Suara air shower yang mengucur deras terdengar dari sebelah selatan rumah seorang Oh Sehun. Mengalir perlahan bersama dengan warna merah pekat darah yang mulai berurai karena bercampur dengan air yang mengalir dan berakhir melingkar masuk ke sebuah lubang pembuangan yang ada di sebelah pojok kirinya.
Kim Jongin adalah seorang pemuda yang kini sedang merenggang nyawa di bawah kucuran deras air shower itu. Terduduk lemas dengan mulut yang terbuka, merasa hidungnya tak lagi kuat untuk menghirup oksigen sebanyak yang dia mau.
Cutter putih yang berada dalam genggaman tangan kanannya, perlahan jatuh terkulai ikut bermandikan air. Sayatan di pergelangan tangan kiri Jongin tak mau berhenti untuk mengeluarkan darah sederas air yang mengguyur tubuhnya. Air mata yang meleleh dari kedua pelupuk matanya tak bisa ia bedakan dengan air shower yang mengucur begitu deras, membuat kepalanya semakin pusing dan berat.
Sebuah pelukan ringkih ia rasakan saat pandangan matanya semakin memburam. Kesadaran gendang telinganya masih dapat menangkap suara pemuda yang ia rindukan memanggil-manggil namanya, dengan pilu.
Bukan.
Bukan suara itu yang ingin Jongin dengar.
Bukan suara tangisan pilu Sehun saat memanggil namanya yang ingin ia dengar sebelum ia merenggang nyawa.
Tapi semuanya sudah lebih dulu menggelap.
Wait
Hurt/Comfort, Romance, Drama, Boys Love
M
Oh Sehun, Kim Jongin
EXO © SM Entertainment
Member EXO © GOD
"Lagi?! Kau menerima dan mengirim barang haram itu lagi?!" Jongin berteriak. Bibirnya bergetar geram, kedua matanya menatap Sehun tajam tak percaya.
"Aku sudah bilang berapa kali, jangan pernah kau menyentuh apalagi mengirimkan barang itu! Berapa kali lagi aku harus menyuruhmu untuk berhenti, hah?!" Sehun terdiam saat Jongin melemparinya dengan rematan uang yang ia ambil dari dalam koper bawaan Sehun. "Kenapa kau tidak pernah mau mendengarkanku?"
Sehun hanya membuang muka dan menutup kedua matanya, masih diam. Sudah biasa dengan kalapnya Jongin ketika dia membawa pulang sekoper uang dari hasil penjualan berkilo-kilo barang haram yang ia distribusikan; opium dan ganja yang akan dikirim ke Jepang dan diolah menjadi serbuk putih pembangkit halusinasi; narkoba.
"Kenapa? Kau mahasiswa S1 lulusan dari Universitas ternama... kau bisa mencari kerja yang lebih baik daripada harus menjual ganja dan opium..." Jongin menyeka airmatanya yang mulai meleleh dengan punggung tangannya secara kasar, "Sudah berapa kali kalian hampir tertangkap polisi?" Jongin mulai terisak.
"Kkam..."
"Diam disana dan jangan dekati aku!" Jongin menunjuk kaki Sehun yang bergerak maju selangkah dengan garang, matanya tetap menatap kedua mata Sehun yang terlihat sendu. Berbeda dengan matanya yang memicing tajam mengandung kilat kemarahan yang amat sangat pada Sehun. Sehun hanya kembali terpaku, tak berani melangkah maju melihat Jongin yang makin kalap. Mulutnya yang terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu, ia katupkan kembali dengan niatan tidak ingin Jongin malah makin marah padanya.
Airmata masih mengalir deras di pipi Jongin saat dia menurunkan tangannya yang tadinya menunjuk kaki Sehun. Kembali Jongin menyekanya dengan kasar, tak peduli dengan pipinya yang makin memerah karena ulah sengaja tangannya. "Aku disini menunggumu dengan was-was, khawatir... aku takut kau tertangkap oleh polisi dan dipenjara. Aku... aku takut kau meninggalkanku..." mulut Jongin berucap seiringan dengan isakan keras yang lolos disetiap kata yang ia ucapkan.
"Bisakah kau,―
Menuruti ucapanku meskipun itu hanya sekali?" Jongin menangkup wajahnya dengan kedua tangannya, membiarkan airmatanya keluar mengguyur pipi gembilnya. Membiarkan Sehun tahu bagaimana khawatirnya dia jika Sehun tertangkap oleh polisi. Meskipun selama 3 tahun Sehun sudah menjadi distributor dan terbukti belum pernah masuk penjara, Jongin tetap saja masih takut. Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, termasuk dengan Sehun yang tertangkap polisi dan ditahan dengan tuduhan pengiriman ganja dan opium ilegal, yang faktanya memang seperti itu.
Jongin berjalan mundur, menyenderkan tubuhnya yang melemas ke tembok di belakangnya dan merosot ke bawah dengan perlahan. "Berhentilah... aku mohon..."
Sehun berjalan ke arah Jongin dengan perlahan, tak peduli jika sepatu yang ia kenakan menginjak uang haram yang dia peroleh. Toh uang itu sebenarnya tak berarti lebih dari seorang Kim Jongin yang sangat ia cintai.
Ia berjongkok di depan Jongin dengan pelan, tangannya terangkat untuk mengelus surai hitam milik kekasihnya.
Isakan Jongin juga mulai berkurang seiring dengan tangan Sehun yang mengangkat kepala Jongin dengan menangkup pipi kirinya. Mata sendu itu kini tak lagi menatap mata yang penuh amarah, tetapi kini sedang menatap mata yang penuh keputus-asaan. 8 tahun Sehun dan Jongin bersama, 3 tahun Sehun bekerja sebagai penjual opium dan ganja ilegal, 2 tahun lalu Jongin mulai memberontak dengan pekerjaan yang Sehun lakukan.
Selama 2 tahun ini Jongin selalu mengulang kata berbeda dengan makna yang yang sama, menyuruh Sehun untuk berhenti dari pekerjaannya menjual barang. Tapi Sehun tidak mau menggubris, masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
Sehun tidak peduli, pikir Jongin. 1 tahun setelah Sehun menjajal pekerjaan yang menghasilkan uang banyak tersebut, Sehun hampir tertangkap oleh pihak kepolisian dan beruntung dia bisa kabur sementara anak buahnya lah yang tertangkap. Jongin yang menyadari Sehun keceplosan, mulai melarang Sehun untuk melanjutkan pekerjaannya dan menyuruh Sehun untuk bekerja dengan cara lain. Tapi Sehun selalu saja pulang ke rumah dengan membawa sekoper penuh uang saat kemarin malamnya pergi dari rumah tanpa berpamitan padanya.
Sehun tentu tahu jika dia tidak pergi keluar rumah dengan mengendap-endap, Jongin akan melarangnya pergi dan bisa saja mengamuk saat itu juga demi melarang Sehun. Jadi Sehun lebih memilih untuk pergi bekerja secara diam-diam dan kembali ke rumah dengan mempersiapkan mental yang lebih kuat. Lebih kuat daripada saat dia harus berhadapan langsung dengan pihak kepolisian yang akan menjebloskannya ke penjara–ini hanya dalam bayangannya saja.
Sehun perlahan menghapus linangan airmata Jongin dengan ibu jarinya pelan. "Aku akan mencari pekerjaan lain, Kkam. Aku berjanji," mata yang putus asa itu mulai terlihat berharap,
"Sungguh? Janji?"
Sehun mengangguk pelan, "Aku berjanji. Tapi biarkan aku menyelesaikan pekerjaanku yang terakhir."
Jongin terdiam. Sedetik kemudian ia menggeleng keras, "Tidak, jangan..."
"Ada barang yang tertinggal dan aku harus menyelesaikannya secepat mungkin, sayang"
"Secepat mungkin seperti apa yang kau maksud? Kapan kau akan melakukannya?"
Sehun menangkup kedua pipi Jongin, "Jika kau memang ingin aku benar-benar berhenti dari pekerjaan ini, beri aku waktu hingga besok. Besok malam aku akan mengirim barang yang tertinggal dan aku berjanji padamu besok malam adalah pengirimanku yang terakhir."
Jongin kembali menundukkan kepalanya, berpikir. Apakah jika Jongin mengizinkan Sehun bekerja–untuk yang terakhir–besok, Sehun akan kembali ke rumah? Kembali ke rumah dengan jaminan selamat?
Tapi siapa yang akan menjamin itu? Jongin? Sehun? Anak buah Sehun? Atau Bosnya Sehun? Atau mungkin pihak kepolisian? Kalau pihak kepolisian, tentu saja Sehun dijamin selamat dari pelukan Jongin yang begitu erat.
Pilihan mana yang lebih tepat?
"Dengarkan aku..." Sehun kembali mengangkat kepala Jongin menghadap ke wajahnya,
"Tunggu aku pulang, ok?"
Wajah Jongin memelas, pelupuknya kembali penuh dengan airmata lalu dengan pelan dia menganggukkan kepalanya. Sehun tersenyum lalu mencium dahi Jongin, kemudian memeluknya erat. Jongin balas memeluk Sehun tak kalah erat, menumpahkan seluruh airmatanya di bahu kokoh Sehun. Sehun masih mempertahankan senyumnya sembari menciumi surai Jongin.
Masing-masing dari mereka melepaskan diri dari pelukan yang mereka lakukan. Sehun kembali dengan perlahan menghapus linangan airmata yang tersisa di pipi Jongin, mengangkup kedua pipi itu kemudian berkata, "Kau sangat jelek, Kkamjong." Sehun berkata setengah tertawa, Jongin hanya diam saja. Sehun mendekatkan wajahnya ke wajah sembab Jongin dan mencium kedua belah bibir yang telah membengkak itu perlahan.
Bibir Jongin yang menebal dan berwarna lebih pink akibat dari tangisannya, terasa sangat manis di indra pengecap Sehun yang kini menjilatinya dengan hati-hati, takut-takut jika salivanya meluber keluar dari bagian bibir Jongin.
Jongin-pun tak mau kalah aktif. Ia menggunakan kedua tangannya yang melingkar di leher Sehun untuk makin mendekatkan wajahnya dengan wajah kekasih yang sangat ia cintai itu. Bibirnya ia katupkan hingga lidah Sehun terjepit diantaranya. Jongin perlahan meremas lidah Sehun dengan mulutnya pelan, naik, naik, naik, semakin naik hingga bibirnya kembali bertemu dengan bibir Sehun yang membuat keduanya kini kembali saling melumat.
Kaki Jongin yang entah secara otomatis atau bagaimana bisa melingkar dengan pas di pinggang Sehun, membuat Sehun semakin mudah mengangkat tubuh Jongin. Tanpa melepaskan lumatan yang mereka lakukan, Sehun menahan pantat Jongin dengan kedua tangannya dan mulai membawa tubuhnya sendiri untuk duduk di sofa single.
"Kau makin enteng, Kkam." Sehun berkata saat lumatan mereka terlepas karena Sehun yang agak kesusahan duduk di sofa.
"Beri aku makan kalau begitu."
.
.
.
.
Tetesan darah mengikuti langkah Sehun menuju UGD dari belakang. Robekan baju yang Sehun kenakan untuk mengikat luka sayat di pergelangan kiri Jongin tak dapat lagi membantu. Zi Tao, teman Jongin dan Sehun, mengikuti langkah tergesa Sehun dari belakang dengan kesibukannya mengambil sapu tangan dari tasnya dan mulai mengganti robekan baju Sehun di tangan Jongin dengan sapu tangan tersebut.
Ranjang kantil tiba-tiba muncul dari persimpangan yang Sehun lewati bersama dengan dua perawat wanita yang ikut tergesa, seakan mereka memiliki telepati untuk mengetahui bahwa Sehun adalah orang yang membutuhkan ranjang itu saat ini. Dengan sigap Sehun menidurkan tubuh Jongin di atas ranjang tersebut. Tao masih fokus dengan sapu tangan di pergelangan tangan Jongin yang mulai muncul bercak darah, perlahan meluber dan makin merembes hingga kembali menetes ke lantai dingin rumah sakit.
Ranjang yang Jongin tiduri mulai masuk ke ruang UGD. Salah satu perawat berbalik menahan tubuh Sehun dan Zi Tao yang akan masuk ke ruang UGD sembari berkata "Tolong tunggu di luar ruangan." lalu perawat tersebut masuk dan menutup pintu dengan keras.
Tao mundur dan mendudukkan dirinya ke kursi tunggu tepat di depan pintu ruang UGD tersebut sedangkan Sehun hanya bisa diam mematung sembari menatap nanar pintu putih yang baru saja dibanting sang perawat wanita. Tao menatap jemari kedua tangannya yang berlumuran darah amis.
"Zhong Ren..."
Tao mengucap lirih nama China Jongin sembari menundukkan kepalanya, dengan kedua siku yang menjadi tumpuan di atas pahanya. Darah Jongin di tangan Tao makin mengering dan dia hanya menatapnya kosong tanpa ada niat untuk membersihkannya. Sehun sendiri masih mematung di depan pintu. Perasaan kesal, menyesal dan marah teraduk menjadi satu di dalam hatinya. Kesal karena perjalan dari rumahnya menuju ke rumah sakit terlalu lama, menyesal karena dia adalah pihak utama yang membuat Jongin melakukan bunuh diri, dan marah merasakan betapa bodohnya Jongin yang mencoba bunuh diri.
Sehun memukul tembok putih rumah sakit dengan kepalan tangannya,
"Bodoh..."
.
.
.
.
Di malam hari setelah Sehun berhasil meredakan amukan Jongin, mereka kembali berakhir di atas ranjang. Sehun meninggalkan Jongin yang tertidur pulas setelah mereka bercinta untuk yang kesekian kalinya. Dengan setelan casual ditambah syal hangat hadiah dari Jongin, Sehun mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju ke tempat 'itu'. Dengan keyakinan maximal, setelah pengirimannya yang terakhir ia berencana akan berkata semuanya pada sang boss bahwa ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya menjual opium dan ganja.
Tapi malam itu adalah malam tersial dalam hidup Sehun. Belum ada setengah barang yang terangkut oleh kapal, kelompok Sehun keburu terkepung oleh pihak kepolisian. Anak buah Sehun yang biasa dijadikan penjaga ternyata lengah dan membuat pihak kepolisian menjadi sangat mudah menangkap mereka. Sehun mengumpat dalam hati. Yang benar saja?
Urutan peristiwa yang harusnya terjadi adalah; Sehun melakukan pengiriman, Sehun berkata pada boss bahwa dia keluar, Akhirnya bossnya merelakannya untuk keluar walau ragu, Sehun pulang ke rumah, bertemu Jongin, berkata pada Jongin bahwa dia sudah keluar kemudian memulai kembali kebahagiaan mereka dari 0.
Dan itu sangat-sangat terbalik dari fakta yang Sehun dapatkan.
Hanya sebuah ekspektasi.
Sungguh, lebih baik Sehun digebuki oleh anak buah bossnya ketika dia mengundurkan diri daripada harus tertangkap polisi seperti ini.
"Siapa namamu?" Sial. Sial.
Sehun diam, bungkam. Dia benar-benar tidak berbicara sepatah katapun ketika Polisi bertanya padanya. Mau kepalanya dipukul sampai berapa kali, Sehun tetap diam. Sehun di paksa berdiri dan Polisi lain mulai mencari sesuatu di bagian saku celananya, sebuah dompet. Si polisi membuka dompet Sehun dengan cekatan dan kembali mencari sesuatu.
"Hei bisu, apa kau tidak punya kartu penduduk?" Sehun masih diam dengan poker facenya, tidak menggeleng ataupun mengangguk, dia benar-benar diam. Si polisi yang merasa diabaikan, melempar dompet yang ia pegang tepat ke muka Sehun, "Aish, bodohnya aku berbicara pada orang bisu sepertimu"
Sehun dikirim ke balik jeruji besi malam itu juga. Sendirian.
"Aaishh" mengacak rambutnya geram, Sehun sengaja tidak membawa ponselnya ketika penjualan–kebiasaan barunya agar Jongin tidak berusaha menghubunginya. Tapi sekarang Sehun sangat-sangat membutuhkan ponselnya.
Ponsel.
Ponsel.
Ponsel sialan.
"Kau membutuhkan bantuan?"
.
.
.
Baru seminggu kemudian Sehun bisa bebas dari jeruji besi dingin dan mencekam yang sempat menjadi tempat persinggahannya itu.
Mungkin malam ditangkapnya dia bukanlah bukanlah malam tersial untuk Sehun, malah malam terberuntung. Ada seorang polisi yang menawarkannya ponsel untuknya–kebetulan polisi itu pemasok. Sehun menyunggingkan senyum miringnya. Pemerintah tidak pernah berubah, iya 'kan?
"Bahkan polisi saja bisa jadi pemasok," ucap Kris, pengacara terkenal sekaligus sahabat baik Zi Tao. Dia memberi tepukan selamat keluar dari jeruji pada Sehun. "Entahlah, biarkan saja," Sehun berucap sok cuek.
"Kau biarkan saja tapi nyatanya kau berhutang budi pada polisi pemasok," Zi Tao berbisik, Kris tertawa kecil.
"Diam kau, hitam" Sehun sarkatik.
"Jadi kemana tujuanmu sekarang? Pulang?"
Zi Tao memukul perut Kris pelan, "Tentu saja dia akan pulang, kemudian bertemu dengan Baby Jongin tercinta" Zi Tao berjalan di depan mereka, berjalan mundur.
"Jongin sudah tau kalau aku masuk penjara?"
"Entah." –Kris
"Sudah," Zi Tao menjawab dengan enteng,
.
.
.
.
Buagh
"Brengsek!"
1 pukulan telak ia dapatkan di pipi kirinya, Sehun jatuh tersungkur.
"–ercayakan adikku padamu, berani-beraninya kau membuatnya terluka seperti itu!" orang kalap itu mengangkat kakinya, berniat menendang tubuh Sehun yang sudah jatuh. Tapi kakinya hanya menendang angin karena dengan sigap Zi Tao merangkul lengannya dan membawanya mundur. Dia itu Park Chanyeol–kakak tiri Jongin.
"Chan Lie-ge, tenanglah," Zi Tao kewalahan merangkul lengan Chanyeol yang masih memberontak; menendang angin. Kemudian ada Kyungsoo–kekasih Chanyeol ikut menenangkan Chanyeol yang masih mengucap sumpah serapah untuknya.
Sehun dibantu bangun oleh Jongdae, teman Zi Tao yang lain; yang artinya teman Jongin juga. "Kau baik-baik saja?" Sehun memegang pipi kirinya yang terasa ngilu, "Ya," kepalanya mengangguk pelan.
"Bagus, sebaiknya kau duduk," Sehun kembali dibantu oleh Jongdae untuk duduk, kemudian Jongdae duduk di sebelahnya. Amarah Chanyeol sepertinya sudah mereda karena tak ada sumpah serapah lagi yang keluar dari mulutnya; Chanyeol sudah duduk tenang dengan bahu Kyungsoo sebagai tempatnya menangis.
Chanyeol punya masalah dengan mengontrol emosi–untuk informasi saja.
Kyungsoo mengelus surai hitam Chanyeol; yang sama hitamnya seperti Jongin. Zi Tao terduduk disebelah Jongdae, berkeringat. Dia menghela napas sangat cepat–kekuatan Chanyeol sungguh besar dengan tinggi badan 187 cm itu. Sehun menumpukan kepalanya pada tangannya; memijat pelan dahinya.
Andai saja Sehun menuruti Jongin dan tetap berada di rumah, dia tidak akan sampai tertangkap polisi.
Jongin tak akan melakukan percobaan bunuh diri.
.
.
.
"Kim Jongin koma."
.
.
.
"Ayo hidup bersamaku, Kim Jongin"
.
.
.
TBC
HiHiHi!
Ini adalah fanfic pertama yang saya publish setelah hiatus sekian lama.
Niatnya ceritanya berchapter sih wkwkwk–ini ff berchapter pertama yang saya buat. Biasanya saya nulis cerita oneshoot biar gak gampang kehilangan mood dan cepat end.
Tapi, ya, mood nulis malah muncul di tengah-tengah kesibukan saya menuju hari H berangkat prakerin. Sebenarnya ini draft dari 2014 dan saya putuskan untuk ngerombak HeHeHe, tapi gapapa lah ya, jangan salahkan saya yang gabut dan pada akhirnya nemu ff ini kemudian banyak ide yang muncul di otak cimit ini.
Last,
Review, Please?
