WILDEST GAME
© Lee Audrey
Axis Powers: Hetalia
© Hidekaz Himaruya
Cover © Hakuku
( . . c o m )
.
Summary:
"Hey, let's play a game. It's called Wildest Game. We'll be pretending like couple—go to dates, do hugs, kisses, holding hands, visit each other, booty call… sex. And the best part is, it's just a game." Alfred attracted by a new kid from UK, and found him somehow worth to taste.
.
Pair: US x UK
Rate: R+18 / M
Genre: romance
Note: AU, Highschool-life
Language: BAHASA INDONESIA (sorry)
WARNING: EXPLICIT CONTENT (including SEX between men, eventually)
.
Special Thanks:
As always, Eamaky Devy
and my muse, Taylor Swift, for her amazing video, Wildest Dream.
.
.
.
Chapter 1. Level 0 (Prologue) : Hello
-:-
Bahkan di pelajaran Bahasa Inggris yang membosankan ini, ternyata masih ada orang yang menulis dengan serius.
Bukan, pemuda itu bukan orang asing—rambutnya pirang seperti jerami di bawah sinar matahari dan matanya hijau gelap seperti daun, caranya bergerak dengan hati-hati terlihat seperti bocah bangsawan public school, dan aksennya—Alfred beberapa kali mendengar dia bergumam—begitu kental dengan logat Inggris yang khas. Semua itu cukup menjadi bukti dia termasuk pribumi di tanah Britania Raya sana. Lantas apa yang membuatnya begitu tekun menulis di buku catatan? Apakah pelajaran yang sudah diulang ribuan kali ini masih menarik baginya? Apakah ia tidak dibesarkan di Negara yang berbahasa Inggris? Lantas di mana dia tinggal jika bukan di Eropa atau di Negara persemakmuran Inggris? Kenapa tubuhnya masih saja terlihat pucat dan kulitnya seperti sangat rapuh untuk disentuh?
'Rajin sekali dia…' begitu pikir Alfred, mulai menyangga kepala yang menghadap pemuda itu.
Namun semakin diperhatikan, Alfred tidak tahu apa yang pemuda itu kerjakan. Dia seolah tak terganggu dengan keadaan sekitar. Dia terus menunduk, sesekali terdiam untuk berpikir dan memutar-mutar bolpoinnya, sebelum menghapus tinta yang telah tergores dengan penghapus khusus di ujung lain bolpoinnya; sesekali ia menengadah ketika Tuan Hobbs menekankan beberapa kalimat, namun mengabaikannya dan kembali tenggelam dalam dunianya sendiri.
Tunggu, apakah dia memang sedang mencatat pelajaran?
Terlihat jelas ia termasuk kutu buku level satu dari caranya menulis atau menyusun alat tulis di atas mejanya. Tipe yang suka mencatat, banyak membaca, dan diam di sepanjang kelas. Namun, yang membuat Alfred semakin yakin pemuda itu tidak sedang mencatat adalah, ketika murid teladan biasanya antusias menerima tantangan-tantangan dari guru, pemuda itu hanya diam, tak bergeming—lagi-lagi terus menggerakkan bolpoin di atas kertas.
Alfred sudah mengamatinya sejak lima belas menit yang lalu ketika Tuan Hobbs menjelaskan materi memuakkan dengan cara membosankan seperti biasanya. Ketika mata birunya berkeliling mengamati, ia menemukan sebagian besar siswa menguap lebar, bermain handphone, tak memperhatikan dosen tua yang berbicara pada papan dan angin dari AC yang berhembus—dan ketika itulah pemuda pirang-kurus-bermata hijau itu terlihat mencolok.
Dia terlihat seperti lukisan tua di antara dekorasi ulang tahun anak kecil.
Apa yang sedang ia kerjakan? Begitu penasarannya Alfred sampai tak bisa melepaskan pandangan dari sosok ber-sweater krem dan celana di atas mata kaki itu.
Dan setelah diperhatikan lebih dalam… dia terlihat, dengan cara yang sangat berbeda, entahlah… seksi.
Alfred tahu ini gila—dia sampai membenturkan kepalanya ke meja, dengan pelan, tentu saja, karena akan sangat merepotkan jika Tuan Hobbs tahu ada suara aneh di kelasnya—namun sungguh, pemuda dengan alis tebal itu membuatnya ingin menciumnya, atau setidaknya, menjabat tangannya dulu sebagai permulaan. Entahlah kenapa. Mungkin dari cara dia duduk dengan menyilangkan kaki? Caranya menoleh ringan ketika tangannya berpindah halaman untuk menulis, atau mata zamrudnya yang melirik Alfred karena merasa diperhatikan?
Oh, dia melihatnya.
Alfred tidak tahu apa yang harus ia lakukan, jadi ia melempar senyum—anehnya, tanpa diduga, pemuda itu malah membuang muka.
Apa-apaan itu?
.
-:-
.
Saat jam istirahat, Alfred berkesempatan untuk duduk di sebelah pemuda Inggris itu karena sepertinya ia tak akan beranjak dari kursinya sampai menyelesaikan apapun yang sedang ia kerjakan.
"Howdy!" sapa Alfred riang—lebih tepatnya nyaring—sambil melemparkan tubuhnya ke bangku di sebelah pemuda itu. "Aku tidak pernah melihatmu sebelum ini. Apa kau anak baru? Oh ya! Aku dengar ada anak pindahan dari Inggris. Itu kau, ya? Wah, aku tidak pernah bertemu orang Inggris asli sebelumnya! Pantas saja tadi aku mendengarmu bergumam dan kurasa logatmu agak aneh. Kukira kau dari Kanada tapi logatmu berbeda dengan saudaraku. Haha! Oh ya, aku Alfred, lahir dan besar di sini. Kalau kau butuh sesuatu, kau bisa katakan padaku. Tapi, yah, tentunya aku tidak bisa membantumu dalam segala hal. Kau juga harus berjuang sendiri, man. Haha!" Alfred tertawa sambil menepuk belakang pundak pemuda itu, berharap ia, setidaknya, akan membalasnya dengan sekedar senyum terganggu.
Namun, pemuda yang cantik secara tiba-tiba jika dilihat dari dekat itu, hanya menoleh kecil, sebelum kembali menunduk dan berkata, "Um, ya, senang bertemu denganmu, Alfred."
Alfred menaikkan sebelah alisnya dengan bingung. Ia tidak pernah mendapat reaksi sesimpel itu jika berbicara dengan seseorang—dan dia tidak ingin pemuda ini menjadi yang pertama. Jadi, ia berusaha untuk mencerahkan suasana lagi. "Jadi… kau benar-benar dari Inggris?" Sebelah alisnya terangkat tinggi dan kedua mata biru di balik kacamata itu berbinar-binar.
"Ya," balas pemuda itu, mata hijaunya hanya bergerak sedikit ketika tangannya berpindah tempat.
"Wow, aku belum pernah bertemu orang Inggris asli sebelumnya."
"Ya, kau sudah mengatakannya."
"Well, tapi aku masih belum tahu namamu," pancing Alfred lagi, kali ini ia beruntung karena pemuda itu menghentikan semua gerakan tangannya, dan menoleh. Baru kali ini Alfred benar-benar sadar bahwa pemuda itu memiliki mata yang besar dan indah—juga alis yang unik, jika bisa ditambahkan. Entah kenapa tatapan datar itu membuat napasnya tercekat. Ia tidak tahu harus mengatakan apa lagi. "Eh… um… apakah itu sesuatu yang tidak sopan untuk ditanyakan di Inggris?"
Pemuda itu mengangkat sebelah alisnya dan tersenyum miring. "Tentu saja tidak, duh." Ia pun mengulurkan tangan, sebuah jabatan dari tangan kecil dan halus seperti manekin. "Arthur Kirkland, lahir dan besar di London."
Alfred, entah kenapa, merasa senang. "Wow, itu nama yang bagus, seperti Raja Arthur dan Ksatria Meja Bundar. Aku suka mereka! Ngomong-ngomong, aku Jones. Alfred F. Jones. Lebih baik kau tidak usah tahu apa huruf 'F.' itu."
Arthur menarik ujung bibirnya, sedikit. "Kami, orang Inggris, tidak suka menanyakan privasi." Sekarang senyum itu kembali skeptis. "Dan ditanyakan."
Sebelah alis Alfred terangkat dalam ketidakmengertian. "Oke, akan kuingat." Tapi dia berusaha untuk mengerti.
Bel berbunyi lagi dan Tuan Hobbs masuk untuk jam terakhir. Jujur, Alfred lebih memilih untuk tidur di bangku daripada mendengarkan celotehan tidak jelasnya. Tapi lagi-lagi Arthur tampak tekun, seperti ingin menunjukkan pada seluruh Amerika bahwa orang Inggris adalah yang paling berkelas.
'Oh, ayolah, Traktat Paris sudah lama ditandatangani, jadi untuk apa Inggris masih bersikap superior pada Amerika?' batin Alfred. Meskipun begitu, ia tidak bisa mengalihkan matanya dari Arthur. Dari pengamatan intensif itu, Alfred semakin yakin bahwa apapun yang sedang Arthur tulis, bukanlah isi celotehan Tuan Hobbs.
Terhanyut dalam pikiran membuatnya tidak menyadari waktu, tiba-tiba saja bel berbunyi nyaring yang disahuti desahan lega belasan murid di ruangan sempit. Tuan Hobbs berbalik dari papan, membereskan beberapa berkas di atas meja guru dan hendak membuka mulut, saat segerombolan siswa lewat begitu saja di depannya tanpa menggubris. Dan Alfred, yang hendak menyapa Arthur lagi, tidak menyangka bocah elit itu termasuk ke dalam gerombolan tadi. Langkahnya bahkan cepat dan lebar, seperti sedang terburu waktu. Alfred hanya mengangkat sebelah alisnya, entah kenapa menjadi benar-benar tertarik dengan orang asing berlogat lucu itu.
Ia berdiri dengan mendorong mejanya, kaki berbalut sneakers itu ia seret dengan malas. Matanya hanya kebetulan melihat ke bawah, saat itulah ia melihat sebuah buku tulis sederhana yang tertera nama Arthur di sampulnya. Ia pun memungutnya, berpikir untuk mengembalikannya namun ia tak tahu apapun tentang Arthur selain nama dan kota asalnya, dan ia rasa, jika buku ini begitu berharga bagi Arthur hingga tak ia lepas selama pelajaran, maka Alfred tidak berhak untuk membukanya sembarangan. Ia ingat apa yang dikatakan Arthur kepadanya.
'Untuk apa pusing-pusing,' pikirnya. 'Besok 'kan kami akan bertemu lagi. Pasti.' Dan dengan pikiran demikian, ia berjalan pulang dengan buku itu di dalam tasnya.
.
-:-
.
Alfred duduk di bangku paling belakang kelas Fisika sambil bersandar. Kedua alisnya bertemu, keningnya tertekuk, tangan disilangkan di depan dada. Buku tulis Arthur ada di hadapannya, di atas meja tunggal dari kayu; tertutup rapi, tak tersentuh—dalam arti harfiah. Semalaman ia memandangi sampul coklat muda dengan tulisan meliuk bertuliskan nama sang empunya. Namun, berapa lama pun ia menatapnya, buku itu tak kunjung ia buka. Ia merasa Arthur adalah orang yang tertutup dan misterius—dan sepertinya ia memang menginginkan menjadi seperti itu. Well, Alfred, di sisi lain, memang mudah bergaul, tapi bukan berarti ia bisa membongkar-bongkar privasi orang lain sesukanya, apalagi setelah mendapat peringatan. Bisa saja ini buku diarinya, atau jurnal, atau kumpulan cerpen, atau catatan pelajaran, atau apa saja. Jadi ia berpikir, jika ia memang benar-benar ingin tahu isi buku ini, bukankah lebih baik jika Arthur yang menceritakannya sendiri? Untuk bisa seperti itu, maka yang harus ia lakukan hanya menjadi akrab dengannya.
"Oh, Alfred sudah datang! Hai, Al!" Seorang gadis berambut pirang bergelombang dengan mini-skirt ketat dan t-shirt polos melambai dari pintu ruang kelas. Kehadirannya diikuti seorang gadis lainnya beserta dua pemuda yang Alfred mengenalnya sebagai Jessica, Mike, dan Brook. Mereka selalu bersama ke mana pun, bahkan ketika Patricia, nama gadis yang menyapanya tadi dan sekarang berdiri tepat di hadapannya, dengan sangat jelas tertarik padanya. Alfred tahu Brook sejak tadi menatapnya marah, tapi pemuda berambut gelap itu tetap menutup mulutnya dan hanya membuang muka. "Tumben kau datang pagi-pagi," lanjut Patricia.
"Yah, aku bosan di rumah," balas Alfred.
"Oh, aku tahu rasanya, man. Memang menyedihkan tinggal sendirian di apartemen sempit di kota besar seperti L.A. ini," timpal Mike. Pemuda berambut coklat itu menepuk pundak Alfred seperti tidak menyadari kekuatannya yang biasa ia gunakan untuk mendorong air ketika berlatih renang. Mungkin seperti inilah perasaan Arthur ketika Alfred menepuk pundaknya tiba-tiba kemarin.
"Arthur Kirkland?" gumam Jessica, mengambil buku di atas meja Alfred.
Patricia, yang sepertinya tertarik dengan segala hal tentang Alfred, merebut buku itu dari gadis berambut hitam lurus itu. Ketika ia membuka bukunya sekilas, Alfred merasakan napasnya tercekat di tenggorokan dan peluh dingin merembesi keningnya. Tangannya mengepal tanpa sadar, seruan untuk melarang Patricia membuka buku itu sudah sampai ke pangkal lidah. 'Duh, tidakkan mereka mengenal privasi?' Namun menyadari tak ada sesuatu yang menarik selain tulisan dan tulisan lagi yang meliuk-liuk aneh, Patricia menutupnya keras dan mengembalikannya ke meja Alfred.
"Well, dia punya gaya tulisan yang menarik untuk seorang lelaki," ujarnya, menyilangkan tangan di depan dadanya yang rata. "Sudah kuduga, semua orang Inggris memang begitu."
"Kau mengenalnya?" seru Alfred, seperti Indiana Jones yang baru saja menemukan secuil peta harta karun. Secuil.
"Um, ya, dia sekelas denganku di kelas seni." Patricia membelalakkan mata besar dengan bulu mata palsu yang tebal miliknya, merasa heran Alfred tertarik dengan orang kaku seperti Arthur. "Lagipula, siapa yang tidak mengenalnya? Maksudku, kulitnya bahkan lebih lembut dari Jessica yang selalu berendam dengan madu dan susu di akhir pekan, dan rambutnya, astaga, kau tidak bisa membayangkan selembut apa rambut pirangnya itu. Tentu dengan semua itu, di tambah bulu matanya yang lebih lentik dariku dan pinggang dan pinggul yang luar biasa ramping, siapa gadis yang tidak mengenalnya? Tentu saja mereka mengenalnya karena iri. Bayangkan, siapa sangka ada laki-laki yang bahkan lebih cantik dari perempuan sendiri?"
"Kau berlebihan, Pat," sela Jessica, nadanya agak tersinggung. "Aku tidak sesering itu merawat diri. Tapi harus kuakui, telapak tangan Arthur memang lembut sekali."
Hal yang sedikit mengejutkan bahwa Arthur lebih cepat terkenal di kalangan perempuan daripadanya, sang Quarterback sekolah, hanya dalam waktu satu hari. Dan lebih tidak dipercaya lagi bahwa gadis-gadis itu yang lebih banyak memiliki kesempatan untuk memperhatikan fisiknya, sampai bisa meraba kulit dan rambutnya segala. Alfred tidak sempat melakukan itu kemarin.
Alfred melamun, pikirannya kembali melayang pada telapak tangan Arthur di genggamannya kemarin. "Ya… kau benar."
Bel pelajaran pun berbunyi dan tak lama seorang guru laki-laki masuk untuk membahas sesuatu yang sudah diluar kepala bagi Alfred. Patricia duduk di sebelahnya, dengan senang berkali-kali memperhatikan Alfred yang sedang tenggelam dalam fantasinya sendiri akan fisik Arthur. 'laki-laki yang bahkan lebih cantik dari perempuan sendiri…' benarkah ada orang seperti itu? Rasa penasaran yang tinggi membuat benaknya hanya dipenuhi oleh Arthur—tatapan dinginnya, senyum sinisnya, bola mata besarnya, dan tangan lembutnya… astaga, Alfred rasa ia masih bisa mencium aroma parfum Arthur di telapak tangannya.
Matanya pun tak sengaja menangkap nama Arthur di buku di atas meja. Dan kali ini, dengan segala ketertarikan yang membuncah di dalam dada, Alfred tidak bisa menahan dirinyauntuk tidak membuka buku itu dan membacanya.
Lembar demi lembar ia baca, tak ada satu huruf pun yang ia lewatkan. Sebuah keajaiban karena Alfred sendiri tidak bisa mengingat kapan terakhir kali ia sangat bersemangat membaca sesuatu. Ketika sampai di lembar ketiga… sepasang mata birunya membelalak hebat, bukan karena tulisan Arthur yang meliuk atau diksinya yang unik, namun sesuatu di antara barisan kata itu yang membuatnya tidak percaya.
Napasnya seolah tercekat di dada, namun matanya tidak bisa berpaling dari buku, justru melanjutkan perjalanan seolah berlari menuju garis finis. Setelah sekitar tiga puluh menit berlalu, tulisannya berhenti di tengah-tengah buku, menggantung, dan Alfred merasa kecewa sekaligus tidak percaya.
"Alfred?" sapa Patricia, khawatir dengan peluh yang menjalari samping wajah tampan Alfred dan darah yang memanas di bawah mata birunya. Alfred yang kaget langsung menoleh cepat dan bergumam, "Hm?" Patricia mencondongkan tubuhnya ke samping, berbisik, karena Tuan McCanzie masih menjelaskan di depan kelas. "Kau tidak apa-apa?"
Alfred sendiri tidak yakin apa yang harus ia jawab—setelah membaca buku ini, ia tidak yakin ia baik-baik saja. "Ya, aku tidak apa-apa," jawabnya, agak terbata.
Namun insting alami perempuan tidak dapat ditipu. "Apakah ada sesuatu?"
"Ah, tidak. Tidak ada…" Alfred sangat berharap dirinya seorang pembohong ulung. Kemudian matanya kembali ke buku. "Patricia."
Dengan sigap gadis itu menoleh. "Ya?"
"Kau tahu di mana loker Arthur Kirkland?"
.
-:-
.
Suara decitan besi ketika Arthur baru saja menutup pintu lokernya tersamarkan dengan riuh rendah koridor ketika jam pulang. Ini tidak begitu berbeda dengan di Inggris, pikirnya. Bedanya, mungkin, hanya dari seberapa keras dan intensif orang Amerika bicara. Sisanya entahlah, Arthur tidak begitu peduli dengan sekolahnya yang dulu.
Tiba-tiba sebuah lengan menghalangi pandangannya yang masih menoleh ke kanan, lengan berbalut jaket berwarna biru langit dengan tubuh yang tinggi, tegap, dan bidang. Ketika Arthur menaikkan pandangannya, ia langsung menemukan senyum cerah Alfred dan kilauan langit musim panas yang tercermin di matanya. "Howdy, Englishman!" sapa Alfred, dan Arthur masih menganggap itu sebagai seruan walau ia berdiri tepat di depan hidungnya.
"Hello, American," balas Arthur datar. "Apa kau perlu sesuatu dariku?"
"Oh, tidak, tidak." Alfred menggeleng, bibirnya melengkungkan senyum seekor kucing, yang di mata Arthur, berarti menyimpan suatu maksud tersendiri. "Yang benar, apa yang kau perlukan dariku."
"Ha?" Arthur menaikkan sebelah alisnya dengan pandangan skeptis. "Pardon me?"
"Ini." Alfred membuka tas ranselnya dan mengeluarkan sesuatu, sebuah buku, yang langsung membuat rahang Arthur jatuh dan terasa kaku.
"Bagaimana kau bisa—kau…." Arthur menggeram, sepasang alis tebalnya kini bertaut dengan pandangan marah. Tangan-tangan itu mengepal kuat ketika ia mencerca, "Sudah kubilang padamu, aku tidak suka ada yang mengganggu privasiku! Dan buku itu adalah salah satunya. Jadi, aku mohon kepadamu, Alfred Jones, kembalikan buku itu sekarang juga sebelum aku benar-benar marah. Dan, oh Tuhan, kau akan kubunuh jika membaca satu huruf saja di dalamnya."
"Hm… tapi aku sudah membaca semuanya."
Mata hijau Arthur semakin membelalak, wajahnya berubah merah padam. "Kembalikan!" Secepat mungkin ia meluncurkan tangannya untuk meraih buku itu, namun Alfred langsung menariknya dan mengangkatnya tinggi. Tinggi, di luar jangkauan tangan Arthur yang memang lebih pendek secara tinggi badan. Dan Arthur membenci orang yang lebih tinggi darinya.
"Tidak akan sampai kau setuju bermainsebuah permainan denganku."
"Maaf saja, tapi aku tidak punya waktu untuk permainan bodohmu, American. Apapun itu." Arthur masih mengangkat tangannya, dengan benci meloncat-loncat sambil berusaha meraih buku tulisnya yang kini serasa semakin jauh dari jangkauan. Bagus, kini ia terlihat tolol, terlebih di hari keduanya sekolah. Namun buku itu seribu kali lebih penting dari seluruh harga dirinya.
"Oh, benarkah?" ujar Alfred dengan nada menggoda—atau menjahili, begitu yang Arthur dengar. "Sayang sekali, padahal kupikir kau akan sangat menyukainya."
Arthur menghentikan loncatannya. Dengan kesal, marah, dan jengah, ia menarik napas dalam sebelum menghembuskannya keras, dan melipat tangan di depan dada dan menatap Alfred dengan tantangan. "Oke, akan kudengarkan."
Alfred bahkan tidak berpikir dua kali untuk tertawa melihat perubahan sikap Arthur yang drastis. "Ini permainanyang sederhana." Arthur kembali menaikkan sebelah alisnya, mencemooh, ketika tidak yakin dengan setiap ucapan Alfred. "Sebut saja namanya Wildest Game, karena permainan ini benar-benar di luar perkiraanmu. Tapi, ketentuannya mudah—kita akan berpura-pura seperti pasangan, maksudku, berkencan, berpelukan, berciuman, bergandeng tangan, mengunjungi satu sama lain, telepon seks… dan tentu saja, seks. Dan, bagian terbaiknya adalah, ini hanya sebuah permainan."
Arthur membeku. Mata hijaunya ia paksa untuk berkedip beberapa kali. "Ma-maksudmu…?"
"Maksudku, seperti namanya, ini hanya permainan—kita melakukan apapun yang kita inginkan. Tanpa tanggung jawab, tanpa ikatan, tanpa hubungan, tanpa perasaan. Hanya sebuah permainan penuh nafsu di mana pemainnya, yaitu hanya kau dan aku, dapat menggunakan pemain lainnya untuk memuaskan nafsu masing-masing. Dimanapun, kapanpun. Bagaimana?"
Arthur masih bertahan dengan pandangan menghinanya. "…kau gila."
Namun, kembali, Alfred membalasnya dengan senyum palsu ala kucing. Hm, sepertinya ia lebih pandai dalam menghasut dan merayu dan menjahili dibanding berbohong. "Lebih gila siapa, aku atau orang yang menulis hubungan seksnya dengan seorang laki-laki dalam buku tulis biasa dan ia tulis di dalam kelas Bahasa Inggris, hm?" Alfred mengayun-ayunkan buku tulis Arthur yang masih ia pegang tinggi-tinggi.
Wajah Arthur kembali memerah padam. Pundaknya naik beberapa senti dan menegang keras. "Kau… kau benar-benar akan kubunuh."
"Sayangnya itu tidak ada dalam pilihan permainan, Artie."
"Sudahlah! Cepat kembalikan bukunya!"
"Jawabanmu dulu, Artie."
"Tentu saja aku menolak! Apa kalian orang Amerika sebodoh dan selemah itu pada nafsu? Jika kau ingin hubungan seks, carilah gadis atau pelacur! Di Amerika banyak, 'kan? Kenapa harus aku? Demi Tuhan!"
"Karena," pandangan Alfred tiba-tiba berubah tajam—safir di rongga matanya seperti langit musim panas ketika awan badai merambat. Dan Arthur merasa ia bisa melihat kilat penuh kelicikan baru saja menyambar. "kau juga menyukaiku, kan?"
"Hah? Jangan bercanda, bodoh! Mana mungkin aku—"
"Lelaki di buku pornomu itu aku, kan?" Melihat reaksi Arthur yang lagi-lagi membeku, Alfred tidak bisa menahan diri untuk menarik senyum tinggi di satu sisi wajahnya. "Entahlah, Artie, mungkin aku terlalu sombong karena kita baru saja bertemu kemarin dan kau tidak mungkin menulis semuanya dalam sehari—lebih tepatnya lima setengah jam di mana mungkin bisa saja karena aku tahu kau tidak memperhatikan pelajaran—tapi, hei," sepasang mata biru Alfred menatap Arthur langsung di mata emerald-nya yang membelalak tak berkedip, seperti bisa melihat menebus pakaiannya—lucu, memang—dan kulitnya, dan tulangnya, dan sebagainya, hingga ia bisa melihat hati kecil Arthur yang benar-benar terbenam dalam rasa malu. Alfred melanjutkan kalimatnya, kali ini Arthur bahkan dengan sekuat tenaga menelan ludah yang serasa tersangkut di tenggorokannya hanya dengan melihat bibir tipis Alfred kembali membuka, "…itu benar-benar kau dan aku, kan?"
Pandangan di mata biru itu terlalu tajam. Arthur hampir kehilangan napasnya dan jantungnya berhenti.
"Lalu kenapa kau harus menolaknya, Artie? Bukankah menyenangkan jika fantasi liarmu bisa menjadi nyata, hm?"
Arthur benci mengakui, tapi satu sisi dalam dirinya mengiyakan perkataan Alfred. Pemuda ini nyata, berdiri di hadapannya, dengan segala kepercayaan diri, dan senyum menawannya, dan kacamata bergagang hitam yang membingkai sempurna mata indahnya, dan wajah tampan yang persis seperti pangeran impiannya, dan aroma tubuhnya yang berbau mint, dan jaket baseball biru yang cocok dengan matanya, dan celana jeansnya, dan pundak bidangnya, dan, dan, dan segalanya menjadi kabur di otak Arthur. Satu-satunya hal yang mengisi kepalanya saat ini adalah Alfred. Jadi, tunggu apa lagi, Arthur? Kau bisa menjadikan setiap mimpi-mimpi liarmu menjadi nyata, karena kali ini dia nyata. Aktormu nyata.
"Baiklah." Arthur hampir tidak percaya ia mengatakan itu, seperti bibirnya saja yang bergerak tanpa kesadaran dari otaknya. Pemuda dengan kemeja merah itu menunduk, mengepalkan tangannya. "Hanya itu peraturannya?" Ia menaikkan pandangannya sedikit, dan Alfred bisa melihat pipi putih Arthur kembali berubah warna seperti bunglon di atas mawar.
Entah kenapa ia merasa sangat senang.
"Yah, kalau kau begitu benci pada permainan ini," Alfred mengedikkan bahu. "Kau bisa menambahkan 'rahasiakan dari muka umum' sebagai salah satu peraturannya."
"Setuju." Arthur mengangguk mantap. "Sekarang kembalikan bukuku."
Alfred menurunkan tangannya dan menyodorkan buku tulis Arthur sambil terkekeh-tekeh usil. Arthur menyambarnya cepat, pandangannya kembali bersirat marah dan muak. Namun, Alfred tetap mencondongkan tubuhnya hingga cukup dekat bagi bisikannya didengar Arthur. "Bisa aku menciummu sekarang?" Pandangannya turun pada sepasang bibir Arthur yang berkilap kemerah-mudaan dan seperti meminta untuk dilumat.
Namun Arthur malah menampar wajahnya. "Permainan dimulai besok." Dan ia berjalan melewati Alfred sambil membetulkan posisi tali selempang tas di pundaknya.
Alfred berbalik, memperhatikan punggung kecil Arthur perlahan menjauh, sambil mengelus-elus pipinya. "Can't wait to taste you tomorrow, My Queen," serunya.
Arthur langsung menaikkan jari tengah tangan kirinya.
.
.
.
.
To be continue
-:-
OH GAWD I LOVE SEDUCE!AMERICA AND HIS ABSOLUTISM! Oh no, I think I made new kind of character! But, whatever.
Hey there! I'm Lee Audrey, a newbie in this fandom. So please be kind on me.
Hmm… first of all, I just want you to know that this fiction's idea I got in my boring-English-lesson. Like Artie, I didn't really pay attention on what my boring-teacher said. No, no, I'm not being cocky so could ignore the teacher, (because, as you can see, I'm not that good in English), but his way of explained the lesson was so unattractive. So I just did anything else all along his lesson, but, like Artie too, I made a note every time he explain something new or something I didn't know. And because it's too boring to try it in simple sentence, I tried making something related in what I like—and it's, coincidentally, USUK (and incidentally, my mind was going too wild and thinking about some R18). SO, BASICALLY, this fiction is supposed to be PWP (Porn Without Plot). But, in the end, I unconsciously made its plot.
Well, and that's why the summary was made in English.
But I don't have enough courage to write the story in English too, because I know my English still not really good. And there's still view thing I confused about in making sentence in English. So that's why I took English for my extra-lesson.
This fiction original title was 'When We Go Out' (I don't know why but I like what it sounds), but then I changed it to 'Dating Sims' (cause the first title sound too superficial). But because every time I got ideas I always tell my-buddy-in-sin, Eamaky Devy, she help me to wider the plot and then suggested, "What if the title is 'Wildest Game', like Taylor Swift's new song?" (coincidentally I haven't tell her about the title and we just watched that video and found it have lots of similarity with USUK plot). So this is it, the 'WILDEST GAME'.
Well, the second chapter was done but I haven't tought about the third yet. So please be patient. There's a possibility that I'm not gonna continue this fiction too, though.
Okay, I think I typed too much. Thanks for reading, by the way. If you wanna have some chit-chat, you can contact me via LINE (my id: arfianti-lia) or e-mail t . c o . i d (just erase the spaces). I'm not using Facebook and Twitter anymore, just FYI.
-:-
Much, much,
(Tuesday, December 29, 2015)
Lee Audrey
