sudah berumur dua puluh sembilan tahun. Aku yang akan mengurus diriku sendiri."

"Donghae, aku tetap tidak bisa."

"KENAPA?"

Hyukjae memejamkan matanya sebentar lalu kembali terbuka, menatap lembut Donghae yang terengah-engah oleh emosi. "Lalu, bagaimana dengan kakakku? Bagaimana dengan kekasihku, Jieun? Bagiamana dengan pernikahanmu? Bagaimana dengan anak-anakmu kelak? Kau akan menjadi seorang ayah, Donghae-ahh."

Donghae melepaskan tangannya dari wajah Hyukjae. "Aku tidak peduli dengan semua itu!"

"Kau egois, Lee Donghae."

Donghae menggeram, meraih kedua bahu Hyukjae dan meremas kuat hingga Hyukjae meringis. "Lalu, kau?! Bagaimana dengan kau?! Kau meninggalkanku, membuangku hingga aku tenggelam dan terpuruk sepuluh terakhir ini! Kau yang lebih egois, Lee Hyukjae!"

"Donghae, itu untuk kebaikanmu. Kebaikan kita."

"Persetan dengan semua kebaikan!" Donghae berteriak frustasi lalu melepaskan tangannya dan membawanya untuk menjabak rambutnya sendiri.

"Donghae, jangan menyakiti dirimu sendiri." Pinta Hyukjae.

Donghae mendelik tajam. "Hentikan omong kosongmu, Hyuk! Kenyataanya kau yang menyakitiku!"

"Maafkan aku, Hae." Lirih Hyukjae

"BERHENTI MEMINTA MAAF, HYUKJAE!" Donghae berteriak kalap.

"Sekarang aku yang bertanya, kenapa harus kakakku? Dari banyaknya manusia di bumi kenapa harus kakakku, Donghae-ahh?"

"Bukankah sudah kukatakan, karena dia yang terhubung langsung olehmu." Donghae mendesis rendah.

"Hentikan, itu menyakitiku." Kata Hyukjae memohon. Tangannya terangkat ingin meraih wajah Donghae namun tangan pria itu lebih dulu menangkapnya dan membuangnya dengan kasar.

Donghae menghirup nafas perlahan, menguasai dirinya kemudian menenggakan tubuhnya. Ia memasukan tangannya ke kantong, mata hitamnya sangat menusuk memandang tajam Hyukjae. "Kalau begitu nikmatilah rasa sakitmu. Aku ingin kau merasakan betapa tersiksanya aku dulu."

"Donghae, kau akan menyakiti banyak orang!" Hyukjae berseru frustasi.

"Bukankah adil? Aku, kau dan Sora noona, kita sakit bersamaan." Ucapnya dingin. Donghae menyeringai melihat tatapan memohon Hyukjae. Dia membalikan tubuhnya kemudian melangkah menajuhi Hyukjae.

Meninggalkan Hyukjae dengan tatapan sendu yang terus mengikuti bayangan Donghae pergi.

.

.

.

TBC/END

HALOHAHHHHHHHHH…. NEWT BALIK LAGIIIII…

Aku jujur gak tau gimana dunia desain interior jadi kalau salah tolong koreksi dan mohon maaf. Aku juga akhir-akhir ini lagi tertarik aja sama desain interior.

Dan aku terinspirasi buat ff ini karena denger lagu Maroon5 yang judulnya 'SHE WILL BE LOVED' seperti judul ff ya cuma ganti 'WE' aja. Tapi tau-taunya jadi bgini, hehehe…

Dan untuk ff ini Newt sangat bergantung kelanjutannya dari antusias kalian. Cuma ff ini aja kok, hehehe…

Jadi, tentukan keputusan kalian. Kalau ingin lanjut silakan review tapi kalo nggak mau juga gakpapa kok.

Sampai jumpa di FF aku yang selanjutnya yaaaa…

SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGA SUKAAA…