Sebagai murid angkatan tahun 1991 dan berasal dari asrama Hufflepuff, tahu Harry James Potter adalah suatu hal yang pasti. Tidak hanya sebatas tahu, tapi juga kenal.

Namun bagaimana bocah kurus, berambut hitam berantakan, dan dahi dengan bekas luka berbentuk sambaran kilat itu akhirnya bisa menarik hatinya, ia tidak tahu jawabannya.

.

.

.

Disclaimer: J. K. Rowling

Warning: maybe OOC, uncommon pair, etc.

.

.

Hannah tahu, tak ada yang menarik dari diri Harry ketika mereka masih bersekolah dulu. Tak ada yang menarik kecuali fakta bahwa Harry Potter adalah Anak-Yang-Bertahan-Hidup yang terkenal. Harry pun tidak jadi salah seorang murid laki-laki yang menarik hatinya secara spesial.

Hannah selalu tahu kalau Harry dekat dengan Hermione Granger. Harry juga tahu kalau Hannah dekat dengan Ernie Macmillan. Hannah tahu kalau kemudian Harry dekat Cho Chang. Harry juga tahu kalau Hannah dekat Justin Finch-Fletchley. Hannah tahu kalau Harry dekat dengan Luna Lovegood. Harry tetap tahu kalau Hannah dekat dengan Ernie dan Justin. Hannah tahu kalau Harry dekat dengan Ginny Weasley. Dan Harry tahu kalau Hannah dekat dengan Neville Longbottom.

Dari beberapa teman laki-lakinya, Hannah tak pernah menaruh hatinya pada satupun dari mereka. Dan dari beberapa perempuan yang telah disebutkan, tidak semuanya Harry punya perasaan khusus.

Harry memang tak pernah menarik hatinya secara spesial. Di kelas satu, Hannah memang antusias ketika Harry Potter akan berbagi kelas dengannya. Di kelas dua, Hannah bahkan berbelok jadi curiga pada Harry. Di tahun ketiga, ia bersikap netral walau ia senang Cedric Diggory bisa menang atas Harry Potter yang terkenal. Di tahun keempat, Hannah bahkan tak ingat kapan ia bersikap ramah pada Harry yang merebut kejayaan asramanya. Di tahun kelima, ia berbaikan dengan Harry lewat Laskar Dumbledore. Di tahun keenam, lagi-lagi perasaannya pada Harry memburuk di akhir tahun ajaran.

Ibu Hannah meninggal. Karena Pelahap Maut.

Rasa kehilangan ibu membuat Hannah bahkan berpikiran seandainya saja enam belas tahun yang lalu Harry Potter mati di tangan Voldemort. Tapi jika Harry mati, tidak bisa ia bayangkan situasi ketika Voldemort berjaya.

Hannah akhirnya kembali berpihak pada Harry. Dan entah kenapa, sejak saat itu, rasa simpati yang aneh mulai menjalari hatinya. Rasa simpati yang besar, berharap bertemu dengan Harry untuk tahun ketujuh mereka, namun Harry tak kunjung kembali.

Harry dan kedua temannya pergi tak berbekas. Membuat Hannah khawatir. Pertama kalinya sejak mengenal Harry selama enam tahun terakhir.

.

XxX

.

Ini tidak benar.

Tentu saja ia senang melihat Harry kembali, namun ia tidak senang ketika melihat bagaimana Harry dan Ginny berinteraksi. Yah, ia memang sudah mendengar selentingan tentang mereka cukup lama, namun kali ini ia bereaksi tidak suka.

Huh, seorang adik yang jatuh cinta pada teman kakaknya? Cerita yang sangat klise. Namun apa yang dilihatnya di Aula Besar setelah perang berakhir mengejutkannya. Ia memang merasa lega, namun tetap saja, sebagai manusia yang masih punya hati, ia tetap syok.

Ginevra Weasley telah meninggal.

Sekelompok orang menangisinya. Ibunya, ayahnya, para kakaknya, beberapa temannya, dan... Harry.

Hannah memberanikan diri untuk menghampiri mereka. Hatinya merasa tersayat ketika didengarnya orang-orang itu menangisi Ginny.

"Anakku! Anak perempuanku satu-satunya! Oh, Ginny!"

Hannah menggigit bibir bawahnya ketika dilihatnya Molly Weasley menangis terguncang-guncang. Ia bahkan merasa tersayat juga ketika dilihatnya Harry Potter duduk bersimpuh di sisi Ginny, menangis tanpa suara.

Entah dapat keberanian dari mana Hannah bersimpuh di sebelah Harry dan melepas kacamatanya. Harry mengangkat wajahnya dan terperanjat mendapati Hannah menatapnya dengan sedih dan prihatin. Hannah bahkan mengusap air mata Harry dari pipinya.

Bisa dirasakan Ron Weasley tengah menatapnya, tapi Hannah tak peduli. Harry juga tampak terkejut dengan sikap Hannah, namun ia tak banyak berekasi. Ia menghapus sisa air matanya dan mengambil kacamatanya dari tangan Hannah, kemudian bangkit. Ron dan Hermione yang melihatnya langsung merendengi sahabatnya sebelum Harry mengangkat tangannya tanda tak mau diganggu. Dengan gontai Harry berjalan meninggalkan Aula Besar, mengabaikan reaksi orang-orang di sekitarnya.

.

XxX

.

Di kantor kepala sekolah, Harry duduk menghadap kursi yang dulu dihuni oleh Albus Dumbledore. Berharap Kepala Sekolahnya yang dulu itu duduk di di hadapannya dan mengajaknya mengobrol. Sama ketika ia tengah pingsan di Hutan Terlarang karena kutukan Avada Kedavra Voldemort.

Harry tak percaya ia telah mengalahkan Voldemort. Akhirnya ini terjadi juga. Sebelumnya ia menganggap semua berjalan lambat, butuh bertahun-tahun untuk bisa mengalahkan Voldemort. Namun kini semuanya terasa berjalan begitu cepat. Harry sadar bahwa yang membuat lambat adalah proses pengungkapan Voldemort dan penghancuran semua Horcrux-nya. Namun ketika Harry sebagai Horcrux terakhir sebelum Nagini telah dihancurkan, semuanya terasa cepat. Ia bisa menghancurkan Voldemort hanya dalam hitungan jam.

Harry mulai terisak lagi, namun kali ini ia sengaja melepaskan tangisannya. Betapa lega hatinya sekarang karena musuh terbesar semua orang telah tiada. Harry membayangkan wajah-wajah orang yang dicintainya tersenyum bangga padanya: ayahnya, ibunya, Sirius, Remus... bahkan Severus Snape.

Harry menutup kedua matanya dan bersandar pada kursi. Ia membayangkan berada di antara orang-orang itu, namun dalam keadaan yang sama sekali berbeda. Mereka tampak normal. Semua masih hidup dan tidak ada yang luar biasa. Semua tertawa lepas seakan tanpa masalah. Harry bercerita seru tentang posisinya sebagai Kapten Quidditch. James yang tertawa ketika bercerita tentang perjodohan Sirius dengan perempuan berdarah-murni yang lebih muda. Remus yang mendengarkan sambil menggendong Teddy kecil. Sirius yang berkata bahwa Peter Pettigrew sayangnya tidak bisa ikut berkumpul bersama. Serta Nymphadora dan Lily yang tergelak mencoba resep-resep baru di dapur.

Sejenak Harry begitu kuat tenggelam dalam imajinasinya, hingga ia melonjak kaget ketika ujung kaosnya ditarik halus oleh sesosok peri-rumah. Wajahnya yang berkilauan dihiasi oleh bercak darah.

"Tuan Harry Potter," peri-rumah itu mencicit.

Harry menunduk pada si peri-rumah yang menyorongkan sepucuk surat di tangannya. "Apa ini?" tanya Harry.

"Saya menemukannya di laci meja Kepala Sekolah Dumbledore ketika membersihkannya, Sir. Kepala Sekolah menulis catatan agar suratnya diberikan pada Tuan Harry Potter."

Peri-rumah itu segera menghilang dengan bunyi pop keras setelah Harry menerima surat itu. Harry mengamati sesuatu dalam amplop yang sudah terbuka itu. Itu bukan perkamen. Jelas sekali itu kertas Muggle. Warnanya kekuningan, menandakan sudah lama sekali usianya.

Harry sulit percaya ketika membalik amplop. Disitu jelas tertulis jika penerimanya adalah Albus Dumbledore di Hogwarts. Juga masih jelas tertulis jika si pengirim bernama Petunia Evans.

Petunia Evans? Bibi Petunia-nya?

...

Kepada Yang Terhormat

Albus Dumbledore

Kepala Sekolah

Sekolah Sihir Hogwarts

Dear Mr Dumbledore

Saya terkejut ketika adik saya, Lily Evans, mendapatkan surat dari sekolah Anda. Kami sekeluarga tidak percaya dengan ini, tapi kami beberapa kali menyaksikan Lily bisa melakukan sihir. Kedua orangtua kami bukan penyihir. Mereka tidak pernah belajar di sekolah sihir.

Lily sangat senang bisa sekolah di Hogwarts. Kata temannya, Hogwarts itu hebat dan saya sangat penasaran. Sepertinya Hogwarts dan dunia sihir itu menarik.

Saya bertanya-tanya apakah saya bisa bersekolah dengan adik saya? Saat ini saya sekolah di Bedales School, tapi orangtua saya pasti mengizinkan saya keluar dari situ untuk bersekolah di Hogwarts. Saya memohon agar Anda bisa mengizinkan saya, Pak Kepala Sekolah...

Salam hormat,

Petunia Evans

...

Harry terdiam memandang tulisan yang mulai luntur itu. Jadi ini surat Bibi Petunia untuk Dumbeldore?

"Kau tidak bilang kalau Hogwarts sekolah aneh waktu kau menulis ke Kepala Sekolah dan memohon agar ia menerimamu."

Suara ibunya dari kenangan Snape muncul lagi. Benar, di surat ini bibinya sama sekali tidak menggunakan hinaan. Sangat berbeda setelahnya. Lalu apa maksudnya Dumbledore memberinya ini? Agar ia bisa bebas mengolok bibinya? Menertawakan kesialannya tersisih dari sang adik yang hebat?

Harry merasa terlalu letih untuk memikirkan semuanya lebih lanjut. Ia keluar dari kantor dengan membawa suratnya. Di depan patung gargoyle, Harry bertemu McGonagall dan beberapa guru lainnya. Wajah mereka berseri-seri, namun Harry hanya memberi memberi mereka anggukan dan senyum singkat.

"Potter," panggil McGonagall, namun hanya itu saja. Rupanya McGonagall memanggil hanya untuk memberi Harry senyuman yang lainnya.

"Mau kemana, Potter?" tanya Profesor Sprout.

"Ke Asrama, Profesor, jika Anda semua tidak keberatan."

"Tidak. Tidak sama sekali," sahut McGonagall. Mendapatkan angin segar, Harry segera undur diri. Kapan lagi McGonagall memberikan kelonggaran bagi siswa?

Siswa. Bahkan Harry tidak yakin apakah ia masih dianggap siswa sekolah ini. Sudah hampir setahun ia meninggalkan pendidikannya. Ia bahkan tidak yakin apa ia mau melanjutkan sekolah.

Nyonya Gemuk sama sekali tak menanyakan Harry password. Untung saja, sebab Harry memang tak tahu kata sandinya. Mungkin ini kompensasi bagi perjuangan Harry. Nyonya Gemuk langsung mengayunkan lukisannya dan Harry masuk ke Ruang Rekreasi.

Menara Gryffindor teramat sepi, seperti tak ada satupun manusia di dalamnya, bahkan 'sebuah' hantu sekalipun. Harry menaiki tangga menuju kamarnya yang ternyata juga kosong. Tak memedulikan kasurnya yang kotor karena sudah lama tak ditempati, Harry langsung berbaring di atasnya.

"Kreacher!" panggil Harry sambil menutup matanya. Terdengar bunyi pop keras, dan suara Kreacher yang lebih menyenangkan terdengar.

"Kreacher siap melayani Tuan Harry Potter."

"Bawakan aku roti isi. Yang cukup banyak," pinta Harry tanpa membuka matanya. Walau tak dilihat oleh tuannya, Kreacher tetap menunduk dalam seperti biasanya dan langsung menghilang.

Sunyi kemudian. Hanya ada suara-suara berisik dari halaman di luar dan suara Trevor, katak Neville yang tampak mengamati Harry dari sudut kamar. Namun Harry tak cukup kuat untuk menahan matanya agar tetap terjaga. Ia melupakan roti isinya yang datang beberapa menit kemudian.

.

XxX

.

Harry terbangun oleh suara berisik yang sebelumnya tidak ada di kamarnya. Lebih terkejut lagi ketika ia mendapati Hermione ada di kamarnya, bersama dengan ketiga teman sekamar Harry.

"Hermione? Kau?" kata Harry sambil membetulkan letak kacamatanya. Barangkali ia telah salah lihat.

"Kau sudah bangun, Harry?" Hermione bertanya balik. Rambutnya tampak lebih megar daripada biasanya dan ia tentu saja terlihat awut-awutan.

"Tentu saja dia sudah bangun, 'Mione. Kalau tidak, bagaimana bisa dia bicara denganmu?" sahut Ron, mulutnya penuh dengan roti isi Harry.

Harry mengamati Ron yang tengah mengunyah dengan rakus. Namun tidak seperti biasanya, Ron kelihatan malu ketika dipandangi Harry. Ia segera menghabiskan makanan di mulutnya kemudian minum air yang juga milik Harry.

Harry mendengar di luar kamar ada derap kaki hilir mudik dan suara murid-murid berbincang-bincang. Mengikuti arah pandang Harry, Seamus berkata, "Tenang, Harry. Aku tidak berkata pada siapapun kalau kau ada di sini."

"Ya, kurasa pahlawan kita butuh istirahat, kan?" kata Dean sambil menepuk-nepuk pundak Harry. "Kalau mereka tahu kau disini, mereka akan langsung masuk. Dari tadi banyak sekali orang yang ingin bertemu denganmu."

"Mana Neville?" Harry teringat sesuatu ketika didengarnya suara Trevor lagi.

"Dia ada di bawah... dengan keluarga Ron," jawab Hermione, nada suaranya terdengar sedih.

Harry langsung teringat kalau keluarga Weasley sedang berduka. Mereka kehilangan dua anak mereka sekaligus, Fred dan Ginny. Harry menatap Ron bersalah. Kalau saja ia ingat, ia akan membiarkan Ron menghabiskan roti isinya. Ron pasti sangat terpukul dan kelelahan. Ron tampak salah tingkah lagi, kemudian menggumam kalau ia akan kembali lagi ke bawah.

Lupa pada roti isinya yang tinggal satu, Harry langsung menyusul Ron ke bawah. Beberapa anak yang melihatnya langsung bersorak gembira, tapi Harry tak menanggapi mereka sama sekali.

.

XxX

.

Banyak hal yang menanti Harry selepas perang. Setelah ikut merapikan Hogwarts barang sejenak, Harry langsung ke The Burrow dan ikut memakamkan Ginny dan Fred. Menemani dan menghibur keluarga sihir bersama Hermione. Harry yakin ia akan dipanggil Kementerian untuk ini itu. Mungkin saja pengadilan untuk Azkaban bagi para Pelahap Maut. Namun sebelum Kementerian membuatnya sibuk, Harry berencana untuk pulang dulu. Bukan ke Grimmauld Place atau rumah keluarga Potter yang sudah rusak, namun ke Privet Drive.

Ya, mana lagi tempat yang jadi rumah permanen Harry selama tujuh belas tahun kalau bukan Privet Drive Nomor Empat?

Setelah beberapa hari, keluarga Weasley melepas kepergian Harry dan Hermione. Harry ke Privet Drive dan Hermione ke Australia, menjemput kedua orang tuanya. Harry dan Hermione ber-Apparete ke belakang rumah masing-masing.

.

XxX

.

Bunyi 'pop' yang cukup keras itu sebenarnya mampu membuat orang-orang yang ada di rumah itu menoleh. Harry tahu kalau keluarga Dursley suka berkumpul bersama di luar keluarga dan ruangan itu dekat dengan halaman belakang.

Orang-orang Orde bilang kalau keluarga Dursley belum kembali ke Privet Drive. Orde sudah membolehkan mereka pulang, namun para Dursley belum ingin kembali. Jadilah Harry sendirian di rumah ini, rumah yang kosong dan tampak lebih membosankan dari sebelumnya.

Harry menutup hidung ketika tercium aroma apak. Rumah itu sudah hampir setahun tak dihuni. Untung saja sebelum Harry datang, para Orde dengan senang hati membersihkan rumah sekaligus membetulkannya. Semasa perang kemarin rumah keluarga Dursley jadi sasaran Pelahap Maut. Dari cerita yang didengarnya, rumah itu rusak di beberapa tempat. Lagi-lagi Orde-lah yang turun tangan. Mereka memperbaiki rumah itu dan meng-Obliviate masal penduduk kompleks perumahan Privet Drive. Mereka yakin kalau para Pelahap Maut itu membuat kegaduhan. Tapi syukurlah tak ada korban jiwa.

Harry menghabiskan cukup banyak waktu memandangi ruangan demi ruangan sebelum akhirnya beralih pada kamarnya. Ajaib, perabotan di kamar Harry masih ada. Kemudian Harry teringat kalau dialah yang terakhir kali meninggalkan rumah dan tentu saja perabotan itu masih ada. Lagipula keluarga Dursley tak akan mau repot-repot membawa perabotan Harry bersama mereka.

Di antara semua ruangan di rumahnya, hanya kamarnya yang kelihatan nyaman. Kamar Harry rapi, dan kasurnya sangat menggoda untuk dipakai tidur. Ketika Harry berbaring di atasnya, rasa nyaman yang sangat dikenalnya terasa. Walau secara keseluruhan Harry tidak menyukai rumah itu, namun ia menyukai kamarnya. Tempat dimana ia bisa menghabiskan waktu tanpa kesinisan keluarganya.

Kemudian Harry tertidur lagi seperti di kamar asramanya, beberapa hari yang lalu.

.

XxX

.

Harry terbangun ketika hari sudah beranjak sore. Ia menguap lebar kemudian memakai kacamatanya. Seperti hari-hari sebelumnya, Harry merasa tak percaya dengan keadaannya. Di mata orang-orang, ia telah melakukan jasa yang sangat besar. Harry mengakui itu, namun ia tak punya pilihan. Memang ia yang harus melakukan itu. Seperti kata ramalan Trelawney, yang satu tak bisa tetap bertahan sementara yang lain masih hidup.

Dan pada akhirnya Harry dan Voldemort harus saling membunuh satu sama lain.

Harry menggelengkan kepalanya dengan keras. Ia masih tak percaya. Namun setidaknya keberadaannya di Privet Drive mengurangi gejolak perasaannya. Di sini, di dunia Muggle ini, Harry tak ubahnya remaja biasa-biasa saja tanpa keistimewaan berarti.

Harry turun dari tempat tidurnya dan mengeluarkan peralatan mandi dari tasnya. Entah mengapa ia tak merasa lapar, padahal ia sudah melewatkan makan siang. Harry pikir ia bisa makan nanti saja. Lagipula di rumah ini pasti tidak ada sesuatu yang bisa dimakan. Ia tak memikirkan fakta itu sebelumnya.

Dan ketika Harry kembali lagi ke kamarnya, ia melihat sosok yang dikenalnya dari jendela. Wanita tua itu melambai ke arahnya, seakan sudah ada di situ beberapa lama.

"Saya belum mandi, Mrs Figg!"

Mrs Figg tetap melambai. Ia berkata, "Ayo ke rumahku."

"Saya belum mandi, Mrs Figg!" ulangnya.

"Aku tahu. Rumahmu airnya mati, kan?" Harry nyengir. Ia mengambil peralatan mandinya dan turun menemui tetangganya itu.

Rasanya sudah seabad lamanya Harry tidak menginjakkan kaki di rumah Mrs Figg. Terakhir kali ia kesini waktu sebelum masuk Hogwarts. Ia terpaksa dititipkan disitu karena tidak diajak jalan-jalan keluarga Dursley. Harry ingat sekali ia sebenarnya tidak betah ada disitu karena rumahnya bau kol. Rumah itu juga penuh kucing. Harry sudah bersiap menahan napas ketika ternyata yang dikhawatirkannya tidak ada.

Rumah Mrs Figg bebas bau kol, walau kucing-kucingnya masih tetap banyak.

"Mandilah, Harry! Tapi tunggu sebentar, ya. Kamar mandinya masih dipakai, tapi habis ini mungkin dia selesai."

"Dia siapa?" tanya Harry. Setahunya Mrs Figg tinggal sendirian.

"Temanmu."

"Teman siapa?" tanya Harry lagi. Mrs Figg tersenyum misterius. Harry menajamkan telinganya. Ia mendengar suara kecil dari dalam kamar mandi. Apa itu Hermione? Dia kan ke Australia? Atau Ron? Seharusnya ia lebih memilih bersama ibunya yang bersedih ketimbang mandi di rumah Mrs Figg, kan?

Harry maju, sengaja menunggu tepat di depan pintu kamar mandi. Kalau benar orang itu Ron atau Hermione, tentu mereka tak keberatan dikejutkan Harry, bukan?

"Baaaa!" teriak Harry begitu pintu terbuka.

"Aaaaa!"

"Aaaaaa!" Harry balas berteriak. Ia kaget sekaligus malu. Yang berdiri di depannya ternyata bukan Hermione atau Ron. Yang membuatnya tambah kaget dan malu, gadis itu hanya mengenakan celana panjang dan tank top. Seumur-umur Harry tak pernah melihat perempuan berpenampilan seperti itu dalam hidupnya.

"Harry?" kata gadis itu, wajahnya semerah kepiting rebus. Ia buru-buru menyampirkan handuknya di depan dadanya.

"Ha—Hannah?" balas Harry salah tingkah. Tapi walaupun malu, Harry tak melepas pandangannya dari gadis itu.

"Ups, maaf, Hannah. Aku tak tahu kalau kau bakalan keluar dengan penampilan seperti itu," seru Mrs Figg dari belakang Harry. Ia kemudian tertawa kecil.

Hannah Abbott buru-buru keluar dari kamar mandi. Masih dengan muka memerah, ia segera kabur ke lantai atas.

Muka Harry tak kalah merahnya. Ia hanya diam dan Mrs Figg menertawakannya. Wanita tua itu segera mendorong Harry masuk kamar mandi.

.

.

.

bersambung

Bagaimana para pembaca? :D

Sebenarnya udah bertahun-tahun pengen nulis tentang Hannah dan baru kali ini bisa publish. Karena yang ngangkat tokoh ini dalam bahasa Indonesia jarang sekali, padahal di bahasa Inggris banyak banget.