Lukisan Senja Musim Panas

Disclaimer: Aoyama Gosho

Chapter 1:

Ini adalah hari kedua liburan musim panas tapi aku masih berdiam dirumah. Sesekali aku melihat handphone berharap ada sebuah pesan darinya yang lama tak aku lihat. Disaat seperti ini rasanya rasa rindu itu kian terasa.

Langit yang biru terang tapi juga menyejukan pandangan mata, aku teringat ketika aku bersamanya bersamanya memandang kearah langit. Dia pernah mengatakan kalau langit musim panas itu sejuk disiang hari dan terbakar disore hari. Kalau boleh aku ingin hal itu terulang kembali dimusim panas kali ini,

"Kak Ran !"

Suara Conan membuyarkan lamunanku. Dalam hentakan aku berbalik kearahnya. Wajah polosnya begitu tak asing dimataku membuatku serasa menatap wajah dia secara langsung.

"Ada apa Conan ?"

Tanyaku pada anak kecil berkacamata itu sembari merundukan badanku hingga dapat sedikit menyamai tinggi badannya.

"Hari minggu nanti, Kak Ran mau ikut berkemah kedanau tidak ?"

Ajaknya dengan wajah yang sumringah. Sepertinya dia senang sekali dapat pergi dihari libur seperti ini. Aku jadi berpikir mungkin lebih baik aku ikut saja dari pada harus melamun sepanjang hari.

"Boleh juga, aku ajak Sonoko ya ?"

Dia mengangguk-angguk berulang kali tanpa menghilangkan senyuman diwajahnya barang sedetikpun. Kadang sekilas aku sering melihat sosok Shinichi darinya. Mungkin karena keduanya gila misteri, atau karena wajah mereka memang mirip.

Minggu yang ditunggu akhirnya tiba. Kami berangkat naik mobil sewaan, dikarnakan mobil kodok prof. Agasa kembali harus menginap dibengkel. Ada baiknya juga, karena kini kami dapat menaiki mobil yang sedikit lebih luas.

Danau indah berwarna biru, sebiru langit musim panas menyambut kami. Pemandangan yang menyejukan mata seolah dapat merubah suasana hati yang kalut. Aku lihat hanya sedikit orang yang datang kesini, yah biasanya untuk liburan musim panas sebagian besar lebih suka pergi kepantai.

Kami mendirikan tenda bersama. Sedang prof. Agasa sibuk menyiapkan alat pemanggang berbahan bakar cahaya matahari buatannya sendiri. Aku harap kali ini alatnya tidak rusak lagi dan piknik kami berjalan lancar.

Disebelah kami ada beberapa orang yang juga sedang berkemah, sepertinya mereka seusia denganku. Mereka terdiri dari dua orang lelaki dan dua orang perempuan. Yang perempuan sibuk menyiapkan alat masak, seorang lelaki yang berkacamata sibuk dengan laptopnya. Sementara pria yang seorang lagi sedang asik makan cemilan.

Tak lama dua diantara mereka tengah bertengkar hebat. Seorang wanita tampak memarahi pria yang sedang santai makan cemilan. Pertengkaran terus berlanjut hingga salah seorang diantara mereka pergi meninggalkan yang lain.

Perempuan yang seorang lagi melihat kearah kami. Matanya tertuju kepada anak-anak yang terlihat kaget menyaksikan pertengkaran kedua temannya. Dengan berlari kecil dia menghampiri kami semua.

"Maaf ya mereka selalu seperti itu tiap kali bersama !"

Katanya sembari merapatkan kedua tangannya didepan lehernya yang tertutup kerah baju panjang.

"Eh, tidak apa-apa kok !"

"Kakak seorang pelukis ya ?"

Keahlian ala detektifnya muncul. Dengan hanya melihat tangan seseorang dia dapat menebak apa hobi ataupun pekerjaan orang itu. Sama halnya dengan Shinichi, dia juga dapat melakukannya. Katanya itu keahlian dasar seorang detektif yang handal.

"Soalnya ada cat minyak yang menempel ditangan kakak !"

Menjelaskan pada wanita yang terlihat kaget dengan kemampuan analisa dari Conan yang luar biasa.

"Iya kami dari klub seni lukis disekolah, aku Akase Mina !"

Dia memperkenalkan diri sebagai Akase Mina (17th) seorang siswi SMA dari Tokyo. Dia tersenyum, menghilangkan raut wajah kagetnya yang tadi sempat tampak jelas diwajahnya.

Tak lupa dia juga memperkenalkan ketiga temannya yang lain yaitu Saito Kurumi (19th) cowok berkacamata, seniornya yang juga Ketua klub seni lukis, Kuroshi Haruka (17th) teman sekelasnya yang juga anggota seni lukis, Aoiyama Hideo (18th) cowok berpostur tinggi, seniornya yang juga anggota seni lukis.

"Aku Mouri Ran, ini Edogawa Conan, Suzuki Sonoko, yang disana Prof. Agasha, lalu anak-anak lainya, Haibara Ai, Tsuburaya Mitsuhiko, Yoshida Ayumi dan Cojima Genta !"

Aku mewakili yang lain memperkenalkan diri dan semuanya. Merekapun melambaikan tangan sebagai ganti memberikan salam perkenalannya pada Mina.

"Salam kenal semua !"

"Mina, sedang apa disana ! Bantu aku !"

Temannya yang bernama Haruka memanggilnya dengan suara lantang. Sepertinya dia kerepotan harus menyiapkan makanan seorang diri. Dengan segera Mina berlari menghampirinya.

Setelah selesai membangun tenda, aku dan Sonoko bersiap untuk memasak. Akhirnya hal yang kami takutkan terjadi juga. Pemanggang buatan prof. Agasha rusak, terpaksa kami mengumpulkan kayu bakar. Irisan daging, dan sayuranpun telah dicuci dan siap untuk dimasak. Gawatnya tak seorangpun dari kami membawa alat pemantik api.

"Ran, kita pinjam punya mereka saja yuk !"

Usul Sonoko dengan wajah memerah. Sepertinya aku bisa menebak kalau dia hanya ingin mendekati kedua pria yang ada disebelah. Padahal sudah ada Makoto, tapi sifatnya sama sekali tidak berubah. Padahal kalau aku sedikit saja dekat dengan laki-laki, dia bakalan bawel mengingatkan kalau aku sudah punya Shinichi. Dia sebut kami suami-istri malah.

Walau begitu, disaat seperti ini aku memang harus minta bantuan kesebelah. Kasihan anak-anak sudah kelaparan. Apalagi Genta yang tak henti mengeluh dari sejak tadi.

Aku melihat ketenda sebelah, sepertinya mereka telah selesai makan. Pria yang tadi ngambek telah kembali dan mengambil beberapa cat dan kuas lalu pergi kedalam rimbunan pepohonan dibelakang tenda mereka. Yang pakai kacamata masuk kedalam tenda mereka. Sedang Mina dan Haruka membereskan bekas makan mereka dan menyiapkan dua buah kanvas menghadap ke danau.

"Maaf…!"

Aku memberanikan diri mendekati mereka. Mina dan Haruka berhenti sejenak dari kegiatan mereka.

"Kami lupa bawa pemantik api, apa kami boleh pinjam ?"

Kataku dengan perasaan malu yang menyeruak dalam hati. Aku harap wajahku tidak terlalu memerah karena itu.

"Ya, tentu saja kebetulan kami semua membawa pemantik jadi kalian boleh mengambil punyaku !"

Mina mengambil sesuatu dari saku bajunya, yaitu sebuah pemantik api bergambar monalisa.

"Terima kasih !"

"Kakak semua mau melukis bersama ?"

Entah sejak kapan Conan berada disana dan memperhatikan jajaran canvas yang berada ditepi danau tak jauh dari mereka. Mina mendekatinya dan berjongkok tepat disebelahnya.

"Kami sebenarnya sedang berlomba !"

Katanya yang diakhiri dengan sebuah kedipan dari sebelah matanya.

"Lomba ?"

"Iya ! Hadiahnya, siapa yang mampu melukis langit senja didanau ini dengan sangat indah, dia tidak perlu membayar iyuran bulanan club kami !"

Sambung Haruka yang mendekati mereka berdua. Aku tidak tahu kenapa tapi sepertinya Conan merasa kalau yang mereka lakukan itu adalah hal yang konyol. Maksudnya soal taruhan itu.

"Jadi kalian akan memulai lukisan kalian nanti sore ?"

Sambung Sonoko yang dari tadi sibuk melihat kesana kemari mencari sosok kedua teman lelaki mereka yang mendadk tidak kelihatan. Padahal baru saja mereka ad disana.

"Sebenarnya dari sekarang juga sudah siap-siap ! Hideo sedang mengumpulkan daun dihutan untuk dicat berwarna-warni untuk nantinya disusun seperti mozaik !"

Jawab Haruka menunjuk kedalam barisan pohon yang menyerupai hutan mini yang berjajar disekeliling danau.

"Kak Saito, sekarang mungkin sedang membuat sketsa dilaptopnya, dia itu pelukis digital dan karya-karyanya telah banyak yang dipakai oleh perusaan besar sebagai icon !"

Sambung Mina menunjuk kedalam tenda dimana pria berkacamata itu tampak sedang melakukan sesuatu dilaptopnya dengan wajah yang serius.

"Yang menggunakan kuas dan kanvas hanya aku dan Haruka, itupun kami menggunakan cat yang berbeda ! Aku cat minyak biasa, sedang Haruka yang cat air !"

"Jadi walaupun satu klub kakak bertiga menggunakan cara melukis yang berbeda ya ?"

"Ya begitulah !"

"Kak Saito serius sekali ?"

Tiba-tiba aku tersadar kalau Conan masuk kedalam tenda dimana Kak Saito sedang serius-seriusnya menyiapkan untuk lukisannya. Aku segera masuk dan membawa Conan menjauh.

"Eh Conan jangan mengganggu !"

"Tidak apa-apa ! dari dulu aku tidak pernah bisa membuat langit senja dengan baik, karena itu kali ini aku berusaha mengeluarkan seluruh kemampuanku !"

Kata Kak Saito yang sesekali mengucek matanya yang tampak telah lelah berada didepan layar seharian. Saat itu mina terlihat pergi, katanya dia ingin ketoilet yang ada ditepi jalan. Aku juga sempat mendengar teriakan Haruka yang kesal pada Hideo. Entah karena apa lagi tapi sepertinya mereka akan kembali bertengkar.

Petang hari segera tiba, warna langit mulai merah menyala. Makanan kami sudah matang dan kami telah siap bersantap hanya tinggal menunggu Sonoko yang pergi ketoilet. Para anggota klub seni disebelah kami telah siap duduk menghadap kearah matahari dengan peralatan masing-masing. Tapi pria yang ngambek tadi tampaknya belum kembali, Mina juga yang pergi sesaat tadi masih belum tampak.

Genta sepertinya tak sabar, tanpa menunggu dia menyambar beberapa roti isi didepannya. Yang lain terlihat kesal, tapi aku mengerti nama juga anak-anak dia pasti sudah lapar sekali.

"Kalian sepertinya sudah sangat lapar, makan duluan saja !"

Kataku membuat Genta tak sungkan lagi untuk segera melahap makanan kami. Anak yang lain pun terlihat mulai makan sedikit demi sedikit.

"Kak Ran tidak makan ?"

Tanya Conan melihat kearahku sambil memainkan kakinya kedepan dan kebelakang dari kursi tinggi yang dia duduki.

"Aku menunggu Sonoko !"

Jawabku yang sebenarnya juga sudah tidak sabar untuk ikut menyantap makanan kami. Aku hanya minum sesekali untuk menahan bunyi riuh diperutku.

"Kyaaaaaaaaaa…!"

Jeritan Sonoko menghentikan acara makan kami. Conan yang pertama kali berlari menuju asal suara. Kami menyusul dibelakangnya dengan tergesa-gesa. Aku merasa khawatir pada Sonoko. Apa yang telah terjadi hingga dia menjerit sekencang itu. Itulah pertanyaan dalam hatiku.

Setibanya disana kami dikejutkan dengan keberadaan tubuh Kak Hideo yang telah kaku berlumuran darah. Sebuah golok tajam tampak masih menancap dilehernya. Tak jauh darinya ada Sonoko dan Mina yang sedang dalam posisi saling berpelukan.

To be continue