it's not about the end.

(c) sinnamonroll felivevo.

[ the boyz'sjuyeon/hyunjae ]

warning : bxb, typos, after war!au, criminal!hyunjae, plot hole.

don't like? don't read

enjoy!

.

.

.

.

.

Tidak ada cincin, tidak ada bunga. Hanya kehidupan yang Juyeon janjikan, dan Hyunjae tetap meraih tangannya.

.

.

.

.

.

Sejarah mencatat, perang hebat yang meletus lima tahun silam menyebabkan bumi kehilangan sepertiga populasi manusia. Jumlah itu belum termasuk prajurit tanpa identitas yang mengorbankan nyawa cuma-cuma dan orang-orang yang jasadnya hilang tak ditemukan. Sisa-sisa perang bahkan masih bisa terlihat sampai sekarangㅡreruntuhan bangunan yang mulai dimakan usia, bekas-bekas senjata terbengkalai begitu saja, dan anak-anak yang kehilangan orang tua.

Pemerintah seluruh dunia sebisa mungkin menghapus tragedi mengerikan ini dari benak masyarakat. Gedung-gedung pencakar langit dibangun kembali, ratusan kendaraan diperbaiki, anak-anak sebatang kara dijanjikan masa depan walau terpaksa tinggal di panti. Perlahan-lahan, semua mulai berjalan normal. Umat manusia yang tersisa lama-lama mulai terbiasa. Seolah penyerangan bangsa Mars pada bumi kemarin-kemarin hanya sebuah dongeng pengantar waktu istirahat.

Namun, sayangnya, seberapa keras pun berusaha ingatan akan letusan senjata dan ledakan dimana-mana tidak bisa dihapus dari kepala. Ya, disana; trauma masih bertahan.

Juyeon tidak menampik. Telinganya menjadi sensitif akan suara kokangan senjata, bawaannya pingin memanggil seluruh pasukan dan mengepung secara sepihak. Meski itu hanya bagian dari latihan biasa, dan meski bukan ia pemeran utamanya. Pasca perang, laki-laki yang baru lulus kuliah ini mendadak menempati posisi khusus di Kemiliteran Korea Selatanㅡpadahal jurusan sastra yang diambilnya tidak berhubungan sama sekali dengan tembak menembak.

Semua diberikan cuma-cuma atas jasa yang menurut Juyeom tak seberapa. Rumah, uang, penghargaan, jabatan, dan sebagainya, dan lainnya. Pemerintah nampaknya begitu memperhatikan prajurit perang yang masih bertahan hidup. Padahal, yang dilakukan Juyeon pada perang kemarin hanya dua hal; nekat menjadi ahli strategi dadakan, dan menangkap salah satu buronan dari planet tetangga yang telah menewaskan banyak nyawa.

Jangan bercanda. Mana pernah ia menghabisi lawan. Menodongkan senjata saja jarang terjadi, memimpin prajurit lain maju menyerang hanya di dalam mimpi. Juyeon bekerja di belakang layarㅡmenyusun strategi sebaik mungkin, dan memastikan tingkat keberhasilan rencananya diatas lima puluh persen. Hanya itu yang tubuhnya mampu lakukan. Apalagi, sewaktu sekolah ia sama sekali tidak pernah mendapat pelatihan militer seperti orang lainㅡpadahal itu penting, ia juga wajib melindungi diri. Syarat seleksi warga sipil yang layak berperang salah satunya adalah pernah menyenyam latihan persenjataan minimal di sekolah dasar.

Tidak. Bukannya sekolahnya yang tidak menyediakan. Namun sejak di usia kanak-kanak, Juyeon sehari-harinya hanya terbaring di ranjang rumah sakit, berkonsultasi dengan dokter tiga hari sekali, dan rutin mengonsumsi obat yang rasanya pahit mencekik. Haah. Penyakit bawaan memang merepotkan.

Oleh karena itu, sebenarnya, sebenarnya banyak orang yang lebih pantas menerima semua hadiah ini dibanding dengan dirinyaㅡorang-orang, yang sayang, sudah terkubur di bawah tanah tanpa dikenali siapa.

Tentu saja, perang lima tahun lalu meninggalkan bekas.

"Lama tidak berjumpa, Tuan Berwajah Datar."

Sorot tajam itu tertangkap penglihatan mata. Kursi yang didudukinya jatuh berkelontang. Juyeon menyungingkan cengir menyebalkan dan merentangkan tangan untuk menarik seorang lelaki ke dalam pelukanㅡmeski balasan yang ia dapatkan hanya dengus remeh yang memancing kedutan di bawah mata.

"Kau banyak berubah, ya, Orang Bumi? Tidak kusangka bacotmu melebihi omong kosong para sipir yang mendadak sok alim menceramahiku di dalam sana."

Juyeon dipaksa melepaskan pelukan itu oleh sebuah tamparan yang langsung menghantam wajahnya. "Hei!"

Dengusan kembali terlontar di udara. Dengan gerak halus, sosok itu kembali mendaratkan tubuhnya diatas kursi yang tersedia. "Jangan sembarangan memeluk orang. Aku tidak sudi."

Sembari mengusap pipinya yang terasa panas, Juyeon pura-pura menekuk wajah. Ia menarik kursinya dari lantai dan kembali duduk disana. "Padahal aku sudah baik sekali menjemputmu disini, lho."

Laki-laki di depannya pura-pura terkejut. "Benarkah?! Kau pikir, aku peduli?"

Cukup lama mereka bertukar pandang, Juyeon akhirnya kembali memberikan cengiran lebar. Tanpa peduli dengan tatapan menusuk yang dilontarkan padanya, ia mengusap surai kusam lelaki itu dengan tangan kirinya.

"HNJ78-239." Senyum geli Juyeon tak kunjung lenyap. "Sampai kapan mau memakai topeng dingin itu? Atasanmu sudah tidak ada disini, tidak usah berpura-pura lagi."

Sesaat, Juyeon dapat menangkap kedua iris pemuda itu melebarㅡnamun tak berapa lama kembali digantikan oleh sorot datar yang biasa. Dia mengulum bibir. "Kau benar. Tapi sayang, aku diperintahkan memasang tampang songong kalau bertemu penghuni bumi yang otaknya cuma seperdelapan sepertimu."

Juyeon meringis, memegangi dadanya yang tertancap panah imajiner. "Kau di penjara banyak makan cabai, ya? Mulutmu semakin pedas, kurasa."

"Terimakasih pujiannya."

Tentu, percakapan ini bukanlah topik yang ingin di dengar dua musuh di masa lalu. Namun, mereka bisa apa? Keduanya kaku dan tidak menentu. Setidaknya, Juyeon berhasil mencarikan suasana tanpa mengungkit peperangan.

"HNJ78-239ㅡ"

"Hyunjae." Ucapan Juyeon dipotong oleh sebuah gumaman. "Namaku mulai sekarang. Kau bisa panggil aku Hyunjae. Agak aneh rasanya nama penuh angka itu diucapkan olehmu."

"Pilihan yang bagus." Juyeon lagi-lagi terkekeh. Hyunjae entah sejak kapan, mulai memikirkan nama yang lebih normal daripada nama kelahirannya. "Kau pasti sengaja. Juyeon-Hyunjae, terdengar seperti takdir, bukan?"

"Terdengar gila. Tuan, ini di ruang interogasi, kalau kau lupa."

Juyeon terbahak keras.

Sementara itu, lelaki di hadapannya, Hyunjae, mengedarkan pandangan. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya dinding bercat putih bersih dan lantai keramik berwarna sama. Satu-satunya perabot yang terdapat di ruangan ini hanya dua buah kursi yang mereka duduki, serta meja berlaci yang menjadi pembatas jaraknya dengan si manusia bumi.

Tangannya yang diborgol kuat tergeletak di atas pangkuan. "Kau harusnya menanyai tujuanku menghabisi semua temanmu."

Tawa Juyeon memudar, namun wajahnya masih mengulas senyum yang terlihat bodoh di mata Hyunjae. "Untuk apa? Toh, kau terlihat sudah menyesalinya."

"Lima tahun di ruangan pengap itu, tanpa seharipun aku berpikir untuk menyesali semua tindakan yang kulakukan di masa lalu."

"Arogan, seperti biasa. Cocok sebagai kekasihku."

Tanpa aba-aba, Hyunjae bangkit berdiri. "Bersiaplah. Aku akan menamparmu lagi."

"Bercanda!" Juyeon dengan panik memundurkan kursi. "Kau sensian sekali."

"Kau yang memancingku duluan."

Tumpukan kertas pertanyaan di atas meja ia abaikan begitu saja. Juyeon memilih menginterogasi Hyunjae dengan caranya sendiri, meski sebenarnya yang mereka lakukan sedari tadi hanya berdebat tidak penting. Orang-orang harusnya tahu, meminta Juyeon mengemban tugas ini adalah sebuah kesalahan besar.

Juyeon ingat saat mereka pertama kali bertemuㅡdi medan perang, Hyunjae mengacungkan pistolnya dengan lurus tanpa ragu, sepersekian detik kemudian berhasil menghabisi setengah dari pasukan terlatih Bumi. Tanpa ampun, mengerikan sekali panglima muda Mars itu. Juyeon bahkan harus memutar otak memikirkan rencana lain.

Di lain kesempatan, mereka tak pernah berhadapan lagi. Juyeon sibuk di belakang layar, sementara Hyunjae adalah tombak utama di pasukannya. Dan hanya lewat tatapan mata, mereka berdua perlahan mulai saling mengenal. Si ahli strategi dan panglima tanpa hati. Juyeon tidak pernah maju mengangkat senjata, berhadapan dengan Hyunjae di garis depan, meski ia ingin tahu seberapa kuat nama yang sering ditakuti bangsanya iniㅡmuntah darah itu menyakitkan, kenyataan kalau kau tidak cukup kuat menopang tubuhmu sendiri itu lebih menyakitkan.

Namun, yang Juyeon tahu, ia merindukan senyum di raut tanpa ekspresi di hadapannya. Bahkan senyum mengejek atau hanya sekedar seringai tipis, juga senyum lebar dengan latar belakang gedung yang dicumbu bara api. Yang jelas, ia rindu saat sudut-sudut bibir itu tertarik ke atas.

Kapan Juyeon bisa melihat dia tersenyum lagi?

Juyeon menggenggam tangan Hyunjae yang terasa dingin, disaksikan oleh minimal lima buah kamera pengawas di langit-langit ruang interogasi dan tatapan mata Hyunjae yang terlihat datar.

"Aku tahu tidak semua orang Mars itu brengsek."

"Tapi aku ini brengsek sekali." Laki-laki itu menampik tangan Juyeon. "Setelah sesi tidak jelas ini, memangnya kemana aku harus pulang? Aku tidak bisa kembali ke planet asalku, disana aku hanya akan dicatat sebagai penghianat klan. Seharusnya kalian menahanku lebih lama lagi atau langsung membunuhku saja."

Bagi seorang penjahat kelas kakap sepertinya, lima tahun tentu bukan waktu yang setimpal. Kalau bisa, memang harus dihukum mati sekalianㅡbalasan atas ribuan nyawa yang Hyunjae hilangkan di medan perang, dan ribuan nyawa prajurit pemberani yang selalu Juyeon ratapi kematiannya.

"Masa tahananmu itu sebenarnya tiga puluh tahun, tahu."

Juyeon mungkin sedang mabuk saat mengajukan bebas bersyarat untuk tahanan bernama HNJ78-239 yang merupakan bangsawan planet tetangga dengan kemampuan di atas rata-rata. Dan bersama kekuasaan yang Juyeon miliki, tak sulit meluluhkan hati pemerintah meski jaminannya adalah dirinya sendiri. Ya; Juyeon harus siap ikut dihukum mati kalau Hyunjae membunuh lagi, tidak ada toleransi.

Mungkin ia tidak memikirkan bagaimana liciknya orang-orang MarsㅡHyunjae sebenarnya bisa melarikan diri kapan saja, membunuh Juyeon dan kembali mendeklarasikan perang atas kekalahan bangsanya bertahun-tahun silam. Juyeon yakin kalau sebenarnya borgol yang menyatukan kedua tangannya itu bukanlah apa-apa. Ia bisa melepaskannya sedari tadi kalau ia mau.

Namun, Hyunjae tidak melakukannya.

"Kau yang meringankannyaㅡhukumanku." Rahang lelaki itu mengeras, terlihat tidak senang. "Jangan menggunakan kekuasaanmu seenaknya saja, Juyeon. Aku ini pembunuh keji."

"Di mataku, kau terlihat manis."

Oh. Betapa Hyunjae gatal sekali ingin menyerang sosok di hadapannya ini. "Aku serius, sialan."

Suara kekehan menyebalkan kembali terdengar. "Aku juga serius."

"Bagaimana kalau aku menciptakan kekacauan lagi?" Suara Hyunjae meninggi. "Aku bahkan tidak menyesali semua nyawa yang kutumpas habis. Dan apalagi, kau tahu aku benci mengabdi pada manusia bumi. Bukankah hal yang bangsamu khawatirkan bisa saja terjadi?"

Orang-orang di Bumi selalu khawatir pada setiap tindakan penghuni planet tetangga. Anggapan Mars dihuni oleh makhluk-makhluk licik serta tidak dapat dipercaya nampaknya sudah mendarah daging. Padahal, menurut Juyeon, mereka sangat menarik dangan isi kepala yang sulit dipahami.

Contohnya Hyunjae. Juyeon ingin tahu apa saja yang memenuhi kepala laki-laki itu.

"Kau memang dibebaskan bersyaratㅡtapi hei, siapa bilang pasca keluar dari sini kau harus menjadi petugas masyarakat?" Juyeon terkekeh santai, menatap Hyunjae tepat di kedua matanya. "Karena aku yang membebaskanmu, aku juga yang harus bertanggung jawab atas dirimu."

"Oh, begitu?" Satu alisnya terangkat angkuh. "Lantas tanggung jawab apa yang kau tawarkan padaku, Tuan?"

Hening.

"Sebuah penebusan dosa."

Penebusan dosa.

Kerongkongan Hyunjae mendadak terasa tersumbat. Baginya, kata dosa bukanlah sesuatu yang sakralㅡia sudah dilatih untuk membunuh dan bertarung sejak usia tujuh tahun, dan tidak terhitung lagi berapa nyawa yang melayang akibat tebasan pedang atau letusan peluru dari tangannya.

Apakah Hyunjae menyesal?

Tidak, sama sekali, tidak. Penyesalan adalah perilaku terbodoh yang dilakukan manusia. Dan ia tidak pernah menyesali setitik darah pun dari segala tindakannya. Hyunjae bisa memilih, dan jalan inilah yang ia raih.

Namun entah mengapa, kalimat Juyeon bertalu-talu dalam telinganya. Penebusan dosa, terdengar begitu menjanjikan. Memangnya penebusan dosa macam apa yang laki-laki itu siapkan untuk seorang seperti Hyunjae?

Ia ingin tahu.

"Bagaimana caraku menebus dosa?"

Lalu Juyeon serta merta menyungingkan senyumㅡnampaknya sudah menunggu kalimat itu keluar dari bibir mantan musuhnya. "Tinggalah bersamaku."

Hyunjae merasa salah dengar. "Maaf?"

"Tinggal lah bersamaku disini." Juyeon kembali mengulang, terbatuk sekali sebelum mendaratkan tatapannya pada wajah Hyunjae. "Kau akan memasak sarapan untukku setiap pagi, dan aku akan mengantarmu kemanapun kau pergi. Kau juga yang akan mengingatkanku minum obat dan menemaniku ke rumah sakit. Sebagai balasannya, aku yang akan menanami halaman belakang dengan bibit pohon buah-buahan yang tidak bisa tumbuh di Mars. Setiap akhir pekan, kita akan mengunjungi panti asuhan kotaㅡkita bisa menjadi relawan tetap, kalau kau mau. Kita juga bisa mengadopsi seorang anak dari sana, kau bebas memilih mau anak laki-laki ataupun perempuan. Ia akan memanggilku Papa dan memanggilmu Ayah. Kau dan aku akan hidup bahagia, menjalani semuanya bersama, dan menua dengan hati yang lapang."

Kalimat Juyeon terdengar seperti omong kosongㅡmustahil, mustahil ia melakukan semua itu. Tangannya dilatih untuk membunuh, bukan untuk memotong sayuran. Jari jemari kasar ini hanya bisa membuat racun mematikan, merawat bunga yang tumbuh di pekarangan rumah tidak masuk dalam daftar. Ia seorang mantan prajurit terhormat, kenapa Hyunje malah harus menghabiskan sisa hidup di rumah sederhana pinggiran kota, tinggal bersama Juyeon yang bisa mati kapan saja karena penyakitnya?

Itu terdengar buruk. Hyunjae terlahir untuk bertarung hingga napasnya terhenti.

"Kau perlu rumah yang lebih hangat daripada sel penjara yang selalu mendingin setiap malam itu."

Namun tidak ada salahnya mencoba, bukan?

Ia merasa kewarasaannya tergerus habis saat mulai membuka mulut untuk bersuara. "Menurutmu," Hyunjae berbisik lirih. "Menghunusmu dengan pedang di medan perang, atau melemparimu dengan bantal di atas ranjang, mana yang terdengar lebih baik, Juyeon?"

Juyeon kembali melukis cengir. Ia meraih tangan Hyunjae, kali ini tanpa penolakan. "Yang kedua. Aku yakin kau akan terbiasa dalam mengurus rumah tangga."

Hyunjae tidak tahu apa yang sudah merasuki kepalanya lima tahun belakangan ini. Apa ia tidak ingat statusnya sebelum dibuang kemari? Apa ia mulai lelah berlindung dibalik kebangsawanan yang sedari dulu selalu ia menjadi pedang bermata dua?

Ya, mungkin ia lelah.

"Jadi?"

Hyunjae bisa memilih, dan jalan inilah yang ia raih.

Tanpa ragu, ia mengangkat wajah, membalas tatapan yang diarahkan padanya. Bibir tipis itu kini melengkungkan senyum yang tidak pernah Juyeon lihat.

Senyuman tulus.

"Aku harus mulai darimana, Tuan Juyeon?"

.

.

.

.

.

Terimakasih untuk kesempatan kedua yang kau berikan.

.

.

.

.

end.

.

.

.

{ Author's Note :

Ceritanya ngebingungin gak sih? #ditabok

Jadi ceritanya aku abis rewatch aldzer sisen 2 terus langsung bernapsu bikin ff bertema mars-earth war :') awalnya bener-bener mau ngeremake, tapi karena suatu hal dengan yang lain (baca : males bikin mulchap) akhirnya yg jadi cuman after war!au nganu gini ;( inimah settingnya doang yg mirip, jalan cerita sm personality castnya beda jauh sama aldnoah :')

Mungkin, kapan-kapan aku bakal bikin prekuelnya. Tapi ga janji muehehhehe #ditabok(2)

Ff ini sebenarnya terbagi jadi 2 chapter, tapi dilema mau aku publish lanjutannya apa ngga. Ending yang gantung itu ena suwir #mukaserius Wkwkwk jadi biarin ajalah pembaca berimajinasi sendiri yegak :'D #slap

Tapi, yah, kalo kalian pengen ... aku mungkin bakal publish chap 2nya. Kalo kalian pengen doang, kalo nggak yo wes rapopo aku setronk ;( /GAGITU Banyak loh yang lebih demen ending greget gini... termasuk aq :') *maso mode : super on* /slap(2)

Jangan lupa tinggalkan jejak, chingudeul! Boleh dalam bentuk review, fav, follow, atau makanan yang digojekin kerumah, semua aing terima kok ;( #efekngetikjam12malem #lapercoy #nangis

salam sendal jepit,

felivevo. }