Chapter 1
Semua orang pasti tau bahwa menjadi seorang pengusaha tidaklah mudah. Banyak hal yang harus diperhatikan dalam dunia bisnis. Bukan hanya tentang pekerjaan. Tapi juga reputasi. Maka dari itu sebagai seorang pengusaha memerlukan mental yang kuat, dan harus bisa mengontrol ego. Karena jika sampai melakukan kesalahan kecil karena mengikuti ego, reputasi seseorang bisa hancur dalam hitungan detik.
"Selamat atas mansion baru anda tuan Kim. Semoga anda nyaman dengan mansion ini."
"Terima kasih Dave. Aku yakin aku akan betah tinggal di sini."
Kai Kim. Seorang pengusaha muda berumur 35 tahun. Umurnya bisa dibilang muda untuk memiliki sebuah perusahaan yang bekerja dalam bidang perhotelan yang tersebar di 45 negara di dunia. Perusahaan ini bukan hanya jerih payahnya sendiri. Kakek dan ayahnya yang memulai, kemudian Kai mengembangkan perusahaan keluarganya hingga tumbuh menjadi perusahaan perhotelan terbesar di abad ini.
"Apa ada yang harus saya kerjakan lagi tuan?"
"Tidak. Kau bisa pulang Dave. Terima kasih telah banyak membantuku."
"Sama-sama tuan. Apa saya perlu mencarikan orang yang bisa membersihkan rumah tuan?"
"Mmm.. aku pikir aku membutuhkannya. Tolong hubungi Brenda. Aku telah mempercayainya. Katakan padanya ia bisa mulai bekerja di sini mulai minggu depan. Aku hanya ingin rumahku dibersihkan seminggu sekali tiap hari Rabu."
"Saya akan menghubungi Brenda. Apa anda tidak membutuhkan seorang juru masak?"
"Tidak Dave. Aku bisa mengurus itu sendiri. Terima kasih. Kau boleh kembali."
"Baiklah tuan. Selamat sore. Sampai besok."
"Sampai besok Dave." Dave, sekretaris Kai itu segera meninggalkan kediaman baru Kai.
Pria tampan berkulit coklat itu berdiri di depan kaca ruang keluarganya. Ini adalah hari pertama yang akan ia lewati di mansion barunya. Sebelumnya ia tinggal di sebuah mansion mewah di daerah Manhattan. Tapi satu tahun yang lalu ia memutuskan untuk merancang mansion idamannya sendiri dan memilih tempat yang sesuai dengan keinginannya, Malibu 10875 California. Sebuah area dimana terletak jauh dari keramaian. Letak mansion ini bisa dibilng sangat spesial. Karena mansion ini terletak tepat di atas tebing yang tidak terlalu curam dan alasan lain Kai memilih area ini adalah karena di sini ia tak akan memiliki tetangga.
"Sesuai dengan keinginanku." Kai berbicara pada dirinya sendiri berhubung ia tinggal sendirian di mansion megahnya ini. Mansion yang terancang dengan gaya modern dengan lantai marmer serta nuansa putih yang membuat mansion ini menjadi sangat elegan dan nyaman untuk ditinggali.
"Nahh, sepertinya aku akan betah tinggal di sini."
Sore ini Kai berencana untuk berjalan-jalan di sekitar mansionnya. Ia memang sudah mengenal area ini di luar kepala. Ia jatuh cinta dengan suasana dan pemandangan yang disediakan tempat tinggal barunya. Kai berjalan keluar. Ia menuruni tangga dan berjalan menuju tebing di sayap kiri mansionnya.
"Ahh segar sekali." Ia menggerak-gerakkan tubuhnya untuk meregangkan ototnya. Keputusannya untuk membangun rumah ini sangat tepat. Ia membutuhkan suasana tenang dan damai setelah kehidupan sibuknya. Ditambah lagi suara deburan ombak sangat baik untuk melepaskan penat.
Angin berhembus menerpa paras tampan itu. Ia memusatkan pandangannya pada titik terjauh laut lepas dihadapannya. Sangat menenangkan. Kai memajukan langkahnya untuk melihat dasar tebing. Bebatuan besar yang bertabrakan dengan ombak menjadi hal yang paling menonjol di bawah sana. untung saja ia tak memiliki trauma ketinggian. Karena ia sadar, jarak tanah yang ia pijak dengan jarak bebatuan dibawah sana kurang lebih sepuluh meter. Ia mengedarkan pandangannya dari kiri kekanan.
Sebuah objek aneh menangkap perhatian Kai. Ia berusaha mengamati objek tersebut. Terlalu aneh untuk sebuah kenyataan. Ia mengucek matanya beberapa kali untuk mencari fokusnya.
"What the freak is that?" pandangannya mengarah pada sebuah batu besar yang berjarak paling jauh dari jangkauan deburan ombak. Tidak, bukan batu besarnya. Tapi benda yang ada di baliknya. Ada ekor ikan yang sangat indah mencuat dari balik batu itu. Ekor ikan itu berwarna merah keunguan dengan corak emas saat sinar matahari menerpanya.
"Apa aku berhalusinasi?" Kai merogoh ponselnya dan mengambil foto objek tersebut.
"Mungkin saja itu ikan besar yang mati dan terbawa arus hingga terdampar di sana."
"Tapi warnanya indah sekali. Apa aku harus mengeceknya langsung?" Kai memandangi hasil jepretan di ponselnya.
"Jangan bodoh Kai." Ia menghapus foto itu dari ponselnya.
"Ahh masa bodoh, aku penasaran." Dengan langkah tergesa-gesa ia menuju sisi lain halaman rumahnya yang menyediakan jalan yang tidak begitu terjal menuju dasar tebing. Suhu dimusim semi bisa terbilang menyejukkan. Angin yang berhembus tidak terlalu kencang, serta aroma khas pohon dan rumput yang mulai tumbuh dan menghijau menjadi ciri khasnya.
Jantung Kai berdebar. Karena, jauh dalam otaknya ia yakin bahwa objek itu bukanlah seekor ikan biasa. Tapi ia berusaha mati-matian menampik pikiran tak rasionalnya. Karena ia tau, mereka hanya mahluk fiktif atau tidak nyata.
Ia berjalan hingga pada perpotongan tebing terakhir. Ia berjalan menuju batu besar yang sedari tadi menjadi pusat rasa penasarannya. Di sana, di ujung sana, ia bisa melihat ekor ikan yang bergerak-gerak. Kai memelankan langkahnya dan berjalan mengendap-endap. Celana kain dan kemeja putihnya basah karena ombak. Rambut dan wajahnya juga, meskipun tidak terlalu parah.
Kai berjalan menuju balik batu itu. Sungguh ia kaget bukan main. Tubuhnya kaku karena tak percaya dengan apa yang ia lihat. Suaranya tercekat, dan jantungnya berdegup kencang. Punggung telanjang itu menyambut pandangannya. Rambut hitam panjang terurai kedepan, hingga keseluruhan punggungnya terlihat. Seorang wanita tengah duduk dengan bahu yang bersandar pada batu besar tadi. Bukan punggungnya yang membuat Kai terkejut, melainkan kaki wanita itu. Ia tak menemukan sepasang kaki, tetapi ekor ikan yang besar dengan warna yang sangat cantik. Tak pernah terbayang dalam kepalanya bahwa mahluk seperti ini benar-benar ada. Kai masih terpaku dan tak bergerak sama-sekali.
"Apa kau akan terus berdiri di sana?" Wanita itu berucap tanpa membalikkan tubuhnya menghhadap Kai.
Dia bisa bicara? Kata Kai dalam hati.
"Kau masih terkejut rupanya. Aku bukan mahluk buruk rupa." Wanita itu kembali bersuara. Suara yang indah.
"Ekheemm.. mana ku tau kalau kau bukan mahluk buruk rupa?" kesadaran Kai kembali. Ia memberanikan diri untuk berjongkok di belakang mahluk itu. Tidak, ia tidak mendekat. Ia berjongkok dengan jarak lima meter di belakangnya. Wanita itu setengah membalikkan tubuhnya dan bertumpu dengan tangan kirinya. Kai terperanjat dengan paras si wanita.
"Apa aku terlalu buruk untuk ukuran manusia?" Wanita itu memandang Kai dengan tatapan tajamnya. Kulit putih, hidung mancung, dan bibir merah muda itu sangat sempurna dengan bingkai rahang si wanita yang tajam dan kecil. Rambut hitam panjang itu menutupi dua buah dadanya. Ada luka kecil dengan darah mengering di dahi si wanita.
"Kau indah. Aku tak pernah menyangka mahluk sepertimu benar-benar nyata." Kai bergerak mendekat dan mensejajarkan posisinya dengan si wanita, segala sesuatau dari wanita di depannya ini sangat indah. Ia memberanikan diri untuk menyentuh dahi terluka wanita itu.
Kkkkhhhhh...
Wanita itu mengeluarkan suara mengancam dan menunjukkan dua taring pendek yang tertata rapi pada deretan giginya.
"Wow wow tenanglah, aku hanya ingin memeriksa lukamu."
"Hanya memeriksa lukaku? Tinggalkan saja aku di sini, aku sedang menunggu kematian." Ia kembali memfokuskan pandangannya pada laut lepas.
"Menunggu kematian? Apa yang terjadi denganmu?" Kai sangat kagum dengan mahluk ini. Wanita ini tidak bisa disebut sebagai manusia, karena setengah tubuhnya adalah ikan. Dan kekagumannya bertambah karena wanita ini bisa berbahasa manusia dengan lancar.
"Bukan urusanmu!" Entahlah apa yang terjadi dengan wanita ini, tapi nada bicaranya dari tadi sangat sinis.
"Baiklah kalau bukan urusanku. Lebih baik kau segera kembali ke laut. Bahaya jika orang lain mengetahui keberadaanmu." Wanita itu menatap Kai tiba-tiba.
"Pergilah! Tinggalkan aku."
"Aku tidak akan meninggalkan tempat ini jika kau tidak pergi duluan. Manusia memiliki sifat keingin tahuan yang tinggi. Dan jika mereka menemukan keberadaan mahluk sepertimu, aku tidak yakin mereka akan melakukan hal baik kepadamu."
"Kau mengatakannya seolah kau bukan manusia saja." wanita itu tersenyum remeh pada Kai.
"Aku memang manusia. Tetapi aku bukan tipe seperti itu. Aku berjanji akan menyimpan ini sebagai rahasiaku dan tak akan mengatakannya pada siapapun. Sekarang cepat pergilah. Laut akan segera pasang."
"Aku sama sekali tidak mempercayai manusia."
"Kita hanya berbicara dan aku cukup waras untuk tidak menjual cerita pada orang-orang bahwa aku berbicara dengan seorang wanita setengah ikan kakap merah tanpa bukti apapun."
"Kakap merah?" wanita itu menunjukkan ekspresi tidak senang pada Kai.
"Kau bukan jenis ikan kakap merah?" Kai tersenyum canggung karena jawabannya.
"Kakap merah tidak ada yang secantik diriku!"
"Baiklah maafkan aku. Bukannya aku mengusirmu, tapi aku menganjurkanmu untuk segera pergi. Berhubungan dengan manusia bukan hal yang baik untukmu." Kai kembali membujuk si wanita agar segera kembali.
Sebenarnya bisa saja aku menangkap paksa wanita ini dan menjualnya pada peneliti. Tapi tidak, aku bukan orang yang haus uang. Membiarkan dia lepas adalah pilihan yang paling baik saat ini. Kata Kai dalam hati
"Aku ingin mati di sini." Wanita itu mengatakannya tanpa ekspresi.
"Sebenarnya ada apa denganmu. Pergilah! Di daerah ini tidak akan pernah ada orang selain aku. Aku telah membeli area ini. Dan di atas tebing sana, aku mendirikan rumah. Aku tak ingin kau mati di area kepemilikanku." Sebenarnya Kai tidak bermaksud buruk, ia hanya ingin si wanita kembali ke alamnya. Bukan di sini, di dunia manusia, di belakang rumah Kai lebih tepatnya.
"Heeii.. maafkan aku, aku tidak bermaksud jahat. Aku hanya takut orang lain akan melihatmu dan melakukan hal-hal buruk."
"Tulang ekorku patah. Dan aku terbawa arus hingga terdampar ke sini. Aku tak bisa menggerakkan ekorku." Wanita itu mengatakannya masih dengan tatapan angkuh.
"Hahh.. Lalu apa rencanamu?" Kai menghela nafas kencang.
"Sudah ku bilang aku akan mati di sini."
"Apa pikiranmu hanya mati saja? Panggil temanmu agar menjemputmu."
Apa mereka juga memiliki telepon? Sebenarnya Kai sangat penasaran dengan kehidupan si wanita. tapi ia tak berani bertanya.
"Aku terbuang. Dan mereka tak akan pernah mendengar panggilanku." suara si wanita melemah pada bagian akhir kalimat.
"Ya tuhan.." Kai memejamkan sebentar matanya.
"Aku bisa membantumu." Kai langsung dihadiahi tatapan menilai dari si wanita.
"Jangan menatapku seperti itu! Aku bahkan belum selesai bicara."
"Aku menaruh curiga kepadamu!"
"Apa aku terlihat seperti orang jahat? Apa aku terlihat seperti orang yang kekurangan uang? Kalau aku miskin mungkin aku sudah menangkapmu secara paksa dan menjualmu pada para peneliti."
"Kau sedang berusaha menangkapku dengan cara menawarkan bantuan."
"Ya sudahlah. Terserah kau. Aku tinggal sendiri di rumah, jadi aku jamin tak akan ada yang mengetahui bahwa kau berada di sana. Aku juga memiliki kolam renang yang luas, kau bisa leluasa berenang. Selain itu aku cukup tau dunia medis." Si wanita tak memberi Kai jawaban apapun.
Jangan mau kutolong kumohon. Aku tak ingin berurusan dengan wanita jadi-jadian sepertimu.
"Aku baru tau ternyata wanita setengah kakap merah bisa se keras kepala ini. Baiklah selamat tinggal." Kai berdiri dan hendak menjauh.
Syukurlah kalau kau tak mau. Kai tersenyum dalam hati. Tapi ia merasakan kakinya tertahan oleh sesuatu.
"Kau bisa melakukan hal buruk apapun padaku, aku telah dibuang." Kai mengangkat satu alisnya.
"Aku tidak bisa berjalan. Jadi akan sangat membantu jika kau menggendongku." Kai membuang nafas kencang, lalu dengan sigap berlutut di samping wanita dan menggendongnya gaya bridal. Wanita ini sungguh cantik. Kai sempat melirik dada polosnya yang hanya tertutupi beberapa helai rambut. Sepertinya ia harus membelikan wanita ini beberapa pakaian.
Kai menggengdong si wanita menaiki tebing, untung ia selalu berolah raga sehingga ototnya terlatih mengangkat beban-beban berat. Tubuh wanita dewasa terbilang berat meskipun wanita itu kurus. Mereka sampai pada tanjakan terakhir, pemandangan pertaman yang tersaji adalah taman belakang rumah yang besar dengan kolam renang luas.
"Woww.. jadi seperti ini rumah manusia."
"Memangnya seperti apa rumah bangsamu?" kata Kai sambil berjalan menuju pintu masuk.
"Kami tinggal di gua laut dalam."
"Okay, ngomong-ngomong aku kira kau tidak dalam masa dimana kau bisa berenang bebas. Jadi kolam renang adalah ide buruk. Apa aku benar?" Kai berhenti di depan kolam renang.
"Tidak juga, aku bisa duduk di pinggir kolam renang."
"Aku memiliki ide yang lebih baik." Kai berjalan menuju rumahnya.
"Kau tinggal di dalam sini?"
"Iya." Kai berjalan menaiki tangga menuju kamarnya.
"Rumah sebesar ini? apa pekerjaanmu?" Kai kagum dengan si wanita, ia lumayan tau tentang kehidupan manusia.
"Aku seorang pengusaha." Wanita itu mengeratkan pelukannya pada leher Kai.
"Ruang apa ini?"
"Ini kamar tidurku. Aku tidur di sana. Dan untukmu, sebenarnya aku tidak tau kau akan tidur dimana tapi aku memiliki bath tub jadi kupikir itu pilihan terbaik saat ini."
"Tempat tidurmu terlihat nyaman."
"Sangat nyaman." Kai membawa si wanita dalam sebuah bak mandi besar, cukup untuk merendam ekor ikannya dan juga ini tidak terlalu dalam. Kai menyalakan kran dan mengatur temperaturnya agar menjadi hangat.
"Apa ini nyaman untukmu?"
"Ya." Wanita itu mengatakannya sambil memandangi tubuh Kai yang tercetak jelas di balik kaos basah transparan yang Kai kenakan.
"Baiklah. Jadi siapa namamu?" Kai duduk di pinggir bak mandi.
"Sehun."
"Nama yang indah. Kau bisa memanggilku Kai."
"Kai."
"Lebih baikkan? Kau tunggulah di sini aku ingin mengganti pakaianku." Sehun mengangguk. Ia melihat Kai berjalan keluar kamar mandi. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan.
"Woww manusia bisa membuat sesuatu seperti ini?"
"Mengapa mereka bisa sangat pintar?" Sehun melihat kearah kran air.
"Aku pikir airnya cukup." Sehun berusaha memutar kran air agar berhenti. Tapi ia memutar pada kran yang salah dan berakhir dengan suhu air yang berubah menjadi sangat panas.
"AAWWHH.." Sehun memutar kran air yang lainnya, dan airpun berhenti mengalir.
"Ada apa Sehun?" Kai kembali masuk kedalam kamar mandi hanya dengan celana jeans panjang hitam dan belum sempat mengenakan kaosnya.
"Aku salah memutar ini. Tanganku tersiram air panas." Sehun memeluk tangannya sendiri.
"Kau ini mengagetkan saja." Kai duduk di samping bak mandi menghadap Sehun.
"Yang kanan untuk mengatur suhu, semakin kau putar ke bawah, suhunya akan semakin tinggi. Suhu tinggi berarti airnya akan semakin panas. Dan yang kanan, untuk mengatur derasnya air. Jika kau putar ke bawah, air akan mengalir semakin cepat, dan jika ke atas air akan melambar dan akan berhenti. Kau mengerti? Ini disebut kran air." Sehun mengangguk.
"Pintar. Aku akan mengambil kaosku dan kembali. Tunggu sebentar." Kai mengusap kepala Sehun sebagai pujian.
"Kai tunggu! aku ingin mengatakan sesuatu." Sehun menarik lengan kanan kiri Kai.
"Ada apa?"
"Aku bisa berubah menjadi manusia jika ekorku kering." Kai tertarik pada bahasan ini. Akan lebih baik jika Sehun memiliki dua kaki.
"Benarkah?" Kai memajukan tubuhnya pada Sehun.
"Ya."
"Apa kau ingin aku mengeringkan ekormu?"
"Jika kau ingin memeriksa lukaku, bukankah lebih baik dengan wujud manusia?"
"Kau benar." Kai mengangkat tubuh Sehun dan menyambar sebuah handuk. Ia berjalan menuju ranjang luasnya. Kai menidurkan Sehun pelan dan mengganjalkan bantal pada punggungnya.
"Ahh pelan-pelan sakit."
"Maafkan aku."
"Tinggal dikeringkan saja." Sehun menatap Kai yang dari tadi hanya menatap ekor Sehun.
"O-oh Okay." Kai mendudukkan tubuhnya di samping Sehun dan mulai mengelap ekor Sehun dari atas. Sebenarnya ia sudah sangat canggung. Apa lagi sehun tidak mengenakan atasan apapun. Sedari tadi Kai sudah sangat menahan diri agar tidak menatap dada sempurna itu secara langsung. Kai menelan ludahnya keras, ia berusaha membuang bayangan dada besar itu jauh-jauh dan memfokuskan pikirannya untuk mengeringkan kaki Sehun. Ia mengusapnya dari atas hingga ekor bagian bawah Sehun.
"Aku yakin ini sudah kering." Kai berhenti mengusapnya. Dalam hitungan detik, sirip-sirip kecil itu memendek dan sisik-sisik bergradasi merah itu menipis dan menghilang. Ekor lebar Sehun juga memendek dan berubah bentuk menjadi telapak kaki, hingga akhirnya ekor cantik itu berubah menjadi sepasang kaku ramping yang cantik. Sehun menekuk kaki kirinya dan memeluknya agar menutupi bagian kewanitaannya. Kai menyadari keadaan canggung ini.
"Aku pikir kau butuh pakaian Sehun." Kai berjalan cepat menuju walk in closset miliknya.
"Fuck fuck fuck fuck fuck." Ia merapalkan kata-kata mutiaranya.
"Jangan tegang bodoh jangan tegang!" Kai meremas kejantanannya.
"Pakaian untuk Sehun pakaian untuk Sehun." Kai berusaha mengalihkan pikirannya dari pemandangan yang baru saja ia lihat. Ia meraih sebuah kaos biru muda dengan celana pendek dengan tali karet yang ia miliki.
"Sehun ini untukmu." Kai memberikan pakaian itu untuk Sehun tanpa melihatnya.
"Kai, aku tak tau cara memakai ini." Sehun menundukkan kepalanya.
"Huhh, okay aku akan membantumu. Jadi untuk selanjutnya kau tau bagaimana cara memakai pakaian yang benar." Kai meraih kaos birunya, ia yakin pasti sangat kebesaran. Ia memakaikan kaos itu dengan telaten. Sehun memperhatikannya dengan baik.
"Nah, sekarang celananya." Kai memakaikan Sehun celananya, sungguh ini adalah cobaan yang sangat buruk. Sesuatu dalam celananya sudah sangat menggembung. Kai menahan nafas saat celana itu melewati pinggul Sehun. Sedangkan Sehun, ia hanya mengamati cara Kai memakaikan pakaian padanya.
"Selesai. Sangat mudahkan." Kai tersenyum canggung, Sehun bergerak-gerak tidak nyaman. Ia membawa tangannya untuk meraba pangkal pahanya. Kai yang melihat itu langsung melotot dan menahan nafas.
"Kai.. ini sangat tidak nyaman. Rasanya ada sesuatu yang-"
"Ya, baiklah aku mengerti. Kau merasakannya karena tidak mengenakan celana dalam. Aku sudah menduganya pasti ini tidak nyaman, tapi ya sudah. Kita lepaskan saja." Kai memotong omongan Sehun karena ia sungguh tidak sabar ingin segera ke toilet. Ia menarik celana itu pelan agar kaki Sehun tidak sakit.
"Huhh.. begini lebih baik." Sehun menarik bajunya agar menutupi bagian kewanitaannya.
"Aku akan ke toilet dulu Sehun. Kau diam disini." Kai bergegas menuju kamar mandi dan segera melakukan hal yang dapat memuaskan dirinya.
.
.
.
"Jadi kaki kanan? Lihat ini adalah pertolongan pertama saat mengalami patah tulang pada kaki." Kai menunjukkan sebuah papan plastik tipis untuk menahan bentuk tulang Sehun agar tidak bergeser, ia meletakkan dua papan pada bagian kanan dan kiri kaki Sehun. Kemudian ia membungkus kaki Sehun dengan gips panjang agar papan itu tetap pada tempatnya. Ia juga menempelkan plester di dahi Sehun yang terluka.
"Pertolongan pertama selesai. Aku sudah membuat janji dengan dokter dan besok kita akan ke sana."
"Terima kasih. Dokter adalah orang yang mengobati orang sakit bukan?"
"Ya kau benar. Bagaimana kau tau?" Kai mengusap kepala Sehun.
"Banyak orang yang berlayar akhir-akhir ini. Dan aku senang mendengarkan percakapan mereka. Aku memperoleh banyak informasi dari situ." Sehun tersenyum kecil.
"Kau pintar dan cantik. Jadi, makanan apa yang sering kau makan?" Kai berdiri dari sisi ranjang Sehun.
"Aku menyukai rumput laut dan ikan-ikan kecil."
"Sepertinya aku punya lembaran rumput laut kering, dan beberapa ikan. Tunggu di sini aku akan memasak untukmu."
"Perlu dimasak? Tidak perlu repot-repot aku bisa memakannya mentah." Kai tersedak ludahnya.
"Sehun, sekarang kau tinggal denganku. Dengan seorang manusia. Kau harus hidup dengan cara kami."
"Kalau begitu boleh aku melihatmu memasak?" Kai bingung kemana perginya Sehun yang tadi sangat sinis dan galak.
"Tentu. Kemarilah aku akan menggendongmu." Kai kembali menggendong Sehun. Kali ini bukan gaya bridal, tapi gaya koala. Sehun melingkarkan kedua tangannya melingkari leher Kai. Kai menopang tubuh Sehun dengan kedua telapak tangan yang menangkup pantat Sehun.
"Emm.. Kau tidak terlalu akrab denganku untuk meletakkan tanganmu disana." Sehun mengeluarkan suaranya dari balik punggung Kai. Kai langsung mengganti kedua telapak tangannya dengan lengan bawahnya.
"Bukankah sama saja? aku tetap menopang tubuhmu dengan tanganku."
"Berani berbicara tentang hal ini sekali lagi dan aku akan menggigit telingamu." Dan Kaipun langsung diam tak mengatakan apapun. Ia berjalan menuruni tangga. Banyak pertanyaan di kepala Kai tentang Sehun. Tapi ia sadar ini bukan saat yang tepat untuk bertanya. Kai mendudukkan Sehun di atas kursi meja bar.
"Ini tempat apa?"
"Ini di sebut dapur dan dapur tempat untuk memasak." Kai membuka kulkas untuk mencari bahan makanan.
"Dan ini disebut kulkas. Tempat menyimpan makanan agar tahan lama." Kai mengeluarkan tuna kaleng, potongan salmon dan beberapa sayuran.
"Salmon, apa aku boleh memakannya sekarang?"
"Aku akan mengolahnya dulu Sehun. Setelah itu kau bisa memakannya." Kai dengan cekatan membuat olahan dari bahan-bahan bedasar ikan dan sayur-sayuran. Sudah sekitar 15 tahun ia hidup sendiri, tentu saja sangat mudah baginya untuk mengurus masalah makan. Sehun mengamati Kai dari tempatnya. Ia melihat bagaimana tangan kekar itu sangat lincah dalam permainan pisaunya. Sehun mempelajari cara hidup manusia melalui Kai. Nama-nama asing dari berbagai alat yang sering digunakan manusia, dan berbagai hal lain yang tak pernah ia lakukan.
"Selesai Sehun. Kita makan di meja makan."
"Meja makan? Mengapa tidak di sini?" Kai menghampiri Sehun dan menggendongnya.
"Karena ini dapur, untuk memasak. Bukan untuk makan." Kai mendudukkan Sehun di sebuah kursi, lalu ia berjalan memutari meja makan dan duduk tepat di hadapan Sehun.
"Jadi apa ini?"
"Salmon dengan salad tuna dan rumput laut. Aku harap kau menyukainya."
"Cantik sekali. Melihat banyak alat-alat aneh di samping makanan ini, aku pikir akan sangat salah jika aku makan dengan tangan." Kai tertawa, ia kagum dengan kecerdasan Sehun.
"Kau benar. Lihat aku Sehun, ini adalah garpu. Dan ini pisau makan. Kau menggunakan mereka untuk memotong makanan." Kai mempraktekkan dengan memotong salmon lalu memasukkan ke dalam mulutnya. Sehun mengikuti cara Kai dengan baik, ia termasuk pintar belajar. Dengan contoh sederhana yang Kai berikan, Sehun bisa mengembangkannya sendiri.
"Kau pintar Sehun." Kai kembali memuji Sehun. Mendengar pujian Kai, Sehun memajukan kepalanya.
"Huh? Ada apa?" Kai bingung karena Sehun berhenti makan dan memajukan kepalanya pada Kai.
"Kau tidak mau mengusap kepalaku?" Sehun bertanya.
"Ahh, itu." Kai terawa kecil, dan mengusap kepala Sehun.
"Tiba-tiba aku merasa seperti seorang ayah." Kai berbicara sendiri pada dirinya.
"Kau sudah memiliki anak?" Sehun menjawab pertanyaan Kai sambil mengunyah.
"Tidak, aku hanya asal bicara." Kai nyengir, untung saja Sehun terlalu polos untuk perkataan seperti ini. Mereka melanjutkan acara makan dengan sesekali Kai mengajarkan hal-hal dasar pada Sehun tentang etika-etika di meja makan, seperti makan dengan pelan, tidak berbicara saat mulut penuh, tidak kecap saat makan, dan lain sebagainya.
"Ini botol apa Kai?" Sehun menunjuk sebuah botol.
"Ini wine. Ini adalah minuman olahan anggur yang difermentasi hingga mengandung alkohol. Jika terlalu banyak minum dan ketahanan tubuhmu pada alkohol rendah, kau bisa mabuk. Apa kau tau apa itu mabuk?"
"Apa mabuk adalah kegiatan saat seseorang mengeluarkan seluruh isi perutnya melalu mulut? Aku sering melihat orang seperti itu saat mereka menaiki kapal." Kai teratwa dengan jawaban Sehun.
"Ya kau benar." Kai menegak minumannya. Setelah mereka selesai, ia membawa Sehun ke ruang tengah. Tempat dimana mereka bisa bersantai. Ada sebuah sofa panjang dan sofa tunggal di sana. Kai mendudukkan Sehun pada sofa panjang agar ia dapat meluruskan kakinya dan Kai duduk di sofa tunggal itu.
"Ini adalah ruangan kesukaanku. Kita bisa memandang laut dari sini." Terdapat kaca besar di hadapan mereka yang menyajika pemandangan yang sangat indah. Seperti malam ini, tidak ada mendung, langit cerah dengan ribuan bintang yang menghiasi.
"Sehun aku memiliki banyak pertanyaan diotakku tentangmu."
"Aku tau. Aku bisa menebaknya." Kembalilah Sehun dengan kalimat tajamnya.
"Apa aku boleh bertanya?"
"Aku akan memberimu kesempatan bertanya tiga kali dalam sehari. Karena aku termasuk orang yang malas memberi informasi. Terlebih pada manusia. Aku belum sepenuhnya percaya pada mereka." Sehun memandang sinis pada Kai.
"Kemana perginya Sehun yang suka bertanya dengan nada manja?" Kai mengangkat satu alisnya. Dan Sehun menjawabnya dengan tatapan tajam.
"Baiklah aku setuju."
"Dasar wanita kakap, mahluk apa dia sebenarnya." Kai berbicara pada dirinya sendiri dengan nada pelan. Dan sebuah bantal melayang menghantam kepala Kai.
"Heii! Apa yang barusan aku katakan tentang sopan santun?" Kai protes pada Sehun.
"Kau yang tidak punya sopan santun Kai! sudah kubilang tadi aku bukan kakap merah! Aku adalah mermaid, orang-orang menyebutku putri duyung." Sehun merendahkan suaranya.
"Pertanyaan kedua!" kata Sehun.
"Apa? Yang tadi bukan pertanyaanku. Aku bertanya pada diriku sendiri, bukan padamu." Kai menolehkan kepalanya pada Sehun.
"Tidak mau tau, berikan pertanyaan keduamu. Cepat!" Sehun bersendekap dengan gaya angkuhnya.
"Baiklah, bagaimana bisa tulang ekormu patah?" Kai menahan emosinya.
"Aku adalah tipe duyung yang tidak suka diam di dasar laut. Aku senang ke permukaan. Mempelajari tentang hal-hal lain yang tidak bisa kudapatkan di dalam sana."
"Lalu?"
"Seperti biasanya, aku senang berenang di dekat kapal manusia. Aku bisa mendengar mereka berbicara tentang hal-hal menarik. Saat itu aku tidak terlalu fokus karena terjadi gerhana bulan total. Aku melemah dan saat aku hendak pergi, kapal itu menabrak ekorku. Aku tidak bisa bergerak dan ombak membawaku ke tempat dimana kau menemukanku." Sehun melamun menghadap laut.
"Pertanyaan terakhir?"
"Apa di dasar laut banyak mahluk sepertimu?"
"Jika yang kau maksud duyung, maka ya. Jumlah kami banyak."
"Apa kalian-"
"Sesi interview ditutup. Kau bisa menyimpan pertanyaanmu untuk besok."
"Untuk ukuran ikan yang hidup di dasar laut, kau cukup pintar. Pemilihan kata yang kau gunakan baik sekali."
"Aku mendengar percakapan orang-orang kaya itu dan aku belajar dari sana. Sudah-sudah aku tidak mau menjawab lagi! Aku ingin mandi."
"Kau benar, tubuhku gatal karena air laut. Gara-gara mengurusimu aku jadi tak sempat mandikan." Kai berjalan meninggalkan Sehun.
"Hei mau kemana kau? bantu aku."
"Aku mau mandi, tunggu di sini aku tidak lama."
"Aku juga ingin mandi." Sehun berteriak pada Kai.
"Apa aku tidak salah dengar? Kau barusaja berendam air hangat."
"Aku juga ingin main air. Ayo kita mandi bersama." Sehun mengajak Kai dengan senyuman innocent-nya. Kai melotot karena kaget. Kai berjalan menghampiri Sehun dan mengangkatnya.
"Dasar manusia mesum! Aku hanya bercanda!" Sehun memukuli dada Kai.
"Aku bahkan sudah melihatamu telanjang." Kai menggendong Sehun menuju kamarnya.
"Tapi aku hanya bercanda ayolahhh." Sehun mengeluarkan nada manjanya.
"Terlambat." Kai membuka kamarnya dan langsung menuju kamar mandi.
"Kau mandi di sini, aku akan ke kamar mandi lain." Kai mendudukkan Sehun di pinggir bak mandi.
"Apa kau yakin ingin mandi lagi? Kau harus melepas gips mu jika iya." Kai berjongkok di depan Sehun.
"Sebenarnya aku hanya bercanda. Aku hanya ingin lepas dari pertanyaan-pertanyaanmu." Kai mendengus.
"Baiklah sekarang kalau begitu kau tunggu di kamar, aku ingin mandi." Kai kembali menggendong tubuh Sehun dan memindahkannya ke kamar. Ia berjalan menuju kamar mandi, otaknya sekarang penuh dengan paha mulus ramping itu. Semua pria normal pasti akan mengalami hal yang sama jika berada di posisi Kai. Sepertinya pilihan yang salah telah menawarkan bantuan untuk si wanita ikan. Selain itu, Kai harus terbiasa dengan bermain solo di kamar mandi lebih dari dua kali sekari. Kai selesai mandi dengan cepat. Ia segera keluar kamar. Sehun duduk sambil memandangnya.
"Apa yang akan kita lakukan?"
"Aku akan mengecek beberapa data. Pekerjaan." Kai mengambil laptopnya dan membaringkan diri di samping Sehun.
"Apa ada sesuatu yang bisa kukerjakan?" Tanya Sehun.
"Apa yang ingin kau lakukan?"
"Aku ingin belajar membaca." Kai menoleh pada Sehun.
"Aku tau bentuk-bentuk huruf itu di luar kepala. Tapi aku tak bisa membacanya."
"Benarkah?" dan malam itu Kai mengajari Sehun membaca huruf dan angka. Kemampuan Sehun sangat mengagumkan. Ia bisa menghafal semua pengucapan tiap huruf dalam hitungan menit. Kai sangat kaget dengan kecerdasan Sehun. Kai tak perlu mengulai apa yang ia telah jelaskan karena Sehun dapat menangkapnya dengan cepat dan tepat. Setelah mengajari Sehun tentang segala pengucapan dalam membaca, Sehun menyuruh Kai kembali pada pekerjaannya. Ia ingin belajar sendiri. Kekaguman Kai tak berhenti di situ, ketika Kai memberikan sebuah buku tentang Napoleon pada Sehun, Sehun menanggapi dengan "Napoleon si penguasa? Dia sombong tapi sangat kuat. Tak heran namanya melegenda." Kai sangat kagum dengan pengetahuan Sehun.
Dua jam terasa sangat cepat. Kai menutup laptopnya dan menghadap pada Sehun.
"Jadi bagaimana dengan buku itu?"
"Aku menyukainya. Apalagi bahasa penulisan yang digunakan sangat cantik. Aku kagum dengan si penulis." Kai tersenyum dengan penuturan Sehun.
"Bisa kau bacakan aku satu alenia untukku?"
"Tentu, Jangan pernah mengganggu musuhmu saat dia melakukan kesalahan. Jika kau ingin sukses di dunia, dengan menjanjikan segalanya dan berakhir dengan tidak memberikan apa-apa. Agama adalah apa yang membuat orang miskin tidak membunuh orang kaya. Seorang pemimpin adalah penyalur dari yang berharap. Karena tentara bergerak di atas perutnya. Mustahil adalah sebuah kata yang bisa ditemukan hanya dalam kamus orang bodoh. Saat imajinasi menguasai dunia. Kemampuan itu tidak ada apa-apa tanpa adanya kesempatan. Sejarah adalah seperangkat kebohongan yang disepakati." Sehun membacanya dengan tempo normal seolah ia telah belajar membaca sebelumnya.
"Kau sangat menakjubkan Sehun. Aku bangga padamu." Kai tak percaya dengan apa yang Sehun baca. Ia masih sangat terkejut dengan kepintaran Sehun. Sehun memajukan kepalanya, Kaipun mengerti apa yang harus dia lakukan.
"Good girl." Kai pengusap kepala Sehun.
"Apa kau sudah mengantuk? Ini sudah pukul 11 malam Sehun." Kai menengok jam digital yang ada di meja nakasnya.
"Bagaimana bisa kau membaca waktu?" sisi penasaran Sehun kembali muncul. Kai tersenyum.
"Kau ingin belajar tentang waktu?" Sehun mengangguk. Kai hanya menjelaskan singkat tentang pembacaan waktu. Dan sesuai dugaannya, Sehun dapat belajar dengan cepat. Lima belas menit lebih dari cukup bagi Sehun untuk mengetahui cara membaca waktu.
"Nahh, cukup untuk hari ini. Kau harus tidur." Kai berdiri dari tidurnya.
"Kau akan tidur di mana?" Sehun menarik tangan Kai.
"Di kamar tamu. Kau tidurlah di sini. Besok aku akan membangunkanmu." Sehun mengengguk mengerti. Kai mematikan lampu dan menutup pintu dari luar.
"Ibu, maafkan aku." Sehun menangis sambil melihat ke arah lautan di luar jendela.
.
.
.
TBC/END(?)
Hallo readers.. ketemu lagi di cerita ke tiga.
Mohon dukungannya buat ff ini ya. biasanya aku baca ulang sampek 3x tapi ini cm sekali
kalo respon positif ntar aku buat lanjutannya
Mohon reviewnya teman-teman:)
Third story of redaddict
