#TheSister
.
.
Melissa menggendong bayi berjenis kelamin perempuan itu. Ditatapnya lekat-lekat si bayi dengan penuh kasih. Tatapan matanya berpaling dari bayi itu ketika dilihatnya sang suami, Rafael, datang sambil menggendong putranya. Senyum Melissa semakin mengembang melihat keduanya. Rafael membawa putranya lebih dekat dengan bayi kecil yang ada di tangan istrinya.
"Scott, ini adikmu," kata Melissa dengan lembut pada putranya yang baru berusia setahun. "Namanya Cavalion. Adikmu cantik, kan, Scott?"
Rafael tersenyum melihat kedua anaknya. Senyum pada wajah Melissa dan Rafael makin mengembang saat tangan kecil Scott terulur pelan untuk memegang pipi merah adiknya.
.
.
Disclaimer: Jeff Davis
Warning: Tidak menjanjikan Lime / Lemon, rated M hanya untuk bahasa yang agak menjurus. Sayangnya ffn tak ada rate T+. Berusaha mengikuti alur canon. Agak Mary-sue. Seperti sinetron.
.
The Sister
Chapter 1
by Fei Mei
.
.
"Val!"
Aku membalikkan tubuhku ke kanan.
"Val!"
Aku membalikkan tubuhku ke kiri.
"Valion!"
Aku menggerutu kesal. Suara itu sangat menggangguku. Aku sedang enak-enaknya tidur, menghabiskan malam terakhir di libur musim panas, tapi malah diganggu. Tidak, sebenarnya ini bukan pertama kalinya suara ini mengganggu tidur nyenyakku.
"Ayo, Val, bangun!"
Lalu aku merasakan sepasang tangan menggoyang-goyang tubuhku. Tunggu, apa? Sepasang tangan? Berarti orang itu ada di dalam kamarku?!
Segera aku membuka kedua mataku, melotot melihat kakakku dan sahabatnya—ia juga sahabatku—ada di samping ranjangku. Stiles, sahabat kakak dan aku, dialah yang memanggil dan memaksaku bangun dari tadi. Mataku langsung melotot dan segera menarik selimut sampai leher.
"Kenapa kalian ada di kamarku?!" bentakku. "Kalian tidak boleh masuk seenaknya ke kamar perempuan!"
"Percayalah, aku sudah mengatakan hal itu padanya sebelum ia membuka pintu kamarmu," kata Scott, kakakku.
Tanpa mempedulikan perkataan kakakku dan mataku yang melotot padanya, Stiles mengajakku dan Scott untuk pergi ke hutan malam ini juga. Ayahnya yang seorang Sheriff mendapat panggilan karena ada ditemukannya mayat perempuan di sana. Yah, Stiles memang sering mendengar setiap panggilan dari kantor untuk ayahnya. Setiap kali ia mendengar panggilan menarik untuk ayahnya, Stiles akan langsung menghubungi kami, atau malah langsung masuk ke rumah kami seenaknya seperti saat ini.
"Yang membuat menarik adalah mayat itu tidak utuh, hanya setengah saja!" kata Stiles.
"Kalian berdua saja yang pergi, aku tidak ikut, mau tidur," ujarku lalu membaringkan tubuh di atas ranjang dan memunggungi kedua pemuda itu.
"Oh ayolah Vaaall!" kata Stiles sambil menggoyangkan tubuhku lagi.
"Sudahlah, Stiles, jangan ganggu dia. Kita berdua saja yang pergi," kata Scott. Bagus, Kak!
Stiles menggerutu pelan sambil beranjak keluar dari kamarku. Tapi Scott tidak langsung keluar, ia membelai kepalaku dulu dan mencium pelan kepalaku sambil bergumam 'mimpi indah, Val', lalu baru keluar kamar dan menutup pintu.
Scott memang sangat memanjakanku, ia memperlakukanku seakan aku gadis super rapuh. Sejak kecil kami memang sudah sangat dekat. Kami tidak kembar, Scott berumur setahun lebih tua dariku—ia dan Stiles seumuran. Sejak papa meninggalkan rumah, mama mengambil jam kerja di rumah sakit lebih banyak dari sebelumnya, dan membuat aku dan Scott sering di rumah berdua saja. Karena kami lebih sering berdua, itu membuat kami makin dekat.
Stiles sudah berteman dengan kami sejak ... sejak kami masih sangat kecil sekali. Dan kami bertiga hampir selalu bersama-sama. Kubilang 'hampir' karena yang selalu bersama-sama adalah Scott dengan Stiles, sedangkan aku kadang bersama seorang temanku yang lain atau menyendiri di perpustakaan.
Untuk beberapa saat, aku bisa tertidur lelap. Tapi sebuah suara membangunkanku. Suara pintu depan yang dibuka, lalu bisa kudengar suara orang yang sedang terengah-engah. Kulirik jam dinding, sudah jam dua dini hari. Mama ambil jam sore, dan biasanya sudah ada di rumah sebelum jam dua belas. Jadi aku bangkit dari ranjang, mengambil dan mengenakan sweter sebelum keluar kamar. Ini musim panas, tapi saat ini aku hanya mengenakan celana pendek dan tank top, tanpa pakaian dalam apa pun, jadi aku tidak berani keluar kamar tanpa pakai sweter ini.
Kubuka pintu kamarku dan melihat Scsot berjalan menaiki tangga dengan terengah-engah. Aku buru-buru menghampirinya dan membantu ia berjalan ke kamarnya. Ia terlihat kesakitan dan memegangi pinggang atas sebelah kanan. Aku langsung berusaha menyingkirkan tangannya biar aku bisa mengangkat kaos itu dan melihat apa yang membuat ia sakit. Tapi Scott menghentikan tanganku dengan satu tangannya yang lain, melarangku untuk melihat apa yang ada di balik kaos.
"Jangan, nanti kau bisa mimpi buruk kalau melihat lukanya," kata Scott sambil agak meringis.
"Aku bukan anak kecil, Scott," kataku sambil memutar bola mataku. "Kumohon biarkan aku melihatnya."
"Tidak," ujarnya. "Kalau ini sudah kubersihkan, baru kau boleh lihat. Sekarang kau pergi ke kamarmu dan tidur."
Sambil agak mendengus, aku mengikuti kata-katanya. Masuk ke kamarku, melepas sweterku, lalu berbaring lagi di atas ranjang. Tapi aku tidak bisa tidur dengan nyenyak sampai pagi hari, mungkin karena aku penasaran akan apa yang ada di balik kaos kakakku.
Ketika sinar matahari mulai masuk lewat jendela kamarku, kuputuskan untuk pergi mandi. Lalu mengenakan blus dan rok selutut yang diberikan seorang temanku yang bernama Lydia sewaktu aku ulangtahun tahun lalu. Oke, sebenarnya pakaian yang dibelikan Lydia itu amat sangat banyak, bahkan mungkin hampir semua yang ada di lemari bajuku itu pemberian dia. Aku tidak memintanya, malah aku hampir selalu menolak. Tapi temanku yang gila fesyen itu sepertinya telah menetapkan agar aku menjadi boneka barbie hidup baginya. Jadilah setelah aku berteman dengannya, ia sesekali datang ke rumahku untuk mengecek lemari bajuku. Dan setiap ia usai mengecek lemari bajuku, sehari atau dua hari kemdian ia akan datang lagi sambil membawa minimal dua kantong kertas berisi pakaian baru. Heran, berapa banyak sih, uang jajannya?
Aku menyisir rambut hitam lurus panjangku. Rambut itu jarang kupotong. Mungkin hanya sekitar beberapa bulan sekali untuk merapikan bentuknya. Tapi aku suka rambutku yang panjangnya sampai hampir sepinggangku ini. Aku jarang pakai yang aneh-aneh di rambutku, paling sering hanya bando dan sejenisnya. Padahal Lydia sangat sering memberiku hiasan rambut seperti ikat rambut, jepit, dan lainnya, walau tahu aku hanya sesekali mengenakannya.
Kurang lebih seperti rambut, aku tidak suka pakai apa-apa di wajahku, bedak dan lipgloss pun tidak, rasanya aneh saja. Lydia sering membawaku untuk pergi belanja, dan aku selalu melarangnya membelikanku kosmetik apa pun, itu berujung pada cemberutnya gadis itu tiap kali mengantarku pulang. Mama juga begitu, ia bilang, harusnya di usiaku ini aku sudah mulai suka merias diri, apalagi anak-anak perempuan di sekitarku itu lebih tua dariku. Setiap ingin ke pesta, mama selalu memaksa memakaikanku riasan wajah, tapi kutolak, dan akhirnya aku mengenakan riasan tipis yang mungkin hasilnya tidak begitu terlihat.
Lebih tua, iya. Umurku memang setahun di bawah Scott, seharusnya aku masih kelas 3 SMP, tapi nyatanya sekarang aku kelas 1 SMA seperti kakakku, sering sekelas dengannya dan atau Stiles serta Lydia di beberapa mata pelajaran malah. Ini terjadi karena sewaktu akhir kelas 1 SD, seorang guru bilang pada pada mama bahwa aku bisa langsung naik ke kelas tiga, jadi tidak naik ke kelas dua. Jadilah sekarang aku adalah murid termuda di angkatanku sekarang. Para gadis seusia Lydia memang sudah senang pakai kosmetik, dan aku yang padahal sering jalan dengannya malah tidak tertarik sama sekali. Aneh.
Setelah melihat cermin sebentar, aku mengambil tas dan buku tulis akuntansiku yang tebal dari atas meja, lalu keluar dari kamar, berjalan menuruni tangga, menemukan mama dan kakakku di meja makan. Aku mencium pipi mama dan Scott sebelum duduk berhadapan dengan semangkuk bubur. Baru aku menyendok bubur di suapan kelima, mama mencium pipiku dan Scott dan bilang kalau ia akan langsung ke rumah sakit, jadilah aku makan berdua dengan kakakku di meja.
Usai sarapan, aku mencuci di westafel sebentar, kemudian kami keluar rumah. Mama membawa mobilnya ke rumah sakit hari ini, berarti aku akan dibonceng Scott dengan sepeda.
.
.
Di sekolah, Scott menyuruhku turun duluan, biar dia sendiri yang mencari tempat untuk memarkir sepedanya. Turun dari sepeda, aku melihat Stiles yang baru turun dari mobil jipnya. Sambil tersenyum aku menghampiri sahabatku itu.
"Pagi, Stiles," sapaku, sambil terus menyunggingkan senyum.
"Pagi Val," balas Stiles, membalas senyumku, berkacak pinggang, memerhatikan penampilanku dari atas sampai bawah. Ia mengangguk sekali, lalu mengacak pelan rambut di puncak kepalaku. "Cantik, seperti biasa."
Oh, Tuhan, Stiles bilang aku cantik! Oke, tidak ingin sombong, tapi itu bukan pertama dan Stiles bukan orang pertama yang bilang aku cantik. Mamaku selalu bilang aku cantik tiap hari, kakakku juga sering bilang begitu, Lydia juga kadang. Tapi semua itu terasa berbeda jika kata pujian itu meluncur dari mulut Stiles. Bagus, kuyakin wajahku agak merona merah sekarang.
Tiba-tiba aku mendengar suara rem mobil. Aku langsung membalikkan tubuh, dan melihat sepeda kakakku baru saja nyaris ditabrak oleh sebuah mobil. Mobil ... mobil apa namanya? Porse? Porch? Entah apa itu, aku tidak pernah bisa mengingat nama dalam dunia otomotif. Tapi aku ingat mobil yang nyaris menabrak sepeda Scott adalah mobil Jackson.
Jackson. Dia adalah kapten tim Lacrosse sekolah, sekaligus pacar Lydia. Dia cukup menyebalkan, dan payah soal akademik. Lydia hampir selalu pura-pura bodoh jika bersama dengan pacarnya itu, katanya biar membuat Jackson merasa dirinya sendiri pintar. Huh, makanya aku selalu malas bersama Lydia jika gadis itu sedang bareng Jackson.
Aku dan Stiles langsung berjalan cepat menghampiri kakakku yang sudah berhasil memastikan sepedanya baik-baik saja. Lalu kami mulai berjalan meninggalkan tempat parkir.
"Aku ingin lihat lukanya," kata Stiles tidak sabar.
Oh, ya, aku sempat lupa kalau dini hari tadi Scott pulang dan merintih sambil memegangi pinggangnya. Lalu kakakku itu mengangkat sedikit kaosnya, memperlihatkan bekas luka yang sudah mengering. Luka itu jelas-jelas tidak terlihat seperti orang yang habis jatuh terpeleset. Itu seperti bekas gigitan, tapi apa yang menggigit dia?
"Aku digigit serigala," ujar Scott, seakan bisa menebak pertanyaan dalam otakku.
"Serigala? Tidak mungkin," kata Stiles.
"Itu benar-benar serigala! Aku bahkan bisa mendengar suaranya kemarin malam!" kata Scott, sambil kami melanjutkan perjalanan kami untuk memasuki gedung sekolah.
"Eh, tidak, kau tidak mendengarnya," ujar Stiles.
"Bagaimana kau bisa bilang begitu? Kau bahkan tidak ada di sana semalam!" ucap kakakku.
"Tunggu, apa?" tanyaku menginterupsi. "Stiles, kau meninggalkan kakakku sendirian di hutan semalam dan membiarkan dia digigit serigala?"
"Pertama, aku meninggalkannya karena amat sangat terpaksa," jawab Stiles. "Kedua, di California tidak pernah ada serigala sejak 60 tahun yang lalu."
Aku menyerngit. Kalau bukan serigala, apa yang menggigit pinggang Scott? Ia ada di sana seorang diri, dia yang digigit, dia yang melihat makhluk yang menyerangnya, dan hanya dia yang mendengar suara serigala. Kupikir Scott cukup pintar untuk membedakan mana serigala dan mana anjing besar, kan?
"Tidak ada hal baik yang terjadi di Beacon Hills sejak—" Stiles berhenti sebentar sebelum kami akan masuk ke gedung sekolah. Kulihat pandangan matanya menatap ke arah belakang, ada Lydia yang sedang berjalan ke arah kami. "—sejak kelahiran Lydia Martin. Hai Lydia, kau tampak—"
"Val! Astaga aku sangat merindukanmu! Ada banyak yang ingin kuceritakan padamu!" pekik Lydia padaku sambil tersenyum lebar dan menggenggam satu tanganku, lalu segera menarikku masuk ke gedung sekolah.
Sebelum aku benar-benar meninggalkan Scott dan Stiles, aku sempat mendengar Stiles berkata '—kau akan tidak mempedulikanku'. Aw, Stiles yang malang. Perkara Stiles Stilinski yang suka pada Lydia sudah bukan rahasia lagi buatku dan Scott. Kami tahu tentang sahabat kami yang selalu suka pada Lydia sejak kelas tiga.
Tidak ada rahasia di antara aku, kakakku, dan Stiles—itulah yang Scott dan Stiles pikir, tetapi tidak bagiku. Ada satu hal tentangku yang tidak diketahui mereka berdua. Jangankan mereka berdua, Lydia atau bahkan mamaku sendiri tidak tahu soal ini. Tidak pernah ada yang tahu soal siapa yang aku suka. Oke, jadi Stiles suka pada Lydia sejak kelas tiga, kan? Tapi aku sudah suka pada Stiles sejak sebelum ia kenal Lydia. Aku selalu suka pada Stiles, dan Stiles selalu suka pada Lydia. Sedangkan Lydia sendiri sedang tergila-gila pada Jackson. Miris.
Aku mulai membuka lokerku dan meletakkan buku akuntansiku ke dalamnya. Setelah itu aku menutup pintu loker dan melihat Lydia yang asyik bercermin di lokernya yang ada tepat di sampingku.
"Jadi siapa dua anak laki-laki tadi?" tanya Lydia, sambil menyisir rambutnya.
"Dua anak laki-laki?" tanyaku bingung, lalu aku pikir mungkin yang ia maksud adalah Scott dan Stiles. "Itu tadi Scott dan Stiles. Scott, kakakku, ingat?"
"Oh, ya, aku lupa," jawab Lydia dengan acuh.
"Kau bilang ada banyak yang ingin kau ceritakan?" kataku.
"Aku akan cerita padamu di kelas nanti," ujarnya, dan aku mengangguk.
Usai merapikan tampilannya, aku dan temanku ini langsung masuk kelas. Di kelas, Lydia langsung menceritakan padaku soal libur musim panasnya di Paris, katanya ia juga membelikanku baju-baju terusan sebagai oleh-oleh, kemudian ia cerita tentang bagaimana Jackson yang lupa mengirim pesan padanya sekali—menurutku Lydia agak berlebihan marah akan hal ini—, tentang anjing piaraannya yakni Prada yang sempat mogok makan ketika ia pulang dari Paris, dan sebagainya. Aku mendengarkan semua cerita Lydia tanpa memberi komentar apa-apa, lagipula dia sendiri tidak memberiku waktu untuk berkomentar.
Ketika bel sekolah berbunyi, guru kami masuk ke dalam kelas dan membawa seorang gadis masuk. Rambutnya hitam dan agak bergelombang. Tubuhnya tinggi dan langsing. Parasnya cantik dan kulitnya putih bersih. Guru kami memperkenalkan gadis itu sebagai murid baru, namanya Allison Argent. Aku melirik kakakku, dan agak sedikit terkekeh melihat Scott tidak bisa melepaskan pandangan matanya dari Allison.
Usai kelas, Lydia menarikku untuk menghampiri si anak baru. Gadis baru itu sedang mengambil barang di lokernya ketika kami mendatanginya. Lydia memuji jaket yang dipakai Allison serta bertanya di mana ia beli jaket itu. Allison bilang bahwa mamanya membelikan jaket itu di salah satu butik di San Fransisco.
"Oh, bagus, kalau begitu kau menjadi sahabatku," kata Lydia. "Namaku Lydia. Dan ini sahabatku sejak kelas tiga, namanya Val."
"Hai," ujarku pelan, sambil tersenyum.
"Val? Kependekan dari Valerie?" tanya Allison.
Baru saja aku akan membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Allison, Lydia mengeluarkan suaranya lebih dulu. "Bukan, Val itu hanya nama panggilan, soalnya nama aslinya dia itu sulit diucapkan."
"Oh? Memangnya apa?" tanya Allison.
"Bagaimana kalau kau memperlihatkan sampul salah satu bukumu, Val, perlihatkan tulisan namamu pada Allison. Kalau dia bisa langsung membaca namamu dengan cara yang benar, aku janji akan membelikanmu lima baju terusan yang super mahal besok," tantang Lydia.
Aku menyengir kecil. Huh, tentu saja Lydia berani memberi tantangan seperti itu. Pasalnya, pertama memang Lydia sudah sering membelikanku baju, jadinya aku tidak merasa terkejut kalau dengar ia akan membelikanku baju. Kedua, nyatanya memang belum pernah ada orang yang dapat langsung bisa membaca namaku dengan benar kalau belum diberitahu bagaimana cara bacanya. Tapi aku tetap mengeluarkan salah satu buku dari dalam tasku, memperlihatkan tulisan 'Cavalion McCall' pada Allison.
"Hmm," gumam si anak baru sebelum ia membacanya. "Oke ... uh... jadi 'Cuff', 'Val', 'Lee', dan 'On' yang ada pada 'liON—singa'."
Mataku membulat sempurna dan tersenyum takjub. Kulirik Lydia yang mulutnya menganga karena kaget.
"Jangan lupa, Lyds, lima terusan besok," ujarku sambil menyengir dan menepuk bahu temanku.
"Oh, jadi tadi itu benar?" tanya Allison.
"Yah, begitulah. Dan karena namanya agak aneh, jadi aku hanya memperkenalkan diri pada orang lain sebagai 'Val'," jawabku.
Setelah itu Jackson datang dan langsung mencumbu mulut Lydia. Aku memutar kedua bola mataku. Kulihat Allison agak sedikit tercengang, kupikir itu pertama kalinya ia menyaksikan hal ini. Tapi diam-diam aku melirik Jackson dan Lydia, sambil agak membayangkan jika itu adalah aku dengan Stiles. Hell, mimpi macam itu.
Agak risih, aku undur diri dari mereka. Melempar senyum kecil pada Allison, dan berjalan menuju Scott dan Stiles yang tidak jauh dari loker Allison.
"Melarikan diri dari Lydia dan Jackson?" goda Stiles.
Aku mengangkat bahu, tidak berniat melirik pada pasangan yang masih bersama Allison itu. Tetapi mataku tiba-tiba menangkap wajah Stiles. Kulihat pandangan matanya kini tertuju pada Lydia. Aku tahu ia pasti sedang membayangkan bahwa dirinyalah yang sedang bersama gadis. Jadi risih dengan pikiranku sendiri, kupikir aku harus menenangkan diri di perpustakaan. Jadi sekali lagi aku mengundurkan diri, kali ini pada Scott dan Stiles, bilang kalau aku akan menunggu mereka latihan Lacrosse di ruangan penuh buku itu.
.
.
Sudah tiga buku ada di tanganku. Buku-buku itu baru kuambil dari rak. Ketiganya adalah buku kimia, mata pelajaran favoritku. Setiap minggu selalu ada buku-buku baru di perpustakaan. Dan karena aku adalah salah satu pengunjung setia perpustakaan sekolah, petugas perpustakaan selalu memberiku (dan pengunjung setia lainnya) daftar buku-buku baru tiap minggunya. Walau pun sekolah libur, tapi di perpustakaan selalu ada sekardus penuh dan bahkan lebih buku baru tiap minggu, sayangnya sekolah tutup waktu libur jadinya aku tidak bisa mendatangi ruangan ini. Karena ini hari pertama masuk sekolah setelah libur, daftar buku baru yang diberikan si petugas jadi berkali lipat dari biasanya.
Beberapa buku baru yang ada di daftar, ada sekitar 10 buku tentang kimia. Peraturan di perpustakaan sekolah ini mengatakan maksimal peminjaman buku sebanyak empat buah. Huh, menyebalkan.
Setelah ada empat buku kimia di tanganku, aku segera mencari meja dan kursi kosong. Aku mulai membaca salah satu buku yang kuambil. Baru sampai di halaman ketujuh, seseorang berdiri di depan mejaku. Itu adalah si guru kimia sendiri, Mr Harris.
"Miss McCall," ujarnya sambil menyerngit, melihat buku yang sedang kubaca. "Kimia?"
"Oh, uh, selamat siang, Mr Harris," sapaku dengan gugup dan berdiri dari kursiku. "Eh, ya, kimia. Saya senang baca buku dan pelajaran kimia. Kebetulan ada beberapa buku kimia baru di perpustakaan, jadi saya pinjam di sini."
"Hm, pantas kau selalu dapat nilai bagus di kelasku," katanya dengan wajah datar. "Ada yang tidak kau mengerti tentang yang kau baca?"
"Tidak, saya baru mulai baca buku ini dan belum menemukan hal yang membingungkan," jawabku jujur dan tersenyum sangat gugup.
"Kalau ada yang tidak kau mengerti, kau bisa langsung tanya padaku," ujar Mr Harris.
Aku mengangguk pelan, mengucapkan terimakasih sambil terus tersenyum. Mr Harris lalu meninggalkan mejaku dan berjalan keluar dari perpustakaan. Segera setelahnya aku menghembus nafas berat. Sungguh, sepertinya daritadi aku sedang menahan nafas sewaktu berbicara dengan Mr Harris.
Mr Harris bukanlah guru favorit di sekolah ini. Astaga, bahkan kupikir tidak ada satu pun murid di Beacon Hills yang menjadikan ia sebagai guru favorit! Aku memang senang kimia, tapi bukan berarti Mr Harris adalah guru favoritku. Ia sarkastik, jauh lebih sarkastik daripada Stiles. Sangat pelit nilai, selalu berwajah datar seakan ia memang tidak punya ekspresi wajah yang lain. Makanya aku jadi agak kaget karena barusan ia menanyakan kesulitanku akan buku yang kubaca. Mungkin sebenarnya ia guru yang baik, tapi aku tidak ingin memusingkannya.
"Kau berhasil menjinakkan si Harris?"
Pertanyaan itu ditujukan padaku. Suaranya agak asing, dan berasal dari belakang kursiku. Aku menoleh ke belakang dan melihat seorang pemuda yang agak tinggi, berkulit gelap, dan mungkin seumuran kakakku. Ia sedang membawa sebuah buku di tangannya, dan wajahnya menatap heran padaku.
"Menjinakkan?" ujarku.
"Iya, yang tadi itu, kenapa dia bisa jinak begitu?" tanya pemuda itu.
"Uh, entah. Dan 'jinak' adalah kata yang lebih tepat digunakan pada hewan," kataku.
Ia mengangguk, tapi tampangnya seakan ia tak peduli. Lalu ia mengulurkan tangan kanannya padaku. "Vernon Boyd. Kau?"
"Val McCall," ujarku sambil menyambut tangan kanannya.
Tanpa kuundang atau kuajak, Boyd duduk di kursi di sebelahku. Ia mengajakku mengobrol soal buku. Fiksi maupun nonfiksi, kami membicarakan semua yang kami sama-sama tahu. Aku tidak ingin bilang bahwa mengobrol dengan Scott dan Stiles itu membosankan, mereka sama sekali tidak membosankan. Tapi rasanya enak bisa mengobrol dengan anak laki-laki lain selain mereka berdua. Aku tidak pernah mengobrol dengan pemuda lain selain Scott dan Stiles, paling hanya Danny. Berarti Boyd adalah anak laki-laki kedua setelah Danny yang berhasil mengobrol denganku.
Saat sedang seru-serunya mengobrol, tiba-tiba ponselku bergetar. Scott mengirimi pesan padaku. Katanya, ia dan Stiles sudah selesai latihan dan mereka akan menungguku di tempat parkir. Aku segera berdiri dan merapikan buku-buku itu, pamit pada Boyd, membawa empat buku kimia yang kuambil dari rak ke petugas perpustakaan untuk ditandai. Lalu aku langsung berjalan cepat ke tempat parkir sambil membawa keempat buku yang kupinjam.
Belum sampai di tempat parkir, aku sudah bertemu dengan Scott dan Stiles di halaman. Aku tersenyum kepada mereka berdua. Stiles membalas senyumanku, tapi wajah kakakku terlihat cemas. Walau begitu, Scott tetap merangkul pundakku dan mencium pelan keningku. Ia sering melakukannya kalau tidak bertemu denganku lebih dari dua jam. Tapi aku selalu mengingatkannya untuk tidak melakukannya kalau kami sedang di dalam gedung sekolah.
"Kau harusnya lihat saat latihan Lacrosse tadi, Val!" seru Stiles senang.
"Apa? Apa yang terjadi?" tanyaku, menatap kedua remaja laki-laki ini bergantian.
"Kakakmu ini tadi bermain dengan sangat baik!" jawab Stiles.
"Sungguh?!" tanyaku pada Scott, memastikan.
"Yah, aku juga tidak mengerti. Pokoknya indra-indraku jadi lebih baik. Bahkan aku bisa mencium bau permen karet Mint Mojito dari saku Stiles," ujar Scott.
"Aku tidak punya—" Stiles merogoh sakunya dan mengeluarkan permen karet Mint Mojito dari saku, menatap heran pada benda itu. "Oke, jadi semua itu bermula dari gigitan di pinggangmu?"
Stiles lalu mulai bilang soal Lycanthropy, dan becanda soal kakakku yang mungkin digigit oleh manusia serigala. Lebih lagi, Stiles bilang kalau Scott akan jadi manusia serigala.
Kemudian Scott bilang bahwa semalam ia menemukan mayat yang dibilang Stiles kemarin malam. Berarti semalam Stiles tidak melihat mayat itu, hanya Scott. Dan ia bilang lagi kalau Inhaler miliknya terjatuh di hutan saat diserang oleh makhluk yang menggigitnya. Lalu Scott memintaku dan Stiles membantunya untuk mencari benda itu.
Scott punya asma. Aku, mama, dan papa tidak punya asma, hanya Scott. Jadi kemana pun ia pergi, Scott harus membawa benda itu untuk berjaga-jaga. Dan mungkin karena ia punya asma itu, ia jadi tidak pernah bisa bermain sebagai pemain inti di tim Lacrosse.
Jadi aku naik jip Stiles, sedangkan kakakku mengayuh sepedanya sampai ke hutan. Ada tiga alasan aku naik jip dan tidak dibonceng kakakku. Pertama karena Stiles yang menawariku untuk ikut jipnya, ia kasihan melihatku yang membawa banyak buku di tanganku. Bagus Stiles, tolong jangan buat aku makin suka padamu. Kedua karena memang kakakku yang menyuruh aku menerima tawaran Stiles, katanya ia kasihan kalau melihat aku yang pakai rok harus naik sepeda. Yang ketiga karena aku juga yang mau, aku tidak mau panas-panasan di bawah matahari kalau naik sepeda.
Sampai di tempat tujuan, aku menaruh buku dan tasku di jip Stiles, lalu ikut jalan bersama dengan kedua pemuda itu ke dalam hutan. Aku menitipkan ponselku pada Scott karena aku tidak punya saku di rokku. Lalu kakakku membawa kami ke tempat di mana ia menemukkan mayat itu, sekaligus tempat ia diserang. Tetapi di sana tidak ada mayat apa-apa, jadi kami berpikir mayat itu sudah dipindahkan oleh si pelaku. Scott mulai berlutut dan menyingkirkan daun-daun yang menutupi tanah, berusaha menemukan Inhaler miliknya.
Aku tidak mau ikut berlutut, tidak ingin membuat lututku kotor. Tapi aku tetap membantunya mencari, menyingkirkan daun-daun yang ada dengan menyepakkan kakiku. Sampai suatu ketika aku merasakan ada seseorang berdiri sangat tidak jauh dari hadapanku. Kudongakkan kepalaku, melihat pada orang itu.
Ia adalah seorang laki-laki, pasti lebih tua dari Scott, dan berpakaian serba gelap. Tubuhnya tinggi dan tegap, tapi kupikir normal untuk usianya. Wajahnya ... yah, aku tidak bisa bilang kalau ia tampan. Tapi wajahnya itu sangat menawan menurutku, dan cukup mengintimidasi. Kedua bola matanya yang berwarna hijau itu menatapku lekat-lekat. Mungkin telah puas menatapku, ia melihat pada yang ada di belakangku, berarti pada Scott dan Stiles.
"Apa yang kalian lakukan di sini?!" tanya laki-laki itu dengan suara lantang. "Ini adalah properti pribadi!"
Dengan perlahan aku melangkah mundur, kembali pada kakakku. Lalu Stiles bilang, "Maaf, Bung, kami tidak tahu."
"Kami sedang mencari, ah, sudahlah," kata kakakku.
Laki-laki itu kemudian melemparkan sesuatu, dan ditangkap baik oleh Scott. Itu adalah Inhaler miliknya. Scott langsung menarikku dan Stiles menyingkir dari tempat itu. Aku masih menyempatkan diri melirik ke belakang, ke laki-laki itu, yang ternyata masih menatap kepergian kami.
"Itu Derek Hale!" pekik Stiles pelan ketika kami sudah dekat dengan jip Stiles. "Kalian ingat? Rumahnya terbakar sekitar sepuluh tahun lalu!"
"Maksudmu, enam tahun lalu?" tanyaku, mengoreksi pernyataan Stiles.
"Hanya beda sedikit, dan kenapa kau bisa ingat kalau yang benar itu enam?" tanya Stiles. Dan baru aku akan menjawab pertanyaannya, ia langsung menjawab pertanyaannya sendiri. "Aku lupa kau sangat jago menghapal angka. Dan aku jadi kepikiran apa yang membuat Derek Hale itu kembali ke sini lagi."
Tiba-tiba Scott merogoh saku celananya. Ia meraih ponselku dan menyerahkan padaku. "Ada pesan masuk."
Aku mengucapkan terimakasih pada kakakku, dan membuka pesan itu.
'Dari Selena
Val, bisa tolong gantikan aku untuk shift sore ini? Aku tidak enak badan. Akan kuganti shift-ku besok biar kau bisa libur!'
Agak mendesah kecil, aku membalas pesan itu dengan 'baiklah'.
"Ada apa?" tanya Scott.
"Selena, dia ingin aku gantikan dia sore ini di cafe, sebagai gantinya ia kan mengerjakan shift-ku besok sore, biar aku tidak usah datang ke cafe besok," jawabku.
"Berarti besok kau libur?" tanya Stiles dan aku mengangguk. "Bukannya itu bagus? Maksudku, jadinya kau bisa ke pesta Lydia besok malam!"
"Justru aku bisa menjadikan cafe sebagai alasan aku tidak datang, Stiles," jawabku. "Lydia selalu mendorong anak laki-laki padaku, katanya agar aku bisa segera punya pacar dan kami bisa double date. Tapi tidak ada yang membuatku tertarik, dan lama-lama aku jadi malas ke pesta kalau ada Lydia."
"Kalau begitu, kau tinggal bawa teman laki-lakimu ke pesta, biar Lydia jangan menjodohkanmu dengan siapa-siapa," usul Scott.
"Usul bagus, Scott. Masalahnya sekarang, mau bawa siapa?" kataku, sempat memutar bola mataku. "Kalau aku membawamu, kau adalah kakakku dan Lydia akan tetap memperkenalkan aku pada sejumlah anak laki-laki."
"Bagaimana kalau kau datang denganku?" tawar Stiles sambil tersenyum.
Oh tidak, apa telingaku masih berfungsi dengan baik? Stiles menawariku untuk pergi ke pesta bersama dengannya?! Astaga, aku bisa pingsan saking senangnya! Tapi ...
"Kau hanya ingin ke pesta itu agar bisa bertemu Lydia, kan?" tebakku, memaksakan senyum.
"Kau memang yang paling tahu," jawab Stiles sambil menyengir.
Dia benar-benar tidak tahu apa-apa, si Stiles itu. Senyum yang kupaksakan itu memudar. Ingin rasanya aku meninggalkan mereka berdua secepatnya. Aku merasa tidak nyaman. Tapi selanjutnya Stiles menawari untuk mengantarku ke cafe, dan kuterima tawaran itu karena Scott tidak bisa mengantarku, ia harus ke klinik hewan.
.
.
Sampai di cafe tempat aku bekerja, aku mengambil tas dan buku-bukuku, mengucapkan terimakasih pada Stiles dan turun dari mobil. Aku masuk ke dalam cafe lewat pintu belakang, seperti sebagaimana para pekerja lainnya. Daisy, pemilik cafe ini langsung menyambutku, ia minta maaf karena aku tiba-tiba dihubungi untuk kerja, padahal hari ini bukan shift-ku. Kubilang padanya agar tidak terlalu mempermasalahkan itu, dan mulai mengambil seragam kerjaku di loker.
Usai berganti baju, aku segera mengambil nampan di dapur, dan berjalan ke depan, menyambut tamu.
Tidak banyak tamu yang datang hari ini. Yah, shift-ku memang bukan hari ini, jadi aku memang tidak tahu berapa banyak biasanya orang berkunjung. Shift yang ditentukan Daisy memang agak unik, ia memberi kami jadwal berupa tanggal-tanggal, jadi ia akan memberi jadwal baru setiap bulan.
Bunyi bel tanda adanya tamu yang masuk ke dalam cafe berbunyi. Kebetulan aku baru mengantarkan pesanan di meja yang ada di dekat pintu masuk. Jadi aku menghadap pintu untuk menyambut tamu itu.
"Selamat datang—oh," ucapku, tapi terhenti begitu melihat siapa yang datang.
Tamu yang baru datang ini adalah laki-laki yang tadi kutemui saat di hutan. Derek Hale. Apa dia sebenarnya sering datang ke cafe ini, tapi aku tidak pernah bertemu dengannya karena saat ia datang itu bukan shift-ku? Bola matanya yang berwarna hijau itu menatap padaku, dan wajahnya tanpa ekspresi.
"Uh," gumamku, berusaha mendapatkan suaraku lagi. "Meja untuk satu orang?"
Derek Hale mengangguk. Kuantar dia pada salah satu meja kosong yang sudah dibersihkan. Ia duduk dikursi dan mulai melihat daftar menu.
"Kalau kau sudah siap pesan, silakan panggil salah satu pelayan," kataku, berusaha tersenyum ramah—seperti yang kulakukan pada semua pengunjung.
Baru saja aku akan melangkahkan kaki meninggalkan mejanya, ia menghentikanku dengan suaranya. "Tunggu. Kau tetap di sini sampai aku memutuskan ingin pesan apa. Aku tidak ingin pelayan yang lain."
Aku tercengang. Apa aku tidak salah dengar? Mengerjapkan mata beberapa kali, akhirnya aku menuruti perkataannya. Aku berdiri di samping mejanya, menunggu dengan sabar. Sekitar dua menit kemudian ia menyebutkan pesanannya. Aku meninggalkan meja Derek Hale, ingin beranjak menuju dapur.
Baru melewati satu meja di depan meja Hale, seorang pengunjung memintaku untuk mengisi gelasnya dengan air mineral. Aku tersenyum dan mengambil gelas yang kosong. Ketika aku akan meninggalkan meja itu, aku terhenti, tubuhku menegang dan agak berkeringat dingin. Aku bisa merasakan tangan seseorang memegang pantatku. Kucurigai si pelaku adalah orang yang memintaku mengisi air di gelasnya. Tapi aku tidak berani menoleh melihat orang itu. Lagi pula sekalipun aku menoleh, apa yang bisa kuperbuat? Kulihat teman-teman orang yang gelasnya minta kuisi itu menyeringai di kursi masing-masing, dan aku memekik pelan dalam hati saat kurasakan tangan itu meremas keras pantatku. Lalu tiba-tiba—
"Argh!"
Itu bukan pekikanku, tapi si cabul. Tangannya tidak lagi di pantatku. Teman-teman orang itu menatap ngeri. Aku menoleh ke belakang, melihat Derek Hale sedang mencengkeram tangan si pelaku. Si pelaku berdiri untuk menghajar Hale dengan tangan satu yang masih bebas. Tetapi Hale bisa menangkap tangan yang ingin menghajarnya. Sebagai gantinya Hale malah menonjok pipi orang itu. Teman-teman si pelaku langsung berdiri, entah untuk mengeroyok Hale atau untuk membawa kabur teman mereka. Orang-orang di cafe jadi pada ribut dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.
Seorang teman si pelaku dengan tidak sengaja menabrakku saat ingin menghampiri temannya, itu membuatku terjatuh di lantai dan gelas yang kupegang tadi ikut jatuh dan pecah. Daisy buru-buru keluar dari dapur, dan dengan galak mengusir orang cabul itu dan teman-temannya dari cafe, serta mengancam akan menelepon polisi jika ia melihat mereka lagi.
"Vaaall ... kau tidak apa-apa?" tanya Daisy sambil membantuku untuk bangun dari lantai.
"Aku tidak apa-apa, hanya, eh, terjatuh," jawabku pelan, memaksakan senyum. Lalu aku menoleh pada Hale yang sedang memerhatikanku. "Terima kasih sudah menolongku."
Ketika aku menoleh pada Daisy lagi, kulihat ia tersenyum lebar lalu membisikkan sesuatu padaku, "Kau bertemu dengan pangeranmu!"
Mataku membulat dan agak melotot pada Daisy. Wanita yang sebenarnya sudah berusia nyaris kepala empat itu terkekeh senang. "Hei, kau bisa tolong bantu Val membereskan pecahan gelas ini? Aku akan mengambil pengki."
Kulihat Hale mengangguk. Daisy pergi ke dapur dengan perlahan. Sial, dia pasti sengaja akan berlelet-lelet di dapur!
Hale segera memungut serpihan gelas di lantai. Aku buru-buru bertelut untuk mengambil pecahannya juga.
"Tidak apa, aku bisa sendiri, kau kembali ke kursimu saja," ujarku.
"Secara tidak langsung, ini salahku juga," katanya.
Aku menyempatkan mataku untuk melirik padanya sembari memungut pecahan gelas. Sialnya, karena tidak begitu memerhatikan lantai, jari telunjukku malah tertusuk beling.
"Argh!" pekikku pelan.
Kuangkat jari itu dan melihat beling yang kecil itu masih menancap di jariku, sedang jari yang tertusuk itu mulai mengeluarkan cairan merah yang bernama darah. Tiba-tiba kurasakan tangan Hale menarik tanganku. Kuperhatikan dia meneliti jariku, mungkin ia mencari posisi yang tepat untuk mengambil beling di jariku.
"Tahan sedikit," ujarnya pelan, dan aku mengangguk.
Hale langsung menarik beling itu sampai keluar dari jariku. Agak kaget, tapi ternyata tidak sesakit yang kukira. Darah masih mengalir dengan sangat pelan. Tiba-tiba pria yang kutemui di hutan beberapa jam lalu ini memasukkan bagian jariku yang berdarah ke dalam mulutnya. Nafasku menjadi sesak ketika ia mulai mengisap jariku, lebih lagi saat kurasakan lidahnya menjilat jariku.
"Sudah," katanya, lalu melepaskan jariku.
"Vaaall ... maaf lama!" tiba-tiba Daisy datang sambil membawa pengki. Huh, benar kan, harusnya ia tidak perlu selama itu mengambilnya!
Daisy menyuruh Hale untuk kembali ke kursinya, lalu ia dan aku membersihkan lantai. Usai itu, kami ke dapur. Aku memberitahukan kepada koki kami soal pesanan Derek Hale.
"Val, kalau kau ingin pulang lebih awal, boleh kok," kata Daisy, perhatian. "Maksudku, kau pasti cukup ketakutan tadi."
"Aku tidak apa-apa, sungguh," ujarku sambil tersenyum.
Sang manajer membalas senyumku dan aku kembali bekerja sampai Daisy memutuskan untuk menutup cafe-nya untuk hari ini.
Aku langsung mengganti baju, mengambil tas dan bukuku dari dalam loker, berpamitan dengan para pekerja, lalu keluar lewat pintu belakang. Saat keluar dari gang samping cafe, aku melihat sebuah mobil hitam terparkir di tempat parkir cafe. Seseorang bersandar di mobil itu. Aku tidak dapat melihat siapa dia, tapi ketika berjalan mendekatinya, aku baru bisa melihat bahwa orang itu adalah Derek Hale.
"Hale," ujarku pelan.
"Oh, kau sudah selesai?" tanyanya.
"Ya, baru saja selesai. Kau sedang apa?"
"Aku akan mengantarmu pulang," jawab Hale. "Tidak baik gadis muda pulang sendiri di malam hari."
"Ya, tapi tidak baik juga jika seorang gadis muda pulang di malam hari bersama dengan orang yang tidak dikenalnya," kataku sambil menyunggingkan senyum kecil.
"Oh, tapi tampaknya kau mengenalku, buktinya kau tahu namaku Hale," ujarnya.
Aku terkekeh pelan. "Aku hanya tahu namamu, bukan berarti aku mengenalmu. Bagaimana aku bisa tahu kalau aku akan aman pulang denganmu?"
"Mungkin kau lupa, tapi akulah yang menolongmu dari orang cabul itu tadi," jawab Hale.
Dan aku bersumpah, aku melihatnya menyunggingkan senyum kecil!
Derek Hale segera mengambil buku-buku kimia yang ada di tanganku, lalu membuka pintu mobil, menyuruhku masuk. Aku tersenyum, menyerah, dan akhirnya masuk mobil itu. Ia mengembalikan buku-buku yang tadi ia ambil dariku, lalu menutup pintu. Selanjutnya ia masuk ke dalam mobil juga dan mulai mengendarai mobil setelah aku menyebutkan alamat rumah. Baru saja kami keluar dari tempat parkir, hujan besar turun.
"Kau sering mendapat pelecehan seperti tadi di sana?" tanya Hale tiba-tiba.
"Tidak sering ... hanya sesekali ..." akuku.
"Apa yang biasanya terjadi, hm? Kau membiarkan mereka meremas pantatmu sampai mereka puas?" tanya Hale dengan garang, dan aku tidak mengerti kenapa malah ia yang marah.
"Tidak, ada Daisy. Dia sabuk hitam karate. Kalau ada yang melakukan macam-macam pada salah satu dari kami, Daisy selalu bisa memberi pelajaran pada mereka. Kadang ia agak telat datang sih, seperti tadi," jelasku.
"Scott dan ibumu tahu soal ini?" tanya Hale.
Aku jadi merasa sedang diinterogasi. Tapi, tunggu dulu. Scott? Bagaimana ia bisa tahu kalau aku punya relasi dengan Scott? Terlebih lagi, bagaimana ia bisa tahu nama itu?
"Scott?" tanyaku balik.
"Dia kakakmu, kan?" tanyanya lagi.
"Kau tahu dari mana?" tanyaku lagi.
"Aku lihat bagaimana sikap kalian di hutan tadi siang, dan sempat mendengarmu menyebut nama Scott dan Stiles," jawab Hale. "Jadi, mereka tahu?"
"Tidak," jawabku. "Tidak boleh ada yang tahu."
"Kau harus segera keluar dari pekerjaan itu," kata Hale setelah ia menghela nafas berat.
"Aku tidak bisa, aku harus bantu Scott dan mamaku," ujarku. "Setidaknya aku tidak boleh membiarkan mamaku mengambil jam kerja lebih banyak lagi."
Lagi-lagi Hale menghela nafas berat. "Kau kerja di cafe itu setiap hari apa?"
Kusebutkan tanggal-tanggal yang menjadi jadwalku bulan ini.
"Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja di sana," kata Hale, ia menatapku dengan lembut sesaat, lalu matanya kembali melihat ke jalanan. "Omong-omong, kau tidak menyebutkan tanggal hari ini."
"Aku menggantikan temanku, jadinya besok aku libur," jawabku.
Hale mengangguk dan keheningan pun tercipta di dalam mobil. Hujan yang besar perlahan reda, dan ketika mobil Hale sampai di depan rumahku, hujan sudah benar-benar berhenti. Aku melepaskan sabuk pengaman, mendekap erat buku-buku kimia dan membawa tasku. Sebelum membuka pintu mobil dan keluar, aku mengucapkan terimakasih pada Hale, dan ia membalasnya dengan anggukan.
.
.
Keesokan harinya, aku terbangun lebih awal dari biasa, jadinya aku pun selesai siap-siap ke sekolah lebih awal. Saat aku turun ke lantai satu, tepatnya ke dapur, di sana masih belum ada orang. Kupikir wajar, sih, mama mungkin masih tidur, sedangkan Scott mungkin baru mulai mandi.
Tapi tiba-tiba aku mendengar suara pintu depan terbuka. Pagi-pagi ada tamu? Tidak, tidak mungkin tamu, tidak sopan sekali jika tamu itu datang dan langsung buka pintu sendiri tanpa mengetuk. Jadi aku keluar dari dapur untuk melihat siapa yang datang.
"Scott?" gumamku pelan ketika melihat siapa yang datang.
Hanya dengan mengenakan celana panjang yang agak basah, kakakku itu masuk ke dalam rumah. Tubuhnya basah, entah habis menyebur di kolam atau memang itu keringatnya. Oke, aku tahu kakakku sangat ingin main sebagai pemain inti tim Lacrosse sekolah, tapi bukan berarti ia akan lari pagi sebagai latihan stamina, kan? Ia tidak pernah lari pagi sebelumnya.
"Hei," gumam Scott dengan agak gugup.
"Kau habis dari mana? Lari pagi?" tanyaku.
"Berjalan sambil tidur, sejauh tiga mil, aku terbangun di hutan tadi," jawab Scott sambil menggelengkan kepalanya.
"Tiga mil?!" pekikku.
"Uh, aku akan segera mandi, biar kita tidak terlambat, oke?" ujarnya, lalu dengan cepat mencium pipiku.
Mungkin sekitar dua puluh menit kemudian kakakku masuk ke dapur dan memakan sereal dengan cepat-cepat. Setelahnya ia memboncengku ke sekolah dengan sepeda.
Kelas-kelas hari ini berjalan dengan cepat. Usai sekolah, Lydia menangkapku yang akan pergi ke perpustakaan—kupikir aku akan menunggu Scott dan Stiles yang akan latihan dengan pergi ke ruangan penuh buku itu seperti biasa. Lydia bilang ia akan memenuhi janjinya untuk membelikanku lima baju terusan, apalagi malam ini akan ada pesta di rumahnya, ia ingin aku mengenakan baju baru yang akan ia belikan. Jadi aku mengirim pesan ke ponsel Scott kalau aku akan pergi belanja dengan Lydia.
Lydia membawaku ke mall. Di sana ia tidak membiarkanku memilih baju sendiri, ia langsung mengambil banyak baju dari rak. Mungkin setelah ia mengambil sekitar dua puluh gaun, ia baru menyuruhku memilih lima. Tetapi tidak ada yang ingin kupilih. Semua gaun yang dipilihkan temanku ini memang manis-manis, tapi terlalu terbuka. Ada lagi yang bagian atasnya tidak terbuka, tetapi bawahnya begitu pendek. Huh, benar-benar khas Lydia.
Temanku itu cemberut karena ternyata pakaian-pakaian pilihannya tidak ada yang menarik buatku. Kubilang padanya biar 'hutang lima terusan' itu dibatalkan saja, tapi Lydia bersikeras karena sudah berjanji. Jadi sebagai gantinya aku bilang padanya kalau aku akan memilih lima pakaian lain. Jadi aku memutuskan untuk memilih sepotong gaun untuk mama, setelan jas untuk Scott, sepotong kemeja untuk Stiles, dan dua baju terusan untukku.
Ketika sedang di kasir, ponselku bergetar. Aku merogoh ponselku dari dalam tas, melihat ada pesan masuk dari Stiles.
'Dari Stiles
Hei, hari ini bagaimana? Pestanya, maksudku.'
Kulirik Lydia yang sedang membayar belanjaanku. Aku tidak berani membayangkan bagaimana reaksinya jika kubilang aku tidak mau datang. Jadi pada akhirnya aku memutuskan untuk menerima tawaran Stiles waktu kemarin.
'Kepada Stiles
Hei. Baiklah. Jemput aku jam tujuh nanti malam?'
Tidak sampai semenit, Stiles membalas pesanku.
'Dari Stiles
Jam tujuh. Sip.'
Setelah itu Lydia mengantarku pulang dengan mobilnya. Habis mengucapkan terimakasih dan sampai jumpa, aku turun sambil membawa kantong belanjaan. Hari sudah sore, berarti aku harus segera bersiap-siap.
Masuk ke rumah, aku langsung naik ke lantai dua, melihat mama ada di depan kamar Scott yang pintunya terbuka. Aku bahkan mendengar mama menggoda kakakku dengan bertanya 'mau pergi ke pesta atau kencan'.
Aku tersenyum mendengarnya, dan memutuskan untuk menyapa mereka. "Aku pulang, Ma."
Mama menoleh lalu tersenyum melihatku. "Putri mama sudah pulang. Kau habis belanja apa?"
"Beberapa baju. Lydia yang membayar semuanya gara-gara kalah taruhan," jawabku sambil agak tertawa.
"Taruhan?" tanya mama sambil mengangkat alis.
"Di sekolah ada anak baru, saat aku dan Lydia berkenalan dengannya, anak itu menanyakan nama panjangku. Lydia bilang kalau anak baru itu bisa membaca nama lengkapku dengan ejaan yang benar, ia akan membelikan lima potong baju. Dan ternyata anak itu bisa membaca namaku dengan benar," jelasku, dan mama agak tertawa. "Omong-omong, anak baru itulah yang jadi pasangan kencan Scott malam ini."
"Val!" seru kakakku.
"Siapa namanya?" tanya mama.
"Allison. Dia sangat cantik," jawabku. Lalu aku mengambil satu kantong baju untuk mamaku. "Ini untukmu, Ma. Lydia sebenarnya berjanji membelikanku lima terusan. Tapi pada akhirnya aku hanya pilih dua terusan untukku. Lalu aku pilih satu gaun untukmu, satu stel jas untuk Scott dan kemeja untuk Stiles."
Setelah kuberikan satu kantong untuk mama, aku memberikan satu kantong yang lain untuk Scott. Mama mencium pipiku dan memelukku dengan sangat erat. Setelah itu aku undur diri untuk bersiap-siap.
Di kamar, aku langsung menaruh belanjaanku di samping ranjang, setelahnya mandi. Keluar dari kamar mandi dan masih berbalut handuk, kulihat mama sudah duduk di atas ranjangku.
"Kau akan pakai gaun yang mana? Yang baru?" tanya mamaku.
"Iya. Lydia akan mengomel kalau aku tidak pergi ke pestanya mengenakan salah satu terusan yang ia belikan," jawabku.
Aku mengambil dua terusan yang ada di dalam kantong. Yang satu berwarna hitam, yang satu berwarna biru tua. Keduanya warna kesukaanku. Mama berpendapat kalau malam ini aku lebih pantas memakai yang warna biru tua, karena menurutnya model yang satu itu lebih simpel, dan lagi yang akan kuhadiri ini hanya pesta rumah biasa. Jadi aku mengambil yang biru tua dan memakainya.
Mama memujiku ketika aku sudah mengenakan yang ia pilih. "Aku tidak ingat kalau putriku sudah remaja," katanya sambil menyengir. "Jadi, siapa teman kencanmu?"
"Stiles," jawabku. "Tapi dia bukan teman kencanku. Aku pergi dengannya karena aku tidak ingin Lydia mengenalkanku pada setiap anak laki-laki di sana. Dan lagi Stiles juga sangat ingin pergi ke pesta itu."
Lalu mama menyuruhku duduk di depan cermin. Ia mulai mengatur rambutku, sedangkan aku sendiri merias wajah. Hampir satu jam kemudian, mama selesai dengan rambutku, dan aku selesai dengan riasan wajahku yang super tipis. Tiba-tiba pintu kamarku terbuka.
"Val, kau siap?" Itu Stiles.
"Stiles, kau harus belajar untuk mengetuk pintu, terutama jika itu adalah kamar kaum hawa," dengusku.
"Maaf, Val. Halo Miss McCall," kata Stiles dengan wajah tanpa dosa. "Omong-omong, Val, kau tampak ... cantik."
Sialan. Aku bisa merasakan wajahku memanas. Oh, Stiles, andai kau tahu apa yang telah kau perbuat pada jantungku!
"Yah, kau sudah sering mengatakan hal itu, Stiles," kataku, berusaha untuk terdengar tenang.
"Oke, ralat, kalau begitu, kau tampak sangat cantik malam ini," kata Stiles sambil tersenyum.
AAAARRGGHH! Aku benar-benar ingin bersembunyi di belakang mamaku sekarang! Kuharap wajahku tidak semerah tomat, atau kuharap blush on di pipiku cukup bisa menyamarkan semburat merah yang dikarenakan perkataan Stiles!
Kulihat mamaku menyengir, lalu ia memegang pundakku. "Oke, kalian berdua berhati-hatilah dalam perjalanan. Stiles, jaga putriku dan pastikan ia sampai di rumah sebelum tengah malam."
"Sebelum tengah malam? Kenapa? Apa setelah tengah malam gaunnya akan compang-camping lagi?" tanya Stiles dengan wajah serius.
"Aku bukan Cinderella, Stiles," ujarku sambil memutar bola mataku.
Aku mengucapkan terimakasih kepada mamaku sebelum ia keluar. Kemudian aku mengambil tasku. Oh, aku teringat soal kemeja yang kubeli untuk Stiles. Aku mengambil kantong itu dan menyodorkannya pada Stiles. Ia tersenyum dan mengucapkan terimakasih. Kemudian kami keluar dari kamarku, keluar dari rumah, dan naik ke mobil jipnya.
Wajah Stiles agak serius selama perjalanan, entah kenapa. Maksudku, kami sedang dalam perjalanan ke pesta Lydia yang bertempat di rumah gadis itu sendiri. Lydia adalah gadis yang digilai Stiles. Bukankah harusnya Stiles senang? Atau ia cemas karena tidak percaya diri akan penampilannya?
"Kau kenapa?" tanyaku akhirnya.
"Tidak kenapa-kenapa," jawabnya.
"Kau bohong, Stiles. Wajahmu jelas menunjukkan ada sesuatu yang kau pikirkan," kataku. "Ada apa?"
"Baiklah," kata Stiles. "Ini tentang kakakmu."
"Tentang Scott?" tanyaku, melirik pada Stiles.
"Ingat soal leluconku kemarin, tentang Lycanthopy? Manusia serigala?" tanyanya dan aku mengangguk. "Itu sudah bukan lelucon lagi. Aku sudah mencari tentang manusia serigala di internet. Kakakmu punya semua gejalanya. Tadi ia di rumahku, sempat emosi, mendorong kasar kursi di kamarku, lalu kulihat ada bekas cakaran di kursi itu setelahnya. Kakakmu digigit manusia serigala, dan sekarang ia menjadi manusia serigala."
Aku mengerutkan dahi. Seriusan, nih? Ini bukan lelucon yang biasa diucapkan Stiles?
"Kau yakin soal itu?" tanyaku memastikan.
"Seribu persen, Val," jawabnya.
"Malam ini bulan penuh," kataku. "Apa yang akan terjadi padanya?"
"Kalau ia tidak bisa mengontrolnya, Scott akan berubah menjadi manusia serigala, dia akan haus darah, bahkan ia akan punya niat untuk membunuh," jawab Stiles. "Aku sudah berusaha melarang dia pergi ke pesta malam ini, tapi dia bersikeras untuk pergi. Dan untungnya kau setuju untuk pergi denganku, jadi kita bisa mengawasi Scott selama di sana."
Mengangguk, aku paham.
Tidak lama kemudian kami tiba di rumah Lydia. Sudah ramai, dan kulihat yang punya pesta sedang asyik bercumbu dengan Jackson—tadinya aku ingin menyapa gadis itu makanya aku sampai mencarinya ke kolam renang. Jadi aku langsung memalingkan wajah darinya, agak canggung setiap melihat ia bercumbu dengan pacarnya.
Di area kolam renang, kulihat Scott sedang berduaan dengan Allison. Sungguh, gadis baru itu cantik sekali. Ia tidak mengenakan gaun terusan seperti para gadis kebanyakan yang hadir ke pesta ini, ia juga tidak menggunakan riasan tebal seperti Lydia, tapi Allison memang cantik. Aku paham kalau kakakku sampai suka padanya.
"Kau mau tetap di sini, atau masuk ke rumah saja?" tanya Stiles.
"Uh, terserah kau," ujarku. Sebenarnya aku lebih ingin di dalam, soalnya di area kolam renang terlalu ramai—aku tidak suka di tengah keramaian. Aneh, kan? Padahal aku berteman dengan Lydia si Ratu Pesta. "Kalau ingin mengawasi Scott, mungkin kita tetap di luar sini saja."
Stiles mengangguk. Tapi tangannya langsung meraih tanganku, ia menggandeng tanganku dan membawaku masuk ke dalam rumah.
"Aku tahu kau tidak suka ada di tengah orang banyak," katanya ketika kami sudah di dalam. "Wajahmu sudah pucat begitu tadi, Val."
Rona merah di wajahku kembali lagi. Astaga, Stiles memperhatikanku!
Sebenarnya di dalam rumah juga banyak orang, tapi tidak sebanyak di kolam renang. Stiles menemukan teman-temannya dari tim Lacrosse, jadi aku bergabung dengannya.
Tapi tiba-tiba aku melihat Scott berjalang menyusuri lorong rumah Lydia dengan agak menabrak orang-orang di sekitarnya. Stiles langsung buru-buru mengejar sahabatnya. Lalu kulihat Allison lewat lorong yang sama, ingin keluar, kupikir ia ingin menyusul berjalan secepat yang kubisa, tapi aku mengenakan hak tinggi, jadi tidak bisa lari.
Di depan rumah Lydia kutemukan Allison dengan wajahnya yang antara bingung dan kesal masih berusaha menemukan kakakku. Jadi kuhampiri dia.
"Allison," ujarku, dan gadis itu menoleh padaku."Ada apa?"
"Scott, dia tiba-tiba bilang harus segera pergi," katanya dengan nada tidak yakin.
"Dia pasti ada alasan mendesak. Dia tidak mungkin meninggalkanmu begitu saja kalau ada hal yang sangat darurat," kataku. "Kumohon jangan marah padanya, oke? Aku akan memaksanya untuk segera minta maaf kalau urusannya sudah selesai."
Allison tersenyum, sepertinya ia merasa lebih tenang setelah mendengar perkataanku. Tetapi sikap Scott tadi ... yah, memang agak aneh. Dan kalau apa yang dikatakan Stiles benar, berarti saat ini kakakku itu sedang dalam proses berubah menjadi manusia serigala. Lalu aku dan Allison melihat mobil mamaku pergi meninggalkan parkiran rumah Lydia, disusul dengan jip Stiles. Oh bagus, bagaimana cara aku pulang?
"Val, Allison," panggil sebuah suara.
Suara itu tidak begitu asing buatku. Aku menoleh ke asal suara, dan menemukan Derek Hale, ialah yang memanggil namaku dan Allison. Tunggu, bagaimana ia bisa tahu nama Allison?
"Aku Derek, teman Scott," katanya. Hatiku agak mendengus mendengar ia mengaku-aku sebagai teman kakakku. "Ia meminta tolong agar aku bisa mengantar kalian berdua pulang."
Gadis yang ada di sebelahku melirik padaku. Lewat sorot matanya, ia seakan bertanya padaku akan apa yang harus kami lakukan. Maksudnya, kami memang membutuhkan tumpangan untuk pulang, tapi kami tidak yakin pulang dengan orang asing. Sekalipun ia mengaku sebagai teman Scott—yang mana aku tahu itu adalah bohong—tapi ia tetap orang asing buat kami, walau sejujurnya ia pernah mengantarku pulang semalam. Tapi pada akhirnya aku menerima tawaran Hale.
Pasangan kencan kakakku bilang ia ingin ke kamar kecil dulu, jadi ia bilang agar aku dan Hale ke mobil duluan dan menunggu di depan. Aku dan Hale pun menurut.
Di dalam mobil Hale terasa sangat dingin, mungkin karena ia menyalakan AC sampai maksimum. Sial, aku tidak bawa jaket atau apa pun, soalnya aku tahu aku bisa menahan angin dingin dari AC mobil jip Stiles. Tapi aku tidak menyangka mobil Hale akan sedingin ini.
"Boleh kau naikkan suhu AC-nya? Aku tidak bawa jaket," ujarku pada Hale yang duduk di belakang.
Tapi bukannya melakukan apa yang kuminta, ia malah melepas jaket warna hitam yang ia kenakan, lalu ia sodorkan itu padaku. "Pakai saja."
Aku tersenyum dan menggumamkan terimakasih, kukenakan jaket Hale yang kebesaran di tubuhku. Lalu kulihat Allison sudah keluar dari rumah Lydia, ia tampak sedang mencari mobil Hale. Jadi aku membuka kaca jendela mobil dan memanggilnya. Allison tersenyum dan segera berjalan ke mobil yang kutumpangi. Ia membuka pintu tengah dan duduk di sampingku.
Hale menanyakan alamat rumah Allison dan gadis itu menjawab dengan lengkap, lalu Hale menyetir mobilnya sampai rumah gadis yang duduk di sebelahku ini. Sampai di rumahnya, Allison memelukku sebentar, mengucapkan selama malam dan sampai ketemu hari Senin, mengucapkan terimakasih pada Hale, lalu turun dari mobil. Pria—atau pemuda, tepatnya, yang duduk di depanku ini langsung menyetir menuju rumahku. Belum jauh dari rumah Allison, aku baru sadar kalau blazer gadis itu tertinggal di mobil.
"Jangan khawatir, setelah aku mengantarmu, aku akan kembali ke rumah Allison untuk mengembalikan blazernya," kata Hale, seakan ia bisa membaca pikiranku.
Aku mengangguk dan meletakkan blazer Allison di bangku depan, maksudnya agar Hale jangan sampai lupa. Keheningan tercipta di dalam mobil. Aku tidak tahu harus membicarakan apa, dan sepertinya Hale pun tidak tertarik untuk mengobrol. Yah, sebenarnya banyak pertanyaan dalam otakku, tapi aku bingung mau mulai bertanya dari mana. Seperti kenapa Hale bisa ada di pesta tadi, atau kenapa ia harus berbohong dengan bilang ia teman Scott, atau tentang kenapa ia mau mengantarku dan Allison pulang, dan masih banyak lagi.
Tak terasa mobil yang kutumpangi ini sudah ada di depan rumahku. Kulihat mobil yang tadi dibawa Scott untuk ke rumah Allison sudah ada di tempat parkir, berarti kakakku itu sudah pulang. Aku pun berniat melepaskan jaket Derek untuk segera turun, tapi sebelum benar-benar terlepas, ia menghentikanku.
"Jangan, pakai saja," katanya. "Di luar banyak nyamuk, kau bisa digigit banyak nyamuk kalau keluar tanpa itu."
"Oh, tapi bagaimana aku bisa mengambalikannya?" tanyaku bingung.
"Aku sudah tahu kapan shift-mu di cafe, jadi aku akan menjemputmu di cafe setelah shift-mu selesai, jadi kau bisa mengembalikannya hari itu," kata Hale.
Tersenyum, aku mengucapkan terimakasih padanya. Kugenggam erat tasku dan membuka pintu mobil. baru saja aku menapakkan satu kaki di jalan, Hale memanggilku. "Val, aku lupa bilang."
"Ya?" tanyaku, agak mendongakkan kepala padanya.
"Kau tampak manis malam ini," ujarnya.
Aku tercengang, berusaha mencerna apa yang barusan kudengar. Hale, Derek Hale, memujiku dan bilang aku manis. Kuucapkan terimakasih pada gelapnya malam, aku bisa menyembunyikan rona merah di wajahku. Lalu sambil tersenyum kecil, aku mengucapkan terimakasih lagi dan selamat malam pada Hale, setelahnya turun dari mobil.
Karena merasa malu, aku berjalan secepat yang aku bisa ke dalam rumah. Masuk ke dalam rumah, rasanya sunyi sekali dan kupikir mama sudah pergi ke rumah sakit, jadi aku langsung naik ke lantai dua dan masuk kamar. Aku melihat ke arah luar jendela, melihat mobil Hale masih ada di luar. Tapi beberapa detik kemudian, mobil itu mulai pergi.
Lalu aku jadi merasa bersalah. Maksudku, tadinya aku sedang mengawatirkan kakakku, tapi kenapa aku malah sibuk dengan pikiran mengenai Hale? Bukankah tadi di pesta aku melihat Scott begitu kesakitan? Aku langsung keluar kamar lagi, kali ini mengetuk kamar Scott. Tidak ada jawaban. Kucoba memutar kenop pintu yang ternyata tak terkunci, kulihat di dalam kamar Scott masih gelap, tapi lampu kamar mandinya menyala. Baju yang tadinya Scott pakai ke pesta Lydia pun berserakan di lantai. Jendela kamarnya terbuka, dan kalau memang kakakku menjadi manusia serigala ia pasti keluar lewat jendela ini.
Aku segera kembali ke kamarku, meraih ponsel, mencoba menghubungi Scott. Teleponku tak diangkat. Kucoba sekali lagi dan hasinya sama. Kemudian aku mencoba menghubungi Stiles, yang ternyata sama juga.
Kucoba untuk tidak terlalu pesimis, aku memutuskan untuk mencuci muka dan ganti baju dengan baju tidur. Sesudah itu aku berbaring di ranjang. Aku tidak berniat untuk tidur sebenarnya, maksudku, aku terlalu mencemaskan Scott untuk bisa tidur. Tapi sekalipun aku ingin mencarinya, mau cari ke mana?
Paginya, aku masih seorang diri di rumah. Mama mungkin masih di rumah sakit. Sedangkan Scott? Kupikir berarti semalaman ia tidak pulang. Demi dewa-dewi, Scott, kau di mana?!
Kuputuskan jika sampai aku selesai sarapan nanti kakakku belum pulang dan Stiles masih tidak bisa dihubungi, aku akan menelepon Sheriff, alias papanya Stiles. Tapi ketika aku selesai berpakaian habis mandi, aku mendengar suara pintu depan terbuka. Jadi aku langsung buru-buru turun ke lantai satu, berharap itu kakakku.
Syukurlah, ternyata benar itu adalah Scott. Tubuhnya penuh peluh seakan ia habis kerja keras, tambah lagi wajahnya tampak lelah.
"Scott, akhirnya kau pulang!" kataku, lega sambil menghampirinya dan langsung memeluknya.
Setelah aku melepas pelukanku, aku melihat Scott berwajah aneh. Maksudku, ekspresinya yang aneh. Ia menatapku dengan tatapan bingung, melirik ke lantai dua, lalu melirikku lagi.
"Ada apa?" tanyaku, ikut-ikutan bingung.
"Ada bau dia di lantai dua," ujar Scott.
"Bau siapa?" tanyaku lagi.
"Bau Derek Hale," jawab Scott. "Dia ada di rumah? Di atas?"
"Apa?" tanyaku pelan.
Lalu aku teringat. Derek Hale meminjamkan jaketnya padaku. Mungkin dari situlah Scott bisa mencium bau pemuda itu. Apalagi jaket itu masih tergantung di kamarku.
Tetapi sebelum aku sempat menjelaskan, Scott langsung berlari naik tangga, membuka pintu kamarku dengan kasar. Aku mengikuti dia dari belakang. Dan Scott mengambil jaket Derek yang kugantung di belakang pintu.
"Kenapa ini bisa di sini?" tanya Scott.
"Setelah kau dan Stiles pergi meninggalkan aku dan Allison, Hale muncul dan memberi kami tumpangan. Ia meminjamkan aku jaket itu karena aku tidak bawa jaket dan merasa kedinginan," jawabku.
Kulihat Scot mencengkeram jaket Derek dan ia berkata, "Jangan dekat-dekat dengannya lagi."
"Siapa, Derek Hale?" tanyaku.
"Iya, Derek," jawab Scott. "Dia berbahaya, bukan orang baik."
"Apa maksudmu?" tanyaku lagi.
"Dia manusia serigala, Val, dia yang menggigitku!" seru Scott.
Hale? Derek Hale yang itu? Yang mengantarku pulang dua malam berurut-urut, yang menolongku dari orang cabul dua hari yang lalu dan bilang aku manis kemarin malam? Hale seorang manusia serigala?
.
.
~TBC~
Next: #ArgentAndHale
.
.
A/N: Cara membaca nama Cavalion: Kavalien ('en' dibaca seperti pada ENtah).
