TART


Rate: M for adultery and household materials.

Disclaimer: Kuroko no Basuke belongs to Tadatoshi Fujimaki-sensei. This fic is purely mine.

Warning: AU. OOC. Abal. Alay. Gaje. Typo(s). Tidak memenuhi kaidah Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar. Membingungkan luar biasa. Alur nggak ketebak, semua suka-suka dengkul author. Mengandung (banyak) istilah food and beverages production and service dan juga molecular mixology. Dapat menyebabkan mual, muntah, bete, penasaran dan berujung ketagihan. Lemon. Lots of lemon. You've been warned before.


"Kitchen, briefing!"

Hari itu menunjukkan pukul 9 malam ketika Executive chef Seirin Hotel, Hyuuga Junpei berteriak. Semua orang menghentikan aktivitas mereka sejenak, merapikan pekerjaan mereka sampai tahap yang bisa ditinggal dan berkumpul di tengah area main kitchen untuk mendengarkan briefing.

"Maafkan aku karena mengadakan briefing pada malam hari ini." Guman Hyuuga sambil menaikkan kacamatanya. "Seperti yang kita tahu, bahwa minggu depan Kiyoshi Teppei tidak lagi menjadi chef de partie di Chinese cuisine section."

Kasak-kusuk mulai terdengar. Kiyoshi Teppei adalah koki yang cukup tangguh. Ia sudah memegang jabatan chef de partie atau kepala section untuk bagian masakan Tiongkok hampir satu windu. Tak ada koki yang pernah bertahan memegang jabatan lebih dari 5 tahun sebelumnya karena masakan Tiongkok dinilai berat dalam segi kecepatan, ketelitian dan originalitas rasa. Apakah yang menyebabkannya tak lagi memegang jabatan CDP masakan Tiongkok?

"Kiyoshi akan dipindahkan ke Seirin Hotel di cabang Kanagawa. Disana ia diberikan tugas menjadi sous chef." Lanjut Hyuuga.

Lenguhan sedih banyak terdengar. Pasalnya, meskipun tangguh dan gigih sehingga banyak yang menjuluki Kiyoshi Teppei sebagai Si Hati Besi, namun sisi kebapakan yang dimilikinya membuat seisi dapur terasa lebih menyenangkan. Karena pula merupakan salah satu koki senior, kepergiannya cukup membekas.

"Sudahlah, ada tidaknya aku di kitchen ini tak ada bedanya." Kata Kiyoshi dengan senyum hangatnya. "Kalian tetap harus menyajikan hidangan yang terbaik untuk para tamu, kan?"

"Osu!" Balas para koki lainnya, teriakan penuh semangat yang melambangkat jawaban afirmatif.

"Dan juga, kurasa penggantiku sudah lebih dari siap." Ungkap Kiyoshi lagi. "Iya kan, Kagami?"

Kagami Taiga, yang berdiri di belakang kerumunan hanya bisa melongo. Ia memang satu section dengan Kiyoshi. Jabatannya demi chef, bisa dikatakan ialah tangan kanan dan murid langsung seorang Kiyoshi Teppei. Selain itu, usianya juga terbilang paling muda diantara para juru masak lainnya di main kitchen ini. Tak ada yang meragukan kemungkinan terbesar bahwa Kagami-lah yang akan menggantikan Kiyoshi.

Namun ternyata Kagami sendiri tak menyangka hal itu.

"Tidak, jangan aku." Kagami menggeleng. "Mana sanggup aku menjadi CDP masakan Tiongkok?"

"Daijobu." Kiyoshi tertawa. "Sekarang memang belum. Jadi CDP itu tidak semalam suntuk langsung jadi. Kau harus banyak belajar."

Kagami masih terdiam. Kiyoshi menghampiri Kagami dan melepaskan necktie yang dikenakannya-necktie merah kotak-kotak, lambang chef de partie Chinese cuisine section.

Dan kini necktie itu dikenakannya pada leher Kagami.

"Berjuanglah sekuat tenaga, CDP." Ujar Kiyoshi seraya menepuk kepala Kagami. "Buat aku bangga."

"O...osu!" Seru Kagami lantang.


Kagami Taiga. 21 tahun. Bekerja sebagai chef de partie (CDP) masakan Tiongkok untuk Seirin Hotel.

Jadwal kerjanya cukup mengerikan. Ia bekerja enam hari seminggu selama 16 jam, dan satu hari libur di hari rabu. Meskipun kerja dari pagi sampai tengah malam, nyatanya ia tetap bisa menikmati kehidupannya. Ia tinggal dengan foster mother-nya dari Amerika, Alexandra Garcia dan foster brother-nya, Tatsuya Himuro.

"Tadaima." Gumam Kagami ketika melangkah masuk apartemen yang ditempatinya. Dikarenakan lampu masih menyala, ia memilih mengucapkan salam.

"Hey, Taiga. Your father sent you package from U.S." celetuk Alex cuek sambil nonton televisi.

Mata Kagami tertuju pada bungkusan besar yang ada di atas meja ruang tengah. Ia membukanya dengan brutal dan menemukan isinya adalah beberapa lusin pakaian baru (kebanyakan berupa kaos dan kemeja), tumpukan komik Marvel yang masih baru dan dua pasang sepatu, satu pasang sepatu kets dan satu lagi sepasang pantofel hitam mengilat. Tak lupa satu pak besar berisi selusin coklat batangan.

"Dia pikir aku bocah kosan apa, dikirimi barang-barang beginian?"

"Sudahlah, syukuri saja." Alex menoleh. "Dia bilang kau pasti sangat sibuk sampai-sampai lupa berbelanja untuk kebutuhanmu sendiri."

Kagami menggaruk tengkuknya. "Iya, sih."

Alex ikut membongkar isi paket tersebut. "Hey, lihat! Ini pasti dari ibumu."

Alex mengeluarkan sebuah kotak kertas pipih dan membukanya. Ternyata isinya berbagai macam surat. Ayah Kagami bekerja sebagai business consultant yang membuatnya sering ke luar negeri. Enam tahun terakhir, beliau menetap di Amerika karena menemani ibunya bekerja sebagai jurnalis. Sudah menjadi kebiasaan ibunya untuk menulis surat dengan tulisan tangannya sendiri. Alasannya agar jika Kagami rindu orangtuanya, ia bisa membaca surat-surat tersebut.

"Kaa-chan dan Tou-chan apa kabar, ya?" Gumamnya diselingi senyum tipis nan muram.

"Oh, katanya beberapa waktu yang lalu ayah dan ibumu masuk TV." Balas Alex. "Mereka sedang makan siang di sebuah festival dan tanpa sengaja diwawancarai."

"Ada-ada saja." Kagami tertawa.

"Hey, hey, Taiga..." Alex merangkul anak angkatnya. "Why don't we have a drink?"

"Tidak mau." Tolak Kagami halus. "You're piece of work, worst annoying bitch when you got drunk."

"Come ooon..." Alex merajuk. "Bar yang kali ini beda. Kau harus kesana. Kau pasti suka."

"Bar apa?" Kagami mengangkat sebelah alisnya.

"Molecular mixology." Kata Alex. "Dan lagi hits banget di Tokyo, tahu."

Kagami menggedikkan kepala. "Ya sudahlah. Ayo."

"Yahuuuu~"

"Tapi kau yang nyetir, ya?"

Alex menyanggupi dan Kagami segera bersiap-siap untuk pergi. Mereka berkendara menuju pusat kota dan parkir di pinggir jalan yang memungkinkan karena ternyata, bar yang mereka tuju berada terjepit diantara sebuah konbini dan gedung percetakan brosur. Sebuah daerah yang aneh untuk membangun sebuah bar, tentu saja. Namun melihat waiting list yang bahkan bisa lebih dari 30 orang, nampaknya bar ini menjanjikan juga.

"Oy, kau pasti mau lihat si cantik itu, ya?"

"Belum ada yang bisa menundukannya."

"Tampangnya stoic begitu. Tapi dadanya montok banget!"

"Tubuhnya kecil, gampang diangkat-angkat kayaknya!"

"Aku penasaran kayak apa wajahnya saat terangsang~"

Kagami agak risih mendengar perkataan cabul sederet orang yang menjadi waiting list di bar ini. Karena kebanyakan tamunya laki-laki, pasti ada perempuan cantik yang menjadi daya tarik di bar ini. Namun ketika melihat ada pula segerombol wanita yang baru saja keluar dari bar itu, kemungkinan suguhan yang diberikan juga memuaskan. Antrian semakin memendek dan saat Kagami melangkah, seorang petugas yang berjaga di pintu bar memalangi Alex supaya tidak masuk.

"Mohon maaf, untuk hari ini kuota sudah penuh." Kata si pelayan. "Anda bisa kembali lagi besok."

Kagami menoleh. "O..oy, mana bisa begitu?!"

"Mohon maaf, Tuan. Tapi ini peraturan di bar ini. Terbatas 300 pengunjung setiap hari." Ucap si petugas halus. "Dan limitnya sudah ditambahkan menjadi 150 orang sejam yang lalu."

"Tak bisakah kau masukkan dia?" Pinta Kagami. "Kumohon, dia orang terakhir di antrian."

Alex tersenyum maklum. "Tak apa. Jangan memaksa."

"Tapi..."

"Pergilah." Gumam Alex. "Kabari aku kalau kau sudah puas minum. Nanti kujemput."

Kagami terdiam. Alex melangkah menuju mobil dan melaju pergi. Si petugas menatap Kagami dengan pandangan bertanya.

"Anda mau masuk, Tuan?"

"I...iya." Kagami mengangguk. "Apa benar sudah 450 orang hari ini?"

"Benar." Jawab si petugas. "Si bartender sendiri yang bahkan memaksa ditambahkan limit 150 orang."

"Kalian buka dari jam berapa?"

"Jam 9."

Kagami tercengang. Sekarang baru jam 1 malam. Apa yang dijual bar sekecil ini sehingga mendapatkan 450 pengunjung hanya dalam waktu 4 jam saja?! Ketika Kagami masuk, barnya lumayan ramai. Suasananya nyaman, dengan lampu temaram dan ruangan kedap suara yang membuat bar ini tidak begitu berisik. Disuguhkan pula live music berupa permainan piano, saxophone dan string quartet (violin, viola, cello dan contrabass) yang memainkan lagu-lagu blues. Meja-meja besar tempat anak muda hedon atau business men yang tengah berpesta pora terisi penuh. Namun kerumunan overcrowd justru terpusat pada bar-nya sendiri.

"Maaf, Tuan. Anda nampaknya tengah mencari tempat duduk. Untuk berapa orang?" Tanya seorang pelayan.

"Satu." Jawab Kagami.

"Di depan meja bar tak masalah?"

"Boleh."

Kagami dituntun menuju meja bar. Dan ketika sudah nyaman duduk, ia menemukan pemandangan menakjubkan.

Seorang wanita.

Mungkin merupakan wanita tercantik yang pernah Kagami lihat.

Ia terlihat rapuh dengan perawakan kurus, pendek dan berkulit pucat. Rambutnya yang berwarna baby blue, panjang sebatas punggung, dikepang fishtail dan selalu berayun gemulai seiring gerakannya men-juggling botol atau gelas, atau tengah menuang minuman dari shaker. Ekspresinya kosong, namun ada kesan dingin dan misterius padanya. Ia juga melakukan trik-trik ajaib seperti flamming cocktail, menyemprotkan nitrogen cair sambil mengenakkan kacamata khusus, atau membakar suatu garnish dengan blow torch. Pakaiannya serba hitam. Ia mengenakkan safety shoes dan apron berwarna biru gelap. Ia juga mengenakkan dasi dengan warna biru bergaris perunggu. Di apronnya tersemat sebuah pinset panjang yang juga seringkali dipakai para chef jaman sekarang untuk meletakkan benda-benda kecil di dalam elemen masakan mereka. Di dahinya bertengger sebuah googles bening yang melindungi matanya saat ia mengaplikasikan nitrogen cair.

"Kuroko-san! Kubayar 10 juta yen kalau kau mau bercinta denganku!"

"Kuroko-chan, pakai baju seksi, dong. Aku mau lihat belahan dadamu sekali-sekali!"

"Kuroko-chan, sudah pernah indehoy belum? Mau coba denganku, nggak? Dijamin nagih!

Jadi ini daya tarik bar itu?

Tak lebih dari seorang bartender cantik.

"Mau pesan apa?"

Kagami hampir melompat dari bangkunya ketika si cantik baby blue itu menegurnya. Kemunculannya yang tiba-tiba membuat panik sendiri. Kagami membaca menu dan tak menemukan ide mau minum apa ia malam ini. Ia tak biasa minum alkohol soalnya.

"I...itu...ano..." Kagami tergugu. Salah tingkah karena banyak tatapan sinis yang iri karena ialah yang dilayani si bartender idaman yang tadi lebih banyak dapat tawaran bercinta daripada pesanan minuman.

"Butuh rekomendasi?" Tawarnya.

"Mo..mohon bantuannya." Jawab Kagami kikuk.

"Aku menyarankan grasshopper atau daquiri." Katanya. "Cukup ringan."

"Kudengar...bar ini terkenal dengan molecular mixology-nya." Gumam Kagami.

"Anda mau coba?" Tanya si bartender—yang kalau Kagami tak salah dengar, namanya Kuroko.

"Baiklah." Balas Kagami. "Satu bartender's reccomendation."

"Printanier. Harganya ¥4500 per jug. Bisa dinikmati panas ataupun dingin."

"Aku mau satu. Panas."

Kuroko mengangguk.

Betapa terkejutnya Kagami ketika wanita cantik itu menaruh sebuah siphon yang biasa dipakai membuat kopi di hadapannya. Di tabung atasnya dimasukkan satu batang vanilla dan beberapa kuntum bunga kering kecil yang tampaknya sudah ditakar dalam satuan sachet plastik. Di tabung kedua, wanita itu tampak mencampurkan gin dan vodka dengan perbandingan yang sama dan ia mulai memasang tabung bagian bawah yang berisi cairan tersebut. Ia lalu menyalakan api pembakar di bawah tabung berisi cairan.

Cairan di tabung kedua mulai mendidih, menguap dan perlahan-lahan naik dan menggenangi tabung di bagian atas. Kuroko mematikan burner setelah selang dua menit dan cairan yang tadinya naik ke tabung atas perlahan turun kembali ke tabung yang bawah. Kuroko menuangkan cairan yang tampaknya telah selesai dibuat itu ke dalam tabung elmeyer dan menaruh sebatang permen ungu gelap sebesar sedotan yang perlahan-lahan meleleh, dan menghidangkannya kepada Kagami.

"Printanier." Katanya dengan gestur mempersilakan. "Enjoy your drink."

Kagami menyesap minumannya perlahan karena masih sedikit panas. Rasa pertama yang terkecap lidahnya adalah pahit dan dry yang cukul menampar, ciri khas dari gin dan vodka. Lalu datanglah rasa manis sedikit pahit dari juniper berry dan ledakan aroma lembut yang menggelitik langit-langit mulut. Bau manis dari vanilla dan aksen pahit tapi segar yang seakan membersihkan mulut yang hanya tercipta dari sitrus. Kagami berani bertaruh, bunga kering kecil yang dimasukkan tadi pastilah bunga jeruk bergamot. Wanginya mirip dengan earl gray tea.

Setelah menandaskan minumannya, Kagami merasa mulutnya begitu penuh. Minuman yang meninggalkan mouthful aftertaste biasanya berat, entah karena konten gula atau kadar alkohol yang terkandung di dalamnya. Kagami tak berniat menghabiskan sisa minumannya di siphon itu. Namun perasaan mulut penuh itu hilang sekejap mata. Aroma beraneka macam yang masih membekas di langit-langit mulutnya justru menimbulkan perasaan menagih—memancingnya untuk minum lagi.

"Bagaimana?"

Kagami tak sengaja melempar gelasnya, yang kebetulan sudah kosong. Untungnya, Kuroko yang kedua kalinya mengejutkan Kagami dengan sigap menangkap gelas elmeyer yang tadi digunakan tamunya itu dan menaruhnya di tumpukan gelas kotor di bawah working bench.

"Tidak bisakah kau tidak muncul tiba-tiba, teme?!" Kagami menggerutu kesal.

"Maaf. Aku sudah dari tadi bekerja di depan Anda. Kupikir Anda melihatku." Balas Kuroko apa adanya.

Kagami mendengus. "Minumanku masih ada setengah. Apa boleh sekarang aku minta versi dingin?"

Kuroko mengangguk. Kagami melihatnya menuang minuman sisanya yang kini sudah tak lagi panas. Uapnya sudah lenyap.

"Silakan."

Kurang dari semenit, printanier sudah terhidang dalam versi dingin. Gelas elmeyernya berembun tebal, seakan sudah beberapa jam ditaruh di kulkas. Kagami yang takjub hanya bisa menganga.

"Silakan." Ucap Kuroko.

"Hey, bagaimana bisa kau—"

Kuroko bahkan sudah lenyap dari pandangan Kagami sebelum kalimatnya selesai. Hanya satu kedipan mata dan wanita cantik itu hilang dari pandangannya.

"Cih..." Kagami mendecak kesal dan menyesap minumannya dalam versi dingin.

Aromanya tak setajam ketika dalam keadaan panas, dan sensasi menamparnya tak separah tadi. Mungkin karena Kagami sudah meminum minuman ini sebelumnya tadi, rasanya jadi telah familiar. Namun, sebenarnya bagi para penikmat cocktail pemula, printanier versi dingin sangat bersahabat di lidah.

"Aku menggunakan nitro—"

"BUHH!"

Kagami tanpa sadar menyembur minumannya saking terkejutnya, dan tepat mengenai wajah Kuroko. Si bartender cantik itu hanya mengelap wajahnya dengan tenang menggunakan sapu tangan. Wajahnya tetap stoic, namun ada aura hitam yang menguar di sekitarnya. Ia mengocok kaleng semprotan di tangannya dengan gerakan perlahan.

CLANG. CLANG.

Bunyinya horror dan membuat Kagami frustasi.

"Ma...maafkan aku..." gumam Kagami agak gemetar.

"Tak apa." Kuroko tersenyum. Tetapi bukan senyum angelic yang diharapkan akan dilihat beberapa tamu berpikiran cabul barusan. Senyuman manis dengan aura hitam ala pembunuh bayaran di film-film. "Kepalaku bahkan pernah kena muntahan tamu yang mabuk."

"Sungguh?"

Kuroko mengangguk pelan.

"Ano...soal kenapa minumanku bisa dingin cepat..."

"Ini." Kuroko memamerkan kalengnya. "Aku menyemprot permukaan botolnya dengan jarak tertentu menggunakan nitrogen cair."

Kagami mengangguk dengan ekspresi wajah yang terperangah. Kuroko tertawa kecil dan mengelap sedikit area kerjanya. Kedua mata Kagami perlahan mengikuti gerakan Kuroko. Caranya men-juggling botol dan gelas. Caranya mengambil butiran-butiran aneh dalam wadah terpisah. Caranya menghias gelas minuman dengan potongan lemon atau hiasan lain. Caranya mengelap tangan ke kain yang tergantung di belakang pinggangnya sebelum dan sesudah meracik minuman.

"Silakan, bill-nya. Totalnya jadi ¥4950 yen. Ditambah pajak 10%."

Kagami cukup terkejut melihat bill wallet disodorkan kepadanya oleh Kuroko. Sebagian orang mengira ini sangat tak sopan, seakan seperti mengusir. Namun nyatanya Kagami tak tersinggung sama sekali. Kebetulan saja, ia juga sedang ingin langsung pulang.

"Kau peka juga." Kagami menyeringai dan membayar dengan selembar ¥5000.

"Aku sudah lama kerja di bar." Gumam Kuroko. "Pelanggan yang sendirian, kalau tak tambah minumannya atau tak melakukan apa-apa lagi biasanya tengah menunggu ada pelayan yang lewat dan minta bill."

"Aku juga minta kartu nama." Imbuhnya. "Kartu namamu."

Alis Kuroko naik sebelah. "Untuk apa?"

Kagami meminta pulpen dan Kuroko memberikannya. Ia menuliskan alamat email, nomor telepon dan alamat sosial medianya pada bill yang sudah ia bayar tersebut.

"Aku tak punya kartu nama. Jadi begini saja." Ungkapnya pongah sambil mengantongi 50 yen kembaliannya. "Kagami Taiga. Chef masakan Tiongkok di Seirin Hotel."

Kuroko hanya menatap Kagami dan tulisan itu bergantian dengan ekspresi dingin permanen. Kagami yang merasa permintaannya diacuhkan melangkah keluar dengan kesal. Kuroko mengelap meja bekas Kagami dan tersenyum kecil.

"Oy, Kuroko. Ada tamu yang minta rekomendasimu."

"Ha, hai."

Kuroko meremas kertas itu dan menjejalkannya begitu saja di kantongnya.


KLANG.

"Maaf, kami sudah tutup." Gumam Kuroko tanpa menoleh ke pada siapa yang baru saja memasuki barnya.

"Kata siapa?"

Kuroko menoleh dan menemukan seorang pria berjas yang tampak lelah. Ia memasuki bar ketika hari menjelang pagi, pasti semua orang menganggapnya sinting. Mata Kuroko mengikuti gerak-gerik pria itu yang duduk di sebuah sofa dengan nyaman dan meletakkan barang bawaannya di kursi sebelahnya.

"Tetsuya..." gumam pria itu. "Bukankah harusnya kau pulang tiga jam yang lalu?"

Kuroko berjengit. Ia mendesah dan mengambil sebuah champagne flute dan sebotol ginger ale yang masih baru. Dituangkannya minuman tersebut selayaknya menuang champagne dan dihidangkannya kepada lelaki itu.

"Akashi-kun," gumamnya. "Orang sinting mana yang datang ke bar subuh-subuh begini?"

Lelaki itu, Akashi Seijuuro namanya, tertawa kecil. "Duduklah."

Kuroko mengambil sebuah asbak dari meja lain dan duduk di sebrang Akashi. Ia mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya, menghela asapnya dengan nikmat. Duduknya sedikit mengangkang, kedua siku bertengger di ujung meja. Ditambah rokoknya yang bermerk Mrlbr, ia terlihat amat, sangat...

"...maskulin sekali..." kata Akashi lambat-lambat.

"Setidaknya.." Kuroko kembali menghela asap. "Hanya di hadapanmu aku tak perlu bersikap palsu."

"Apa kegiatan yang kau anggap 'palsu'?" Akashi meneguk ginger ale di hadapannya.

"Kau tahulah, menjadi idaman semua pria-pria mesum itu." Kuroko bergidik jijik. "Mengerikan."

"Mereka punya mata dan punya nafsu." Balas Akashi. "Mereka juga bisa menilai mana yang cantik dan mana yang seksi."

Kuroko memalingkan wajahnya.

"Kau punya masalah."

Kuroko mendecih. "Sok tahu."

Akashi mencondongkan tubuhnya. Kedua matanya yang sewarna batu rubi dan berpupil runcing itu menelaah jauh ke dalam relung hati Kuroko melalui matanya, bagian paling ekspresif diantara bagian lain tubuh Kuroko.

"Aku bisa melihatnya." Katanya.

Kuroko menjejalkan puntung rokoknya ke asbak dan menyalakan sebatang lagi. Akashi menghabiskan minumannya dan menyerahkan sebuah kartu—kunci apartmen lebih tepatnya.

"Istirahatlah disana." Kata Akashi sambil beranjak.

"Tidak perlu, terima kasih." Kuroko menggeleng.

"Tetsuya...kau membutuhkannya." Akashi mengemasi barang-barangnya. "Aku hanya mau sedikit membantu."

Kuroko mengacuhkannya. Ia kembali menikmati helaan asap rokoknya. Akashi melangkah pergi dan meninggalkan selaksa kecupan di pipi Kuroko sebelum benar-benar menghilang di balik pintu bar.

Kuroko masih terdiam. Pikirannya mengawang saat ia menyalakan lagi batang ketiga, keempat...

Bahkan tanpa sadar ia menghabiskan sebungkus rokoknya begitu saja.

Kuroko menatap kunci apartemen Akashi dengan pandangan keruh selama beberapa saat, sebelum menyambarnya dan pergi meninggalkan bar.


First chapter, done~

Hehehe, ketemu lagi sama author ye gengs. Karena banyak yang mempertanyakan identitas author yang (katanya) anak tata boga, jadilah author membuat fanfic ini. Ceritanya lebih dark dan mature kalau dibandingin sama fic-fic yang lain. Semoga para readers sekalian berkenan.

Anyway, author mau membahas 2 hal:

Yang pertama, kenapa kuroko-nya jadi cewek (?) Iya benar, saya mau buat fem!Kuroko yang tetep kawaii namun dengan body cucok ala AV model. Nurufufufufu~ #ketawamesum #abaikansaja Daaan awalnya author malah mau bikin si kuroko jadi lacur aja but wait...setelah baca doujin love at the age of 30 dimana kuroko sangat sangat hawt pas lagi ngerokok, author lalu berpikir tetap mengadakan karakter "stoic badass" ala original character kuroko cowok namun dengan body cewek. Kebayang? Kebayang dooong ushishishishi~

Terus yang kedua, adalah nama kuroko yang tetep 'tetsuya' dan kerjaannya sebagai bartender. Awalnya ide ini muncul ga sengaja, selain karena buntu ide (nama apa yang bagus buat fem!Kuroko coba? Maapkan kalau authornya ga kreatip). Sejujurnya bartending itu bukan bidang author. Sumpah author buta banget soal bartending. Tapi karena saking ngototnya nganggep 'ini dia! Ini kerjaan paling badass buat fem!kuro' jadilah author bela-belain belajar dikit-dikit (yang ternyata susah mampuuuss). Tapi ternyata ini jadi ide plot di chapter selanjutnya, lhooo~ ditunggu ajaaaa.

And jangan lupa, bahwa fic author yang satu ini juga adalah ROLLER COASTER! Tapi menurutku yang ini nggak roller coaster amat sih, karena alurnya akan lebih kelam dan lambat, lebih banyak slice of life-nya juga. Apa ya disebutnya, angst ferrish wheel boleh #ngarang tapi terserah para readers aja gimana nanggepinnya ya ya?

Yosh. Sekian bacotan saya. Jangan lupa RnR ya. Sekedar mengingatkan bahwa author itu akan agak sibuk jadi jadwal update agak berantakan. Terima kasih sudah setia baca sampai halaman ini. See you in the next chapter~~~