"Apakah Anda, Aspal Jalan Mainichi, bersedia menerima Hyuuga Hinata sebagai istri yang sah, untuk dimiliki dan dipertahankan, mulai hari ini, di saat senang dan susah, di saat kaya dan miskin, di saat sehat dan sakit, untuk mencintai dan menghormati sampai kematian memisahkan kalian?"
.
.
.
Kisah ini nyata.
Benar-benar nyata dan bukan sebuah fiksi atau rekaan dari pengarangnya saja. Yang namanya pengarang memang kerjanya hanya mengarang-ngarang saja, sih. Tapi ini lain. Kisah ini memang karangan, namun benar-benar nyata terjadi di sebuah kota X di Prefektur Y. Pengarang hanya tidak ingin cerita lengkapnya diketahui, jadi semua karakter di cerita ini dibuat seakan fiksi.
Kisah ini tentang dua anak manusia yang dipertemukan oleh takdir. Takdir yang tidak biasa. Jangan kau pikir ini kisah romantis dua sejoli. Kau salah. Lebih baik kau segera pergi dari cerita ini dan mencari cerita lain yang lebih bermutu (dengan filter ber-genre romance tentunya).
Oke.
Jadi kau masih ingin melanjutkan? Baiklah.
Dua tokoh utama kita ini bertetangga. Yang satu, Uzumaki Naruto, memiliki kepribadian biasa. Anak SMA urakan yang bahkan tidak bisa membedakan mana lobak mana ubi, hanya tertarik dengan cita-citanya menjadi seorang mentalist profesional.
Yang satunya lagi, tokoh utama wanita kita, Hyuuga Hinata, seorang wanita gila, yang cukup gila untuk menikahi aspal di depan rumahnya. Di sini Hinata memang tampak tidak menarik, ya? Dengan deskripsi minim, bagaimana pula ia bisa menjadi tokoh utama wanita? Yah, kita lihat saja nanti. Segera klik back dari fiksi ini jika kau membenci Hinata. Silakan.
Oh. Kau tak benci Hinata? Tapi tentunya kau pasti benci cewek freak, kan? Klik back sana!
Ah, sudahlah. Kau ini.
Selain dua tokoh utama, cerita ini juga memiliki dua tokoh pendukung (bukan makna yang sebenarnya) yang berguna untuk memisahkan hubungan Naruto dan Hinata (yah, walaupun aspal sudah hampir memisahkan mereka).
Uchiha Sasuke, seorang psikolog gadungan keluarga Hyuuga yang tahu bahwa menarik sekali memiliki pasien cantik untuk disembuhkan. Yang terakhir, ada Haruno Sakura, seorang supermodel di usianya yang masih belia, baik hati, pintar, dan memiliki segudang prestasi. Di sini, Sakura terlihat sangat Mary-Sue, memang begitulah seharusnya tokoh pendukung itu.
Jika kau nge-fans dengan Sakura, kusarankan tetap membaca. Jika tidak, yah, tak ada salahnya lanjut membaca, kan. Hehe.
Masih banyak tokoh lain yang ingin pengarang sampaikan, namun melihat pembaca sudah bosan membaca sampai detik ini dan mengira ini adalah Author's Note (padahal memang iya), maka dengan senang hati, cerita ini pengarang mulai.
Oh ya, sebelumnya, pengarang ingin mengajukan sebuah pertanyaan penting untuk pembaca. Tolong dijawab dengan sungguh-sungguh.
"Apakah menikahi aspal adalah sebuah kejahatan?"
.
.
Naruto © Masashi Kishimoto
Seorang Gadis yang Menikahi Aspal
by Raja Kadal
.
Genre: Parody and Crime
.
.
Bangun di pagi hari sangat menyenangkan, bukan?
Setidaknya kau masih memiliki nyawa di hari ini. Belum mati. Hidup dengan segala nyawa yang kau miliki. Kau masih bisa menjalani aktivitas sehari-hari, bersekolah, kuliah—bahkan kalau sedang luang, kau bisa mampir dan membaca fiksi di situs fanfiction. Itulah secuil kegiatan jika kita—hidup.
Tepat pukul enam pagi Naruto terbangun dari tidur bukan karena bunyi nyaring alarm, tapi karena terganggu suara bor yang sangat keras. Ia segera melongok ke luar jendela dan melihat ada yang aneh dengan jalan di depan rumahnya. Ternyata sedang ada pengecoran aspal.
'Kau mengharapkan apa, eh? Ada teroris di depan rumahmu?'
Naruto memijat kepalanya yang tiba-tiba merasa pening. Ia ngantuk berat karena begadang semalaman mengerjakan soal-soal ujian yang diberikan sensei-nya di juku. Ia butuh tidur lebih banyak hari ini. Belum lagi ia harus memikirkan apa yang harus disulapnya minggu depan nanti saat pertunjukkan seni di sekolah.
Segera ia menutup jendelanya dan masuk lagi ke dalam selimut. Naruto bahkan rela melakukan apapun demi bergumul dengan selimutnya sekarang. Apapun.
BRRRR—BBRRRRRR—BRR—BBRRR—!
'Sial. Berisik sekali!'
BBRRR—BBRRR—BRR—BRRRR—!
BRRRR—BBRRRRRR—BRR—BBRRR—!
BRUGH
Naruto jatuh dari tempat tidurnya. Entah bagaimana, kasurnya ikut bergetar dan ia terjatuh dari tempat tidur. Naruto yang dalam posisi telentang, menatap langit-langit kamarnya dalam diam. Selimut merosot dari kakinya. Selimut tercintanya.
BRRRR—BBRRRRRR—BRR—BBRRR—!
Langit-langit kamarnya juga seolah bergetar, membuat beberapa debu beterbangan dan masuk ke mata Naruto. Ia segera duduk mengucek matanya. Andai ia melihat pantulan dirinya di cermin. Matanya sudah merah parah—karena mengantuk dan sedikit kelilipan.
Ia menggeliatkan badannya sedikit dan berkata, "AKAN KUBUNUH PARA TUKANG ITU! BERISIK SEKALI SIH!"
Ia segera bangkit dari lantai, bahkan tanpa mencuci muka, ia pergi bak banteng kesetanan. Sudah cukup ia merasa terjajah karena Kakashi-sensei, gurunya di juku, memberinya tugas segunung—tak perlulah ia merasa terjajah lagi di pagi hari hanya karena bunyi bor.
"Bor sialan," gumamnya.
Tiba di depan jalan rumahnya, ia melihat sekitar lima orang pekerja konstruksi memakai helm kuning sedang berkutat dengan alat bor. Beberapa sedang duduk manis di dalam mobil penghalus aspal, menunggu instruksi dari mandor.
Ia menghampiri salah seorang pekerja yang bertampang malas dengan rambut bak nanas mencuat dari kepalanya.
"Sumimasen, kenapa jalan di depan sini diperbaiki?"
Tukang itu, belakangan Naruto tahu bahwa namanya Shikamaru, segera menengok ke arah Naruto dan seperti terlihat kaget karena ditanya, menjawab dengan ragu-ragu.
"Etto, sebenarnya kami tidak memperbaikinya, kami hanya menambahkan aspal baru yang lebih hitam."
"Untuk?" desak Naruto.
Tiba-tiba saja mimik muka tukang itu berubah menjadi lebih serius. Ia menengok ke kanan-kiri, kemudian memberi isyarat pada Naruto untuk mendekat padanya. Ia berbisik, "Can you keep a secret?"
"Nani? Kenapa kau pakai bahasa Inggris, hah?!" Naruto menjauhkan wajahnya dari tukang itu. Ia juga jadi melihat ke arah sekitar, takut ada yang melihat percakapan mereka. Berlebihan memang.
"Maaf, aku terbawa suasana film detektif yang semalam kutonton—"
Naruto menaikkan alisnya, "Intinya?"
"Yeah. Kami sedang melakukan sesuatu yang ilegal sebenarnya. Sudah kusuap polisi di daerah sini untuk mengizinkan perusahaan kami menghitamkan aspal di depan gang ini saja. Semua ini hanya tentang uang, sih."
"Cukup. Saya permisi." Naruto segera berlari masuk ke dalam rumahnya tanpa menengok lagi pada tukang itu.
"Eh? Tunggu!" panggil si tukang dari balik punggung Naruto.
Naruto tidak mau otaknya jadi gila memikirkan apa yang terjadi. Lagipula itu kan hanya pengecoran jalan biasa. Paling-paling saat ia pulang sekolah nanti, jalanan di depan rumahnya sudah beres dan ia dapat kembali tidur nyenyak.
Naruto memutuskan untuk bersiap ke sekolah walau sekolah mulai dua setengah jam lagi. Tak lupa ia membawa bantal kalau-kalau ia ingin melanjutkan tidur di sekolah.
.
.
BRUGH
Naruto menabrak punggung Lee karena Lee berhenti tiba-tiba. Mereka sedang dalam perjalanan pulang ke rumah Naruto saat Lee tiba-tiba berhenti tepat sebelum belokan rumah Naruto.
Rupanya ada penutupan jalan. Ada dua mobil polisi yang melintang menghalangi jalan dan banyak orang memadati gang itu. Naruto bertanya-tanya dalam hati apakah orang-orang itu menyaksikan pengecoran jalan raya? Kurang kerjaan sekali, pikirnya.
'Bahkan ada tiga mobil dari stasiun TV di sini, ckck. Orang-orang zaman sekarang memang sangat kurang kerjaan kuadrat.'
"Ada apa sih?"
Seharusnya Naruto tidak bertanya 'ada apa' dan segera pergi dari sana. Seharusnya.
"Ada yang sedang melakukan prosesi pernikahan," jawab Lee tak acuh. Ia berjongkok mengikat tali sepatunya. Naruto memasukkan uang ke dalam mesin minuman di depan sebuah toko yang tak jauh dari gang rumahnya.
"Hanya menikah saja sampai menutup jalan? Lagipula, gereja kan jauh dari sini," balas Naruto heran.
"Gereja? Ngapain ke gereja? Mereka bisa menikah di mana saja, misalnya, di jalan depan rumahmu tuh!"
"Jangan bercanda." Naruto membuka kaleng kopi dinginnya dan meminumnya.
"Bercanda? Entah kau anggap ini bercanda atau tidak, tapi mempelai prianya adalah aspal."
"Bruuuuuhtt— Aspal?!" Naruto tersedak kopi dinginnya. Ia menumpahkan kopi langsung dari mulutnya. Lee segera menjauh beberapa senti agar tidak terkena muncratan air bah Naruto sambil mengernyit jijik.
"Kau harus membaca koran sekali-sekali, atau paling tidak kau kan bisa menonton TV untuk tahu apa saja yang terjadi di sekitarmu, Naruto."
Naruto mengacuhkan ocehan Lee. Setelah melempar kaleng ke tempat sampah, ia terus sibuk dengan kertas merahnya—yang tak kunjung berubah menjadi putih. Ia sudah memikirkan masak-masak sulap apa yang akan ia bawakan di pertunjukkan seni sekolah nanti—dan sepertinya dia memerlukan bantuan seorang model untuk itu. Asisten wanita, lebih tepatnya.
"Beritanya ramai di TV. Selamat Naruto, kau bertetangga dengan orang gila."
Naruto memandang Lee dengan ekspresi datar.
"Aku tidak peduli hal-hal seperti itu. Ayo ke rumahmu dulu. Kau harus bantu aku latihan sulap,"
.
.
.
Pukul enam sore, Naruto pulang ke rumahnya diantar Rock Lee. Ia masih perlu bantuan Lee untuk menyempurnakan beberapa bagian dari sulapnya. Saat tiba di depan rumah Naruto, lagi-lagi Lee berhenti. Ia menunjuk pada seorang pemuda yang tampak sedang memanjat pagar rumah Naruto.
"Siapa kau?"
"Sumimasen, saya Uchiha Sasuke dari perusahaan asuransi jiwa Tokyo MetroLife. "
Pemuda itu menyerahkan kartu namanya pada Naruto. Naruto menerimanya dengan ekspresi bingung.
"Baiklah, jadi kau ini sales atau apa?"
"Saya juga merangkap psikolog keluarga. Ada yang meminta saya untuk datang dan membantu—"
"Apa yang kau lakukan? Dan kenapa kau dalam posisi memanjat pagar rumahku seperti itu? Tolong turun." potong Naruto pada Sasuke.
Sasuke mendecakkan lidahnya kesal karena penjelasannya dipotong. Ia segera turun dari pagar Naruto seolah-olah memanjat pagar rumah orang biasa ia lakukan. Lee melihatnya dengan takjub.
"Ini rumah Hyuuga, kan?"
"Hyuuga? Siapa tuh? Ini rumah Uzumaki."
"Kau mencari Hyuuga?" sahut sebuah suara misterius di belakang mereka bertiga.
"Neji-senpai?! Sejak kapan kau di situ?!" teriak Naruto dan Lee bersamaan.
Neji berada di dalam pekarangan rumah Naruto. Ia membuka gerendel pagar dari dalam dengan mudah—seakan-akan memang itulah pekarangannya dan memang di situlah rumahnya.
"Ya. Siapa kau?" tanya Sasuke langsung.
"Hyuuga Neji. Mari kutunjukkan rumahku," ajak Neji pada Sasuke. Ia membuka pagar, keluar, dan mengacuhkan keberadaan Naruto dan Lee.
"Senpai, jawab pertanyaan kami!" protes Naruto.
"Oh. Ini rumahmu Naruto? Maaf aku salah masuk. Aku dan adikku baru pindah tadi pagi. Kami tinggal di sebelah. Kami permisi."
"Ha?"
Neji dan Sasuke segera pergi tanpa sepatah kata lagi. Meninggalkan Naruto yang sepertinya sedikit mengalami goncangan.
"Salah masuk, katanya? Tidak bisa dipercaya." ucap Lee sambil geleng-geleng kepala.
"Hari ini dipenuhi dengan orang-orang sinting." timpal Naruto. Ia menggumpalkan kertas merahnya, memasukkannya ke mulut, dan menelannya. Ia kesal karena kertasnya tak kunjung berubah menjadi putih.
"Tidakkah kau berpikir kau ini juga sinting?" tanya Lee heran.
.
.
"Apakah Anda, Aspal Jalan Mainichi, bersedia menerima Hyuuga Hinata sebagai istri yang sah, untuk dimiliki dan dipertahankan, mulai hari ini, di saat senang dan susah, di saat kaya dan miskin, di saat sehat dan sakit, untuk mencintai dan menghormati sampai kematian memisahkan kalian?" tanya Pendeta Choji. Kameramen mengarahkan zoom fokusnya pada pengantin wanita.
"Saya bersedia," jawab pengantin wanita, tegas. Wajahnya tertutup tudung tipis berwarna putih.
"Sekarang Anda diperkenankan untuk mencium—"
PRAAK—!
Remote TV di tangan Naruto sampai terjatuh. Ia mengucek matanya—lagi. Mengorek telinganya—lagi. Dan memastikan dirinya masih waras saat menonton TV.
Tapi tak salah lagi.
Jalanan yang disorot oleh stasiun TV itu adalah jalanan di depan rumahnya. Memang ada yang menikah dengan aspal di depan rumahnya tadi siang.
Memang ada.
Naruto menarik napas dalam-dalam sebelum mulai berteriak,"DUNIA SUDAH GILAAAA!"
Ini sudah tidak dapat dibiarkan lagi. Jika ada satu orang tidak waras muncul di sekitar rumahnya, dalam hal ini di sebelah rumahnya, maka akan muncul lagi orang tidak waras berikutnya. Bisa jadi ia sendiri yang akan tertular ketidakwarasan, pikir Naruto.
'Siapa sih wanita gila ini? Wanita pencari sensasi. Dasar.'
Naruto pergi ke kamarnya. Membuka laptopnya dan segera pergi ke browser untuk segera mengetik keyword: 'seorang gadis yang menikahi aspal'. Muncul beberapa situs berita nasional. Naruto mengeklik tiga di antaranya dengan cara membuka tab baru.
Muncullah sebuah nama perempuan. Adik dari Hyuuga Neji yang berumur 16 tahun.
Ia bernama Hyuuga Hinata.
Naruto membaca sekilas beberapa artikel dan menangkap sesuatu yang diterangkan berulang-ulang di beberapa situs. Di antaranya, '...gadis pengidap skizofrenia; mengancam bunuh diri; dan semua keluarganya sudah angkat tangan kecuali kakak kandungnya.'
'Gadis gila? Wow. Jatuh cinta pada aspal? Wow wow.'
Naruto tak dapat menyembunyikan keheranannya, ia berkali-kali menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir mengapa tetangganya se-gila itu.
Kemudian matanya menangkap sesuatu di sebuah situs. Tepat di bawah berita 'pernikahan aspal' itu ada satu judul berita yang menarik perhatian Naruto. Ia segera membuka tab baru lagi dan mulai membaca dengan teliti.
'Jadi, rumahku hanya lima menit dari bank ya? Wah. Tak kusangka kalau lewat bawah tanah semua jadi lebih cepat.'
.
.
Keesokan harinya Naruto memutuskan untuk mengunjungi tetangga barunya. Yah, walaupun ia setiap hari bertemu dengan Neji-senpai di sekolah, tak sopan rasanya jika tak memberi salam—yeah, mengingat perjumpaannya dengan Neji-senpai kemarin cukup absurd.
Pencet bel.
Pencet bel.
Pencet bel.
Tidak ada respon.
Naruto memutuskan langkah drastis dan dramatis. Dengan mengikuti jejak Sasuke, ia memanjat pagar, melewati taman dan melompati petak-petak bunga pansy di pekarangan Hyuuga.
Tiba di depan pintu, ia mengetuk dengan kasar.
DOK! DOK! DOK!
Ia menunggu respon. Tak ada jawaban dari dalam.
DOK! DOK! DOK!
Sekali lagi tak ada respon. Nihil. Naruto mulai merasakan buku jari tangannya memerah karena ia mengetuk pintu dengan keras.
Saat ia mulai membuka bibirnya untuk berteriak, perlahan pintu kayu berwarna putih itu terbuka sedikit. Kepala perempuan berambut indigo muncul dari balik pinntu seolah mengintip siapa yang datang.
Di situlah Naruto merasa waktu seakan berhenti dan sesuatu menyentak hatinya. Ketika ia menatap mata gadis itu, dia merasa mulai mengerti sesuatu. Sesuatu yang dimengerti oleh orang di seluruh dunia. Itulah cinta. Ayahnya pernah berkata pada dirinya, 'kenalilah jodohmu sebelum kau benar-benar memutuskan ia adalah jodohmu,' dan Naruto merasa ia sudah benar-benar 'mengenal' gadis di hadapannya ini jauh sebelum mereka bertemu sekarang. Dalam tiap hembusan napas yang ia tarik sekarang, tak satupun yang mengingkari bahwa ia ingin memiliki gadis ini. Menghabiskan sisa hidupnya bersama gadis ini—dan Naruto bahkan rela memberikan apapun untuknya. Apapun.
"Apa?"
Bahkan gadis itu tak berbasa-basi lagi dan langsung bertanya 'apa'. Apakah ini sebuah pertanda?
Naruto gelagapan. Kalimat-kalimat yang sudah disusunnya bagai menyublim ke udara. Ia tidak siap bertemu dengan gadis ini.
"Siapa?"
"Namaku ya? Aku Uzumaki Naru—"
"Naruto, sedang apa kau di sini?"
"Neji-senpai?! Sejak kapan kau di situ?!" Naruto terperangah dengan kemunculan Neji yang tiba-tiba. Neji sedang menyirami pansy di halaman.
'Bagaimana bisa tadi aku melewatinya tanpa sadar? Dan kenapa dia tak sedikitpun mendengar bel dari ku?'
Naruto mulai curiga dengan kemunculan Neji yang 'kadang' secara ajaib tidak disadarinya. Naruto sadar sepenuhnya bahwa cerita ini tidak ber-genre supranatural. Biar begitu pun, ia mulai merasa bulu kuduknya selalu berdiri tiap ia menatap mata kosong Neji-senpai.
"Etto, a-aku..."
"Kau ingin menanyakan pernikahan adikku?"
Naruto terdiam. 'Adik? Jadi ia baru saja jatuh cinta pada Hinata adiknya Neji-senpai? Adiknya yang gila itu? Ah, peduli amat. Aku harus bisa dekat dengan gadis ini.'
"Bukan urusanmu." timpal Neji lagi, kali ini ia tersenyum dengan ekspresi yang menurut Naruto bisa dideskripsikan sebagai senyum horor. Neji meletakkan selangnya dan menaruh tangannya di bahu Naruto. Mencengkeramnya. Membuat Naruto mengernyitkan dahinya heran.
"Siapa bilang mau bertanya hal seperti itu? Aku mau minta adikmu—"
Cengkeraman Neji di pundak Naruto makin keras. Ia menaikkan alisnya.
"Hm? Minta adikku?"
Kretek.
Naruto dapat mendengar buku jari Neji bergemeletuk saat mencengkeram bahunya lebih keras. Naruto meringis menahan sakit.
"M-minta untuk jadi m-model..." ujar Naruto terbata. Ia merasa tulangnya hampir retak.
"Hm?"
Bahkan Naruto merasa tiap gumaman Neji adalah kode baginya untuk meningkatkan volume kekerasan pada cengkeraman tangannya.
"Model sulapku!" teriak Naruto panik. Hanya itu yang terpikirkan oleh otaknya.
Neji yang tadinya tersenyum horror langsung menghentikan senyumnya. Ia memasang tampang datar sedatar-datarnya orang berekspresi datar. Setelah melepas cengkeramannya di bahu Naruto, ia berkata pelan,"Tanyakan padanya, dia mau atau tidak."
Kemudian Neji pergi. Ia berkutat lagi dengan sekop dan beberapa bibit bunga. Sayup-sayup Naruto mendengar Neji menyanyikan sebuah lagu dengan ekspresi riang.
"Eh? Semudah itu? Kukira bakalan susah lepas darinya," Naruto nyengir pada Hinata—yang menatapnya dengan pandangan 'terus-kenapa'. Setengah badan Hinata masih ada di dalam dan hanya kepalanya saja yang terlihat dari balik pintu.
Naruto menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia jadi salah tingkah di depan Hinata.
"Kau tak mengizinkan aku masuk, eh? Dari tadi kita di depan pin—"
"Tidak."
"Err... Oke baiklah. Jadi apakah kau mau jadi modelku?"
"Tidak."
"EEEHH? Tidak mau kau pikir-pikir dulu? Aku beri wak—"
"Tidak." potong Hinata lagi untuk kesekian kalinya. Naruto berpikir keras.
'Mengapa gadis ini hanya bisa menjawab dengan satu kata? Selain 'apa', 'siapa', dan 'tidak', bisakah gadis ini setidaknya berbasa-basi?'
"Apa hobimu?" Naruto bertanya langsung. Bermaksud membuka pembicaraan yang sepertinya melenceng jauh dari topik 'model sulap'.
Hinata menaikkan alisnya sedikit.
'Ha! Ekspresinya sedikit berubah!'
"Apa hobimu?" desak Naruto lagi.
Naruto berpikir setidaknya kalau toh gadis ini tidak punya hobi, maka gadis ini akan menjawab 'tidak ada' yang berarti dia menjawab dengan dua kata. Suatu kemajuan dalam hubungan mereka.
"Lelaki dan seks." jawab Hinata cepat.
"Maaf?" kata Naruto—syok. Jujur saja hatinya—oh bahkan telinganya belum siap saat Hinata menjawab seperti itu!
'Dia bahkan menjawabmu dengan tiga kata, Naruto! Tiga!'
Pintu terbuka lebih lebar dan tampak seorang pemuda yang semalam Naruto pergoki sedang memanjat pagar rumahnya. Ya. Dari belakang Hinata, Naruto melihat Sasuke. Hanya mengenakan kemeja putih, celana panjang hitam dengan posisi dasi yang acak-acakkan. Kancing kemeja putihnya bahkan sudah terbuka tiga dari atas—yang tentu saja memperlihatkan dada bidangnya yang hanya orang buta saja yang tak melihat.
Naruto menelan ludah. Yang membuat dadanya sulit mengatur napas sekarang ini adalah, dia melihat banyak kissmark yang ada di leher Sasuke.
'Apakah mereka berdua...?'
Menyadari perubahan ekspresi Naruto, Sasuke segera mencoba menjelaskan.
"Percayalah ini bukan seperti yang kau bayangkan. Lagipula fiksi ini rated T dan main pairingnya bukan SasuHina," kata Sasuke cepat. Ia mengancingkan kemejanya dengan cepat.
"Dan lagi, genre cerita ini bukan romance—" tambah Sasuke cepat-cepat.
BRUUGHH
"Kenapa dia?" tanya Neji. Ia menghampiri Naruto yang tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri tepat di depan pintu rumahnya.
"Pingsan." jawab Hinata pelan.
"Sasuke, kau racuni dia?" tuduh Neji pada Sasuke yang memasang wajah terpolos yang ia miliki. Sasuke menggeleng cepat.
Neji menyeret tubuh Naruto ke dalam rumahnya.
"Sepertinya kita bisa menggunakan bocah ini." ujar Sasuke.
"Jangan. Dia teman sekelasku. Akan terlalu berisiko." timpal Sakura. Rupanya sedari tadi ia juga mengawasi gerak-gerik Naruto dari balik jendela rumah Neji.
"Lebih berisiko menikahi benda mati seperti dia, Jidat." Sasuke menarik rambut Sakura dan menunjuk-nunjuk Hinata yang sedang duduk di ujung sofa sambil merajut boneka wol.
"Jangan samakan aku dengan gadis gila ini dong, Sasuke-kun!"
"Hentikan. Adikku memang gila dan dia berbahaya. Jadi bisakah kalian jaga mulut dan jangan membuatnya marah? Sana kerjakan pekerjaan kalian." kata Neji sambil berkutat dengan laptopnya.
Sasuke dan Sakura saling berpandangan. Sasuke segera pergi ke lantai atas dan Sakura memasang tampang ceria di depan Neji dan Hinata. Ia menghampiri Hinata dan melingkarkan lengannya di bahu Hinata.
"Hinata-chan, kita 'kan dulu bersahabat baik, kau tidak akan marah padaku hanya karena aku bilang kau gila, kan?" bisik Sakura. Hinata mengangguk pelan. Neji mendecak kesal.
"Hei. Hei. Kenapa kalian jadi seperti lesbi begitu?" ujar Neji.
"Jaga mulutmu dong, Neji. Jangan membuat Hinata-chan marah." balas Sakura sambil tersenyum licik.
"Dasar penyihir," cibir Sasuke dari atas tangga.
"Aku mendengarmu, Sasuke-kun!"
.
.
Naruto terjaga. Ia merasa badannya diguyur air oleh seseorang.
"Bangun!"
"Hei, bangun kau!"
Naruto segera bangkit dan panik. Terakhir kali yang ia ingat adalah dia sedang berbicara dengan Neji, lalu kenapa sekarang ia ada di depan pintu sebuah toko dan berpakaian compang-camping?
"Kenapa aku di sini?"
Naruto merasa tangan kirinya sakit. Ia melihat lengan kirinya dan menemukan bahwa lengan kirinya seperti tersayat.
"Mana kutahu! Bangun! Dasar homeless!"
"Kenapa makin hari makin banyak homeless di kota ini?!"
Bisik-bisik para pemilik toko makin ramai dan beberapa ada yang membawa sapu untuk mengusir Naruto seakan dia adalah hama yang layak dibasmi. Naruto tahu ia di mana. Ia berada di dua blok dari rumahnya. Ia segera berlari ke rumah temannya, mencari pertolongan, tentu saja teman baiknya tak lain tak bukan adalah Rock Lee.
"Naruto! Lihat pakaianmu! Kau kenapa?"
"Aku tidak tahu,"
"Aku tak menanyakan keadaanmu. Aku tanya, kenapa kau ke rumahku? Pulang sana." usir Lee pelan.
Naruto menggelengkan kepalanya tak mau. Ia malah membuka lemari pakaian Lee, yang ternyata isinya baju ketat hijau semua, dan menutupnya kembali. Sirna sudah keinginannya untuk meminjam baju pada Lee.
"Sudah dengar berita terbaru?" Lee menyodorkan koran ke hadapan Naruto. Naruto mengacuhkannya dan terus mengoceh kesal.
"Belum dan aku tidak mau mendengarnya. Aku mau numpang mandi dan mau minta penjelasan pada Neji-senpai kenapa aku bisa sampai di—" perkataannya terhenti saat matanya tertuju pada judul koran yang diberikan Lee.
"Apa ini?" tanyanya pada Lee.
Headline News: Semalam Bank MBC Telah Kebobolan 10 Juta Yen!
"Sepertinya ada yang memakai kemampuanku, dan aku tahu siapa." gumam Naruto tak jelas.
"Kemampuanmu yang mana? Kau mengubah warna kertas saja tak bisa." ejek Rock Lee.
Naruto mendelik ke arahnya. Setelah menjitak kepala Lee, Naruto meneruskan ocehannya.
"Kuakui itu memang sulit. Tapi, tidakkah ini aneh? Bagaimana caranya merampok bank?" Naruto memandang Lee dengan serius.
Suasana menjadi hening saat mereka berdua saling bertatapan.
"Jangan tatap aku seperti itu, dasar homo! Memangnya aku perampok?!" seru Rock Lee gusar.
To be continued.
.
.
Benar sekali. Tema fiksi ini adalah perampokan bank. Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Sampai jumpa.
