Sakura Haruno, menurut ibunya, putri semata wayangnya yang sempurna. Menurut Sasuke, seorang kekasih yang tidak bisa menerima apa adanya. Menurut rekan kerjanya, perawat yang handal. Menurut pasiennya, dia-lah nafsu makanku. Dan menurut Naruto? Wait, wait, akan dijelaskan setelah bab dua dirilis.
.
.
.
Naruto belongs to Masashi Kishimoto
Warning (s) : AU, OOC (tuntutan cerita) Typo (s)
.
House of Nutrient
by
Amai Sora
.
.
.
Wanita itu sudah menunggunya hampir enam puluh menit. Selalu begini, kekasihnya selalu tidak pernah tepat janji. Dia dingin, kasar dan tidak mengerti dirinya. Sakura hampir bosan menunggu sendiri di sudut cafe dengan ditemani segelas lemonande. Lidahnya kecut karena telah meneguk cairan lemon itu.
Kebosanannya sirna saat pria berambut emo sudah ada di hadapannya. Sakura mengangkat kepala, memberikan sebuah tarikan senyum yang bisa dibilang terpaksa. Mustahil sekali tuan terlambat itu akan berkata maaf.
Sasuke menggeser kursi, menempati kursi itu dengan sangat tenang. Seperti akan duduk di salah satu meja di perpustakaan. "Ada apa, tiba-tiba ingin bertemu?"
Sakura bahkan tidak memberikan senyuman termanis dari dirinya. Dia akan mengakhiri hubungan ini. Harus. Tidak perlu basa-basi. Tidak perlu memesan makanan terlebih dahulu. Karena selera makannya sudah tidak ada lagi untuk detik ini. "Sasuke... aku."
Semalam, Sakura telah menyusun kata-katanya. Dia tidak mungkin mengurungkan niatnya untuk melepaskan Sasuke sekarang. Walau kadang dia akan luluh memandang tatapan itu.
Sasuke masih menunggu apa yang ingin dikatakan Sakura. Biasanya Sakura akan berbasa-basi menjelaskan ini itu dan apa yang sudah terjadi padanya hari ini, atau sekedar kekesalannya karena sang ibu tercinta. Sekarang, raut gadis itu terlihat serius. Dan dia juga tidak sedang ingin berbasa-basi.
"Aku rasa hubungan kita cukup sampai sini."
Sakura bersyukur, kata itu bisa meluncur sempurna walau jeda mendorong keluarnya nada bicaranya. Seolah baru melepaskan sesuaru yang sudah lama ditahannya. Akhirnya bisa terlepas juga walau sedikit susah.
"Kenapa?" nadanya datar seperti biasa.
Sakura sudah tahu Sasuke tidak begitu mencintainya. Cintanya selama ini sia-sia saja untuk pemuda itu. Maaf, dia bukan gadis sebodoh itu. Anggap saja hubungan beberapa bulan ke belakang adalah uji coba yang gagal.
Sakura menggeleng lemah akhirnya, hatinya telah hancur dari beberapa bulan yang lalu. "Terimakasih sudah menjadi pacarku selama beberapa bulan ini, aku senang sekali." Ia berusaha menarik senyumnya. Umurnya yang sekarang memasuki dua puluh tujuh tahun seharusnya bukan harusnya menjomblo.
Sasuke masih bergeming, entah apa yang ada dipikirannya.
"Aku bahagia, sekaligus merasakan kecewa. Tapi, tenang saja kekecewaan itu bukan karena dirimu."
"Aku minta maaf."
Sakura harus kuat, dia tidak boleh menangis walau Sasuke meminta maaf. "Aku tahu, aku wanita yang keras kepala. Selalu ingin bersamamu."
Dan setelah bersamamu, aku tahu itu hanya membuatku terluka. Tapi, tak apa aku tetap bahagia.
"Aku baru menyadari kita bukan jodoh, jadi yaah." Sakura menghirup nafas dalam-dalam, mencoba menahan isakan di bibirnya yang akan keluar kapan saja. "Semoga kau bisa menemukan orang yang tepat."
"Jadi begitu? Kau memang tidak bisa menerimaku apa adanya."
"Bukan begitu!" sahut Sakura cepat.
Selama ini aku sudah menerima. Bahkan aku sudah sabar. Tapi maaf, aku bukan orang bodoh. Terimakasih!
"Lalu apa, bukankah kau sudah lama mengenalku, dan sudah mengetahui sifat asliku?"
Sakura tersenyum pahit. "Maaf aku tidak sanggup lagi. Maafkan aku, Sasuke."
Ingin sekali rasanya Sakura mengatakan, Bisakah kita menjadi teman? Sayangnya ia tidak bisa mengatakan itu. Ia tidak bisa melangkah maju kalau terus bersamanya. "Aku tidak akan muncul di hadapanmu lagi. Aku berjanji. Selamat tinggal." Setelah mengatakan itu Sakura bagai kapas sekarang. Ia bisa berjalan dengan tenang dan enteng. Tidak ada lagi beba yang yang menggantung di punggungnya, tidak akan ada lagi kekecewaan.
Semua telah usai.
.
.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.
.
"Naruto-kun?" Hinata tidak percaya, detik ini ia bukan lagi pacar Naruto. Rasanya dunia benar-benar terpecah belah, baru minggu kemarin mereka bersenang-senang—menikmati kencan indah setiap hari libur. Bagaimana mungkin ia bisa percaya ini akan terjadi. "A-apa yang kau katakan?"
Naruto menggeleng pasrah. Hubungan ini tidak bisa dilanjutkan lagi, tidak akan ada jalan keluuar sekecil apapun, sekemungkinan apa pun yang bisa diusahakan. "Maafkan aku, mungkin ini harus segera berakhir."
Hinata menutup mulutnya. Air matanya mendorong paksa untuk keluar. Ia tidak bisa menahannya melebihi rasa sakit di hatinya saat ini. Kekasihnya tidak bisa memperjuangkan cinta mereka. "Aku tidak mau!" untung saja mereka berada di ruang VIP sebuah restoran. Kalau tidak, semua mata tertuju padanya.
"Kakakmu akan segera menjodohkanmu. Lebih baik kau mengikuti peraturan keluargamu." Naruto berusaha mengeluarkan nada biasa. Sebenarnya ia sudah mengetahui kabar perjodohan Hinata. Kemarin Neiji sempat menemuinya dan membicarakan hal ini.
Naruto mengerti, bukan ia pilihan keluarganya. Hinata anak dari seorang bangsawan yang terpandang. Sementara dirinya hanya keluarga biasa yang tidak memiliki gelar kebangsawanan. Walau ia bukan orang miskin. Tapi, hidupnya tidaklah sebanding dengan Hinata.
"Aku tidak mau! Aku mencintaimu." Suara Hinata terdengar serak.
"Aku juga mencintaimu, tapi kita tidak mungkin bersama. Aku sudah memutuskan tidak akan pernah menemuimu lagi. Maafkan aku." Naruto menunduk.
Inilah yang tidak disukai Naruto, Hinata mengeluarkan air mata. Mau tak mau ia harus membangun dinding es agar tidak iba. Bisa saja Naruto melakukan aksi nekat seperti membawa kabur anak orang. Kemudian keesokan harinya dirinya akan berada di surat kabar dengan naasnya. Bukankah itu menyenangkan?
Tapi ia bukan orang seperti itu. Lagipula, ia akan menjalani hidup sebagaimana orang normal lainnya. Bukan mencari sensasi. "Maaf Hinata. Aku tidak bisa mempertahankanmu. Terimakasih atas waktu yang telah kau berikan padaku. Tidak ada kesalahan sedikitpun darimu dalam hubungan kita. Terima kasih untuk semuanya."
Naruto memutuskan untuk pergi dari sana sebelum ia semakin merasa kasian dengan tangisan itu. Sebenarnya dalam dirinya ini sangat terasa teriris. Tapi, mau bagaimana lagi?
Ternyata mereka bukan jodoh.
.
.o.O.o.O.o.O.o.O.o.
.
Kejadian itu sudah berlalu selama seminggu. Jujur saja hati ini benar-benar hampa. Sempat terbayangkan oleh Sakura, apakah ia akan menjomblo selamanya seperti ini? Benar-benar merasakan tidak akan ada yang namanya masa depan semua ini terjadi. Berlebihankah?
Semenjak kejadian itu, Sakura selalu mengurung diri di dalam kamar, ia bahkan tak kunjung pergi bekerja padahal kepala rumah sakit selalu menanyakan keberadaannya, mengapa ia tak masuk bekerja? Mengapa ia tidak meminta izin? Apakah ia akan berhenti bekerja?
Sakura tidak peduli. Tidak ada semangat untuknya saat ini. Bahkan untuk menyentuh makanan saja sangat mengerikan. Kalau tidak ada obat nafsu makan, mungkin ia sekarang sudah tidur di salah satu kamar rumah sakit.
Mebuki masuk ke dalam kamar anak semata wayangnya. Ini tidak bisa dibiarkan. Sakura bahkan tidak bicara ada apa dengannya sekarang.
"Ibu membawakanmu cemilan."
Sakura menghadap Mebuki dengan semangat yang tersisa di ujung. Untung saja kantung mata sudah tidak parah, lalu kamarnya juga sudah cukup rapi. "Cemilan apa?"
"Puding susu. Ibu tahu ini bisa membuat hatimu sedikit baik." Mebuki duduk di samping Sakura, menyodorkan nampan berisi cemilan itu.
Sakura mengambilnya, menaruh pada pangkuan. Tapi, tak segera ia rasakan manisnya dari benda lembut itu. "Terima kasih."
"Sakura, katakan sesuatu kalau kau sedang ada masalah. Jangan diam seperti ini."
Sakura menghela nafas bosan. "Baiklah, maafan sikapku seminggu kemarin." Rasanya ia tidak percaya mengatakan seminggu. Seperti setahun aja.
"Apa kau hamil?"
Sakura langsung menoleh cepat pada ibunya. "Kenapa ibu bisa berkata seperti itu?"
"Soalnya ibu dengar, kau tidak bersama lagi dengan Sasuke. Benar, kan?"
Sakura hanya mengangguk . Entah darimana ibunya tahu. Mungkin ibnya sendiri telah bertanya pada mantan kekasihnya itu. Terserah.
"Jadi, ibu menyimpulkan kau putus dari Sasuke karena hamil."
"Kalau itu terjadi tentu saja aku akan minta pertanggung jawaban."
"Tidak ya, syukurlah." Mebuki bernafas lega. "Lalu kenapa sampai stress begini! Dasar keras kepala! Cepat kejar Sasuke sana! Apa kau mau jadi jomblo seumur hidup?!"
"Aku yang mengakhiri ini, mana bisa aku meminta kembali. Dimana harga diriku! Aku rasa mending hidup sendiri."
Mebuki tidak percaya. Kalau itu sampai terjadi ia akan sangat malu pada teman-temannya, tetangganya, bahkan komunitas ibu-ibu di kalangan kelas elit. "Tidak bisa! Ibu sudah sangat berharap kau akan bersama dengan Sasuke!"
Sakura bahkan tidak pernah ingat kalau ibunya sangat mendukung hubungan ini. Satu denyutan mampir di kepalanya. Satu masalah lagi akan terjadi. "Aku mohon ibu keluar saja."
"Ibu tidak menyangka ini terjadi, ada apa denganmu? Kau sudah gila, sudah melepaskan pemuda itu?"
"Aku mohon ibu kelar saja! Aku tidak ingin ibu mencampuri masalahku!" Sakura sedikit berteriak.
Mebuki berdiri, ia juga sedikit terkejut mendapati anaknya membentak dirinya. Ini bukan pertama kalinya putrinya itu membentak. Sakura selalu begitu, tidak pernah berkata lemah lembut. Inilah yang dibencinya dari Sakura. "Baiklah, setidaknya kau harus mendapatkan pria yang setara dengan Sasuke. Kau itu anak satu-satunya dari keluarga ini. Kau mengerti?"
Sakura membuang muka. Hatinya merasa sakit didesak oleh ibunya yang selalu menginginkan untuk menjadikannya wanita yang sempurna. Tentunya wanita sempurna memiliki pendamping yang sempurna. Sayangnya tidak ada manusia yang sempurna. Begitu pula Sasuke.
"Ibu tahu sikap Sasuke dingin. Tapi kau kan mencintainya!"
"Tidak lagi untuk sekarang!"
"Buktinya kau sempat stress?"
"Iya. Tapi, aku yakin setelah melewati ini aku akan lebih baik."
Mebuki berdiri seraya melipat tangan di depan dada. "Dengar, umurmu sudah dua puluh tujuh tahun. Aku tidak akan membiarkanmu menikah di umur dua puluh delapan."
Sakura langsung menghitung berapa bulan lagi ia berumur dua delapan. Tiga bulan lagi? Ah, tidak tepatnya dua bulan setengah lagi. "Ibu aku mohon!"
"Aku sudah cukup malu dengan semua ini. Semua orang bertanya kapan kau akan menikah? Oh baiklah, sesegera mungkin ibu akan mencarikan pasangan."
Mata Sakura melebar. Bagaimana mungkin ia akan menerima semua itu. Ibunya pasti akan memberikan seseorang yang sempurna. Semua itu tidak akan jauh dari laki-laki kaya, arogan dan memiliki kebahagiaan yang sementara. Ia sudah terlalu trauma dengan semua itu.
"Tidak—"
"Ini semua demi kebahagianmu." Mebuki berjalan ke arah luar kamar. "Maaf, untuk sekarang ibu akan mengurungmu." Secepatnya Mebuki keluar menutup pintu dan menguncinya. Membuat Sakura mematung dan sulit bernafas seketika.
Air mata itu keluar lagi tanpa ia mengedipkan mata. Menjadi wanita sempurna tidak begini caranya. Selalu saja mendapat paksaan dan ancaman dari pihak yang seharusnya dihormatinya.
Dengan tangan gemetar Sakura mengangkat mangkuk kecil puding pemberian ibunya. Perlahan ia menyendokan puding itu ke dalam mulutnya.
Manis. Tapi bisa mengakibatkan penyakit yang parah untuk orang yang terlalu banyak mengkonsumsinya. Seperti itu lah kata sempurna. Terlalu berbahaya.
.
.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.
.
Sudah hampir larut malam. Ia beruntung semua puding dapat masuk ke dalam perutnya dengan sangat terpaksa. Setidaknya ada beberapa tenaga yang dapat ia gunakan di malam yang sedingin ini.
Mengambil jaket ia melangkah mendekat ke arah jendela. Sebuah ransel kecil berwarna cream sudah siap di punggungnya. Kehidupannya terlalu rumit. Terlalu berat untuk dituruti. Bukankah ada yang pernah bilang: untuk apa aturan kalau tidak harus dilanggar. Dan malam ini ia akan mencobanya. Tidak, semestinya ia sudah melanggarnya dari dulu. Hanya saja pikiran akal warasnya kebetulan tidak mengurungkan niatnya.
Sakura membuka jendelanya. Ia sempat bersyukur kamarnya tidak terletak di lantai tiga. Atau sekarang ini ia tinggal di apartemen di lantai lima belas. Beberapa menit ia memandang ke arah bawah. Kalau lompat dari sini, selain patah hati, ia akan patah kaki juga. Oh, menyedihkan.
Satu keberuntungan lagi dalam hidup wanita berparas cantik itu, ia bukanlah wanita feminim yang tidak suka melakukan kegiatan ekstrim. Dan memanjat tebing adalah hobi salah satunya.
.
.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.
.
Mengganti nomor baru secara mendadak membuat Naruto cukup kesulitan. Pasalnya ponselnya kini terlalu pendiam, tidak ada satu pesan pun yang masuk. Lagipula untuk mengirimkan pesan dan mengatakan kalau ia berganti nomor kepada seluruh kontak lamanya itu sangat berlebihan.
"Uzumaki-san!"
Bibi pemilik apartemen ini memanggilnya dari ujung koridor. Naruto tidak jadi membuka pintu apartemennya, ia memilih menoleh dan menunggu sampai bibi pemilik apartemen tepat di hadapannya. "Ada apa?" bukan berarti panggilan ini untuk menagih uang bulanan, kan? Seingatnya ia sudah membayar sampai tahun depan.
"Ibumu menelpon." bibi Shizuka memberikan ponsel miliknya.
"Hallo," Naruto langsung menerima panggilan itu, sementara Shizuka pergi meninggalkannya—membuatnya leluasa untuk mengobrol dengan ibu kandungnya.
"Apa-apaan kau ini?! Mengapa ponselmu tidak aktif lagi? Kau mau membuat ibu cemas?"
Naruto harusnya tidak membiarkan speker ponsel itu tertempel di telinganya. "Mengapa ibu berteriak seperti itu?"
"Jawab dulu pertanyaanku?"
"Err.. soal itu. Karena aku mengganti nomor baru."
"Dasar bocah bodoh! Kenapa tidak memberi tahu?"
"Maafkan aku..."
"Maaf? Kami benar-benar khawatir?" nada Kushina seperti mengkhawatirkan seorang anak gadis belasan tahun.
"Aku sudah dua puluh delapan tahun, bu." Naruto memohon. "Maafkan aku, kemarin aku sedang sibuk."
"Baiklah, alasan apa kau mengganti nomornya?"
Naruto memutuskan masuk ke dalam apartemen dan menuju sofa ruang tamu dahulu sebelum menceritakan semuanya pada wanita yang dicintainya itu. "Ibu harus ingat, ponsel yang kugunakan punya orang."
"Jangan mengalihkan pembicaraan! Katakan, apa yang sudah terjadi?"
Sebagai seorang lelaki, tidak seharusnya menceritakan keadaan yang sebenarnya terjadi. Daripada kemarahan ibunya bertambah, mungkin ia akan membagi sedikit. "Aku memutuskan untuk meninggalkan Hinata."
"Apa?!"
Sudah ia duga, ibunya akah sehisteris ini. "Sudahlah, nanti saja membahas itu, yah intinya aku tidak ingin berhubungan dengannya dan memutuskan semua kontak apapun. Sekarang aku baru pulang dari kantor. Badanku capek, aku juga lapar. Sepertinya makan mie ramen instan sangat enak."
Jeda diam beberapa detik, Kushina tampak berpikir, tapi Naruto tidak mempermasalahkannya. Ia menggunakan kesempatan itu untuk melonggarkan dasi.
Akhirnya terdengar helaan napas. "Ibu mengerti. Ibu tidak akan membahas soal itu. Dan oh ya! Jangan makan mie terus, itu tidak baik!"
"Aku tidak punya banyak pilihan. Lagipula untuk keluar mencari makan di jam seperti ini akan memakan waktu cukup lama."
"Alasanmu selalu begitu, setidaknya kalau kau belum mempunyai pilihan untuk menikah, carilah Pembantu yang bisa mengurusmu dan apartemenmu."
Naruto tertawa, ibunya mencemaskannya. Kalau boleh memilih ia ingin tinggal bersama ibunya sehingga lebih terurus. Hanya saja tuntutan kerjanya yang menempatkannya di kota berbeda dari kedua orangtuanya ini begitu menyebalkan. "Baiklah, akan kupikirkan. Tapi, mencari pembantu itu tidak mudah, bu."
Kalau saja ia bisa terbang ke kota Naruto sekarang, ia akan membantunya untuk mencarikannya pembantu, atau ia saja yang mengurusnya langsung. "Pokoknya jangan asal merekrut pembantu. Dilihat-lihat dulu. Cari yang lebih tua darimu, jangan lebih muda! Ibu yakin kau tidak akan jatuh cinta dengannya. Tapi, mungkin pembantu muda akan menyusahkanmu."
"Iya, aku mengerti. Aku akan meminta Sai membantuku memutuskan nanti."
Kushina tertawa, anak satu-satunya itu begitu berharga baginya walau sudah hampir kepala tiga. "Baiklah, jangan lupa kembalikan ponsel ini ke bibi Shizuka. Kalau sudah menemukan pembantu, jangan lupa beritahu ibu. Dan ya! Soal masalahmu, kalau kita bertemu kau boleh menceritakannya nanti."
Naruto tersenyum. Ternyata berbicara pada ibunya sedikit meringankan bebannya. "Terimakasih, ibu."
"Baiklah, selamat malam."
"Selamat malam."
.
.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.
.
Setelah memakan waktu setengah jam untuk membereskan apartemennya, Naruto melempar badannya ke sofa untuk beristirahat. Benar kata ibunya, ia harus mempunyai seseorang yang dapat merawat rumahnya. Kalau begini terus ia akan sangat kualahan. Belum lagi pulang kantor waktu normal jam lima. Kalau ada lembur bisa-bisa jam sepuluh.
Ini tahun kedua ia bekerja di salah satu perusahaan Rutan Konoha. Kalau tiba saat ia bertugas untuk keluar kota, apartemennya akan tertinggal selama berminggu-minggu. Pastinya debu dan sarang laba-laba akan tersebar di mana-mana.
Naruto melirik jam yang ternyata sudah pukul sepuluh malam. Masih ada satu tugas lagi yang belum terselesaikan sebelum ia bisa berbaring di kasur empuknya. Yaitu membuang sampah.
Ia tidak bisa menunggu besok pagi untuk membuang satu kantong plastik berisi sampah itu. Soalnya ia selalu harus pergi ke kantor pada pukul setengah tujuh agar tidak terjebak macet.
.
.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.
.
Seperti biasa, tempat sampah yang berada di lorong samping apartemennya sudah sepi, hanya ada satu dua kucing yang berjalan untuk mencari sisa makanan. Ini tidak terlalu mengerikan. Ia tahu lingkungan apartemennya ini cukup aman.
Setelah melempar sampah itu ke dalam wadah yang cukup besar, Naruto memutuskan untuk berjalan ke mini market yang terletak satu blok dari apartemennya. Rencananya ia akan membeli sosis atau daging giling untuk teman sarapan esok hari.
Jalanan sudah sangat sepi, tapi penerangan tidak terlelap seperti makhluk lainnya. Masih ada satu atau dua mobil yang melewati jalanan di sana. Mendadak perasaannya tidak enak karena merasakan sesutu di sebuah lorong yang baru saja ia lewatkan.
Naruto menghentikan langkahnya, ia penasaran kalau-kalau itu adalah sesuatu yang—dipikirannya penuh dengan tanda tanya. Mungkin kucing? Ah, kucing tidak sebesar itu. atau hanya karung sampah. Tapi, kalau dilihat-lihat bayangan itu mirip seseorang.
Tanpa berpikir panjang, Naruto langsung berlari mendekati sesuatu yang dicurigainya. Setelah sampai di sana matanya melebar. "Ya ampun, nona!" Naruto berlutut di hadapan seorang yang dipanggilnya nona itu untuk memastikan ia baik-baik saja.
Tidak ada darah yang bercecer. Syukurlah, Naruto sempat memikirkan hal yang menakutkan tadinya. Yang terasa hanya dinginnya permukaan kulit putih itu. Ia sangat lemas, mungkin hanya sekedar pingsan. Tidak ada pula bau sake. Syukurlah dia pingsan bukan karena mabuk.
Yang ada di kepalanya hanya membawanya ke rumah sakit segera.
.
.
.
Tsudzuku
.
.
.
Author POV :
Momen NaruSaku baru dimulai chapter depan. Cerita ini sudah lama aku ketik, sudah sampai bab 8, kemungkinan tamat di bab 15 atau gak nyampe deh kayaknya, tapi belum di reading proof keseluruhan. InsyaAllah cerita ini agak sedikit waras dari fik aku yang satunya, nyahaaa!
Readers : Yakin?
Karena fiknya udah lama diketik, aku gak bisa mereplace karakter H untuk digantikan orang lain. Yaaah, hitung-hitung sebagai rasa kagum aku ke Boruto dan Himawari *slap* tapi, aku suka kok pair Boruto x Sarada. Mereka manis kyaaaaa! *gelundungan*
Dadah-dadah !
