Baby, I'm preying on you tonight

Hunt you down eat you alive

Just like animals

.

.

.

"Omega menemui heat pertamanya ketika dia bertemu seseorang yang akan menjadi mate-nya."

.

Populasi manusia di dunia ini semakin menurun.

Dan untuk itulah dibangun kembali aturan-aturan baru untuk mempertahankan ras manusia yang sebagian besar telah musnah berkat perang dunia terakhir beberapa tahun lalu.

Kemudian berkat perang dunia itu pula lha, tersebar virus aneh yang membuat organ seksual manusia mengalami perubahan. Tidak ada lagi sekedar jenis kelamin berupa 'laki-laki' dan 'perempuan' saja. Mau tak mau, seluruh manusia tanpa terkecuali harus bisa menerima perubahan ini.

Alfa, Beta, dan Omega.

Sesuai urutannya, Alfa adalah ras paling dominan yang dapat memastikan kehamilan pada pasangannya—tak peduli Beta maupun Omega. Beta adalah ras yang memiliki perbandingan 50:50 antara dominan dan submisif, dia bisa hamil jika dipasangkan dengan Alfa namun masih bisa menghamili Omega... walau membutuhkan waktu yang cukup lama karena organ seksualnya yang paling mendekati manusia normal itu harus mengalami proses adaptasi terlebih dahulu. Dan Beta tidak mengalami heat.

Sebenarnya Beta disarankan untuk berkembang biak dengan sesama Beta saja demi kemanan bersama. Selain itu mengurangi risiko kecacatan yang mungkin saja terjadi karena kegagalan organ tubuh Beta ketika beradaptasi.

Lalu ada Omega... yang harus menerima nasibnya berada di posisi untuk mengandung keturunan mau tak mau. Ini adalah ras paling submisif terutama jika berhadapan dengan Alfa.

Meski begitu, Omega adalah ras yang paling dilindungi di era sekarang. Karena organ tubuh mereka yang menjamin kehamilan adalah sesuatu yang paling dicari dan dibutuhkan untuk mempertahankan jumlah manusia. Hal ini membuat aturan baru yang menimbulkan pro dan kontra di sebagian kalangan, terutama kaum Omega itu sendiri.

Mereka akan diberi fasilitas yang menjanjikan dan pastinya ditinggikan pula derajatnya—mengesampingkan kenyataan bahwa mereka mungkin adalah ras yang paling lemah di muka bumi. Namun sebagai konsekuensinya, mereka harus menemukan mate. Tak peduli bagaimana perasaan maupun prinsip hidup mereka sebagai manusia, para Omega harus memiliki pasangan yang sah dan menghasilkan keturunan.

Tanpa terkecuali.

Hanya saja... berkat demo besar-besaran yang dilakukan para aktivis HAM, akhirnya aturan baru kembali ditambahkan.

Para Omega yang telah berumur delapan belas tahun—umur mereka mulai bisa merasakan heat—akan ditahan di dalam gedung besar yang telah dibangun pemerintah. Di sana, mereka akan duduk berderet di sepanjang koridor gedung dengan pakaian lengkap lalu kedua mata mereka akan ditutup. Bisa juga jika mereka tidak mau kedua mata mereka ditutup—tergantung persetujuan para Omega itu sendiri. Lalu orang-orang dengan status Beta dan Alfa—diutamakan Alfa—akan datang memasuki gedung, berjalan di sepanjang koridor untuk mencari Omega yang mungkin saja adalah mate mereka.

Penutupan mata ini bertujuan agar Omega yang masih ingin melanjutkan hidup bebas bisa tetap mendapatkan hak mereka. Para Alfa dan Beta tidak berhak mencampuri itu. Mereka bisa menandai Omega yang merupakan mate mereka dengan tanda sebanyak apapun. Tapi, jika sang Omega masih belum mau menerima pasangan Alfa atau Beta-nya untuk masuk ke dalam kehidupannya, maka pasangan mereka itu harus tetap diam dan menjaga jarak.

Karena masih banyak Omega yang lebih memilih untuk mengurus anak mereka sendiri atau sekedar mencari mate agar dirinya terhindar dari heat yang tidak teratur. Apapun pilihannya, Omega adalah ras yang dilindungi oleh hukum secara ketat. Alfa dan Beta tidak bisa main-main, justru di sini... merekalah yang harus lebih berhati-hati.

Lalu bagaimana cara Alfa dan Beta mengetahui Omega itu adalah mate mereka?

Para Omega yang akan memberi tahu mereka.

Saat Omega duduk di sepanjang koridor dengan kedua mata mereka yang tertutup, para Alfa dan Beta akan berjalan melewati para Omega sembari melihat reaksi mereka. Penciuman Alfa dan Omega akan meningkat beberapa kali lipat ketika mereka menemukan mate mereka. Terutama ketika masuk heat secara mendadak. Secara reflek, tubuh Omega akan bereaksi begitu salah satu Alfa atau Beta berdiri di depan mereka.

Lalu jika mereka merasakan heat telah datang di tubuh mereka, sang Omega akan meraba sisi kursi lalu menekan suatu tombol yang memberi tanda bahwa mereka telah masuk heat. Saat itu terjadi, para Alfa dan Beta yang kebetulan berada di depannya akan mencoba berjalan mendekatinya. Lalu dengan penciuman yang lebih tinggi dibanding Alfa dan Beta, Omega akan langsung menjulurkan tangannya lalu menarik seseorang yang telah berhasil membuat tubuhnya bereaksi. Karena meskipun Alfa bisa mencium heat Omega, kebanyakan dari mereka masih ragu apakah mereka memang orang yang tepat atau tidak.

Di saat itulah, pasangan mate ditemukan.

Selanjutnya apa yang akan terjadi... terserah pada kesepakatan mereka bersama selama masih di dalam batas toleransi hukum.

Meski aturan ini telah dijalankan selama dua tahun terakhir, masih banyak yang merasa ini adalah aturan yang bodoh. Tak sedikit Omega yang membangkang dan lebih memilih mengonsumsi suppressant yang berbahaya daripada datang ke fasilitas yang telah disediakan.

Gilbert Beilschmidt hanyalah salah satunya... setidaknya sampai kemarin.

.

.

.

Hetalia © Hidekazu Himaruya

Animals (Song) © Maroon 5

Story © Kira Desuke

Rate M Yaoi Omegaverse

Romance/Hurt/Comfort/Friendship

RuPru (Russia x Prussia)/IvanGil (Ivan x Gilbert)

.

Happy RoPu Day! (06/02/2018)

and

Happy birthday for you, Adit! My fellow RuPru squad! Wish all the best for you, dear! (06/01/2018)

.

.

.

ANIMALS

Chapter 1

.

.

.

Memasuki umur dua puluh tiga tahun, Gilbert Beilschmidt yang tadinya berpikir untuk selamanya tidak mencari mate dikarenakan Alfa yang disukainya ternyata bukanlah mate sahnya, akhirnya diseret oleh adiknya yang merupakan Beta.

"Pokoknya kita ke gedung M sekarang!" teriak Ludwig Beilschmidt, menarik kakaknya yang hanya berjalan dengan malas-malasan di belakangnya. Orang-orang di sekitar hanya melihat mereka sekilas sebelum kembali mengurusi diri masing-masing, "Terlalu lambat mendapat heat juga tidak bagus untuk tubuhmu!" tambahnya sembari kembali menghadap depan dengan ekspresi mengerikan di wajahnya.

Gilbert hanya menggerutu sembari melihat ke arah lain, "Adikku yang lucu sangat perhatian sekali." Ucapnya sarkastik. Meski dia membiarkan kedua kakinya melangkah mengikuti adiknya.

"Bruder!"

"Oke, oke, aku tinggal duduk di sana saja, 'kan?" Gilbert menarik tangannya dari pegangan Ludwig lalu berjalan cepat hingga dia berdiri di samping adik laki-laki yang lebih tinggi darinya itu, "Tapi, aku ingin kau tetap mengingat perjanjian kita, Lud. Jika hari ini aku tidak menemui mate-ku, maka selanjutnya terserah padaku. Bahkan kau pun akan kutuntut jika berani menentangku. Mengerti?" tanya Gilbert sembari menunjuk wajah Ludwig yang mulai goyah.

"Tapi bruder, ini demi kebaikanmu—"

"Aku tahu apa yang terbaik untukku," potong Gilbert langsung sembari berjalan meninggalkan adiknya. Gedung yang menjadi tujuan mereka telah di depan mata sekarang, "ayo cepatlah sedikit, adikku." Lanjutnya dengan nada yang semakin kesal.

Ya, wajar saja Gilbert marah padanya.

Ludwig sangat mengerti.

Tapi, jika terus seperti ini... siapa yang bisa menjamin satu-satunya saudara yang paling disayang Ludwig itu akan bangkit kembali setelah terpuruk cukup lama karena seorang Alfa bodoh yang bahkan tidak menyadari perasaan sang kakak?

Menggelengkan kepalanya, akhirnya Ludwig hanya bisa mengikuti kakaknya. Mereka memasuki gedung itu dan melihat pemandangan yang sudah biasa mereka lihat. Wajar saja, tanpa perlu pernah ke sini pun, semua buku pelajaran telah memiliki gambar isi gedung ini terutama buku pelajaran yang dipegang oleh Omega seperti Gilbert.

Ludwig menghampiri meja customer service di depan untuk mendaftarkan sang kakak sementara Gilbert memperhatikan sekelilingnya. Ada dinding kaca besar yang menghalangi jalan masuk mereka menuju ruangan Omega. Pintu pembatas yang ada di sana hanya bisa dimasuki para Omega yang sudah mendaftar, jika waktu yang ditentukan sudah tiba barulah Alfa dan Beta boleh masuk mencari mate mereka. Gilbert melihat antara kasihan dan jijik pada setiap kursi yang telah diduduki oleh Omega di dalam sana.

Oh, tunggu.

Dia akan menjadi salah satu dari mereka.

Gilbert mendecak kesal dan membuang wajahnya. Dia tidak akan lari atau menelan ludahnya sendiri sekarang. Selain karena itu tidak awesome, dia juga masih tidak ingin mengecewakan adiknya dengan melanggar janji mereka. Lagipula, Ludwig juga setuju ini akan menjadi yang pertama dan terakhir kalinya jadi setidaknya sampai hari ini berakhir, Gilbert akan mencoba bertahan.

"Sudah, bruder." Menoleh ketika adiknya yang lebih tinggi itu berdiri di belakangnya, Gilbert memasang wajah yang jelas menunjukkan bahwa dia masih kesal. Ludwig memegang kertas tanda terima atas surat perjanjian yang sah di tangannya, "Berjanjilah padaku, jangan membuat masalah. Aku akan menunggumu di luar gedung, jadi—"

"Ya ya, aku mengerti."—SRAK. Merebut kertas itu dari tangan adiknya, Gilbert langsung berbalik dan berjalan melewati penjaga pintu ruangan Omega di sana.

Wajah Ludwig masih menyiratkan kekhawatiran yang mendalam sebelum dia berteriak, "Hubungi aku jika sudah selesai!" teriaknya. Yang hanya dibalas Gilbert dengan lambaian tangannya tanpa menoleh ke belakang.

Gilbert Beilschmidt telah masuk ke dalam ketika salah seorang Beta menghampirinya dengan senyum cantik di wajahnya. Menerima kertas tanda terima yang diberikan Gilbert padanya, "Oh, jadi ini pengalaman pertamamu?" tanyanya.

"Ya, dan juga yang terakhir." Jawab Gilbert sarkastik.

Tapi, wanita itu justru tertawa kecil dengan wajahnya yang memerah, "Kuharap begitu," melihat reaksinya, Gilbert langsung tahu bahwa wanita di depannya menangkap maksud yang berbeda darinya. Well, terserahlah.

"Sebelah sini, tuan Gilbert."

Malas-malasan, Gilbert berjalan mengikuti wanita berambut hitam panjang tersebut. Dia mempersilahkan pria albino itu duduk di salah satu kursi empuk yang kosong. Duduk di sana, Gilbert memperhatikan wanita itu mempersiapkan segala yang dibutuhkannya, memastikan setiap tombol pengaman berfungsi dengan baik. Sampai akhirnya, sang Beta kembali berdiri tegak dan menatap Gilbert dengan senyuman ramah.

"Apakah anda ingin menutup mata anda?"

Gilbert yang telah menopang dagunya pada sandaran kursi di sampingnya itu hanya melirik pelan. Dia berpikir beberapa saat sebelum memejamkan kedua matanya dan menghela napas panjang.

"Ya."

...Toh, dia hanya menjalankan kewajibannya sebagai Omega.

Tidak lebih.

Tersenyum mengerti, wanita itu mengangguk, "Baiklah," dia mengambil penutup mata steril dari dalam laci di samping kursi Gilbert lalu berjalan mendekat, "permisi..." ucapnya sembari mencondongkan tubuhnya untuk memasangkan penutup mata itu dengan kuat pada kedua mata Gilbert.

Tepat setelah penutup mata terpasang, bunyi bel terdengar dengan keras. Wanita itu menggumamkan suatu kata seperti, "Oh, pas sekali." Atau sejenisnya sebelum dia mengucapkan izin pada Gilbert dan pergi setelah memberi tahu tombol-tombol darurat jika terjadi sesuatu.

Seiring dengan suara berisik yang mulai memenuhi lorong, Gilbert tak pernah menyangka pendengarannya jadi terasa jauh lebih tajam dari sebelumnya. Penutup mata membuat Gilbert menjadi lebih konsentrasi dalam mendengarkan setiap langkah demi langkah yang berjalan melewatinya.

Bukan hanya itu... tapi, perasaan tak tenang ini—

TAP

—ketika orang-orang itu melihatnya yang seolah tidak memiliki pertahanan dan harga diri...

TAP

...tidak. Tidak.

TAP

Gilbert benci ini.

TAP

Menggertakkan giginya, Gilbert mulai mencengkeram sisi-sisi kursinya. Rasanya dia ingin meledak. Kapan semua ini akan berakhir? Dia ingin cepat-cepat membuka penutup matanya, lalu berlari ke arah sang adik dan meninjunya. Sebagai pelajaran karena telah memasukkan kakak Omeganya ke tempat menjijikkan seperti ini.

TAP

"Ludwig sialan—"

DEG!

...

...

...Hah!?

Sekujur tubuh Gilbert mengejang. Kedua tangannya yang sebelumnya memegang ujung gagang kursi dengan kuat tiba-tiba melemah. Gilbert membuka tutup mulutnya, mengeluarkan uap panas yang bergumul. Kedua alis Gilbert mulai bertaut ketika merasakan sekujur tubuhnya bergetar hebat.

"Apa..." di dalam kegelapan, rasa takut itu kembali menghantuinya. Gilbert menarik kedua tangannya dan meremas erat baju yang dia kenakan di depan dadanya, "...apa... ini?"

PIP

"Ada Omega yang masuk heat di ruang K!"

Teriakan seseorang yang jika Gilbert tidak salah ingat adalah salah satu karyawan membuat Gilbert tersentak.

Dia... masuk heat?

Secepat ini!?

Napas Gilbert terdengar semakin keras. Sekujur tubuhnya bergerak tak nyaman, terlebih ketika dia merasakan sesuatu yang basah keluar dari bagian bawahnya. Gilbert mulai merapatkan kedua kakinya, saliva mulai terlihat keluar dari ujung mulutnya, sebagian menjadi jembatan di antara gigi atas dan bawahnya. Penciumannya meningkat tajam, terfokus pada satu bau.

Tangan seseorang memegangnya. Tapi, Gilbert tahu bukan orang ini yang berhasil membuatnya masuk ke dalam heat. Bahkan Gilbert berusaha bergerak untuk menjauh dari orang itu.

"Tuan Gilbert," suara wanita itu memenuhi gendang telinganya. Gilbert segera sadar bahwa ini wanita yang tadi mengantarnya, "aku akan menjelaskan situasinya. Sekarang di depanmu sedang berkumpul banyak Alfa dan Beta yang penasaran siapa yang berhasil membuatmu masuk ke state ini."

Semua?

Sebanyak apa... orang-orang yang melihat kondisi memalukannya ini?

Wanita itu kembali berusaha menenangkannya, "Alfa atau Beta yang merasa berhasil membuatmu seperti ini akan berjalan mendekatimu dan menjulurkan tangannya. Jika kau ingin semua ini cepat berakhir, kusarankan agar kau langsung menarik tangannya." Ucapnya serius.

"Setelah kau mengkonfirmasinya, kami akan menekan tombol yang membuat ruangan ini terkunci rapat. Tidak ada siapapun yang bisa masuk ke ruangan ini sampai salah satu dari kalian keluar melewati satu-satunya pintu di depan. Tenang, siapapun itu dia tidak akan bisa menyakitimu... kecuali jika dia mau merasakan pengadilan hukum. Sampai sini, kau mengerti, 'kan?"

Gilbert merintih pelan, "Aku tidak peduli lagi. Cepatlah..." ucapnya dengan suara serak menahan segala rasa yang ada, "...cepat selesaikan semua ini!" teriak Gilbert pada akhirnya.

Tanpa sepengetahuan Omega albino itu, sang wanita mengangguk lalu berdiri tegak. Dia menghadap para Alfa dan Beta yang telah menunggu lalu menjelaskan hal yang sama pada mereka.

"Jadi, siapa yang akan maju lebih dulu?"

Entah kenapa kebanyakan dari mereka ragu. Mungkin mulai menyadari jika mereka bukan mate Omega yang sedang meremas pinggiran kursinya itu. Ketika akhirnya sudah ada beberapa orang yang akan maju lebih dulu—

"Aku."

Sang wanita menatap pria tinggi besar berambut cokelat beige yang mengenakan syal panjang itu berdiri di depannya. Bau Alfanya yang kuat dan mengintimidasi membuat wanita Beta itu sedikit menelan ludahnya. Namun tetap profesional, wanita itu mengangguk lalu memberi jalan pada pria yang sebenarnya juga sekilas terlihat ragu itu.

Di sisi lain, Gilbert mulai menyadari sesuatu. Bau yang terus membuatnya fokus itu semakin lama semakin kuat. Kepalanya terasa pusing seakan dia mulai mabuk. Ingin segera tidur saja... membuka kakinya... dan—

—tunggu tunggu, apa yang dia pikirkan!?

Tidak.

Dia sudah tidak bisa berpikir lagi.

Ketika bau itu menekannya semakin ke ujung, Gilbert bisa merasakan miliknya menegang di bawah sana. Bahkan mulai mengeluarkan pre-cum. Gilbert mendongakkan kepalanya, memasang tatapan memohon meski percuma. Seketika pikiran dan instingnya yang berkabut langsung menutupi akal sehatnya.

Di depannya adalah seorang Alfa.

Alfa...nya.

Gilbert Beilschmidt adalah Omega milik... Alfa ini.

"Ah... akh."

Pria di depannya baru menjulurkan tangannya di saat Gilbert sudah lebih dulu menyambarnya. Dari ukuran tangan ini, Gilbert langsung tahu bahwa dia adalah pria seperti dirinya. Tak jauh beda dari Gilbert, sang Alfa juga sedikit tersentak ketika Gilbert meraih tangannya dan meremasnya.

Apalagi ketika Gilbert mulai menariknya mendekat dan mendekatkan kepalanya pada tubuh sang Alfa. Menghirup dalam-dalam bau yang telah membuatnya gila ini. Wajah pria bersyal itu juga ikut memerah dan dia mulai mengelus kepala Gilbert di bawahnya. Membelai calon Omeganya, mengikuti insting untuk menenangkannya.

Karyawan di belakang mereka telah mengerti tanda ini. Dia berjalan keluar lalu menekan tombol yang langsung menutup ruangan mereka menjadi milik pribadi. Seolah berada di love hotel, kini tak ada lagi yang bisa mendengarkan percakapan mereka ataupun melihat apa yang akan mereka lakukan.

Mulai dari sini, semua terserah mereka.

Gilbert masih memeluk erat tubuh di depannya. Tak ada suara di antara mereka selain suara engahan Gilbert yang masih berusaha menahan reaksi tubuhnya. Pria yang digapai olehnya itu menelan ludah pelan sebelum dia berhenti mengelus kepala Gilbert dan bersuara.

"Ha-Halo?"

Suara yang kikuk ini membuat Gilbert membuka kedua matanya di balik penutup.

"Sebenarnya aku sedikit tidak menyangka akan bertemu mate-ku sekarang..." tawa kecilnya terdengar, seakan dia mencoba mencairkan suasana di antara mereka, "...apalagi ini pertama kalinya aku ke sini."

Gilbert masih diam meski tangannya yang mencengkeram baju atau jubah milik Alfa itu semakin erat.

"Namamu Gilbert, 'kan? Namaku—"

"Berhenti sampai di situ." Potong Gilbert dengan cepat. Mengesampingkan keringat yang mengalir di sisi wajahnya, Gilbert mendongakkan kepalanya, "Kau masih tidak mengerti juga setelah melihat aku mengenakan penutup mata ini?" tanyanya dengan nada yang cukup tinggi.

Tidak ada sahutan dari Alfa itu memberi tanda untuk Gilbert melanjutkan.

"Aku tidak berniat menjalin hubungan serius denganmu. Atau lebih tepatnya... dengan semua Alfa."

Gilbert sedikit tidak menyangka bahwa dia akan mengatakannya secara langsung setelah selama ini menyimpannya dalam hati.

"Aku hanya menjalankan peranku sebagai Omega..." ucap Gilbert dengan napas yang cukup memburu. Sebentar lagi dia akan sampai pada batasnya, "...di luar tempat ini, aku dan kau hanya orang asing. Jadi, tidak perlu mengingat namaku sebagaimana aku yang tidak perlu mengingat namamu."

Pria besar yang sedari tadi hanya diam mendengarkan itu akhirnya mulai mengangkat kedua tangannya dan memegang tangan Gilbert yang masih mencengkeram erat jubahnya.

"Something called mate... is just kind of shit."

Ucapan Gilbert terus keluar tanpa bisa dihentikan meskipun oleh dirinya sendiri. Tak peduli meskipun Gilbert sendiri sudah berpikir di dalam kepalanya bahwa dia sudah sangat keterlaluan. Apakah karena pengaruh heat yang membuatnya jadi jauh lebih jujur dan kesal hingga melampiaskan semuanya pada Alfa malang yang baru ditemuinya hari ini?

Jika seandainya sekarang Alfa itu kecewa dan pergi meninggalkannya tersiksa sendirian di tengah heat...

...Gilbert tidak akan menyalahkannya.

Ya, Gilbert sudah mengantisipasi itu... meski tubuhnya enggan berbohong mengikuti kata hatinya. Dia tidak bisa melepaskan tangan Alfanya itu meskipun ingin. Perasaan frustasi yang rawan muncul pada saat heat mulai membuatnya mengalirkan air matanya perlahan tapi pasti. Gilbert semakin menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan air mata itu dari pria yang bertanggung jawab atas kondisinya sekarang.

Tidak. Tidak.

Dia tidak boleh terlihat menyedihkan.

Tidak di depan Alfa yang seharusnya adalah pasangan mate sahnya ini.

Namun, meskipun Gilbert terus menunggu, Alfa itu tak kunjung melepaskan tangannya. Sebaliknya, tangan besar yang tadi dia rasakan menyentuh tangannya itu justru memegangnya semakin erat. Pria yang Gilbert ketahui mengenakan syal itu menurunkan tubuhnya agar tingginya sejajar dengan Gilbert yang duduk di depannya.

Seandainya saja Gilbert bisa melihat...

"Aku mengerti."

...senyuman lembut yang diberikan sang Alfa padanya.

"Aku akan mengikuti keinginanmu," Gilbert tak bisa melihat apapun di balik penutup matanya. Tapi Gilbert yakin Alfa itu sedang menatap wajahnya dengan dalam. Tak lama kemudian, Gilbert bisa merasakan jempol Alfa itu mengusap air mata di wajahnya, "tapi—"

Jempol di wajah Gilbert berhenti mengusap.

"—aku tidak berjanji untuk melupakan namamu, Gilbert."

Mendengar ini, mulut Omega berambut putih silver itu sempat terbuka. Sebelum akhirnya bibirnya terkatup rapat lagi dan dia tetap diam di posisinya. Mencium bau Gilbert yang kembali tenang, Alfa itu tersenyum lebih lebar lalu memajukan tubuhnya dan memiringkan kepalanya.

Mencium bibir Gilbert yang masih lengah dan tidak memperkirakan ciuman itu datang.

Tubuh Gilbert menegang untuk beberapa saat. Tangannya reflek meraih syal di leher pria itu dan mencengkeramnya erat. Meski begitu, dia tidak dapat menghindar dan akhirnya membiarkan Alfa itu memasukkan lidah ke dalam mulutnya. Membuat keduanya saling berpagutan, menukar rasa satu sama lain.

Ciuman itu semakin dalam dan meskipun Gilbert masih ragu, dia menarik tubuh Alfanya semakn dekat. Gilbert sempat tersentak di tengah ciuman mereka ketika pria di depannya tiba-tiba memegang bagian bawah tubuhnya dan menggendongnya. Membuat kedua kaki Gilbert melingkari tubuh Alfa di depannya sementara pria besar itu terus membawanya. Dia membaringkan Gilbert di atas kasur yang telah disediakan.

Saling berpagutan dan Gilbert mulai terlarut dengan setiap kegiatan yang dilakukan Alfa itu padanya. Sampai akhirnya, dia berbisik di telinga Gilbert yang mulai memerah.

"Namaku Ivan Braginsky."

Tersentak mendengar ini, Gilbert berniat untuk marah dan menutup mulut pria di atasnya. Sampai tangan besar laki-laki itu memasuki lubangnya yang telah basah.

"Mau melupakannya atau tidak itu terserah padamu."

Dan amarah Gilbert berubah menjadi desahan yang tidak pernah dia kira akan keluar dari mulutnya sendiri.

"Sama sepertimu..."

Tanpa bisa melawan nalurinya yang segera mengambil alih begitu Ivan menyentuhnya, Gilbert hanya terus mendesah dengan kedua tangan yang menarik Ivan semakin mendekat. Tidak peduli meski dia tahu tanpa perlu melihat bahwa Ivan sedang tersenyum penuh kemenangan telah berhasil membuat Omega di bawahnya tenggelam di dalam kenikmatan yang fana.

Saat semuanya sudah terlanjur terjadi, di situlah Gilbert Beilschmidt baru menyadarinya.

Kesalahan terbesar dalam hidupnya.

"...aku juga tidak tertarik berhubungan serius dengan Omega menyebalkan sepertimu, da."

Dia tidak akan pernah bisa menyukai Alfa ini.

#

.

.

.

#

Sudah hampir sebulan berlalu sejak pertemuan dengan seorang Alfa yang merubah kehidupannya hingga seratus delapan puluh derajat.

Sejak itu pula, Gilbert Beilschmidt nyaris melupakan statusnya sebagai Omega yang masih bisa merasakan heat. Gilbert benci mengakuinya, tapi dia tidak bisa menampik rasa senang karena setidaknya salah satu hal yang paling mengganggu kehidupan normalnya itu menghilang perlahan tapi pasti. Sedikit banyak, pada akhirnya Gilbert tetap harus berterima kasih pada Alfa yang namanya tidak mau dia ingat itu.

...Atau setidaknya Gilbert berharap dia tidak bisa mengingatnya.

"Yo, dude!" teriakan seseorang yang mendekatinya lalu menepuk bahunya membuat tubuh Gilbert menegang secara reflek. Pemuda berambut putih itu melirik sinis mengesampingkan wajahnya yang sedikit memerah sampai dia menutupi sebagian wajahnya dengan tumpukan kertas di tangannya, "Malam ini bos mengundang kita minum lagi, kau ikut, 'kan?"

Wajah pria berambut pirang dan berlogat American itu terlalu dekat sehingga Gilbert sedikit menjauhkan wajahnya sebelum meletakkan kembali tumpukan kertas di atas meja, "Memangnya kau ikut? Setahuku kau sendiri tidak suka minum." Jawabnya apa adanya.

Alfred F. Jones tertawa lalu menegakkan posisi berdirinya meski tangannya masih di atas bahu Gilbert, "Yeah. Tapi, aku harus ikut mau tak mau karena akan bertemu teman lama di sana." Jeda sejenak, Alfred menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, "Aku sendiri baru tahu kalau direkturperusahaan baru yang akan bekerja sama dengan kita itu adalah teman lamaku juga. Bos mengajakku agar situasi tidak terlalu awkward di antara mereka. Mengingat temanku itu sendiri yang meminta bertemu di bar karena tidak suka persepsi pertama yang terlalu formal hahaha."

Mendengar penjelasan Alfred membuat Gilbert menaikkan sebelah alisnya, "Direktur itu terlihat merepotkan." Gumamnya secara reflek.

Alfred tertawa semakin keras, "You can say that! Dia memang sangat merepotkan tapi percaya padaku jika kau sudah mengenalnya lebih dalam, dia cukup menyenangkan!" pria itu kembali memasang ekspresi memohon, "Tapi, tetap saja sudah lama sekali berlalu sejak terakhir kami berkomunikasi. Karena itu, aku mohon padamu, Gil! Please come with us!" pintanya dengan dua telapak tangan yang menyatu.

"Err, aku tidak melihat poin yang mengharuskan aku untuk ikut dengan kalian."

"Pertama, kau tahu aku tidak suka minum jadi aku pasti tidak akan mau mabuk bersama mereka. Kedua—" Alfred menarik napasnya lalu berteriak kencang, "—KAU TAHU BAGAIMANA ARTHUR JIKA SUDAH MABUK, 'KAN?"

Melihat Alfred yang telah frustasi sampai menyebut nama bos yang sekaligus adalah kekasihnya di belakang layar tersebut membuat sweatdrop muncul di dahi Gilbert.

"Gosh, aku bahkan tidak mau membayangkan apa yang akan terjadi seandainya Arthur mulai melompat padaku di depan temanku itu!" teriak Alfred sembari menggaruk rambutnya kesal sebelum menyisirnya ke belakang, dia memejamkan kedua matanya erat.

Menghela napasnya, Gilbert memutar kursinya menghadap Alfred dan tertawa kecil, "Kalau tahu begitu, kau tinggal memohon pada temanmu itu agar kalian bertemu di tempat lain. Selesai, 'kan?"

"Arthur sudah memintanya tapi dia tidak mau. Yah, aku juga tidak berharap banyak sih. Aku ingat dia adalah peminum garis keras sejak kuliah dulu," jawab Alfred dengan kedua alisnya yang mengerut lelah, "aku tidak ada pilihan lain selain meminta tolong padamu, Gil. Maksudku, jika situasi sudah semakin berbahaya, kau bisa mengalihkan perhatian temanku itu sementara aku mengurus Arthur. Bagaimana?" Tambah Alfred sembari menatap Gilbert dengan pandangan memohon untuk yang ke sekian kalinya.

Ah.

Baiklah, Gilbert mengerti.

"Please? Help your bro here, will you?"

Di awal, Gilbert terlihat mengalihkan pandangannya ke arah lain. Kedua alisnya bertaut seolah dia sedang mempertimbangkan segala pilihan yang ada. Alfred masih menatapnya dengan kedua puppy eyes miliknya yang menyebalkan. Cepat atau lambat, tinggal menunggu waktu sampai Alfa kekanakan itu menghilangkan jarak di antara mereka perlahan tapi pasti.

Lalu pada akhirnya, Gilbert pun menyerah, "Apa boleh buat," melihat senyuman cerah Alfred membuat Gilbert dengan cepat menambahkan, "tapi kau yang membayar semua makanan dan minumanku."

"DEAL!" teriak Alfred terlalu senang. Pria yang mengenakan jas hitam dengan seluruh kancing terbuka itu reflek merangkul Gilbert erat sebelum melepasnya, "Thanks, Gil! Aku akan memberi kabar pada Arthur sekarang juga. Don't worry, you can order as much as you want! See you later!" lanjut Alfred lagi lalu dia melambaikan tangannya sebelum berlari cepat ke arah yang Gilbert ketahui sebagai ruangan bos mereka, seorang Omega bernama Arthur Kirkland tersebut.

Gilbert masih memasang senyumannya sembari membalas lambaian tangan Alfred sampai sosok Alfa itu benar-benar menghilang dari pandangannya. Setelah itu, senyuman Gilbert kembali menghilang dan dia menghela napas panjang. Gilbert menjatuhkan dahinya ke atas meja.

"Uh..."

Memejamkan kedua matanya erat dan mengabaikan rasa panas yang berkumpul di wajahnya setelah menerima berbagai macam sentuhan yang diberikan Alfred padanya.

Scheisse.

Sampai kapan dia harus menahan semua ini?

"...dasar bodoh."

#

Waktu terus berjalan hingga akhirnya malam yang dimaksud telah tiba. Gilbert membereskan meja kerjanya sebelum berdiri dan melihat pasangan yang diketahuinya telah menunggu di ujung lorong. Alfred melambaikan tangannya tinggi dan menunjukkan deretan gigi putihnya.

Melihat itu semua, Gilbert mendengus menahan tawa lalu berlari kecil ke arah mereka.

"See? Gilbert benar-benar mau datang seperti yang aku bilang, 'kan?"

"Itu karena kau yang selalu memaksanya, Alfred!" teriak Arthur kesal pada Alfanya di balik layar tersebut. Pria keturunan British itu beralih ke Gilbert dan memasang ekspresi khawatirnya yang sebenarnya tidak begitu kentara, "Gil, kau tidak harus selalu menuruti kata-kata bocah ini. Dia jadi terlalu bergantung padamu. Sesekali kau juga bisa menolaknya, kau tahu." Ucap Arthur dengan tatapannya yang serius.

Alfred berteriak tidak terima, "Hei—"

"Oh, tidak apa-apa, Artie. Aku sendiri memang sedang ingin minum sekarang. Lagipula—" meraih bahu Alfred dan merangkulnya, Gilbert memasang senyuman lebar dan tertawa puas, "—bocah awesome satu ini sudah mau membayar seluruh pesananku! Jadi, aku tidak akan mundur sekarang! Kesesese!" ucap Gilbert sembari mengangkat jempolnya dan mengeluarkan tawa khasnya.

Tentu saja mendapat dukungan tak langsung ini membuat Alfred yang dirangkul Gilbert ikut tersenyum lebar dan mengacungkan jempolnya pada Arthur di depan mereka. Pasangan bromate yang sebelumnya berstatus senior-junior saat SMA itu tertawa bersama untuk meyakinkan Arthur yang masih menatap keduanya jengkel. Setidaknya sampai Arthur menghela napas dan mengangkat kedua tangannya menyerah.

"Baiklah, baiklah. Terserah kalian saja," Arthur membalikkan tubuhnya dan berjalan lebih dulu. Sebelum berhenti dan menoleh sedikit ke belakang, "yang penting... kau benar-benar tidak keberatan, 'kan Gil?"

Pertanyaan dan ekspresi serius yang dipasang Arthur padanya itu langsung menghilangkan senyuman lebar di wajah Gilbert. Mengerti maksud Omega di depannya, Gilbert tersenyum tipis dan memejamkan kedua matanya.

"...Ja."

Jawaban singkat dengan nada yang lebih tenang itu masih belum membuat Arthur kembali menatap depan. Iris green forest miliknya menatap Gilbert dalam dan penuh selidik. Seakan dia mengetahui sesuatu. Berkebalikan dengan Alfred yang masih membalas rangkulan Gilbert dan menatap kedua Omega di dekatnya tersebut secara bergantian dengan ekspresi bingung di wajahnya.

Arthur memejamkan kedua matanya dengan erat, "Stubborn." Bisiknya tanpa ada yang mendengar lalu dia kembali melanjutkan langkahnya.

Melihat punggung Arthur, Alfred menghela napas lega lalu menatap Gilbert dengan deretan gigi putihnya. Yang tentu saja dibalas dengan Gilbert sebelum mereka melakukan bro fist bersama. Mereka berlari kecil hingga sampai di sisi kanan-kiri Arthur dan melanjutkan perjalanan menuju bar yang telah dijanjikan.

Sepanjang perjalanan, ketiga pria itu berbincang dengan satu sama lain. Di luar kantor, mereka cenderung membicarakan hobi masing-masing. Terutama Alfred dan Gilbert yang kebetulan memiliki hobi bermain game yang sama sejak SMA. Arthur lebih banyak mengomentari dengan jengkel apalagi jika Alfred sudah menjajah jarak privasi di antara mereka. Biasanya Arthur akan reflek membentak dengan gugup dan wajah yang memerah sementara Gilbert menertawakan kebodohan pasangan itu.

Ya, hanya Gilbert Beilschmidt, rekan kantor mereka satu-satunya yang tahu tentang hubungan ini. Dan mereka tidak akan mempercayai orang lain lagi untuk mengetahui hubungan yang seharusnya tidak ada.

Karena sudah menjadi hukum tidak tertulis bahwa pasangan Alfa-Omega yang memang memiliki ikatan mate... tidak boleh bersama di kawasan umum.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Omega akan menemui heat setiap bertemu dengan Alfa mate-nya. Dan hal itu tidak bisa ditebak kapan datangnya, yang dapat dipastikan heat itu akan datang setelah umur delapan belas tahun. Sudah banyak kasus dimana Omega yang menemui Alfa mate-nya pada satu tempat kerja maka salah satu dari mereka harus mengundurkan diri untuk menghindari kemungkinan terburuk. Delapan puluh persen yang mengundurkan diri dari pekerjaannya itu tentu saja Omega.

Tapi, sebenarnya ada satu cara untuk mencegah ini.

Selama Alfa dan Omega aktif dalam menjalankan hubungan kontak fisik, mereka bisa memanipulasi kedatangan heat dengan obat khusus. Semakin jarang kontak fisik terjadi, maka semakin tinggi pula kemungkinan heat ketika Alfa dan Omega itu bertemu lagi. Jika seperti ini, maka kinerja obat juga tidak akan bisa berguna.

Untuk kasus pasangan di samping Gilbert ini, Arthur tidak langsung masuk heat ketika bertemu dengan Alfred pertama kali, heat-nya baru datang ketika mereka terjebak dalam insiden terkunci dalam satu gudang hingga beberapa jam. Itupun mereka memastikan beberapa kali sampai benar-benar sadar Arthur masuk heat dan Alfred bereaksi karenanya. Cara pertemuan yang sebenarnya bisa dibilang terlalu dramatis dan klise pada era sekarang.

Yah, walau begitu... Gilbert tetap senang dengan kebahagiaan yang mereka temui.

"Ngomong-ngomong Gil," mendengar namaya dipanggil, Gilbert menoleh ke arah Alfred, "kau belum menemui Alfamu lagi? Sudah mau sebulan, 'kan?"

Pertanyaan itu terlalu tiba-tiba hingga membuat Gilbert reflek menahan napasnya. Arthur menyadari ini dan langsung melirik pasangannya yang sangat tidak peka itu dengan galak, "Al."

"Ng?"

"...Aku sudah menghubunginya beberapa kali," jawab Gilbert pada akhirnya. Meski dia enggan menatap pasangan di sampingnya. Gilbert menunjukkan senyumannya meski dia tidak menunjukkan ekspresi yang dipasang kedua matanya, "tapi sepertinya kita sama-sama orang sibuk hahaha. Kami tidak pernah memiliki waktu yang pas untuk bertemu, apa boleh buat." Ucapnya sembari mengangkat bahu.

Tentu saja dalam hati Gilbert sangat berharap tidak ada yang menyadari dusta dalam setiap katanya. Gilbert tidak akan pernah menghubungi Alfa sialan itu. Bahkan meskipun neraka suatu hari nanti akan membeku.

Itu sumpahnya.

Tanpa menyadari apapun, Alfred memegang dagunya, "Begitu ya... susah juga," dia kemudian menyipitkan kedua matanya senang, "well, kuharap kalian cepat bertemu. Demi kebaikan tubuhmu juga, Gil! Aku tidak mau kau sampai jatuh sakit karena terlalu lama tidak mendapat heat lagi seperti beberapa waktu lalu."

Mendengar ini, nyaris saja Gilbert mendecak keras.

Seandainya dia tidak menahan diri dengan menggigit bibirnya hingga berdarah.

Dalam sekali jilatan, Gilbert menelan masuk darahnya sendiri sebelum menoleh ke arah Alfred dan memasang senyuman palsunya. Meski dia tidak bisa menipu Arthur yang langsung menatapnya penuh arti, setidaknya dia bisa menipu lelaki yang telah dia sukai sejak SMA dulu itu.

"Hm. Danke, Alfred."

Tepat setelah Gilbert mengatakan itu, bar tujuan mereka telah di depan mata. Tanpa berpikir dua kali, mereka langsung masuk ke dalam. Arthur yang menjawab pertanyaan salah seorang pelayan soal reservasi. Dari kejauhan, Alfred dan Gilbert bisa melihat pelayan itu tersenyum dan mengangguk lalu menggerakkan gestur tangannya untuk mengajak Arthur mengikutinya.

"Sepertinya partner baru kita sudah datang lebih dulu," bisik Alfred pada Gilbert yang hanya meliriknya. Tinggi keduanya yang hampir sama membuat Alfred tidak perlu menunduk sehingga mereka tidak terlihat membisikkan sesuatu yang mencurigakan, "hahaha aku tidak tahu denganmu Gil, tapi dulu banyak yang mudah terintimidasi dengan tubuh besarnya. Semoga kau bukan salah satu di antara mereka. He's commie, what do you expect?" ucap Alfred sebelum tertawa dan mereka berdua berjalan mengikuti Arthur.

Commie? Berarti dia Russian?—batin Gilbert dalam hati namun tidak mengeluarkannya. Dia kembali melihat punggung Arthur dan mendengus menahan tawa, "Ha, kau pikir sedang berbicara dengan siapa, Al?"

Alfred masih memasang senyumnya, "Sure sure!" dia kembali berdiri tegak dan ikut menatap Arthur yang telah lebih dulu berhenti di depan salah satu ruangan yang sedang dibukakan pelayan, "Tapi sejujurnya, Gil... mengingat sifatmu dan dia—"

Alfred memberi jeda sampai mereka benar-benar berhenti di belakang Arthur yang hendak masuk.

"—aku bisa menebak kau tidak akan menyukainya."

"Hah?" Gilbert menoleh dengan dua alisnya yang bertaut, "Apa maksudmu, Al—"

DEG

...Eh?

Tu—

—Tunggu dulu.

Mulut Gilbert yang masih terbuka mendadak mengering. Gilbert langsung menutup mulutnya dengan tangannya sementara tangannya yang satu lagi meremas kemeja putih yang menutupi dadanya dengan erat. Tubuh Gilbert terhuyung ke belakang sampai Alfred menangkapnya. Awalnya Alfa itu terlihat bingung sampai akhirnya dia menatap khawatir keringat yang mengalir di sisi-sisi wajah Gilbert.

"Gil!? Gilbert?"

Napas Alfred tercekat ketika dia dapat mencium bau wangi yang sangat dihafalnya. Meski bau wangi itu belum cukup kuat untuk membuatnya bereaksi.

Wajar saja.

"Hei, kau—"

Ini bau heat Omega yang bukan mate sah-nya.

Mendengar keributan di belakangnya, Arthur menoleh setelah berada di dalam, "Gilbert!?" pria yang memiliki alis tebal khas pria British itu berdiri lagi namun belum bergerak untuk keluar dan membantu Alfanya yang masih menahan tubuh teman mereka.

Di saat itulah...

...sepasang iris violet milik seseorang dapat melihat apa yang terjadi di depan ruangannya.

Pria yang mengenakan syal itu membuka mulutnya. Dia masih duduk di antara dua asistennya yang juga kebingungan melihat apa yang terjadi. Setidaknya sampai dia tiba-tiba berdiri membuat perhatian para asistennya teralihkan kembali ke dia.

"A-Ada apa, tuan—"

"Minggir, Raivis." Ucapnya singkat, padat, dan jelas. Yang duduk di paling pinggir, pria berukuran kecil dengan rambut berwarna cokelat susu itu langsung panik dan segera berdiri dari posisinya. Memberi jalan pada bos mereka yang langsung keluar meninggalkan ribuan tanda tanya.

Arthur juga menyadari itu dan menoleh pada pria besar yang terus berjalan tanpa melihat ke arahnya. Meski begitu, Arthur tidak sanggup mengatakan apapun, dia hanya bisa diam sampai pria itu berdiri di hadapan beberapa orang yang telah berkumpul mendekati Gilbert. Menyadari aura intimidasi khas Alfa di dekat mereka, orang-orang yang sempat mengerubungi Gilbert seperti semut itu perlahan tapi pasti mundur. Kecuali Alfred yang masih memegangi sahabat baiknya dengan panik.

Menyadari tak ada keributan di dekatnya lagi, Alfred mendongakkan kepalanya. Melihat teman lamanya itu menatap lurus Gilbert yang masih menundukkan kepalanya dan berusaha mengatur napasnya.

"Ivan?" bisik Alfred. Namun, tanpa menjawab apapun, pria di depannya itu meraih bahu Gilbert yang tidak menyandar pada Alfred.

Meski pria American beriris biru langit tersebut masih tidak mengerti, entah kenapa dia membiarkan instingnya menurut pada pria di depannya dan melepaskan Gilbert dari rangkulannya. Omega yang sedang heat itu akhirnya terjatuh pelan ke dalam pelukan teman lamanya.

...Ivan.

Ivan... Braginsky.

Nama yang ingin sekali Gilbert buang jauh-jauh dari dalam hidupnya itu kembali terngiang berulang kali di dalam kepalanya seolah mengejeknya. Berusaha melawan keinginan tubuhnya, Gilbert memegang bahu Ivan dan mencoba mendorongnya. Memberi jarak di antara mereka. Dia mendongakkan kepalanya dan melihat wajah pria yang menyentuhnya ini dengan sekujur tubuh yang bergetar.

Sekarang untuk pertama kalinya... kedua mata mereka bertatapan tanpa penghalang apapun.

Walau begitu, heat membuat tubuh Gilbert berteriak nyeri. Meminta Alfa untuk mendominasi tubuhnya sekeras mungkin. Hal ini membuat kedua mata beriris merah darah itu berkaca-kaca meski kedua alisnya bertaut, ingin menatap pria yang merengkuh tubuhnya itu dengan amarah yang tak tersampaikan.

Tapi sayangnya, ekspresi yang tenggelam dalam kebimbangan tak berdasar itu justru membuat senyuman lebar terpasang di wajah sang Alfa yang terlihat sangat menikmatinya.

"Bagus sekali, da." Suara yang masih menempel di dalam kepala Gilbert tanpa mau pergi itu kembali terdengar lagi, "Aku suka ekspresimu ini. Sesuai perkiraanku, kau memiliki mata yang mengerikan namun indah di saat yang bersamaan. Aku bersyukur kau Omega yang ditakdirkan untukku, Gil." Ucapnya ceria.

...Setidaknya sampai senyuman itu berubah menjadi senyuman twist yang menyimpan banyak arti.

"Aku ingin semua orang melihat berbagai ekspresi yang masih kau sembunyikan, Gil. Bolehkah aku mengisi tubuhmu sekarang juga?"

Gilbert menggertakkan giginya, "You... fucking sick."

Orang-orang yang melihat mereka satu persatu mulai pergi, tidak mau ikut campur dengan pasangan yang terlihat berbahaya itu. Begitu pula para pelayan yang cepat atau lambat segera sadar bahwa Omega yang menemui heat itu telah bersama dengan Alfanya. Alfred sendiri adalah salah satu dari mereka. Dia masih melihat Ivan dan Gilbert bergantian dengan wajah syoknya.

"Ivan... Ivan adalah mate-mu, Gil!?" teriak Alfred tanpa peduli rekan kerjanya yang telah berada di dalam ruangan bisa mendengar seluruh kata-katanya, "Gilbert, kenapa kau tidak pernah memberitahuku? Man, I... I don't even know how to react!" cerocos Alfred sembari memegang sisi-sisi kepalanya.

Walau begitu, Gilbert yang telah direngkuh oleh Ivan itu masih berusaha menjulurkan tangannya ke Alfred, "A-Al..."

"...Gil?"

Hanya saja sebelum tangannya sempat dipegang oleh Alfred, Ivan memegang pergelangan tangan Gilbert lebih dulu. Lalu dia berdiri sehingga menghalangi arah pandang Gilbert dan Alfred. Ivan membalikkan tubuhnya sehingga dia berhadapan langsung dengan orang-orang yang seharusnya memiliki jadwal bertemu dengannya.

"Mohon maaf atas kejadian di luar perkiraan ini. Tapi, seperti yang kalian lihat Omega-ku sedang masuk heat sekarang dan sebagai Alfa yang baik, aku tidak bisa meninggalkannya seperti ini, da," ucapnya dengan nada yang membuat Gilbert mendelik kesal padanya. Ivan menatap Arthur yang masih terpaku di tempatnya, "tuan Kirkland, jika kau tidak keberatan, bolehkah aku minta izin dulu? Anda bisa menjelaskan sistem kerja sama kita pada para asistenku. Aku sudah memberi mereka bekal-bekal pengetahuan yang dibutuhkan."

Ivan memberi penjelasan sembari menunjuk kedua asistennya yang masih bergetar ketakutan—entah kenapa. Arthur melihat mereka sekilas sebelum kembali menatap Ivan dan berniat membuka mulutnya sampai Ivan kembali memotongnya.

"Jangan khawatir, aku memang sudah berniat menandatangi kontrak denganmu apapun syarat yang akan diajukan."

Setelah mengatakan itu dengan kedua mata yang menyipit senang seperti anak kecil, Ivan kembali membuka kedua matanya.

Kali ini tatapan kosongnya membuat Arthur reflek menelan ludah.

"...Aku yakin kau juga tahu sampai mana batasmu, 'kan? Mr. Kirkland."

Pada akhirnya Arthur dapat merasakan instingnya memberi sinyal bahaya sehingga dia langsung mengangguk tanpa pikir panjang. Kedua alis tebalnya mengernyit dalam dan setetes keringat mengalir di sisi wajahnya. Melihat Arthur yang sepertinya bisa dipercaya, Ivan tersenyum senang lalu menoleh pada Alfred yang masih bengong melihatnya.

"Maaf harus langsung pergi di reuni pertama kita setelah sekian lama ini, Alfred," menyadari Ivan berbicara padanya, Alfred mencoba memasang senyuman di wajahnya meski gagal, "tapi toh kita akan semakin sering bertemu setelah ini, jadi tidak masalah, 'kan?"

Alfred tertawa kecil dengan nada kaku, "Yah, kau benar..." melirik Gilbert yang masih meremas erat baju Ivan di pelukannya membuat senyuman Alfred hilang. Ekspresi khawatir terlihat jelas pada wajah Alfa itu sebelum dia mengernyitkan kedua alisnya dan menatap Ivan yang masih memasang senyumannya, "...Ivan."

"Hm?"

Alfred mengeratkan kepalan dua tangan di sisi-sisi tubuhnya, "Berjanjilah padaku jangan menyakiti Gilbert."

Kata-kata itu membuat semua yang ada di sana menoleh ke arah Alfred. Termasuk Arthur. Ivan sempat kehilangan senyumannya sekilas. Aura posesif mulai berkumpul di sekeliling tubuhnya dan Gilbert yang merasakan ini reflek memejamkan kedua matanya erat. Secara insting, mendalamkan dirinya pada pelukan Alfanya. Gilbert tahu dia harus mencegah kemungkinan terburuk, "Ivan—"

"He..." Ivan memicingkan kedua matanya meski dia masih tersenyum, "...aku tidak tahu kau memiliki hubungan spesial dengan Omegaku, Al."

Arthur terdiam tanpa mengatakan apapun dan dia menoleh ke arah lain. Sementara itu, Alfred reflek mengangkat kedua tangannya, "Hah? Bukan itu maksudku, bodoh! Gilbert adalah teman baikku! He's my best bro! Don't you dare to hurt him, okay?" jelas Alfred kesal. Menatap tajam iris violet di depannya.

Untuk beberapa saat, Ivan tidak menjawab. Seakan dia mencoba mencari arti di balik tatapan serius biru langit di depannya. Tanpa rasa takut sedikitpun, Alfred merapatkan bibirnya dan semakin menajamkan tatapannya pada Ivan yang masih bungkam. Di saat itu, Ivan sempat melirik Omega di pelukannya yang napasnya semakin memburu.

Ah.

Sepertinya dia tak bisa lagi lebih lama dari ini.

Perlahan tapi pasti akhirnya Ivan mengalah dan memejamkan kedua matanya lebih dulu. Dia tersenyum dan menatap teman lamanya dengan tenang, "Baiklah, aku akan mengingat kata-katamu, Al." Ivan sempat membungkuk untuk meraih kedua kaki Gilbert sehingga kini dia menggendong tubuh pria berambut putih itu di atas kedua tangannya.

Memasang seringai lebar terakhirnya, Ivan membuka mulutnya.

"Sampai jumpa lagi, da!"

#

.

.

.

.

.

#

Gilbert tahu terkadang suaranya sangat menyebalkan sampai dapat membuat orang sekelilingnya kesal. Walau begitu, Gilbert justru menikmati ekspresi kesal orang-orang itu. Dia bahkan tertawa atau bicara semakin keras untuk membuat mereka semua semakin kesal dan Gilbert tidak akan peduli.

Well, kau tahu?

Karma memang ada.

"Gguh! Akh—Ivan—"

Seumur hidup, Gilbert tak pernah menyangka akan datang hari dimana dia sangat membenci suaranya sendiri.

Berkebalikan dengannya, kini justru ada orang yang sangat menikmati suaranya. Dan dia mungkin adalah satu-satunya orang aneh itu di dunia.

Tanpa mempedulikan hak istimewa Gilbert Beilschmidt sebagai Omega, Ivan Braginsky terus bergerak dengan kuat. Senyumnya hampir tak pernah hilang sejak awal mereka melakukan ini. Begitu pula kedua iris violet miliknya yang rasanya tidak pernah berkedip untuk tetap melihat ekspresi yang tak bisa disembunyikan oleh pria di bawahnya.

Desahan keras Gilbert menandakan pencapaian klimaks entah untuk yang ke berapa kalinya. Gilbert tak dapat mengingatnya lagi. Secara reflek, kedua tangan Gilbert bergerak untuk menutupi wajahnya di saat sekujur tubuhnya bergetar mengeluarkan cairannya sendiri. Kedua kakinya masih terbuka lebar di sisi-sisi tubuh Ivan yang sedang mengatur napasnya.

Tak ada yang bersuara selain hembusan napas mereka masing-masing di dalam kamar hotel yang telah Ivan sewa sejak tiga hari yang lalu. Setelah sudah cukup tenang, Ivan membuka kedua matanya dan menatap Gilbert yang masih menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ivan tersenyum lagi sebelum menarik dirinya dari dalam tubuh Gilbert yang reflek melenguh pelan.

Ivan dapat melihat miliknya sendiri yang masih berkedut dan mengeluarkan cairan spermanya. Ivan menarik tubuhnya sebelum berhasil membentuk knot. Setidaknya dia cukup sadar, baik dirinya maupun Gilbert belum siap untuk menentukan apakah mereka akan memiliki anak atau tidak. Mungkin lain kali... setelah mereka berdua benar-benar mendiskusikannya dengan baik.

Dan Ivan tidak tahu apakah hari itu akan datang atau tidak.

Turun dari kasurnya, Ivan masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan dirinya sendiri. Sekalian memberikan waktu istirahat untuk mate-nya yang masih belum bisa stabil. Sebisa mungkin mereka harus memanfaatkan waktu tenang sebelum tubuh Gilbert yang belum terbiasa dengan Alfa mate-nya itu kembali masuk ke dalam heat.

Mendengar suara air keluar dari shower, Gilbert menurunkan kedua tangannya dan membuka kedua matanya dengan lemas. Menatap langit-langit kamar yang tidak diingatnya membuat Gilbert tenggelam di dalam pikirannya sendiri.

Aah.

Kapan semua ini akan berakhir?

Suara air shower yang dimatikan membuat Gilbert mencoba duduk lalu melirik pintu kamar mandi yang terbuka. Pria berambut cokelat beige itu sedang mengusap rambutnya dengan handuk dan pinggangnya ditutupi oleh handuk yang melingkar. Melihat Gilbert memperhatikannya, Ivan langsung memasang senyuman lebarnya dan memindahkan handuk di rambutnya itu ke lehernya.

"Gil!" lagi. Suara anak kecil itu lagi. Gilbert memicingkan kedua matanya kesal, "Bagaimana keadaanmu? Kau sudah terbiasa, 'kan? Atau aku harus masuk ke dalam lagi, da?"

Pertanyaan Ivan menggunakan bahasa yang cukup vulgar membuat wajah Gilbert reflek memerah meski hanya sekilas. Dia memegang wajah Ivan dan mendorongnya menjauh, "Kau bisa menciumnya sendiri, dasar sial." Gerutunya pelan dengan suara yang masih serak.

Ivan memegang pergelangan tangan Gilbert dan menurunkannya dari wajahnya, "Oh ya, kau benar. Baiklah, aku akan menciumimu, da." Ucapnya sembari maju hingga menjatuhkan Gilbert kembali ke atas kasur.

"Apa!? Tu-Tunggu—" Ivan terus maju dan mendekatkan hidungnya dengan tengkuk Gilbert. Dia memejamkan kedua matanya, menghirup bau Gilbert yang samar-samar telah tercampur dengan baunya pula. Gilbert memegang bahu Ivan dan mencengkeramnya kuat, "Ivan... ukh, hei!" erangnya berkali-kali meski tidak berhasil mendorong tubuh yang sedikit lebih besar darinya itu menjauh.

Pria berdarah Russian itu sama sekali tidak bergeming. Dia memeluk tubuh Gilbert semakin kuat dan mulai membuka mulutnya untuk menjilat tengkuk Gilbert hingga Omega berdarah Jerman tersebut melenguh pelan. Setidaknya sampai Ivan menggigiti leher yang putih itu, menambah bekas gigitannya di sana. Mengingatkan Gilbert untuk kembali memberontak.

"He-Hei—" Gilbert memejamkan kedua matanya erat sesekali dan Ivan mulai mendalamkan gigitannya, "—hentikan! Aku belum masuk heat lagi!" teriaknya kesal.

Ivan menjilat bekas gigitannya, "Mne interesno ob etom," mendengar bahasa Russia yang tidak dimengertinya, membuat Gilbert membuka kedua matanya dan melirik Ivan bingung. Setelah itu Ivan bangkit dan menatap Gilbert di bawahnya, "aku adalah mate-mu, 'kan?"

"La-Lalu?"

Jeda sejenak, Ivan hanya diam dan menatap lurus kedua mata berwarna merah yang dalam itu. Dia kembali tersenyum penuh arti.

"Memangnya aku tidak boleh menyentuhmu di luar heat?"

Pertanyaan itu membuat kedua mata Gilbert terbuka lebih lebar. Dengan sikunya, Gilbert bangkit lalu menarik tubuhnya mundur. Ivan menatapnya begitu serius seakan enggan melepaskannya. Hal yang membuat Gilbert reflek membuka mulutnya lalu melihat kemanapun selain kedua iris violet itu.

"Te-Tentu saja! Kalau bukan karena tubuh Omega menyebalkan ini, aku tidak akan mau dengan bocah besar sepertimu!" memejamkan kedua matanya erat, Gilbert terus membuka mulutnya, "Kebetulan saja kita adalah mate! Kalau tidak, aku pasti sudah mengusirmu sejauh mungkin dari hidupku, bodoh!" teriaknya.

Untuk sesaat, tidak ada balasan sampai akhirnya Gilbert membuka sebelah matanya dan melihat Ivan terdiam dengan mulutnya yang sedikit terbuka. Dia memegang dagunya sendiri lalu melihat ke atas. Ekspresi polosnya menandakan bahwa dia tidak memasukkan seluruh kata-kata Gilbert ke dalam hati.

"Hmm, jadi Gilbert mengakui tidak bisa hidup tanpaku."

Napas Gilbert tercekat, "Hah!?"

"Benar, 'kan?" Ivan kembali melirik Gilbert yang menatapnya horror, "Lagipula aku bisa menjagamu agar tubuhmu selalu sehat, bukankah seharusnya kau senang?" tanyanya lugu.

"Aku tidak akan senang selama Alfaku adalah kau! Harus berapa kali kubilang? Aaaarghh!" Gilbert mengerang kesal dan mengacak-acak rambutnya sendiri sebelum memegang kepalanya dengan erat. Dia menundukkan kepalanya dan bergumam sendiri, "Kenapa aku sial sekali sih? Tipe Alfa yang paling kubenci kini harus menjadi mate-ku... apa salahku..." bisiknya berulang-ulang. Tidak peduli jika Ivan bisa mendengarnya atau tidak.

"Salahmu pasti banyak, Gil." Tersenyum tanpa dosa, Ivan memiringkan kepalanya, "Kau sendiri tahu kalau banyak yang diam-diam membencimu, 'kan?"

"Diam. Aku tidak meminta jawabanmu, freak." Sambar Gilbert kesal dan itu sama sekali tidak menghilangkan senyuman dari wajah Ivan yang ingin sekali dia robek. Gilbert mendengus kesal dan membuang mukanya.

Ivan tertawa kecil dan kembali mendekat, "Tapi, kau membenciku yang seperti ini—" merasakan kasurnya bergoyang karena beban berat mendekati tubuhnya membuat Gilbert kembali menoleh dengan waspada. Melihat Ivan yang telah mencondongkan tubuhnya ke depan, "—dan malah menyukai Alfred, padahal sifat kami tak jauh beda. Bukankah kau sangat tidak adil, Gil?"

Butuh beberapa waktu untuk Gilbert mencerna kata-kata yang baru saja didengarnya. Nyaris saja Gilbert menjawab dengan refleks sampai akhirnya dia sadar dan membulatkan kedua iris merahnya. Bibir Gilbert bergetar sebelum akhirnya membentuk senyuman dengan ujung bibir yang berkedut.

Di saat yang sama, Ivan menghilangkan senyumannya.

"Ha-Haha, kau ini bicara apa?" di saat wajah Ivan tinggal beberapa centimeter di depannya, Gilbert langsung membuang wajahnya ke samping dan berusaha menjawab dengan nada kesal yang gagal, "Mana mungkin aku menyukai Alfred! Hanya... Hanya karena aku berpegangan padanya saat kena heat kemarin bukan berarti aku menyukainya! Di-Dia—"

Gilbert yakin wajahnya sedang memerah sekarang dan dia membencinya. Seluruh perasaan berkumpul menjadi kesatuan yang campur aduk, membawanya untuk segera meledak. Walau begitu, Gilbert memejamkan kedua matanya erat dan mencengkeram sprei kasur di dekatnya. Menahan dirinya sekuat mungkin.

"—hanya... teman."

Ivan menatap Gilbert yang berusaha menyembunyikan ekspresinya namun gagal. Terus diam melihat ini sampai akhirnya Ivan memejamkan kedua matanya dan menghela napasnya, "Hanya teman?" ucapnya mengulangi kata-kata terakhir Gilbert sebelum dia membuka kembali kedua matanya.

"Maksudmu, itu yang dirasakan Alfred padamu, 'kan?"

Ucapan Ivan rasanya seperti pelatuk yang berhasil membuka luka Gilbert. Luka yang selama ini berusaha ditutup sekuat mungkin dengan memasang senyum palsu di wajahnya. Luka yang selama ini diketahui oleh semua orang terdekatnya...

...kecuali Alfred F. Jones sendiri.

Alfa itu sudah terlalu dibutakan oleh kata 'teman' di antara dirinya dan Gilbert sehingga tidak menyadari sedikitpun perasaan salah satu Omega yang paling dekat dengan hidupnya itu.

Namun di saat yang sama, seolah menghargai perasaan sang Omega malang... seluruh teman-teman hingga keluarga Gilbert ikut bermain di dalam sandiwara yang Gilbert buat.

"...Diam."

Ivan memiringkan kepalanya, "Hm?"

Tak peduli meski mereka tahu kenyataan yang sebenarnya, mereka tidak mau ikut andil untuk menghentikan seluruh kebohongan Gilbert sejak SMA. Pada akhirnya mereka ikut bermain peran sembari mempersiapkan diri seandainya suatu hari nanti Gilbert tidak kuat dan meledak di belakang layar.

Ya. Arthur Kirkland adalah salah satu pemain sandiwara itu... sampai akhirnya dia dipaksa berkhianat ketika mendapat heat di depan Alfa mate-nya yang tak lain adalah Alfred F. Jones.

Tapi, ini semua sudah cukup menjelaskan bahwa seluruh orang yang ada di dekat Gilbert hingga bertahun-tahun tidak ada yang berani membuka luka paling sensitif milik Omega itu.

Tidak ada.

Sampai Ivan Braginsky datang memaksa masuk.

"Diam." Alfa pasangan Gilbert itu tersenyum melihat warna merah di mata Gilbert yang seakan berusaha menusuknya, "Jangan bicara lagi, Ivan."

Kata-kata itu terdengar sangat dalam dan berbahaya.

Setidaknya sampai Ivan justru meresponnya dengan tawa kecil seolah mengejek.

"Kalau aku tidak mau?"

Dengan tatapan penuh kebencian, Gilbert memasang kepalan tinjunya dan berusaha menonjok Ivan yang langsung menghindar. Mengesampingkan tubuh besarnya, Ivan dengan mudah bergerak mengabaikan pukulan-pukulan yang berusaha Gilbert berikan padanya. Tidak peduli jika keduanya masih tidak memiliki apapun yang menutupi tubuh mereka kecuali selimut dan handuk.

BHUG

Pukulan terakhir Gilbert akhirnya mendarat di atas tangan Ivan yang langsung menangkapnya. Ivan mencengkeram tangannya sehingga Gilbert tidak bisa menariknya kembali. Begitu pula dengan tangan satunya. Mengesampingkan tubuh Omega di depannya yang bergetar itu, Ivan tetap diam sembari menahan kedua tangan Gilbert di genggamannya.

"Memangnya... kau tahu apa..."

Mendongakkan kepalanya, Gilbert berteriak kencang dengan kedua alis yang bertaut rusak.

"KAU BUKAN SIAPA-SIAPA! JANGAN SEENAKNYA MENGATAKAN APAPUN TENTANG DIRIKU, HIDUPKU—SEMUANYA!"

Meski diteriaki seperti itu, ekspresi Ivan sama sekali tidak berubah.

Seakan dia telah tahu semuanya.

"Ya, kau benar. Alfred memang menganggapku teman, lantas kenapa!? Aku juga menganggapnya teman. Dia... Dia teman terbaik yang pernah kupunya."

...Dan itu membuat Gilbert semakin muak.

"Tidak ada yang bisa merubah itu. Tidak ada."

Sakit.

Gilbert tidak ingat dia pernah merasakan sakit yang menyiksa seperti ini setiap mengatakannya.

"Termasuk kau... Ivan." Gilbert menundukkan kepalanya dan menghilangkan tenaganya sehingga tangannya terdiam lemas di genggaman Ivan, "Karena itu, diamlah. Dan aku akan menganggap percakapan ini tidak pernah ada."

Ya.

Sudah... cukup.

Walau begitu setelah mendengar ini, Ivan tetap menggelengkan kepalanya pelan, "Tentu saja aku tahu." Bisikan Ivan yang sangat tenang membuat Gilbert membuka mulutnya namun belum mengangkat kepalanya, "Aku selalu memperhatikanmu, Gil." Tambahnya.

"...Hah?" Gilbert mendengus menahan tawa dan melihat ke arah lain, "Jika kau ingin berbohong, belajar dulu yang benar." Ketusnya.

Ivan mengedipkan kedua matanya beberapa kali, "Aku tidak bohong. Aku serius."

"Serius? Kau jelas-jelas memberi lelucon gagal padaku!" teriak Gilbert lagi untuk yang ke sekian kalinya, "Berhenti bercanda dan lepaskan aku!" teriak Gilbert sembari berusaha menarik tangannya lagi.

Untuk pertama kalinya, Ivan akhirnya mengernyitkan kedua alisnya, "Tapi, aku memang tidak bohong! Aku tahu kau menyukai Alfred sejak lama sekali... bahkan sampai sekarang." Ucapan ini membuat Gilbert tersentak dan menatap Ivan yang kembali menyipitkan kedua matanya, "Satu-satunya yang tidak aku perkirakan adalah kau dan Alfred bekerja di satu perusahaan yang sama. Padahal aku sudah menahan diri untuk tidak mencari tahu keberadaanmu sejak tahu kau adalah mate-ku." Jelasnya panjang lebar.

"A-Apa yang kau bicarakan—"

"Aku tahu semua tentangmu, Gil." Senyuman Ivan melebar. Kembali menghilangkan jarak di antara wajah mereka, "Bahkan sesuatu tentang dirimu sendiri yang tidak kau tahu."

Kedua pupil Gilbert membulat sempurna.

"Gilbertku sayang... Gilbertku yang malang."

Mendorong tubuh Gilbert hingga menyandar pada kepala tempat tidur, Ivan berbisik pelan di atas tengkuk Gilbert yang masih belum sembuh dari kekagetannya.

"Tidak ada yang mau menolongmu. Tidak ada yang mau mendengarmu. Tidak ada yang mau memberimu kebahagiaan. Kau berjuang sendiri dan terus memasang senyum palsu tanpa ada yang peduli."

Ivan menggerakkan tangannya agar kesepuluh tangannya dan Gilbert saling mengait. Meski Gilbert tidak benar-benar membalas kaitan tangannya.

"Hei, Gilbert..."

Menggunakan kakinya untuk memisahkan kedua kaki Gilbert, tubuh Ivan masuk di antaranya.

"...aku selalu ingin melihat wajahmu yang sebenarnya penuh dengan penderitaan..."

Semakin mendekatkan tubuh mereka, tidak peduli meski Gilbert masih terpaku seperti boneka yang rusak.

"...jauh sebelum kau mengenal diriku."

Seluruh kata-kata Ivan masuk ke dalam kepalanya tanpa Gilbert inginkan. Kedua matanya bergetar, setiap suara yang ingin dia keluarkan tercekat begitu saja di dalam mulutnya. Dia menatap Ivan tak percaya dan perlahan tapi pasti rasa takut menyelimuti tubuhnya.

"Siapa kau sebenarnya... Ivan?"

Pertanyaan itu menggantung di udara. Ivan tidak membalas apapun, dia hanya tersenyum dan menatap Gilbert dengan tatapan yang tidak pernah Gilbert ingat mendapatkannya dari siapapun.

Tatapan yang seolah mengatakan bahwa Gilbert Beilschmidt adalah satu-satunya sosok yang berharga di dunia ini.

...Apa Ivan benar-benar menganggapnya seperti itu?

Hanya saja seluruh rasa kaget ini telah menjadi pemicu yang mendorong heat Gilbert kembali. Bau wangi yang menguar di sekitar mereka membuat Gilbert memejamkan kedua matanya erat. Air matanya mengalir sebagai bentuk gerakan refleks yang dihasilkan karena rasa panas di tubuhnya. Gilbert menolehkan kepalanya ke samping ketika Ivan kembali mendekat untuk menciumi setiap sudut di lehernya.

Tubuh Gilbert merespon bau Alfa milik Ivan dengan sangat baik. Tangannya kini membalas kaitan Ivan yang menahannya tetap di tempat. Tidak tahan dengan panas yang mengekangnya, Gilbert membuka mulutnya. Menghasilkan uap panas dan lenguhan pelan setiap Ivan menyentuh bagian sensitifnya.

Walau begitu, kata-kata Ivan sedikit banyak masih mempengaruhinya. Gilbert mengisak pelan sebelum menundukkan kepalanya pada bahu bidang di depannya. Terlalu pusing dengan komplikasi yang terjadi pada tubuhnya. Dia mencoba mendorong Ivan dengan kekuatan yang tidak seberapa. Berharap Ivan mau mengerti dan menjauh agar tidak melihat dirinya dalam kondisi menyedihkan seperti ini.

Gilbert sudah terbiasa sendirian tanpa ada yang menolongnya atau mendekatinya... persis seperti kata-kata Ivan sebelumnya. Bahkan dia tidak bisa meminta pertolongan dari Alfred yang selalu membuka pintu untuk setiap keluh kesahnya.

Tidak mungkin... dia bisa melakukannya.

Karena itu—

"Jangan mengasihaniku." Bisikan Gilbert membuat Ivan berhenti sesaat untuk melirik Omega di dekatnya, "Aku membencimu." Tambahnya dengan suara serak karena menahan tangis.

Ivan kembali menatap kosong sandaran kasur di depannya. Tersenyum pada dirinya sendiri, Ivan memejamkan kedua matanya lalu melepaskan kaitan tangan mereka. Dia memeluk Gilbert dengan kuat, tangan kanannya masuk ke sela-sela rambut putih keperakan milik pria Jerman di pelukannya itu dan mencengkeramnya.

"Aku tidak melakukan ini untuk mengasihanimu."

Jejak air mata masih terlihat jelas di bawah mata Gilbert. Pelukan dari Ivan memberi rasa tenang pada tubuh Gilbert suka atau tidak. Pemberontakan yang sedari tadi Gilbert keluarkan kini menghilang entah kemana.

Tanpa bisa memikirkan apapun lagi, Gilbert memejamkan kedua matanya.

"Tapi, karena kau Omegaku."

#

.

.

.

.

.

#

Seminggu telah berlalu sejak absennya Gilbert karena bertemu dengan mate-nya. Kabar ini telah tersebar di seluruh penjuru kantor dan menjadi bahan pembicaraan hangat di setiap kesempatan. Mengingat Gilbert Beilschmidt adalah Omega keras kepala yang terkenal sering mengumumkan bahwa dia tidak akan menjalin hubungan serius dengan mate sah-nya, tentu saja ini cukup mengejutkan untuk sebagian besar rekan kerjanya.

Walau sebenarnya bertemu saja belum tentu mereka akan menjalankan hubungan serius sih.

Yang jelas, Alfred F. Jones hampir saja terbiasa dengan kursi kosong di sampingnya ketika tiba-tiba dia masuk dan melihat rambut putih keperakan yang dikenalnya. Pria American itu membuka mulutnya sebelum tersenyum lebar dan berlari cepat.

"Pagi, Gilbert!" sapanya dengan semangat membuat Gilbert tersentak kaget dan menoleh, "Aku tidak menyangka sudah bisa melihatmu sekarang hahaha! Dude, aku bahkan mengira kau akan menghilang paling cepat dua minggu!" ucap Alfred dengan ceria dan langsung duduk di atas kursinya. Memutar benda itu sampai dia menghadap Gilbert yang berada di samping kanannya.

Mendengar kata-kata itu membuat Gilbert tertawa hambar dan melirik ke arah lain, "Ke-Kesese, kenapa juga kau bisa berpikir aku akan menghilang sampai selama itu?"

"Hm? Bukankah sudah jelas? Mate-mu adalah Ivan lho! " nama yang disebutkan Alfred itu seketika membuat ekspresi Gilbert kembali jengkel. Tanpa menyadarinya, Alfred menyipitkan kedua matanya senang, "Oh ya jadi ingat... kenapa kau tidak memberitahuku Alfamu Ivan sih? Kalau tahu, aku pasti akan semakin semangat mengajakmu pergi ke bar kemarin!" serunya.

Gilbert langsung menoleh kesal, "Kau sendiri kenapa tidak memberitahuku bahwa teman lamamu itu Ivan!?" sambarnya membuat Alfred reflek mengangkat kedua tangannya sebagai bentuk pertahanan, "Kalau aku tahu, aku pasti akan menolak ajakanmu tanpa pikir panjang, dasar bodoh!" teriak Gilbert kesal sembari terus mendekatkan wajah mereka, tidak peduli meski Alfred juga mundur dan memasang ekspresi ketakutan di wajahnya.

"Ahahaha maaf maaf... aku memang sudah memperkirakan kau pasti membenci tipe seperti Ivan sih," melihat Gilbert yang kembali duduk menghadap mejanya dan membuka laptopnya tidak membuat Alfred berhenti berbicara, "tapi aku tidak menyangka kau sangat membencinya sampai tidak mau mengakui dia sebagai Alfa mate-mu." Ucap Alfred sembari membuka laptopnya sendiri.

"Memang. Tuhan pasti bercanda." Ketus Gilbert kesal. Kata-katanya membuat Alfred tertawa puas dan menggelengkan kepalanya. Secara reflek, Gilbert mengangkat kakinya untuk menendang sisi kursi Alfred walau tahu hal itu justru akan membuat tawa sahabat baiknya semakin kencang.

Kedua teman sejak SMA itu saling melempar ejekan masing-masing sampai suara seseorang menginterupsi mereka, "Hoo, kalian terlihat bersemangat sekali pagi ini."

Mendengar suara yang dia kenal, Alfred menoleh lebih dulu, "Hei, Ar—" suaranya berhenti begitu kedua iris biru langitnya membulat. Menyadari suara Alfred menghilang membuat Gilbert ikut melihat siapa yang berdiri di belakang mereka.

Dan seketika ujung kedua alis Gilbert berkedut kesal sebelum dia kembali menghadap laptop dan sengaja mengetik di atas keyboard dengan keras.

Alfred telah menaikkan sebelah alisnya, "Aku tidak tahu kau akan datang sekarang juga, Ivan," ucapnya. Mendengar namanya disebut, Ivan Braginsky hanya tersenyum kecil dan menyipitkan kedua matanya senang, "jadi kau mengadakan rapatnya hari ini, Ar—uh—bos?" tanya Alfred dengan kikuk setelah Arthur memelototinya tajam.

Arthur mendengus lalu memindahkan sebelah tangannya ke atas pinggang, "Aku akan mengkonfirmasi jadwal dengan pimpinan perusahaan lain, baru setelah itu aku bisa memutuskan," jelasnya lalu dia membuka kedua matanya untuk melirik Ivan, "tuan Braginsky di sini ingin melihat-lihat bagian dalam gedung lebih dulu. Kalau jadi, beliau berkenan membuat ruangan di sini."

"Nyet," tiba-tiba dengan cepat Ivan memotong sembari menggerakkan jari telunjuknya. Masih dengan senyum di wajahnya, dia meraih kepala sandaran kursi Gilbert dan sengaja menekannya agar tubuh Omega itu terhentak ke belakang, "aku sudah bilang kalau aku PASTI akan membuat ruangan, 'kan? Tuan Kirkland~" ucap Ivan dengan suaranya yang menggoda.

"Uwaakh!" sandaran kursinya masih ditahan oleh Ivan sehingga Gilbert langsung menoleh dengan ekspresi jengkelnya, "Ivan! Kau—"

"Karena ada Omegaku di gedung ini."

...Setidaknya sampai Ivan menangkap bibir Gilbert yang sedang menoleh itu dengan bibirnya.

Wajah Gilbert langsung memucat seketika. Arthur dan Alfred tersentak kaget, menoleh ke kanan-kiri untuk memastikan masih mereka berempat saja di ruangan ini sebelum melihat kemanapun selain pasangan di depan mereka. Wajah Arthur memerah dan kedua alisnya mengernyit dalam, begitu pula dengan Alfred.

Walau keduanya merapatkan bibir mereka masing-masing, pikiran mereka masih sama.

"Get a room you two!"

Ivan baru melepaskan ciumannya beberapa detik kemudian. Senang melihat reaksi Gilbert yang kesal dan malu di saat yang bersamaan. Omega itu reflek mendorong Ivan meski pada akhirnya dia sendiri ikut terbawa mundur. Gilbert menutup mulutnya dengan kedua tangannya, sekaligus menutupi setengah wajahnya yang memerah sangat jelas.

Gilbert menggerutu penuh emosi di balik kedua tangannya. Uap panas seakan keluar dari atas kepalanya. Namun Ivan dengan santai memiringkan kepalanya dan berkata, "Hm? Aku tidak bisa mendengar apa yang kau katakan, da!"

Mendengar ini, Gilbert akhirnya melepaskan mulutnya dan berdiri, berteriak sekeras yang dia bisa, "IVAN! KAU BENAR-BENAR—"

"Oh, ayo kita pergi sekarang sebelum ramai, tuan Kirkland." Potong Ivan lagi sembari menoleh ke arah Arthur yang masih berdiri kaku di posisinya. Tidak bisa membalas karena terlalu bingung harus bereaksi apa atau menatap kasihan pada Gilbert yang wajahnya sudah semerah tomat, akhirnya Arthur hanya mengangguk kaku, "Sampai jumpa lagi, Gil. Aku akan menemuimu sepulang kerja. Jangan kabur, da!" tambahnya sembari melambaikan tangannya dan berjalan menjauh.

"MATI SAJA SANA, SIALAAAN!"—BHUAK. Teriak Gilbert semakin kesal lalu reflek menendang kursinya dengan kuat. Tidak peduli meski dia terlihat sangat emosi di depan Alfred. Meski ini bukan yang pertama kalinya Alfred melihat mantan senior-nya itu sangat marah, tetap saja kali ini Alfa itu dibuat menahan napas melihat Gilbert sekarang, "SCHEISSE! KENAPA DIA HARUS MENJADI ALFAKU!? AAAAKH, AKU BENAR-BENAR INGIN MEMBUNUHNYA!"

Kata-kata Gilbert terdengar mengerikan, namun sedikit banyak Alfred tak bisa melakukan apapun selain diam-diam menyetujuinya. Dia tersenyum lebar lalu menepuk bahu Gilbert, "Yah, percuma juga jika kau bertanya padaku, Gil." Menoleh dengan tatapan galak, Gilbert mendesis melihat Alfred yang langsung membuang mukanya sembari menaikkan frame kacamata miliknya, "Baiklah, kuakui kau sedang sial."

"Aku tidak mau mendengar itu darimu, Al."

"Hei, kau juga bilang aku sial saat tahu Arthur adalah mate-ku, 'kan!?

Ucapan Alfred membuat kerutan alis Gilbert semakin dalam. Tidak berniat menunjukkan mood-nya yang semakin buruk, Gilbert menopang dagunya di atas meja dan mencoba mengabaikan Alfred yang terus berbicara.

"We're in the same situation here!" tidak ada jawaban untuk beberapa saat membuat Alfred menoleh lalu merangkul Gilbert, memaksa Omega itu mendekat, "Hei Gil, jangan ngambek dong! Padahal aku berniat mengajakmu ke game center nanti malam, come on man!" rajuknya.

Sesungguhnya Gilbert ingin sekali merasa jengkel. Tapi, mengingat nature-nya sendiri sebagai seorang kakak yang senang memanjakan adiknya, membuat Gilbert lemah dengan dorongan orang-orang yang lebih muda darinya. Termasuk Alfred.

Atau mungkin sebenarnya karena ada tambahan alasan untuk Alfa berambut pirang tersebut.

Akhirnya menyerah dengan wajah yang memerah karena kesal dan malu—yang tidak mungkin diakuinya, Gilbert mendorong wajah Alfred menjauh, "Aku tidak ngambek. Hanya benar-benar kesal." Ketusnya. Gilbert memejamkan kedua matanya lalu menghela napas panjang, "Give me some space, idiot."

Alfred tertawa senang mendengar Gilbert mau kembali berbicara dengannya. Sebentar lagi masuk jam kerja yang sesungguhnya sehingga Alfred pun mendorong kursinya hingga kembali berada tepat di depan meja. Dia mulai mengetik password lalu membuka dokumen-dokumen yang akan diceknya seperti biasa. Gilbert pun melakukan hal yang sama dan sejenak suasana di antara mereka kembali tenang.

"But still... aku tidak menyangka Ivan akan berubah seratus delapan puluh derajat seperti itu," mendengar Alfred bersuara lagi membuat Gilbert melirik padanya. Sebelum mendengus pelan dan tetap menarikan kesepuluh jarinya di atas keyboard dengan tatapan tidak tertarik ke arah layar, "apa mungkin pengaruh hormon setelah dia bertemu dengan Omega mate-nya? Habis seingatku dulu di SMA dia cupu sekali. Iya, 'kan Gil?"

"...Ha?" Gilbert masih belum menoleh dan tetap memfokuskan kedua iris merahnya pada layar laptop, "Mana kutahu dia seperti apa di SMA dulu! Aku saja baru bertemu dengannya di gedung fasilitas Omega dan langsung benci pada pandangan pertama!" teriaknya kesal. Tak peduli dengan beberapa rekan kerja mereka yang telah datang dan melihat kedua sahabat itu dengan bingung.

Alfred mendadak berhenti mengetik, "Tunggu dulu."

"HAH!?" bentak Gilbert dengan nada tinggi dan menoleh kesal, "For God sake, Alfred! Berhenti membahas Alfa sialan itu dan fokus dengan pekerjaanmu!"

"No no, aku baru saja akan bekerja, Gil. Sampai kau mengatakan sesuatu yang aneh."

Gilbert menaikkan sebelah alisnya, "Aneh?" Alfred mengangguk, "Apanya?"

Alfred diam beberapa saat untuk memastikan ekspresi Gilbert bahwa teman baiknya itu tidak berbohong. Tapi, karena Gilbert justru menatapnya semakin bingung membuat Alfred duduk lebih tegak, "Err, kau benar-benar tidak tahu?" tanyanya sekali lagi.

"Al, berhenti menghabiskan waktu kita dan—"

"Kau bilang baru pertama kali bertemu dengan Ivan di fasilitas Omega itu?" tanya Alfred dengan nada serius yang membuat Gilbert mengedipkan kedua matanya dan mengangguk mantap. Melihat ini, Alfred tertawa kecil dan memegang dagunya sendiri, "Gosh, padahal kupikir at least kau pernah melihatnya sekali-dua kali saat jalan bersamaku." Gumam Alfred lebih ke pada dirinya sendiri.

Awalnya Gilbert akan membentak lagi... sampai kedua matanya perlahan tapi pasti membulat seolah dia menyadari sesuatu. Dengan sangat hati-hati, Gilbert bertanya pelan.

"Apa... maksudmu, Al?"

Pertanyaan itu membuat Alfred menarik tangannya dari dagu dan kembali menoleh ke arah Gilbert. Tanpa menyadari ekspresi horror yang dipasang Gilbert, Alfred tersenyum lebar dan menjawab...

"Sudah jelas, 'kan? Ivan dulu satu SMA dengan kita."

Gilbert menahan napas ketika Alfred menepuk bahunya.

"Hahahaha see? Berarti dia memang cupu sekali sampai kau tidak menyadari keberadaannya, Gil!"

Tawa Alfred yang tidak seberapa di depannya itu terasa membahana begitu keras sampai Gilbert tidak dapat mendengar apapun lagi selain suara pria American tersebut. Alfred mulai membicarakan tentang memorinya dulu selama di SMA bersama Ivan. Bagaimana susah sekali mengajak pria Russian itu berbicara, bagaimana di awal Ivan selalu menghindarinya, dan bagaimana akhirnya Ivan menjadi satu-satunya Alfa yang tidak terang-terangan mengajak Alfred berkelahi untuk menentukan posisi terkuat sebagaimana yang selalu terjadi di kalangan para Alfa.

Alfred terus berbicara entah berapa lama sampai dia berhenti karena menyadari Gilbert yang masih tidak meresponnya. Menaikkan sebelah alisnya bingung, Alfred menggerakkan telapak tangannya di depan wajah Gilbert yang masih pucat dan terlihat kosong, "Umm, halo? Anybody's home?" tanyanya sembari mulai menjentikkan jarinya di depan kedua mata merah pria Albino itu.

Gilbert masih diam. Pikirannya telah terbang kembali pada ingatannya beberapa waktu lalu.

"Aku selalu memperhatikanmu, Gil."

Suara Ivan saat itu kembali terngiang di dalam kepalanya. Suka atau tidak, wajah Gilbert langsung memerah lagi tanpa bisa dia tahan. Secara reflek, Gilbert langsung menutup kedua telinganya dengan dua tangannya dan menggeleng kuat. Gilbert menatap Alfred lagi dengan kedua alis yang bertaut dan membuka mulutnya dengan suara yang pecah.

"...You must be kidding me... right?"

Sedikit banyak, Gilbert berharap Alfred akan tertawa kencang lalu mengatakan, "SURPRISE! Mana mungkin kita bertiga satu sekolah, 'kan? Hahaha!" Namun sayangnya...

"No, I'm not."

...Gilbert lupa bahwa pria berkacamata di depannya adalah Alfa paling tidak peka dan terlalu jujur yang dikenalnya.

#

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

#

Jika diingat lagi, mungkin sudah sejak sepuluh tahun yang lalu.

Ivan Braginsky memilih untuk menutup hatinya.

"Jangan menatap matanya langsung, nanti dia akan membunuhmu!"

"Alfa itu mengerikan... kudengar dia pernah mencekik polisi lalu mengangkatnya dengan satu tangannya."

"Hei, kalau kau nakal nanti aku akan memberikanmu jadi makanan Alfa monster itu lho!"

"Hus! Jangan dekat-dekat dengannya atau kau akan mati!"

Seluruh ucapan itu benar-benar ada dan ditujukan padanya. Meski begitu, Ivan sudah sangat terbiasa mendengarnya sehingga dia hanya diam dan semakin menyembunyikan wajahnya di balik syal yang tebal. Berharap keberadaannya dapat terhapus sehingga tak ada lagi orang-orang yang menyadarinya lalu mengucapkan kata-kata jahat untuk menyakiti hatinya.

Tapi, Ivan sendiri tahu itu percuma.

Tubuhnya yang tinggi dan besar sangat mencolok sehingga mudah sekali menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Dia cukup diam berdiri di tengah jalan tanpa melakukan apapun dan para orang tidak tahu diri itu akan menunjuknya, memberi berbagai macam asumsi tidak berdasar untuk menjelekkannya tanpa mempedulikan isi hatinya. Semakin dia melawan maka semakin gencar pula mereka menyalahkannya.

Ah, sudahlah.

Dia sudah muak.

Pada akhirnya Ivan menyerah membela dirinya dan memilih untuk duduk di pinggir jalan sebagai tokoh pendukung yang tidak diharapkan. Temannya hanya berbagai macam buku yang dia pinjam dari perpustakaan setiap harinya. Biasanya Ivan akan mengenakan kacamata baca dan membuka buku itu dengan duduk di kursi pinggir jalan atau kursi halaman belakang sekolah. Kursi halaman belakang sekolah itu adalah tempat favoritnya karena dia bisa membaca buku dengan pemandangan taman bunga matahari yang sangat disukainya.

Dan tentu saja tidak ada yang mengetahui soal ini. Karena pastinya Ivan tidak mau mendengar perkataan orang tentang Alfa bertubuh besar yang menyukai hal-hal berbau feminim seperti menyukai bunga matahari dan merajut.

Sebagai calon pemegang perusahaan yang akan diturunkan oleh sang ayah padanya, Ivan dituntut menjadi Alfa sempurna yang bisa menjaga sikap dengan baik. Hal ini membuat dia tidak bisa benar-benar membuka hatinya dan akhirnya hanya menjalankan kehidupan berdasarkan aturan yang tertera di buku. Tanpa Ivan sadari, semua pilihan hidupnya untuk mengikuti aturan dan tata krama ini menjadikan dirinya bermuka dua pada setiap orang di sekitarnya.

Berkat ajaran ini pula, Ivan membenci setiap orang yang berlaku menyimpang dari aturan seperti Alfred F. Jones... walau dia hanya menyimpannya dalam hati.

Jangan mempercayai siapapun.

Percaya pada dirimu sendiri.

Jangan biarkan mereka mendekatimu.

Semua orang harus tunduk padamu.

Jangan tunjukkan wajahmu.

Mereka akan takut padamu.

Ingat selalu ini, Ivan—

"AWAAAAS!"

BHUAAG

Entah dari mana bola sepak yang ditendang dengan kuat tiba-tiba datang dan mengenai wajah Ivan dengan kuat. Bahkan Ivan sampai terjatuh dari posisi duduknya di atas kursi, suara tangkai kacamata yang retak sebelum jatuh ke atas tanah adalah hal terakhir yang Ivan dengar. Menahan erangan sakitnya, Ivan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.

Ini tidak sakit.

Jangan.

Jangan menangis.

Seorang Alfa tidak boleh menangis.

Suara lari yang datang mendekat tidak membuat semuanya lebih baik. Ivan terus menutup wajahnya, dia berharap siapapun itu segera mengambil bolanya dan pergi menjauh. Tapi, seseorang bersuara cempreng itu justru menurunkan tubuhnya dan memegang bahunya, "Hei hei, kau tidak apa-apa? Verdammt, aku mengenai wajahmu ya?" tanyanya sedikit panik.

Mendengar bahasa yang dikenalnya membuat Ivan sadar bahwa pemilik suara itu adalah laki-laki Jerman. Ivan masih enggan bergerak, dia menutupi wajahnya dan meringkuk semakin dalam, "Tidak, aku tidak apa-apa. Kau boleh pergi." Ucap Ivan di balik kedua tangannya. Berharap laki-laki itu mendengarnya dan mau menurutinya.

Lagipula, meski Ivan Braginsky hampir tidak pernah bersosialisasi dengan sekitarnya, hampir semua orang di sekolah ini tahu siapa dia. Penampilannya yang dianggap 'mengerikan' sudah sering menjadi bahan pembicaraan. Karena itu, sedikit banyak Ivan berharap pemuda Jerman tersebut sebaiknya pergi daripada dia dipaksa berperilaku peduli dengan Ivan padahal tidak.

Ivan sudah muak dengan orang-orang yang menghadapinya dengan penuh rasa takut. Memaksa diri untuk menjadi orang baik walau sebenarnya mereka ingin sekali lari meninggalkannya. Sudah cukup Ivan melihat orang-orang seperti itu terutama dari orang-orang yang memiliki status di bawahnya.

Karena Ivan tahu laki-laki berdarah Jerman ini adalah Omega dari baunya.

"Apanya yang baik-baik saja!?"

Mendengar suara yang sama lagi membuat Ivan membuka mulutnya.

"Perlihatkan wajahmu! Kau pasti kesakitan, 'kan? Jangan menahannya!" teriaknya lagi. Dia mulai mendekat dan berusaha menarik tubuh Ivan agar duduk lalu menyandarkan punggungnya pada alas kursi di belakangnya, "Oh come on big guy... tunjukkan aku... wajahmu!" geramnya sembari berusaha membuka kedua tangan Ivan.

Dan dia berhasil.

Hanya saja karena Ivan sangat kuat menahan wajahnya, begitu berhasil terlepas, pemuda Jerman itu reflek terjatuh ke belakang. Walau begitu, kedua tangannya masih memegang tangan Ivan untuk mencegahnya kembali bergerak. Berkat tarikan itu pula, syal yang biasanya menutupi wajah Ivan hingga hidungnya kini tertarik dan melonggar di atas dadanya.

Kedua iris violet milik Ivan membulat melihat cahaya di sekitarnya dan iris merah yang menusuk masuk ke dalam matanya.

Tapi, ada yang aneh... semuanya terlihat memburam.

Ivan mengerjapkan kedua matanya namun penglihatannya terus memburuk sampai dia bisa merasakan sesuatu membasahi kedua pipinya. Kedua alis Ivan mulai bertaut, perlahan tapi pasti tanpa bisa dia tahan... dia mengisak pelan.

Tunggu. Apa dia sedang—

"Ah, k-kau menangis." Gumam pemuda Jerman di depannya dengan senyum kikuk dan ekspresi yang jelas menunjukkan rasa bersalah. Dia menggaruk bagian belakang rambutnya yang memiliki warna putih keabuan, "Maaf, aku benar-benar tidak sengaja. Aduh... apa yang harus kulakukan?" tanyanya, lebih kepada dirinya sendiri.

Ivan masih diam sampai akhirnya dia kembali mengangkat tangannya dan berusaha mengusap air matanya, "...Ini bukan masalah." Gumamnya pelan, "Tidak... sakit, kok." Bisiknya lagi, masih enggan membuka kedua matanya.

"Ha!? Mana mungkin tidak sakit jika kau menangis? Bodoh!" bentak laki-laki aneh itu. Ivan masih tidak merespon sampai pemuda itu menarik tangannya lagi, "Ayo, kuantar kau ke UKS!" teriaknya.

Ivan menggeleng, "Tidak mau."

"Hah!?"

"Aku tidak mau."

"Kenapa!?"

"...Aku tidak suka UKS."

"Memangnya kau anak kecil!?"

"Tapi aku memang tidak apa-apa!"

"Ck, kalau begitu tunjukkan lagi wajahmu!" teriaknya kesal dan kembali duduk. Tidak peduli dengan Ivan yang masih berusaha mengelak, akhirnya pemuda itu dengan cepat menarik tangan Ivan. Dia menurunkan syal sampai tiba-tiba kedua tangannya menangkup kedua pipi Ivan, menahan wajah Alfa itu tetap di tempat.

Menyadari wajah Omega di depannya sangat dekat sampai napasnya terasa jelas di wajahnya, membuat kedua pipi Ivan memerah.

Pemuda itu mengernyitkan kedua alisnya, memperhatikan semua sisi wajah Ivan untuk memastikan tidak ada luka serius di sana. Nihil, dia mendengus lalu memundurkan wajahnya, "Hmm, tidak ada yang terlihat parah sih—"

"GILBERT! HEI, KAU DIMANA!?"

Teriakan dari arahnya muncul tadi membuat pemuda itu tersentak kaget. Dia melepaskan tangannya dari wajah Ivan sebelum berdiri dengan cepat. Pemuda itu melihat kedua temannya yang menuju kemari sedang menoleh ke kanan dan kiri untuk mencarinya. Menyadari itu, dia tertawa kecil dan kembali melihat Ivan yang masih duduk di depannya.

"Umm, aku harus pergi." Ucapnya kikuk. Dia mengambil bolanya lalu melihat kemanapun selain wajah Ivan—masih dengan senyum bersalah di wajahnya, "Tidak ada luka luar di wajahmu sih, tapi kusarankan sebaiknya kau ke UKS. Dan jangan menangis! Kau membuatku semakin merasa bersalah haha, err... baiklah aku pergi dulu! Bye! Sorry again!" teriaknya sebelum kabur dengan cepat, berbelok ke arah teman-temannya berada.

Melihat pemuda itu akan pergi, Ivan membuka mulutnya. Berniat menahannya... namun terlambat. Pemuda itu dengan cepat berlari sampai dia tiba di samping kedua temannya. Ivan segera berdiri setelah kepergian laki-laki Jerman tersebut lalu mengintip dari balik tembok.

Di sana, dia berdiri di tengah dan terlihat tertawa dengan kedua temannya tersebut—entah siapa, Ivan tidak terlalu memikirkannya. Suara dan wajahnya ketika tertawa membuat Ivan memegang syal yang masih menggantung di sekitar lehernya. Merasakan detak jantungnya berdegup tidak biasa.

Ini... pertama kalinya.

Ada Omega yang sama sekali tidak takut dengan keberadaannya. Bahkan dia sama sekali tidak menghina seorang Alfa yang menangis di depannya.

Meski terasa berlebihan, tapi ini pertama kalinya Ivan merasa diperlakukan sama sebagai manusia. Ya. Dia boleh melakukan kesalahan. Dia boleh menangis. Dia boleh terlihat lemah. Dan seseorang yang membiarkannya untuk terlihat seperti ini... adalah Omega.

Aneh.

Aneh sekali.

Apa boleh ada Omega seperti ini?

Ivan dapat merasakan wajahnya menghangat. Rasa sakit yang sedari tadi berpusat di wajahnya tiba-tiba menghilang entah kemana. Perlahan tapi pasti, Ivan menyebut kembali nama yang terngiang di dalam kepalanya...

"Gil...bert."

Ivan Braginsky, 17 tahun.

Menemui cinta pertama yang memaksa masuk ke dalam hatinya tanpa mengetuk pintu...

...sebelum akhirnya dia pergi begitu saja meninggalkan luka menganga yang tidak bisa disembuhkan.

.

.

.

.

.

Yeah, you can start over

You can run free

You can find other fish in the sea

You can pretend it's meant to be

.

But you can't stay away from me

- Maroon 5 (Animals)

.

.

.

To be Continued

.

.

.

Google Translate

Mne interesno ob etom (Russian)= I wonder about that

Verdammt (German)= Dammit

Scheisse (German)= Shit

.

GAK NYANGKA FIC BERDEBU INI JADI JUGA HWEHEHEHE. Tapi karena udah kelamaan ditinggal jadi malah lupa plot aslinya, bablas malah butuh 2 chapter HAHAHA #menanges Dan niatnya ini buat RuPru day kemaren malah ngaret jauh banget hahahaha mohon maaf :))

Seperti biasa kalau aku udah bikin fic RuPru berarti aku emang lagi butuh pelampiasan HAHA #diinjek Adegan sex di sini rada kurang sih jadi mungkin ini sebenarnya alasan utama nambah chapter 2 #ngok Gak ding bohong, karena emang banyak misteri yang perlu dijelaskan hshshshs kebiasaan bablas kalau nulis OTP ini masih belum hilang ternyata orz.

Well yeah, like I said mau gak mau ini harus 2 chapter sih. Tapi gak tahu kapan chapter 2-nya diupdate heuheu jadi lebih baik jangan ditunggu deh :""3 #hus Happy rupru day everyone! Hope you all still love this ship heuheu especially you, Adit! Happy birthday, dude! xDD

Ketika kalian semua sedang sedih, selalu ingat kata-kata pepatah penuh magic pada World Cup 2018 ini... "Jerman melemah di tanah Russia." HAHAHAHAHAH #dihajar

Oke, semoga suka dengan fic debuan ini, minim typo, minim deskripsi eror, dan tidak OOC ehehe karena saya males ngecek ulang #heh All reviews, faves, and alerts are really appreciated! Thank you!